Senin, 21 Maret 2005

Tentang Perubahan Status RSUD menjadi PT... :(

Tulisan menarik, diambil dari Kompas 21 Maret 2005, memuat wawancara dengan dr. Hasbullah Thabrany:

Bukan Privatisasi untuk RSUD, tapi Otonomi dan Bersihkan Korupsi

BULAN September 2004 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengubah status tiga rumah sakit umum daerah menjadi berbentuk perseroan terbatas atau PT. Privatisasi terhadap RSUD Pasar Rebo (Jakarta Timur), RSUD Cengkareng (Jakarta Barat), dan RS Haji di Pondok Gede (Jakarta Timur) itu sebenarnya sudah mendapat persetujuan dari DPRD DKI periode 1999-2004.

NAMUN, privatisasi itu kini mengundang kritik, bahkan dari kalangan dalam rumah sakit sendiri. Tak heran kalau DPRD DKI periode 2004-2009 kemudian akan mengevaluasi kembali privatisasi itu dan bahkan kemungkinan akan membatalkannya.

Pemprov DKI dan DPRD beralasan, perubahan status dari RSUD menjadi PT itu untuk mengurangi anggaran. Sebab selama ini Pemprov DKI harus menyubsidi Rp 400 miliar lebih per tahun untuk tujuh RSUD yang ada. Selain itu, juga ada alasan untuk peningkatan profesionalisme.

Dengan perubahan status ketiga rumah sakit tersebut, sebagian subsidi bisa diberikan langsung kepada masyarakat miskin melalui Program Jaminan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin).

Meski masih banyak ditentang, Pemprov DKI sudah bertekad akan memprivatisasikan empat RSUD lainnya, yakni Tarakan, Budhi Asih, Duren Sawit, dan RSUD Koja. Tetapi belakangan diketahui bahwa keempat RSUD itu akan diubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), bukan PT.

Menanggapi pro-kontra mengenai privatisasi RSUD di DKI, Kompas mewawancarai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany. Menurut dia, pelayanan kesehatan dan pembangunan fasilitas kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Jika privatisasi terus dilakukan, itu berarti Pemprov DKI telah melemparkan tanggung jawabnya yang sudah diatur dalam undang-undang.

Berikut petikan wawancaranya yang berlangsung di Depok, akhir pekan lalu.

Kenapa Pemprov DKI seperti keberatan menyubsidi RSUD?

Memberi subsidi ke rumah sakit pemerintah itu kewajiban pemerintah. Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Bukan hanya masyarakat miskin saja, tetapi semua lapisan masyarakat. Kenapa begitu, karena orang sakit adalah orang yang terkena musibah atau bencana. Ketika sakit, orang tidak mampu untuk berproduksi atau mendapatkan penghasilan. Yang ada malah mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah jika harus dirawat di rumah sakit. Orang kaya pun bisa jatuh miskin kalau sakit.

Pemerintah daerah berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan karena secara sepihak pemerintah telah menarik pajak dari masyarakat. Masyarakat diwajibkan membayar pajak dan mereka tidak bisa mengelak dari pajak. (Sebagian) Uang pajak itu digunakan untuk menyubsidi rumah sakit pemerintah. Nah, kalau tidak mau mengucurkan dana lagi ke RSUD berarti pemerintah tidak bertanggung jawab. Semua negara mencari dana untuk membiayai rumah sakitnya, Pemprov DKI malah memutus aliran dana pemerintah ke rumah sakit.

Kalau itu kewajiban, kenapa pemerintah menyebutnya subsidi?

Istilah subsidi itu tidak benar. Dinamakan subsidi jika pemerintah memberikan bantuan dana untuk nonpemerintah. Pendanaan yang dilakukan pemerintah karena merupakan kewajibannya bukanlah subsidi. Misalnya saja, saya punya anak kemudian saya menyekolahkan anak saya, apakah itu bisa dibilang subsidi? Terus kalau anak saya sakit dan harus berobat ke dokter, apakah itu juga subsidi? Saya punya anak, jadi saya punya kewajiban menyekolahkan atau mengobatkan anak saya kalau sakit.

Pemda selama ini juga tidak pernah menyebutkan kata "subsidi" jika memberikan dana untuk kantor wali kota/camat. Tetapi kenapa untuk urusan rumah sakit pemda menyebutnya subsidi?

Pemprov DKI beralasan, privatisasi dilakukan agar pelayanan kesehatan di RSUD menjadi lebih profesional.

Rumah sakit menjadi tidak profesional karena persoalan manajemen. Kalau ada tikus di dalam rumah, apakah rumahnya harus dirobohkan terus diganti rumah baru. Kalau sudah ada rumah baru terus tikusnya masih ada bagaimana?

Menjadikan sebuah rumah sakit profesional tidak harus melalui privatisasi. Selama ini memang ada keluhan bahwa RSUD tidak leluasa mengelola keuangannya sendiri. Mau beli alat-alat medik saja harus mengajukan ke APBD yang kemudian menunggu persetujuan DPRD. Itu kelamaan. Kalau mau profesional dan efisien, rumah sakit diberi otonomi untuk mengelola keuangannya sendiri. Tetapi harus diawasi ketat dan akuntabel.

Privatisasi dilakukan karena RSUD dianggap rugi. Apanya yang rugi? RS Pasar Rebo itu tidak pernah merugi. Bahkan tahun 2004 rumah sakit itu bisa meraup untung Rp 40 miliar lebih. Kalaupun tidak diprivatisasi, rumah sakit tidak rugi kan?

HASBULLAH memang tidak setuju jika pemerintah menggunakan istilah "rugi" untuk rumah sakit pemerintah. Sebab, istilah rugi itu mestinya digunakan dalam kerangka bisnis. Padahal, pelayanan RSUD itu dalam rangka kewajiban pemerintah. Seperti halnya membayar gaji aparat negara, membangun fasilitas umum, membiayai DPRD, dan berbagai pendanaan perangkat pemerintah.

Ia juga mempertanyakan kenapa istilah "subsidi" dan "merugi" tidak pernah digunakan pemerintah untuk pembangunan sebuah jembatan, jalan, bahkan untuk pembangunan gedung SD dan puskesmas. Padahal, kalau dihitung secara ekonomi, fasilitas yang dibangun tersebut tidak menghasilkan uang yang bisa menutup biaya operasionalnya. "Kita telah terkecoh, mana yang menjadi kewajiban pemerintah dan mana yang menjadi kewajiban swasta," ujar Hasbullah.

Pemerintah menganggap, dengan privatisasi rumah sakit bisa mandiri secara finansial?

Privatisasi memang bisa membuat rumah sakit mandiri secara finansial. Tetapi duitnya dari mana? Tentu saja dari tarif. Tarif itu yang membayar siapa? Pasien kan? Jadi ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah masyarakat. Mereka harus membayar mahal tarif yang telah ditentukan. Terus kalau semua rumah sakit diprivatisasi, apa kewajiban pemerintah?

Katanya, uang subsidi rumah sakit sebesar Rp 400 miliar akan dialihkan ke JPK Gakin. Dengan cara seperti itu, pemerintah memberikan subsidi langsung ke masyarakat dan bukan ke rumah sakit.

Pemda selalu bicara Gakin. Itu berarti Pemprov DKI hanya menjamin penduduk miskin saja. Padahal, kesehatan adalah hak dasar manusia. Dana JPK Gakin yang dimiliki Pemprov DKI sekarang hanya Rp 100 miliar. Apa cukup? Dana tersebut hanya cukup untuk menjamin kesehatan 8,5 persen penduduk DKI. Padahal jumlah penduduk paling mampu (kaya) hanya 20 persen dari penduduk DKI. Itu berarti 80 persen adalah penduduk dengan penghasilan biasa saja. Kalau yang bisa dijamin hanya 8,5 persen, lalu bagaimana dengan yang 71,5 persen?

Kalau orang jatuh sakit, dia bisa mendadak miskin karena seluruh tabungan, bahkan rumahnya, bisa digunakan untuk biaya berobat. Terus kalau duitnya habis dan tidak bisa berobat lagi bagaimana? Di situlah fungsi pemerintah dan rumah sakitnya.

Sebanyak 8,5 persen penduduk termiskin memang dilindungi JPK Gakin. Sedangkan 70-80 persen penduduk dengan tingkat hidup menengah mampu melindungi diri kalau ada pengobatan ringan. Tetapi kalau perlu perawatan rumah sakit dan pengobatan berat, penduduk yang jumlahnya 70-80 persen ini tidak mampu bertahan.

Di Malaysia dan Taiwan bisa terjadi transformasi bentuk rumah sakit karena pemerintah menanggung semua biaya berobat. Di Malaysia, orang berobat ke rumah sakit pemerintah hanya membayar tiga ringgit atau Rp 6.000 per hari. Harga itu sudah termasuk biaya rawat inap, ICU, operasi, dan lain-lain.

Dokter yang praktik di rumah sakit tersebut harus full time. Mereka digaji penuh, nilainya sekitar Rp 10 juta-Rp 20 juta. Tetapi mereka tidak boleh praktik di tempat lain. Ada sanksinya. Sebetulnya Pemprov DKI sanggup membayar dokter sebesar itu. Jumlah dokter yang praktik di satu rumah sakit berapa sih?

Mana yang lebih bagus? Subsidi ke rumah sakit atau langsung ke masyarakat melalui JPK Gakin?

Kalau subsidi langsung ke rumah sakit, cost-nya lebih murah. Tinggal kucurkan dana saja, selesai. Kalau melalui jaminan semacam Gakin, pemerintah harus mengeluarkan uang untuk keperluan survei, pendataan penduduk, pembuatan kartu Gakin, dan sebagainya. Subsidi langsung ke rumah sakit memang bisa dikorupsi, tetapi kenapa bukan koruptornya saja yang ditangkap?

Bentuk apa yang tepat kalau pemerintah tetap ngotot mengubah bentuk RSUD?

Semua ada kelebihan dan kekurangan. Tetapi semuanya tergantung dari manajemen. Untuk rumah sakit pemerintah, menurut saya, paling mudah berbentuk Badan Layanan Umum. Kelebihan BLU, rumah sakit itu masih tetap milik pemerintah. Namun pihak manajemen diberi keleluasaan untuk mengelola keuangannya sendiri. Tentunya dengan pengawasan ketat.

Gubernur (Sutiyoso-Red) sudah mau meninjau ulang pembentukan RSUD menjadi PT. Untuk RSUD lainnya, Pemprov DKI telah setuju menjadi BLU. Namun sekarang Pemprov DKI tengah menunggu peraturan pemerintah (PP) tentang BLU sebagai petunjuk pelaksanaannya.

Apakah pemerintah mampu memberikan jaminan kesehatan bagi semua penduduknya?

Jaminan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat berasal dari masyarakat itu sendiri. Ke depannya, kita akan membuat Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang harus diikuti oleh semua penduduk Indonesia, baik dia kaya maupun miskin. SJSN ini digunakan untuk memberi jaminan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Iurannya diperhitungkan secara proporsional. Kemungkinan besarnya adalah lima persen dari pendapatan. Untuk penduduk paling miskin, premi dibayarkan oleh pemerintah. Besarnya Rp 5.000.

Bagaimana dengan masyarakat yang memiliki penghasilan tidak tetap?

Mereka juga harus ikut. Besarnya iuran bisa diperhitungkan dari rata-rata pendapatan harian/bulanan mereka. Semua masih dihitung formulanya. Target awalnya sekarang adalah masyarakat dengan penghasilan tetap terlebih dulu. Jika semua sudah ikut SJSN, seluruh penduduk Indonesia berhak mendapat pelayanan kesehatan gratis atau murah di rumah sakit pemerintah. Dengan mengikutsertakan semua penduduk, ada semacam subsidi silang dari penduduk kaya untuk penduduk miskin.

(LUSIANA INDRIASARI)

Rabu, 09 Maret 2005

To Those.. I'd Like to Thank.. in This Virtual World

To those I'd like to thank.. for teaching me a lot.. some new things in the world wide web, since I have my own internet connection at home in 1999.

Buat Hendra (http://www.hdn.uni.cc) yang sudah menginspirasiku untuk membuat website pertama menggunakan PostNuke sebagai CMS di http://www.asysyifaa.uni.cc dan melakukan instalasi awal sehingga website ini bisa online sampai sekarang, menggunakan hosting gratisan.

Untk Agil, yang rela jauh-jauh datang ke rumahku Ramadhan tahun 2003, sekedar untuk mengenalkan apa itu Content Management System (CMS) macam ASPNuke, PHP, dan Macromedia Flash. Kini ia jauh lebih maju dengan http://gawat.com -nya. Gil, jangan lupa belajar ya, antum harus jadi dokter!

Alvi, teman SMA lulusan Fasilkom UI yang punya http://alvifauzan.blogspot.com dan menginspirasiku (secara tidak langsung, tanpa kata-kata) untuk memiliki blogspot sendiri di http://arifianto.blogspot.com
Sudah enam tahun lebih kita nggak ketemu.

Ibu Helvy Tiana Rosa, yang tulisan-tulisannya selalu berakhiran dengan http://helvytr.multiply.com, sehingga akupun memiliki blok di http://drarifianto.multiply.com

The X-Files: Book of the Unexplained

What’s your favourite all-time movies, or TV series? We all must have at least one, musn’t we? Pastinya kita ingat, saat jaman-jaman TK atau SD dulu, hampir tiap hari, bagi yang tinggal di Jakarta, biasa menyaksikan film-film Jepang, atau yang saat ini dikenal dengan tokusatsu (film eksyen orang) atau anime (film kartun). Goggle Five, Gaban, Sharivan, Voltus Lima, God Sigma, Megaloman, Kamen Rider, Lion Maru, dan lain-lain. Ada pula Candy-candy, Lulu, dan semacamnya. Itu di video, bagi yang memiliki video player. Atau masa-masa TVRI dulu, Setidaknya ada Si Unyil, Scooby Doo, Pacman, Centurions, dan beberapa yang sudah kulupakan. Memasuki masa TV swasta pertama di Indonesia, yakni RCTI, yang masih marus memakai dekoder waktu itu, ada Ninja Si Bayang Merah, Thunder Cats, The Chipmunks. Akhirnya… era TV swasta mengudara gratis pun tiba. Kita semua masih bisa menyaksikan Doraemon setiap Ahad pagi hingga saat ini. Kemudian siapa sih yang tak kenal dengan MacGyver, Airwolf, Knight Rider, My Secret Identity, Growing Pains, sampai Star Trek The Next Generation, The Flash, dan Time Trax. Sampai… saat ini, ketika TV swasta yang mengudara senantiasa bertambah hampir setiap tahun.

Jika ditanya apa serial TV favoritku? Aku akan menjawab, salah satunya adalah The X-Files. Aku menonton film ini sejak episode perdananya di SCTV ketika masih kelas 2 SMP waktu itu, sekitar tahun 1994. Kemudian sempat henti tayang setiap pergantian season, sampai akhirnya episode ini berakhir pada season kesembilannya, aku hampir menyaksikan semua episodenya.

Tahun 1997, saat SMA, aku menemukan buku “The X-Files: Book of The Unexplained” karangan Jane Goldman, buku jilid kesatu dan kedua, diterbitkan oleh Simon and Schuster. Waktu itu belum krismon, jadi buku yang tebalnya ratusan halaman ini masih bisa kubeli dengan harga tidak lebih dari 40 ribu rupiah. Buku ini menerangkan latar belakang cerita-cerita dalam episode The X-Files season 1 sampai 3, dengan penjelasan ilmiahnya. Mulai dari UFO, fenomena-fenomena tak terjelaskan, sampai catatan-catatan Scully dan Mulder yang sering dinarasikan dalam episode-episode filmnya. Foto-foto dari film-nya juga ada.

Kini, 11 tahun setelah aku pertama kali mengenal serial TV ini, koleksi DVD-nya sudah mulai bisa didapatkan di Indonesia. Sebagai orang yang sayang mengeluarkan isi kocek hanya untuk membeli hal-hal semacam ini, misalnya DVD original, aku hanya membeli DVD bajakannya saja. Sayangnya aku baru bisa menemukan season 1, itupun tidak lengkap 24 episode, hanya 21 episode saja. Dengan semua feature yang tidak ada! Ngeselin sih.. Tapi tidak apa-apa, setidaknya bisa sedikit bernostalgia dengan masa muda, sambil mencocokannya dengan isi buku.

Jadi… ada yang punya koleksi lengkap DVD The X-Files season 1 sampai 9? Boleh pinjam? Karena kata temanku ada di Mangga Dua, itupun DVD 9 dengan harga lebih mahal dibandingkan bajakan biasa.

Anyone? :)

Image hosted by Photobucket.com

Selasa, 08 Maret 2005

Sekali lagi… Articial Intelligence!

Sehabis menonton salah satu eposide The X-Files season 1 yang berjudul “Ghost in The Machine”, aku kembali teringat pada Space Odyssey 2001. Aku yakin pembuat skenario episode ini terinspirasi dari film klasik tahun 60-an tersebut. Ceritanya seorang ilmuwan berhasil membuat perangkat komputer keamanan sebuah gedung yang mampu melakukan pembunuhan, yakni dengan mengatur sistem listrik dan lift dalam gedung. Ama mesinnya Central Operating System (COS). Yaahh… mirip-mirip HAL 9000 dalam Space Odyssey lah.

Bisa jadi pula… episode The X Files dan film Space Odyysey ini mengilhami Michael Crichton menulis novelnya “Prey” yang terbit 2001 lalu. Aku memang belum membaca novel ini, tetapi kalau tidak salah isinya mengenai penggunaan nanoteknologi yang akhirnya menjadi sebuah bencana (disaster). Khas Michael Crichton pokoknya, penulis novel-novel Thriller macam Jurassic Park, Timeline, Sphere, dan Congo (semuanya sudah difilmkan)

Speaking of nanotechnology and artificial intelligence, it seems that there’s relation between both of them.
Apakah nanoteknologi dan kecerdasan buatan itu? Bisa membaca tulisanku di http://arifianto.blogspot.com dan di sini pada judul 2010: The Odyssey Continues. Intinya penelitian-penelitian mengenai hal ini masih dalam pengembangan di banyak pusat penelitian di dunia. Di Indonesia kita sudah memiliki The Mochtar Riady Center for Nanotechnology and Bioengineering. Mungkin suatu saat nanti mereka akan mempublikasikan hasil penelitiannya.

Kalau Anda rajin surfing di internet dan ingin merasakan chatting machine yang menggunakan bahasa AI, coba saja buka http://aimovie.com

Kesimpulan akhir yang ingin kusampaikan adalah: film-film di atas semuanya menceritakan satu hal: mesin buatan yang memiliki kemampuan berpikir dan merasa seperti manusia dikhawatirkan pada suatu titik akan membahayakan manusia, sebagai defence mechanism atau mekanisme pertahanan mereka. Ini adalah satu insting mendasar semua makhluk hidup untuk bertahan dari kepunahan. Yang jelas… pastinya tidak ada satupun ciptaan manusia yang sesempurna ciptaan Sang Pencipta. Maka jika manusia mengkhawatirkan ciptaannya nanti pastilah berbuat kesalahan, itu karena mereka memang tidak sempurna.

Overweight Problem dan Life Style

Sebenarnya sudah lama aku ingin menulis opini tentang hal ini. Salah satunya terpicu oleh tayangan satu episode The Oprah Winfrey Show di Metro TV sekitar bulan Oktober lalu, mengenai kisah beberapa orang Amerika yang memiliki problem dengan berat badannya. Beberapa di antaranya, termasuk selebritis Randy Jackson seorang juri American Idol, bahkan menempuh cara operasi, yakni gastric bypass, dengan risiko mortalitas (kematian) di meja operasi cukup tinggi. Seorang lainnya bahkan seorang gadis muda usia SMA yang rela menempuh cara ini karena tidak pede dengan postur tubuhnya agak gemuk. Hasilnya memang memuaskan, terutama dari segi penampilan. Di AS memang jenis operasi ini lebih sering dilakukan dibandingkan dengan negara kita. Aku bahkan belum pernah mendengar jenis operasi semacam ini dilakukan di Indonesia. Mungkin dokter bedah kita tidak banyak yang memiliki keterampilannya, selain biaya operasi yang sangat tinggi, dan risiko operasi cukup besar. Kita di Indonesia masih memiliki cara-cara lain untuk menurunkan berat badan.

Kemudian ada juga sebuah artikel lain di Majalah TIME tahun lalu yang memampangkan judul “How Asia Got Fat”. Ya, memang di banyak negara berkembang di Asia, misalnya Cina dan India, termasuk sebagian kecilnya di Indonesia, obesitas menjadi masalah kesehatan baru. Menariknya, kondisi ini justru tidak hanya mengenai golongan ekonomi menengah ke atas saja, tetapi tidak sedikit golongan ekonomi menengah ke bawah yang mengalami obesitas. Lihat saja ibu-ibu penjual di pasar, atau bapak-bapak penjual rokok di warung, bahkan pemulung, yang jika dilihat dari penghasilan tidak seberapa, tapi memiliki badan cukup, bahkan sangat ‘subur’ (bandingkan saja dengan badanku yang langsing ini :D).

Masalah ini memang sangat terkait dengan gaya hidup, dengan tidak menafikan faktor genetik juga tentunya. Makan tidak terlalu banyak, tetapi isinya karbohidrat sederhana (nasi—makanan pokok masyarakat Indonesia), dengan aktivitas kurang. Belum lagi faktor hormonal pada wanita, lebih-lebih bagi yang mendapatkan hormon dari luar berupa kontrasepsi, yang menunjang pembengkakan volume tubuh dan timbulnya ketidaknyamanan di muka umum. Bicara mengenai gaya hidup memang sangat sulit bagi orang Indonesia. Ambil contoh sederhana, misalnya merokok. Jika Anda seorang dokter dengan pasien tetap penderita hipertensi dengan kebiasaan merokok, Anda akan menemukan sulit sekali bagi mereka menghilangkan kebiasaannya ini. Bahkan bagi yang sudah mendapat stroke ringan (transcient ischemic attack/TIA) sekalipun! Begitu merasa keadaan badannya agak enakan, merokoknya diteruskan. Padahal mereka tahu persis kebiasaan mereka ini ‘memperpendek’ usia mereka.
Well… masih banyak memang masalah dalam karakter masyarakat kita

Kamis, 03 Maret 2005

Doctors are the BEST SECRET KEEPER

Dokter adalah penjaga rahasia paling baik.
Tentu saja. Kami disumpah untuk dapat menjaga rahasia pasien-pasien kami, dan tidak membocorkannya, sesuai dengan kewajiban kami.

Namun tidak hanya itu saja. Dokter adalah tempat engkau bisa mencurahkan rahasia paling aman. Inilah yang kualami sehari-hari dengan para pasien. Kebetulan aku bekerja di sebuah poliklinik sebagai dokter tetap, dengan pasiennya sebagian besar para pengemudi taksi dan keluarganya (istri dan anak-anak mereka). Karena ini adalah klinik perusahaan, yakni para karyawannya bisa berobat dengan gratis, tentu saja rajin mengontrol kesehatannya dengan datang kepadaku. Atau kadang sekedar ‘minta’ obat saja. Sebagai satu-satunya dokter tetap, lama-kelamaan mereka mengenalku.

Konsekuensinya? Kadang mereka tidak segan menceritakan ‘rahasia dapur’ mereka kepadaku. Ya.. aku, si lajang berusia 25 tahun, menghadapi pria-pria beristri, atau istri-istri bersuami, atau pasangan suami –istri. Seringkali memang ini berkaitan dengan masalah kesehatan mereka. Masalah seks adalah masalah kesehatan juga, tentunya. Kesehatan reproduksi. Tidak hanya ‘Bapak-bapak’ saja yang kadang mengadukan masalah seks mereka, ‘Ibu-ibu’ juga ada.

“Dokter udah berkeluarga belum?”
“Memangnya kenapa, Bu?”
Dalam hati aku berkata: hei, aku ini dokter. Mungkin Ibu melihat tampang culun dan badan kurus yang membuat orang kadang meragukan, ini dokternya masih muda banget… (doo, ge-er, sok muda lu). Masalah seks aku pandang sebagai masalah kedokteran tentunya. Bukan suatu hal yang tabu, jika Ibu ingin mendapatkan solusi dari seorang dokter.
Dan… selanjutnya ia pun menceritakan masalah ranjangnya.

Well, I know that I’m not married yet, and of course… haven’t experienced what this women told. But of course.. I’ve studied this in my college years. It’s a SCIENTIFIC thing. Yes.. sex is a SCIENTIFIC thing.

Tidak hanya masalah seks saja yang kadang-kadang keluar dari mulut mereka. Ada yang mengakui bahwa mereka pernah mengaborsi janin si istri, sulitnya kondisi keuangan yang membuat mereka enggan dirujuk ke spesialis, dan cerita-cerita manusiawi lain. Dalam memandang suatu hal, aborsi misalnya, dokter tidak memandangnya sebagai suatu hal yang hitam-putih. Bukan kemudian berkata: “Ibu, Bapak, itu tindakan ilegal yang melanggar hukum!” Tapi harus menyikapinya dengan cara lain.

Akhirnya.. kuakui.. sebagai seorang manusia biasa… dokter pun mengalami banyak godaan juga. Godaan nafsunya sendiri. Aku tak begitu mempedulikan apakah mereka meragukan aku pernah mengalami masalah yang mereka hadapi. Yang jelas mereka menceritakannya padaku. Artinya mereka percaya kepadaku. Dan.. memang itu tugas profesiku. Memberi solusi kesehatan bagi klien. Belum lagi rahasia ‘tubuh’ mereka. Dokter diberi legalitas untuk melihat bagian-bagian yang sangat pribadi, untuk bisa mendiagnosis penyakit, dan memberi terapinya. Namun.. ya.. dokter juga manusia. Punya syahwat juga. Harus banyak-banyak beristighfar. Apalagi buat yang belum menikah. Astaghfirullah…

Dokter juga manusia… (menganalogikan dengan judul lagunya Seurieus Band: “Rocker juga Manusia”). Aku teringat pada sebuah episode film seri Smallville season 2. Si tokoh dokter wanita pacar Lex Luthor mengatakan pada pasiennya, bahwa rahasia pasien tidak akan keluar dari ruang praktiknya. Termasuk kemungkinan menceritakannya kepada.. misalnya suaminya. Ini menegaskan bahwa di Amerika, dokter demikian memegang teguh sumpah profesinya. Nggak tahu ya, dengan di Indonesia.

Kesimpulannya: dokter dituntut untuk menjadi orang yang amanah. Dalam memegang rahasia pasiennya, dalam menjalankan profesinya, dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang dokter muslim juga.
Sudah hampir jam 12 malam. Harus segera istirahat. Mudah-mudahan tulisan ini tidak error gara-gara ngantuk. Tapi emang lagi pengen nulis sih.