Kamis, 28 Oktober 2004

Nano teknologi: Teknologi Terkini Menyambut Masa Depan

Inilah judul buku yang aku beli seminggu yang lalu. Teknologi nano atau nanotechnology memang telah menarik perhatianku sejak lama. Awalnya aku pernah membaca sekilas artikel mengenai hal ini dalam majalah Scientific American edisi spesial tahun 2001, kalau tidak salah. Michael Crichton juga mendasari teknologi ini sebagai cerita utama dalam novel terbarunya Prey, yang belum sempat aku baca.



Aku memang memiliki ketertarikan khusus terhadap fisika, dan teknologi yang berkaitan dengannya. Ada beberapa buku yang menjadi koleksi perpustakaanku, seperti tiga buku karangan Stephen Hawking, buku-buku mengenai relativitas, teori kuantum, Chaos Theory (salah satu yang mendasari ide Jurassic Park, selain masalah DNA), sampai astronomi.



Dalam satuan, satu nano sama dengan sepuluh pangkat minus sembilan. Satu nanometer sama dengan sepersatu milyar meter, dan satu nanodetik sama dengan sepersatu milyar detik.



Nanotechnology adalah teknologi yang mengembangkan dan memanfaatkan semua yang berhasil dipelajari dalam nanoscience. Ilmu nano ini mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan materi berukuran 0,1 nm sampai 100 nm.



Lalu apa kelebihan nano teknlogi ini? Well, tanpa perlu menjelaskan panjang lebar mengenai definisi atom, molekul, susunan dan strukturnya, juga bagaimana teknologi mampu membaca serta memanipulasi susunan materi super kecil ini (hey, ini bukan resensi buku lho. Find the basic science yourself, from the articles, books, or the internet!), komputer yang bisa dibuat berdasarkan teknologi ini memiliki ukuran sangat kecil, dengan menggunakan molekul-molekul DNA dan enzim-enzimnya dalam satu tetes air saja sebagai sarana input, output, software, dan hardware. Coba cari informasi mengenai hal ini menggunakan keyword “the smallest biological computing device” di Google, jika Anda sedang online. Komputer ini juga memiliki kecepatan 100 ribu kali lebih cepat dari komputer konvensional tercanggih saat ini.



Dengan nanotechnology: mampu diciptakan pakaian yang dapat menolak molekul pengotor pakaian; bisa mengubah grafit menjadi berlian; dapat terbang tanpa menggunakan alat bantuan (karena terdapat atom-atom kasat mata yang menopang tubuh, dan bisa dikendalikan sesuai keinginan kita); hologram di mana-mana; penyakit disembuhkan dengan mengirimkan robot nano ke dalam jaringan tubuh dan mencari sumber penyakit, untuk menghancurkannya; kulit senantiasa awet muda karena molekul-molekul kulit senantiasa diatur ulang (rearranged); kursi yang diduduki secara otomatis menyesuaikan bentuk tubuh kita; bisa berjalan-jalan ke planet-planet lain, dan lain-lain, dan lain-dan lain.



Kuncinya adalah karena teknologi mampu memanipulasi atom dan molekul.

And the father of nanotechnology is Richard Feynman, yang salah satu bukunya “Cerdas Jenaka Cara Nobelis Fisika” menjadi salah satu koleksiku juga.

Senin, 25 Oktober 2004

Succes Seminar: The MLM’s Rifle

Sabtu siang kemarin, seorang kawan mengajak pergi ke sebuah gedung di bilangan Thamrin untuk mengikuti acara yang bertajuk ‘Succes Seminar’. Beberapa waktu sebelumnya ia hanya mengatakan bahwa acara ini bagus, dan tiketnya tidak begitu mahal menurut penilaianku. Aku mencoba menebak kira-kira seminar ini macam apa.



Ternyata dugaanku tepat. Sebuah perusahaan MLM yang perkembangannya cukup pesat dan luas di Indonesia, dan katanya masuk dalam ‘Top Five’, penyelenggara acara ini. Ini adalah bagian dari program dua bulanan mereka bagi para pesertanya, dan khususnya ditujukan untuk menarik minat calon anggota baru, yang diharapkan bisa mereka rekrut.



Teknis pelaksanaan acaranya cukup menarik, menurutku. Ruangan yang disewa untuk pelaksanaan acara ini sudah dilengkapi dengan tata cahaya layaknya konser musik besar. Sound effect-nya pun sangat mendukung. Dua layar besar ditempatkan di sisi kiri-kanan panggung, untuk membantu visualisasi penonton yang duduk di deretan kursi atas.



Acara ini menampilkan pembicara utama seorang pria berusia 29 tahun yang menduduki salah satu posisi tertinggi dalam perusahaan. Di akhir acara, peserta yang hadir akan mendapatkan informasi yang sama, bahwa pria ini mendapatkan segala kekayaan materi yang ia inginkan, waktu luang untuk keluarganya, dan kesempatan mengunjungi banyak negara, dengan mengikuti bisnis jaringan ini.



Aku cukup tertarik dengan penataan acara dan tata panggungnya. Di deretan kursi bawah yang langsung menghadap ke panggung utama, undangan khusus untuk peserta MLM yang sudah menduduki posisi ‘bintang’ ke sekian. Deretan terdepan adalah para pemimpin bisnis jaringan ini. Dan seluruh peserta acara ini dibuat mengelu-elukan para pimpinan, yang telah menyukseskan hidup mereka. Ya, inilah bisnis jaringan, dengan adanya upline dan downline, keberhasilan materi melalui perusahaan sangat ditentukan oleh jaringan yang terbentuk. Dan umumnya, setiap peserta yang ingin mencapai posisi tertentu di perusahaan, harus membentuk jaringan solid di bawahnya. Hingga pada akhirnya nanti, seorang yang telah mencapai posisi yang diinginkannya, akan merasa berterima kasih kepada atasan yang telah membesarkannya.



Seluruh pembicara yang maju ke depan mendapat iringan musik yang tertata baik. Mereka pun menunjukkan gaya berjoget seenaknya. Seolah-olah mereka sangat menikmati penampilan mereka maju ke depan. Dari lagu-lagu yang aku kenali, bervariasi mulai dari house music, lagu-lagunya Bon Jovi, Avril Lavigne, Queen, dan Bobby Brown. Visualisasi dalam layar LCD raksasanya pun cukup baik. Setidaknya mereka pasti menguasai Adobe Premiere atau sejenisnya.



Inilah pengalaman pertamaku menghadiri acara semacam ini. Cukup memberikan wawasan baru untukku. Aku juga menyaksikan banyaknya ikhwan-akhwat yang hadir dalam acara ini. Menunjukkan banyak ikhwah yang mengikuti bisnis jaringan ini. Aku membayangkan, sepuluh tahun lalu, belum ada kondisi seperti ini. Ikhwan-akhwat bercampur dalam satu ruangan, bertepuk tangan mengiringi musik dan para ‘pemimpin’ perusahaan, dan hal-hal lain yang pastinya jauh berbeda dari komunitas da’wah mereka sehari-hari. Ada seorang akhwat yang maju ke depan dan menyatakan, ia telah melakukan sekian puluh kali presentasi dalam tiga bulan berturut-turut, untuk mengembangkan bisnis ini. Dan tentunya akan membesarkan ma’isyah-nya pula.



Aku pun teringat pada adik-adik kelasku yang sedang semangat-semangatnya menjalankan bisnis jaringan lain. Beberapa bulan lalu, saat mereka baru mengenal bisnis jaringan, hampir tiada hari tanpa presentasi dan mencoba merekrut sebanyak mungkin orang lain, dari berbagai kalangan, tidak hanya mahasiswa saja. Setiap peluang acara yang bisa meningkatkan keterampilan bisnis pun akan mereka ikuti, walau lokasinya tidak dekat. Karena banyak di antara mereka aktivis masjid, maka Masjid ARH pun menjadi satu tempat yang sering digunakan untuk mengajak calon-calon peserta baru.



Aku merenung, seandainya da’wah fardiyah berjalan dengan cara seperti ini. Mungkin akan banyak kader baru yang terekrut dalam waktu singkat. Tapi memang yang dijanjikan lain. Hanya saja seorang kader harus mampu membedakan kapan harus menarik orang untuk mengetahui kebesaran agama ini, dan kapan mencukupi nafkah diri dan keluarganya.

Memang kuakui, bisnis jaringan ini sangat menarik. Da’wah butuh ditunjang oleh orang-orang yang mandiri secara ekonomi. Dan kebutuhan akan hal ini sangat besar. Menyambung tulisanku yang terdahulu, dokter pun butuh sumber penghasilan lain dari profesinya. Dan mungkin bisnis macam ini bisa menjadi salah satunya.

Kamis, 21 Oktober 2004

Kesehatan Milik Semua Orang!

Saat ini aku memiliki pandangan, profesi dokter adalah pengabdian, bukan lahan mencari uang. Jika ingin mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, ya melalui bisnis. Dokter yang bekerja keras mencari uang sebanyak-banyaknya—menurutku—akan sulit sekali menjaga idealismenya untuk menangani pasien sebaik-baiknya secara optimal, misalnya tidak apa-apa mendapatkan jumlah pasien yang sedikit dalam setiap kali praktik—karena membutuhkan waktu ideal untuk memeriksa setiap pasien—asalkan pasien puas dan dapat tertangani dengan baik.



Dari yang aku pahami dari Robert T. Kiyosaki pun, tetap jalankan profesi, dan lakukan pula bisnis. Sayangnya kemampuan bisnis ini tidak dimiliki semua orang, salah satunya profesi dokter.



Ketika aku menanyakan kepada seorang kawan: kira-kira bisnis apa yang cocok saya jalankan? Saat itu aku berpikir untuk mencari peluang bisnis (non profesi tentunya), selain berpraktik sebagai dokter. Jawaban yang aku dapat lebih dari seorang kurang lebih sama: membuat Rumah Sakit, atau Klinik 24 Jam. Jadi kita berbisnis dari lahan-lahan ini.



Dalam sebuah artikel yang aku anggap cukup menarik di Media Indonesia Rabu 20 Oktober 2004 kemarin, dr. Hasbullah Thabrany dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI menerangkan bahwa negara Eropa Barat seperti Inggris menjaminkan biaya kesehatan ke dalam anggaran negaranya. Jadi penduduknya mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Biaya ini dibebankan ke dalam pajak penduduknya yang tinggi. Ia juga memberikan contoh negara berkembang, bahkan miskin, yang memberikan pelayanan kesehatan gratis adalah Sri Lanka. Thailand dan Malaysia membebankan biaya pelayanan kesehatan yang sangat murah kepada warganya. Sedangkan yang kita lihat di Indonesia: kesehatan menjadi lahan bisnis. Sebuah negara dengan penduduk yang kebanyakan miskin. Ironis memang.



Padahal investasi kesehatan yang memang mahal di awalnya adalah sebuah investasi jangka panjang, Tidak langsung dinikmati begitu saja hasilnya.



Lebih lanjutnya, aku kutipkan saja beberapa potongan kalimat dalam artikel tulisan dr. Thabrany:



Secara ekonomis perhitungan kebijakan publik model Inggris tersebut sungguh sederhana. Jeffry Sach, ekonom kaliber dunia dari Universitas Harvard, telah melakukan penelitian di berbagai negara, menyimpulkan bahwa investasi kesehatan berupa penjaminan kesehatan seperti di atas, menghasilkan keuntungan ekonomis 600%.

Keuntungan ekonomis ini diukur dengan peningkatan produktivitas penduduk, berkurangnya hari sakit, dan tercegahnya kematian dini. Dengan temuan itu, WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) mendorong agar seluruh negara miskin meningkatkan pendanaan kesehatannya, paling sedikit US$34/kapita/tahun. Sementara Indonesia (gabungan penduduk dan pemerintah), saat ini hanya mengeluarkan sekitar US$20/kapita/tahun.

WHO, sesungguhnya mengatakan, ''Hei pemerintah di negara miskin dan berkembang, mendanai pelayanan kesehatan rakyat sesungguhnya investasi jangka panjang.'' Sama dengan membangun jalan tol, keuntungan baru bisa dinikmati 10-20 tahun kemudian. Jangan lihat pendanaan kesehatan rakyat sebagai belas kasih belaka!



Belum pro publik

Suka atau tidak suka, harus diakui, banyak kebijakan publik di Indonesia belum pro publik atau rakyat. Jangan heran kalau banyak kebijakan, lebih berfokus pada kepentingan jangka pendek pengelola/pemerintah.

Dalam bidang kesehatan misalnya, banyak pemerintah daerah (pemda) melihat RS sebagai alat prestise pemegang kekuasaan, dan sebagai pelayanan yang mudah mendapatkan uang.

Tentu saja, karena untuk pelayanan rumah sakit, tidak ada yang pernah menawar atau menunda 'pembelian', dengan tanda kutip. Di Indonesia memang pelayanan kesehatan 'diperdagangkan' bahkan oleh RS pemerintah.

Secara konseptual, sangatlah aneh sebuah rumah sakit yang dibangun dari dana publik, tetapi ketika rakyat sakit dan tidak mampu, mereka harus bayar dulu. Bahkan tidak jarang bila tak ada uang, pelayanan tak diberikan hingga nyawa lewat.

Di DKI Jakarta bahkan beberapa rumah sakit daerah yang bernilai ratusan miliar, dibangun atas dana publik, kini dijadikan PT (perseroan terbatas). Sebagai sebuah PT, tentu tujuannya mencari untung. Meskipun kelak keuntungan itu kembali ke kas daerah. Tetapi, untuk mendapatkan untung, pengelola harus menarik biaya lebih mahal dari investasinya. La..., investasinya uang rakyat, kini RS tersebut mau cari untung dari yang memiliki uang!

Jika saja Pemda kemudian membayar semua tagihan RS kepada rakyat yang berobat, tidak hanya mereka yang miskin, karena yang tidak miskin bisa jadi miskin akibat harus membayar biaya berobat. Maka hal itu tidak ada masalah. Tetapi, kebijakan transformasi RS tersebut dilakukan sebelum ada sistem penjaminan bagi seluruh rakyat.

Tentu ada yang berargumen bahwa pemerintah sudah menyelenggarakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) yang didanai dari dana kompensasi subsidi BBM. Akan, tetapi program JPK Gakin masih jauh dari memadai.

Jumlah yang dijamin dan programnya belum menjadi program tetap, sangat bergantung dari kemauan pemerintah membagi-bagi dana kompensasi subsidi BBM. Pemda DKI memang sudah lebih maju, menyediakan dana JPK Gakin cukup memadai dari APBD; tetapi toh belum ada jaminan bahwa program itu terus berlanjut.

Program bantuan jaminan bagi orang miskin saja belum mencukupi, karena kebutuhan kesehatan sangat tidak pasti. Yang tidak miskin, banyak sekali yang tidak mampu membiayai perawatan dan pengobatan yang dibutuhkannya. Bahkan sesungguhnya lebih dari 90% penduduk Indonesia terancam jadi miskin jika menderita sakit berat.

Data-data laporan maupun survei menunjukkan, memang lebih dari 90% bantuan JPK Gakin sampai pada orang tepat, alias miskin. Sesungguhnya tidak sulit mencari orang miskin di Indonesia, sebab jika kriteria miskin yang digunakan adalah pendapatan US$2 per hari, standar untuk negara berkembang yang digunakan Bank Dunia, maka lebih dari 60% penduduk Indonesia tergolong miskin.

Sementara ukuran miskin yang kita gunakan adalah miskin untuk makan, bukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan (medically poor). Tukang ojek yang berpenghasilan Rp600 ribu/bulan tidak tergolong miskin. Karena itu, tidak bisa mendapatkan kartu JPK Gakin. Sementara untuk berobat karena sakit tifus atau infeksi usus buntu di RS pemerintah di Jakarta bisa menghabiskan lebih dari Rp1 juta.

Yang menjadi pertanyaan, apakah si tukang ojek mampu bayar segitu? Untuk makan bergizi saja, ia dan keluarganya tidak cukup. Toh, orang seperti ini tidak tergolong miskin dan tidak ada jaminan.

Data menunjukkan bahwa kurang dari 5% pasien yang dirawat inap di RS pemerintah yang merupakan pemegang kartu JPK Gakin atau mendapat keringanan atau pembebasan biaya. Apa artinya ini? Bukan mereka memiliki kemampuan membayar (ability to pay), tetapi mereka terpaksa membayar alias forced to pay.

Apakah pantas pemerintah memaksa rakyatnya yang sakit, yang tidak bisa lagi narik ojek atau angkot atau bertani, membayar di RS yang dibangun atas uang rakyat? Apakah pemerintah tidak punya duit untuk membantu?

Sungguh mengherankan jika setiap tahun, pemerintah memberikan subsidi BBM paling tidak Rp30 triliun (bahkan tahun ini bisa menjadi Rp63 triliun), sementara untuk membayar semua tagihan rawat inap RS kelas III di seluruh Indonesia tidak akan menghabiskan lebih dari Rp15 triliun. Yang pasti, subsidi BBM lebih menggemukkan mereka yang berada. Pemerintah juga masih menerima cukai rokok sekitar Rp30 triliun.



Sekian kutipannya dr. Thabrany. Kembali ke opiniku. Masih berpikir mendirikan rumah sakit komersial dan klinik-klinik turunannya?

Selasa, 19 Oktober 2004

Mukaddimah

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Setelah memiliki blog pribadi di http://spaceodyssey.blogspot.com dan website dengan free hosting di http://www.asysyifaa.uni.cc, aku ingin mempunyai personal weblog yang memang benar-benar sesuai tujuan blog pada awalnya, yakni: semacam daily journal atau buku harian.