Sabtu, 20 November 2004

Rumitnya Jadi Dokter di Indonesia…

Dokter pelit bicara? Terlalu sibuk dan menerima pasien terlalu banyak?



Seorang dokter mengajak kita menggunakan teropong yang lebih jernih dengan perspektif yang lebih luas. Mari mulai dengan sekolah dokter saja dulu. Seorang profesional pada usia 31 tahun mungkin sudah jadi lawyer sukses, manager di posisi kunci, atau konsultan di international firm yang jam bicaranya dibayar sudah dalam hitungan ratusan dolar. Diperlukan waktu 6 hinnga 7 tahun untuk menamatkan sekolah dokter. Ditambah dengan wajib kerja sosial untuk dokter umum sebelum buka praktik sendiri.



Kalau dia mau melanjutkan ke spesialis, perlu biaya tingi dan mungkin akan selesai dalam waktu 4 sampai 6 tahun. Rata-rata waktu yang dibuang untuk ‘membeli’ ilmu spesialis adalah 12 tahun.



Berapa tarif bicara ketika ia lulus? Bergantung tempatnya praktik. Dokter umum paling-paling menetapkan Rp20.000 hingga Rp25.000, bahkan hanya Rp5.000 di klinik-klinik kecil di pinggiran kota atau kota kecil. Untuk spesialis, sekitar Rp40.000 hingga termahal Rp250.000 per pasien untuk suatu konsultasi yang memakan waktu bervariasi dari 5 menit hingga 1 jam bicara. Konon, ini adalah tarif termurah di Asia. Belum lagi bila Anda memilih jadi dokter spesialis tertentu yang membutuhkan waktu pemeriksaan relatif lama, mendalam, dan menghadapi penyakit berisiko tinggi seperti spesialis penyakit dalam, jantung, atau saraf. Tarifnya akan sama saja dengan spesialis lain yang bersifat lebih ‘enteng’ dalam hal risiko namun ‘basah’ dalam hal jumlah pasien yang membutuhkan seperti dokter spesialis kulit kosmetik. Dokter penyakit dalam, yang sekolahnya lebih lama, ilmunya lebih kompleks, serta memerlukan waktu lebih lama untuk memeriksa, akan sama saja dihargai dengan dokter spesialis kulit kosmetik atau dokter gigi spesialis yang mendapat honor dua sekaligus: konsultasi dan tindakan.



Pendek cerita, bila seorang dokter spesialis hendak menampung honor konsultasi yang memadai, dia harus banyak menerima konsultasi. Tidak mungkin ia praktik 24 jam sehari. “Menerima 6 sampai 7 pasien saja sudah lelah bukan main,” ujar seorang dokter spesialis penyakit dalam. Dapat dimaklumi bila ada oknum dokter yang seolah-olah dikejar setoran dan kemudian kehilangan kontak intim dengan pasiennya.



Namun, minimnya waktu untuk berkomunikasi bukan satu-satunya masalah. Mahalnya harga obat pun ditudingkan kepada dokter (konon 245% dari harga obat adalah untuk komisi dokter) dan harga obat di Indonesia dihitung tertinggi di Asia Tenggara. Namun, berapa pun mahalnya, konsumen tetap menebusnya. Sementara di sisi lain, proses panjang untuk mendapatkan profesi dokter jarang dimaklumi dan tarif mereka rentan kritikan.



Padahal, yang juga perlu dikritisi adalah regulasi yang membuat harga obat melangit. Jarang ada pihak yang menyadari mengapa sampai terjadi situasi yang keruh ini. “Regulasi pemerintah membiarkan perusahaan farmasi bebas memproduksi berbagai jenis obat membuat setiap perusahaan bersaing ketat untuk setiap brand. Usaha mereka tidak akan jalan tanpa usaha-usaha komisi kepada siapa lagi kalau bukan kepada dokter yang meresepkan obat,” tambah dokter di atas.



Sebab, beda dengan obat bebas (OTC), larangan beriklan bagi obat-obat yang diresepkan membuat para pemasar mengincar dokter sebagai media untuk memperkenalkan brand mereka. Untuk satu jenis antibiotik saja, jumlah brand yang beredar sampai belasan. Beda dengan regulasi di negara seperti Australia dan Belanda, misalnya, yang hanya memberikan izin kepada satu perusahaan (satu brand) untuk memproduksi satu jenis obat sehingga persaingan tidak sehat dengan memberi komisi kepada dokter tidak perlu terjadi.

Padahal, masalah klasik yang masih berlaku di masyarakat adalah tetap memiliki harapan tinggi terhadap profesi ini. Dokter diharapkan bisa menjadi guru, mitra, sekaligus pelindung konsumen dari penyakit dan berbagai risiko medis. Dokter adalah manusia biasa, bukan dewa, yang juga punya keterbatasan sebagaimana manusia lain. Mereka tidak kebal terhadap godaan-godaan untuk memenuhi harapan lingkungannya. “Apakah masyarakat bisa menerima bila dokter naik bus? Bisa-bisa mereka dikira tidak pintar sehingga tidak laku.”



Diketik ulang dari artikel dalam rubrik “Healthy Trend” Majalah HEALTHY LIFE edisi 5/III, Mei 2004, dengan ijin tertulis dari pihak redaksi majalah Healthy Life via e-mail.

Selasa, 02 November 2004

2010: The Odyssey Continues

Bagi yang pernah membuka blog-ku sebelumnya di http://spaceodyssey.blogspot.com (blog ini sudah tidak pernah di-update lagi sejak berbulan-bulan lalu), mungkin bisa menebak arah pembahasan judul di atas. Ini adalah kelanjutan atau sekuel dari film arahan Stanley Kubrick, “2001: A Space Odyssey”. Sebuah film klasik produksi MGM tahun 195.. Film yang sangat menakjubkan dalam pandanganku, karena aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, Amerika sudah mampu membuat film dengan teknologi seperti ini pada tahun lima puluhan. Sedikit menceritakan, film yang diangkat dari novel karya Arthur C. Clarke ini berkisah tentang perjalanan pesawat luar angkasa “Discovery” menuju planet Jupiter. Pengarang cerita ini membayangkan (waktu itu) pada tahun 2001, manusia sudah mampu menerbangkan pesawat berawak manusia ke planet Jupiter. Sedangkan kita tahu sendiri, saat ini untuk mendarat di Mars saja, NASA hanya mampu menurunkan robot dalam pesawat tanpa awak. Sedangkan pesawat tanpa awak “Voyager” yang diluncurkan 40-an tahun lalu, kalau tidak salah, sudah melewati Jupiter. Inilah impian manusia sejak puluhan tahun lalu.



Film “2001: A Space Odyssey” sudah mampu memperlihatkan efek spesial visualisasi tokoh utama cerita yang melakukan jogging dalam 360 derajat ruang gravitasi. Aku membayangkan tekniknya mungkin dibuat dengan ruang berputar seperti “roda sangkar tikus” (rat race). Hanya saja kameranya dibuat berputar mengikuti si tokoh. Bisa membayangkan, kan? Imajinasi-imajinasi fiksi ilmiah dalam film ini antara lain perjalanan ruang angkasa yang sudah dibuat komersial pada masa itu, stasiun ruang angkasa yang menjadi pemberhentian sementara para penumpang yang sedang mengadakan perjalanan antar planet, komunikasi antar planet melalui telepon dan layar monitor yang memvisualisasikan orang-orang yang bercakap-cakap, dan last but not least: artificial intelligence.



Tokoh utama dalam cerita fiksi ini memang bukan sekedar sang awak yang salah satunya bernama David Bowman, diperankan oleh Keir Dullea, yang akhirnya diceritakan menghilang dalam perjalanan dengan kata-kata terakhirnya: “My God, it’s full of stars”. Tapi juga superkomputer dengan kecerdasan buatan yang mengendalikan seluruh sistem dan perjalanan “Discovery”, bernama: HAL-9000. O iya, sebelum lupa, karena perjalanan dari bumi menuju Jupiter yang memakan waktu dua tahunan, dan keterbatasan cadangan energi dan oksigen dalam pesawat, maka seluruh awaknya dibuat mengalami hibernasi, dan akan dibangunkan oleh HAL-9000 saat sudah mendekati Jupiter. Tokoh utama adalah dua orang yang dibangunkan terlebih dahulu. Sedangkan tiga awak lainnya mengalami pemutusan sistem kehidupan oleh HAL-9000 saat mereka dalam hibernasi. Satu hal menarik lagi dalam cerita ini: Arthur C. Clarke membayangkan suatu saat ini akan ditemukan teknologi untuk membuat makhluk hidup seperti manusia mengalami hibernasi buatan. Yakni dengan menekan serendah-rendahnya seluruh metabolisme, namun seluruh sistem vital tubuh masih dalam kendali.



HAL-9000 menjadi tokoh cerita yang sangat penting, karena artificial intelligence-nya digambarkan memiliki perasaan juga. Akhirnya HAL jugalah yang membunuh hampir seluruh awak manusia.



Film ini masuk dalam posisi teratas top ten film science fiction yang digemari oleh para ilmuwan, dalam sebuah polling di Inggris tahun ini. Posisi kedua adalah film Blade Runner yang dibintangi Harrison Ford (aku belum pernah menontonnya).



Nah, itu tadi “2001: A Space Odyssey”. Sedangkan “2010: The Odyssey Continues”, atau yang ada yang menuliskan juga “2010: The Year We Make Contact”, dibuat beberapa dekade sesudahnya, yakni pada tahun 1984. Film ini menceritakan perjalanan pesawat Rusia (di film ini masih disebut Uni Soviet, karena mereka belum membayangkan USSR akan pecah pada tahun 1991, dan tidak lagi menjadi negara adidaya menyamai USA) “Leonov” yang membawa tiga awak astronot: si pemimpin program perjalanan Discovery sembilan tahun sebelumnya, pencipta HAL-9000, dan seorang teknisi yang memahami seluk beluk Discovery yang digambarkan hilang dalam lintasan dekat Jupiter pada tahun 2001.



Misi pasukan ini adalah menemukan Discovery, mengaktifkan kembali HAL-9000 yang sempat dimatikan oleh astronot David Bowman pada perjalanan tahun 2001, dan mencari tahu sebab-sebab kejanggalan yang terjadi. O iya, satu faktor cerita yang masih menghubungkan dua sekuel ini adalah sebuah materi menyerupai batu hitam bernama monolith. Mengenai hal ini, aku tidak bercerita lebih dalam.



Pada akhirnya. Penonton bisa menyimpulkan sisi-sisi perasaan yang dimiliki artificial intelligence bisa sangat menyerupai manusia. Ketika akan dimatikan fungsi dan sistemnya, HAL dan SAL (satu komputer lagi yang dimiliki Dr. Chandra, pembuat HAL-9000, di ruang kantornya), bisa mengajukan pertanyaan, “Dr. Chandra, will I dream?”.



Inilah satu impian manusia yang masih terus dikembangkan hingga saat ini, yakni menciptakan kecerdasan buatan yang bisa menyamai pikiran manusia, lengkap dengan respon dan perasaannya. Dalam film buatan tahun 2001, lagi-lagi diinspirasikan oleh mendiang Stanley Kubrick sang sutradara Space Odyssey yang keburu meninggal, Steven Spielberg menyutradarai “AI: Artificial Intelligence”. Film yang menceritakan masa depan saat manusia mampu menciptakan robot-robot dengan kecerdasan buatan, bahkan memiliki bentuk fisik dan perasaan yang sangat mirip dengan manusia. Tokoh utamanya Haley Joel Osment yang terkenal pada awalnya melalui “The Sixth Sense”, adalah robot berwujud anak berumur 6-7 tahun, tinggal dalam sebuah keluarga pasangan yang telah kehilangan anak laki-laki satunya. Film ini akhirnya menyimpulkan “his love is real, but he is not”. Dan jika berbicara mengenai robot, aku juga teringat dengan film “The Animatrix”, yang menceritakan di masa depan bumi akan diisi oleh robot-robot berdampingan dengan manusia.

Tidak habis-habisnya memang membicarakan kecerdasan buatan. Dan jika Anda mengunjungi situs AI, di http://www.aimovie.com, pengunjung akan menikmati chatting dengan chatbot yang menggunakan artificial intelligence language yang sudah bisa dikembangkan saat ini, yaitu ALICE.

Kamis, 28 Oktober 2004

Nano teknologi: Teknologi Terkini Menyambut Masa Depan

Inilah judul buku yang aku beli seminggu yang lalu. Teknologi nano atau nanotechnology memang telah menarik perhatianku sejak lama. Awalnya aku pernah membaca sekilas artikel mengenai hal ini dalam majalah Scientific American edisi spesial tahun 2001, kalau tidak salah. Michael Crichton juga mendasari teknologi ini sebagai cerita utama dalam novel terbarunya Prey, yang belum sempat aku baca.



Aku memang memiliki ketertarikan khusus terhadap fisika, dan teknologi yang berkaitan dengannya. Ada beberapa buku yang menjadi koleksi perpustakaanku, seperti tiga buku karangan Stephen Hawking, buku-buku mengenai relativitas, teori kuantum, Chaos Theory (salah satu yang mendasari ide Jurassic Park, selain masalah DNA), sampai astronomi.



Dalam satuan, satu nano sama dengan sepuluh pangkat minus sembilan. Satu nanometer sama dengan sepersatu milyar meter, dan satu nanodetik sama dengan sepersatu milyar detik.



Nanotechnology adalah teknologi yang mengembangkan dan memanfaatkan semua yang berhasil dipelajari dalam nanoscience. Ilmu nano ini mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan materi berukuran 0,1 nm sampai 100 nm.



Lalu apa kelebihan nano teknlogi ini? Well, tanpa perlu menjelaskan panjang lebar mengenai definisi atom, molekul, susunan dan strukturnya, juga bagaimana teknologi mampu membaca serta memanipulasi susunan materi super kecil ini (hey, ini bukan resensi buku lho. Find the basic science yourself, from the articles, books, or the internet!), komputer yang bisa dibuat berdasarkan teknologi ini memiliki ukuran sangat kecil, dengan menggunakan molekul-molekul DNA dan enzim-enzimnya dalam satu tetes air saja sebagai sarana input, output, software, dan hardware. Coba cari informasi mengenai hal ini menggunakan keyword “the smallest biological computing device” di Google, jika Anda sedang online. Komputer ini juga memiliki kecepatan 100 ribu kali lebih cepat dari komputer konvensional tercanggih saat ini.



Dengan nanotechnology: mampu diciptakan pakaian yang dapat menolak molekul pengotor pakaian; bisa mengubah grafit menjadi berlian; dapat terbang tanpa menggunakan alat bantuan (karena terdapat atom-atom kasat mata yang menopang tubuh, dan bisa dikendalikan sesuai keinginan kita); hologram di mana-mana; penyakit disembuhkan dengan mengirimkan robot nano ke dalam jaringan tubuh dan mencari sumber penyakit, untuk menghancurkannya; kulit senantiasa awet muda karena molekul-molekul kulit senantiasa diatur ulang (rearranged); kursi yang diduduki secara otomatis menyesuaikan bentuk tubuh kita; bisa berjalan-jalan ke planet-planet lain, dan lain-lain, dan lain-dan lain.



Kuncinya adalah karena teknologi mampu memanipulasi atom dan molekul.

And the father of nanotechnology is Richard Feynman, yang salah satu bukunya “Cerdas Jenaka Cara Nobelis Fisika” menjadi salah satu koleksiku juga.

Senin, 25 Oktober 2004

Succes Seminar: The MLM’s Rifle

Sabtu siang kemarin, seorang kawan mengajak pergi ke sebuah gedung di bilangan Thamrin untuk mengikuti acara yang bertajuk ‘Succes Seminar’. Beberapa waktu sebelumnya ia hanya mengatakan bahwa acara ini bagus, dan tiketnya tidak begitu mahal menurut penilaianku. Aku mencoba menebak kira-kira seminar ini macam apa.



Ternyata dugaanku tepat. Sebuah perusahaan MLM yang perkembangannya cukup pesat dan luas di Indonesia, dan katanya masuk dalam ‘Top Five’, penyelenggara acara ini. Ini adalah bagian dari program dua bulanan mereka bagi para pesertanya, dan khususnya ditujukan untuk menarik minat calon anggota baru, yang diharapkan bisa mereka rekrut.



Teknis pelaksanaan acaranya cukup menarik, menurutku. Ruangan yang disewa untuk pelaksanaan acara ini sudah dilengkapi dengan tata cahaya layaknya konser musik besar. Sound effect-nya pun sangat mendukung. Dua layar besar ditempatkan di sisi kiri-kanan panggung, untuk membantu visualisasi penonton yang duduk di deretan kursi atas.



Acara ini menampilkan pembicara utama seorang pria berusia 29 tahun yang menduduki salah satu posisi tertinggi dalam perusahaan. Di akhir acara, peserta yang hadir akan mendapatkan informasi yang sama, bahwa pria ini mendapatkan segala kekayaan materi yang ia inginkan, waktu luang untuk keluarganya, dan kesempatan mengunjungi banyak negara, dengan mengikuti bisnis jaringan ini.



Aku cukup tertarik dengan penataan acara dan tata panggungnya. Di deretan kursi bawah yang langsung menghadap ke panggung utama, undangan khusus untuk peserta MLM yang sudah menduduki posisi ‘bintang’ ke sekian. Deretan terdepan adalah para pemimpin bisnis jaringan ini. Dan seluruh peserta acara ini dibuat mengelu-elukan para pimpinan, yang telah menyukseskan hidup mereka. Ya, inilah bisnis jaringan, dengan adanya upline dan downline, keberhasilan materi melalui perusahaan sangat ditentukan oleh jaringan yang terbentuk. Dan umumnya, setiap peserta yang ingin mencapai posisi tertentu di perusahaan, harus membentuk jaringan solid di bawahnya. Hingga pada akhirnya nanti, seorang yang telah mencapai posisi yang diinginkannya, akan merasa berterima kasih kepada atasan yang telah membesarkannya.



Seluruh pembicara yang maju ke depan mendapat iringan musik yang tertata baik. Mereka pun menunjukkan gaya berjoget seenaknya. Seolah-olah mereka sangat menikmati penampilan mereka maju ke depan. Dari lagu-lagu yang aku kenali, bervariasi mulai dari house music, lagu-lagunya Bon Jovi, Avril Lavigne, Queen, dan Bobby Brown. Visualisasi dalam layar LCD raksasanya pun cukup baik. Setidaknya mereka pasti menguasai Adobe Premiere atau sejenisnya.



Inilah pengalaman pertamaku menghadiri acara semacam ini. Cukup memberikan wawasan baru untukku. Aku juga menyaksikan banyaknya ikhwan-akhwat yang hadir dalam acara ini. Menunjukkan banyak ikhwah yang mengikuti bisnis jaringan ini. Aku membayangkan, sepuluh tahun lalu, belum ada kondisi seperti ini. Ikhwan-akhwat bercampur dalam satu ruangan, bertepuk tangan mengiringi musik dan para ‘pemimpin’ perusahaan, dan hal-hal lain yang pastinya jauh berbeda dari komunitas da’wah mereka sehari-hari. Ada seorang akhwat yang maju ke depan dan menyatakan, ia telah melakukan sekian puluh kali presentasi dalam tiga bulan berturut-turut, untuk mengembangkan bisnis ini. Dan tentunya akan membesarkan ma’isyah-nya pula.



Aku pun teringat pada adik-adik kelasku yang sedang semangat-semangatnya menjalankan bisnis jaringan lain. Beberapa bulan lalu, saat mereka baru mengenal bisnis jaringan, hampir tiada hari tanpa presentasi dan mencoba merekrut sebanyak mungkin orang lain, dari berbagai kalangan, tidak hanya mahasiswa saja. Setiap peluang acara yang bisa meningkatkan keterampilan bisnis pun akan mereka ikuti, walau lokasinya tidak dekat. Karena banyak di antara mereka aktivis masjid, maka Masjid ARH pun menjadi satu tempat yang sering digunakan untuk mengajak calon-calon peserta baru.



Aku merenung, seandainya da’wah fardiyah berjalan dengan cara seperti ini. Mungkin akan banyak kader baru yang terekrut dalam waktu singkat. Tapi memang yang dijanjikan lain. Hanya saja seorang kader harus mampu membedakan kapan harus menarik orang untuk mengetahui kebesaran agama ini, dan kapan mencukupi nafkah diri dan keluarganya.

Memang kuakui, bisnis jaringan ini sangat menarik. Da’wah butuh ditunjang oleh orang-orang yang mandiri secara ekonomi. Dan kebutuhan akan hal ini sangat besar. Menyambung tulisanku yang terdahulu, dokter pun butuh sumber penghasilan lain dari profesinya. Dan mungkin bisnis macam ini bisa menjadi salah satunya.

Kamis, 21 Oktober 2004

Kesehatan Milik Semua Orang!

Saat ini aku memiliki pandangan, profesi dokter adalah pengabdian, bukan lahan mencari uang. Jika ingin mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, ya melalui bisnis. Dokter yang bekerja keras mencari uang sebanyak-banyaknya—menurutku—akan sulit sekali menjaga idealismenya untuk menangani pasien sebaik-baiknya secara optimal, misalnya tidak apa-apa mendapatkan jumlah pasien yang sedikit dalam setiap kali praktik—karena membutuhkan waktu ideal untuk memeriksa setiap pasien—asalkan pasien puas dan dapat tertangani dengan baik.



Dari yang aku pahami dari Robert T. Kiyosaki pun, tetap jalankan profesi, dan lakukan pula bisnis. Sayangnya kemampuan bisnis ini tidak dimiliki semua orang, salah satunya profesi dokter.



Ketika aku menanyakan kepada seorang kawan: kira-kira bisnis apa yang cocok saya jalankan? Saat itu aku berpikir untuk mencari peluang bisnis (non profesi tentunya), selain berpraktik sebagai dokter. Jawaban yang aku dapat lebih dari seorang kurang lebih sama: membuat Rumah Sakit, atau Klinik 24 Jam. Jadi kita berbisnis dari lahan-lahan ini.



Dalam sebuah artikel yang aku anggap cukup menarik di Media Indonesia Rabu 20 Oktober 2004 kemarin, dr. Hasbullah Thabrany dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI menerangkan bahwa negara Eropa Barat seperti Inggris menjaminkan biaya kesehatan ke dalam anggaran negaranya. Jadi penduduknya mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Biaya ini dibebankan ke dalam pajak penduduknya yang tinggi. Ia juga memberikan contoh negara berkembang, bahkan miskin, yang memberikan pelayanan kesehatan gratis adalah Sri Lanka. Thailand dan Malaysia membebankan biaya pelayanan kesehatan yang sangat murah kepada warganya. Sedangkan yang kita lihat di Indonesia: kesehatan menjadi lahan bisnis. Sebuah negara dengan penduduk yang kebanyakan miskin. Ironis memang.



Padahal investasi kesehatan yang memang mahal di awalnya adalah sebuah investasi jangka panjang, Tidak langsung dinikmati begitu saja hasilnya.



Lebih lanjutnya, aku kutipkan saja beberapa potongan kalimat dalam artikel tulisan dr. Thabrany:



Secara ekonomis perhitungan kebijakan publik model Inggris tersebut sungguh sederhana. Jeffry Sach, ekonom kaliber dunia dari Universitas Harvard, telah melakukan penelitian di berbagai negara, menyimpulkan bahwa investasi kesehatan berupa penjaminan kesehatan seperti di atas, menghasilkan keuntungan ekonomis 600%.

Keuntungan ekonomis ini diukur dengan peningkatan produktivitas penduduk, berkurangnya hari sakit, dan tercegahnya kematian dini. Dengan temuan itu, WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) mendorong agar seluruh negara miskin meningkatkan pendanaan kesehatannya, paling sedikit US$34/kapita/tahun. Sementara Indonesia (gabungan penduduk dan pemerintah), saat ini hanya mengeluarkan sekitar US$20/kapita/tahun.

WHO, sesungguhnya mengatakan, ''Hei pemerintah di negara miskin dan berkembang, mendanai pelayanan kesehatan rakyat sesungguhnya investasi jangka panjang.'' Sama dengan membangun jalan tol, keuntungan baru bisa dinikmati 10-20 tahun kemudian. Jangan lihat pendanaan kesehatan rakyat sebagai belas kasih belaka!



Belum pro publik

Suka atau tidak suka, harus diakui, banyak kebijakan publik di Indonesia belum pro publik atau rakyat. Jangan heran kalau banyak kebijakan, lebih berfokus pada kepentingan jangka pendek pengelola/pemerintah.

Dalam bidang kesehatan misalnya, banyak pemerintah daerah (pemda) melihat RS sebagai alat prestise pemegang kekuasaan, dan sebagai pelayanan yang mudah mendapatkan uang.

Tentu saja, karena untuk pelayanan rumah sakit, tidak ada yang pernah menawar atau menunda 'pembelian', dengan tanda kutip. Di Indonesia memang pelayanan kesehatan 'diperdagangkan' bahkan oleh RS pemerintah.

Secara konseptual, sangatlah aneh sebuah rumah sakit yang dibangun dari dana publik, tetapi ketika rakyat sakit dan tidak mampu, mereka harus bayar dulu. Bahkan tidak jarang bila tak ada uang, pelayanan tak diberikan hingga nyawa lewat.

Di DKI Jakarta bahkan beberapa rumah sakit daerah yang bernilai ratusan miliar, dibangun atas dana publik, kini dijadikan PT (perseroan terbatas). Sebagai sebuah PT, tentu tujuannya mencari untung. Meskipun kelak keuntungan itu kembali ke kas daerah. Tetapi, untuk mendapatkan untung, pengelola harus menarik biaya lebih mahal dari investasinya. La..., investasinya uang rakyat, kini RS tersebut mau cari untung dari yang memiliki uang!

Jika saja Pemda kemudian membayar semua tagihan RS kepada rakyat yang berobat, tidak hanya mereka yang miskin, karena yang tidak miskin bisa jadi miskin akibat harus membayar biaya berobat. Maka hal itu tidak ada masalah. Tetapi, kebijakan transformasi RS tersebut dilakukan sebelum ada sistem penjaminan bagi seluruh rakyat.

Tentu ada yang berargumen bahwa pemerintah sudah menyelenggarakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) yang didanai dari dana kompensasi subsidi BBM. Akan, tetapi program JPK Gakin masih jauh dari memadai.

Jumlah yang dijamin dan programnya belum menjadi program tetap, sangat bergantung dari kemauan pemerintah membagi-bagi dana kompensasi subsidi BBM. Pemda DKI memang sudah lebih maju, menyediakan dana JPK Gakin cukup memadai dari APBD; tetapi toh belum ada jaminan bahwa program itu terus berlanjut.

Program bantuan jaminan bagi orang miskin saja belum mencukupi, karena kebutuhan kesehatan sangat tidak pasti. Yang tidak miskin, banyak sekali yang tidak mampu membiayai perawatan dan pengobatan yang dibutuhkannya. Bahkan sesungguhnya lebih dari 90% penduduk Indonesia terancam jadi miskin jika menderita sakit berat.

Data-data laporan maupun survei menunjukkan, memang lebih dari 90% bantuan JPK Gakin sampai pada orang tepat, alias miskin. Sesungguhnya tidak sulit mencari orang miskin di Indonesia, sebab jika kriteria miskin yang digunakan adalah pendapatan US$2 per hari, standar untuk negara berkembang yang digunakan Bank Dunia, maka lebih dari 60% penduduk Indonesia tergolong miskin.

Sementara ukuran miskin yang kita gunakan adalah miskin untuk makan, bukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan (medically poor). Tukang ojek yang berpenghasilan Rp600 ribu/bulan tidak tergolong miskin. Karena itu, tidak bisa mendapatkan kartu JPK Gakin. Sementara untuk berobat karena sakit tifus atau infeksi usus buntu di RS pemerintah di Jakarta bisa menghabiskan lebih dari Rp1 juta.

Yang menjadi pertanyaan, apakah si tukang ojek mampu bayar segitu? Untuk makan bergizi saja, ia dan keluarganya tidak cukup. Toh, orang seperti ini tidak tergolong miskin dan tidak ada jaminan.

Data menunjukkan bahwa kurang dari 5% pasien yang dirawat inap di RS pemerintah yang merupakan pemegang kartu JPK Gakin atau mendapat keringanan atau pembebasan biaya. Apa artinya ini? Bukan mereka memiliki kemampuan membayar (ability to pay), tetapi mereka terpaksa membayar alias forced to pay.

Apakah pantas pemerintah memaksa rakyatnya yang sakit, yang tidak bisa lagi narik ojek atau angkot atau bertani, membayar di RS yang dibangun atas uang rakyat? Apakah pemerintah tidak punya duit untuk membantu?

Sungguh mengherankan jika setiap tahun, pemerintah memberikan subsidi BBM paling tidak Rp30 triliun (bahkan tahun ini bisa menjadi Rp63 triliun), sementara untuk membayar semua tagihan rawat inap RS kelas III di seluruh Indonesia tidak akan menghabiskan lebih dari Rp15 triliun. Yang pasti, subsidi BBM lebih menggemukkan mereka yang berada. Pemerintah juga masih menerima cukai rokok sekitar Rp30 triliun.



Sekian kutipannya dr. Thabrany. Kembali ke opiniku. Masih berpikir mendirikan rumah sakit komersial dan klinik-klinik turunannya?

Selasa, 19 Oktober 2004

Mukaddimah

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Setelah memiliki blog pribadi di http://spaceodyssey.blogspot.com dan website dengan free hosting di http://www.asysyifaa.uni.cc, aku ingin mempunyai personal weblog yang memang benar-benar sesuai tujuan blog pada awalnya, yakni: semacam daily journal atau buku harian.