Kamis, 22 Maret 2012

dr. Tirza Hendrik


Di ruang kerjanya, di Puskesmas Kecamatan Baloan, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, tersimpan rapi puluhan bungkus rokok dari berbagai merek. Rokok itu ada yang masih utuh terbungkus, tapi umumnya sudah terbuka dan sebagian isinya sudah diambil. Di setiap bungkus rokok itu ada catatan, berupa nama dan tanggal tertentu.
“Pasien menjuluki saya dokter peminta rokok,” ujar dr. Tirza Hendrik, kepala Puskesmas di atas saat mengikuti seminar CMC (Cardio Metabolic Conference 2011) di Jakarta. Alumni FKUI ini memang biasa meminta, bahkan dengan setengah paksa, rokok yang dibawa pasien dan keluarganya. Tujuannya untuk menyadarkan pasien tentang bahaya merokok. Bungkusan rokok yang disita itu diberi catatan, dari siapa disita dan pada tanggal berapa.
 “Syukurlah, dari sekian banyak pasien yang saya sita rokoknya, tidak ada  marah,” ujarnya. Ia yakin dan percaya, jika dokter mampu mengedukasi dan melakukan komunikasi dengan baik, pasien akan merasa nyaman dan patuh dengan apa yang dianjurkan dokter. Ia juga yakin, berhenti merokok itu mudah asal yang bersangkutan memiliki tekad yang kuat. Terus terang, ia ingin mengedukasi pasien mengenai bahaya merokok, membimbingnya, hingga pasien bisa bebas dari belenggu rokok.
Kelahiran Palu, 25 tahun silam ini sejak kecil sudah bercita-cita menjadi dokter, mengikuti jejak kedua orang tuanya yang berprofesi sebagi dokter. Yang membuatnya mau PTT di Kecamatan Baloan, daerah yang masih tertinggal, karena ingin membantu memperbaiki masalah kesehatan di sana.
Maka, bukan halangan baginya meski untuk mencapai Puskesmas tempatnya bertugas  cukup sulit. Banyak warga yang harus berjalan kaki selama 6-8 jam, untuk berobat ke Puskesmas. Belum lagi peralatan yang minim. Dan untuk merujuk ke satu-satunya rumah sakit di Kabupaten Tolitoli, perlu waktu sekitar 4 jam. “Belum lama ini saya mengantar pasien yang suspek retinoblastoma. Sekarang, kondisi pasien sudah membaik dan bisa berkomunikasi,” katanya.
Ia berharap ada pihak yang mau bekerjasama melakukan pengobatan gratis, operasi bibir sumbing, operasi katarak atau khitanan masal, untuk membantu warga yang kurang mampu. Ia sadar, menjadi dokter mengemban misi yang berat. Tapi, “Saya bangga bisa lulus  dari FKUI. Jujur, negara telah mensubsidi saya. Jadi saya harus mengabdikan kemampuan bagi negara dan masyarakat, di bidang kesehatan.”