Senin, 30 Mei 2011

Suster Apung - Super Nurse


Dan memang seperti inilah jiwa seorang perawat....

Mengapa Saya Gagal Melakukan EKG..???


Sepertinya tiada hari tanpa melakukan EKG (Elektro Kardio Grafi – Electro Cardi Graph ) atau biasanya sih kita lebih suka
menyebutnya Rekam Jantung, lebih Indonesia kan, dan lebih dimengerti dan dipahami. Di Blog saya ini, saya tidak akan menjelaskan tentang asal muasal EKG atupun pendalaman ilmu apa itu EKG, anda tinggal googling maka akan begitu banyak artikel yang menceritakan itu semua, baik itu karya pribadi atau yang model copas sana-sini, okelah gak papa ilmu bermanfaat
itu harus dibagi-bagi. Saya juga tidak akan mengajari cara membaca EKG, selain saya bukan ahlinya, saya rasa belajar memahami EKG hanya dengan me
mbaca tanpa melihat langsung akan lebih sulit (menurut saya sih…). Lalu apa yang akan saya tulis? Saya akan bercerita hal-hal apa saja sih yang sering membuat Hasil EKG kita berantakan alias tidak berhasil melakukan, akibatnya berantakan deh hasilnya, gak bisa dibaca.. Cetek sekali ya..??? he..he.. tak apalah.. biasanya dengan bahasan yang ringan begi
ni akan lebih membuat penasaran (Ngeles banget…)
Hal yang paling mendasari kenapa saya menulis ini adalah saya terkadang melihat masih banyak oknum-okn
um tertentu yang masih asal dalam melakukan EKG, sehingga hasilnya menjadi berantakan, salah, tidak bisa dibaca dan miss interpretasi. Sebelum memulai EKG, mari kita cek terlebih dahulu alat dan perlengkapan EKG yang akan kita gunakan, pertama cek dulu benarkah itu alat untuk EKG (He..he.. masak iya ketuker), cek dah, colok ke listrik atau belum? Itung jumlah kabelnya harusnya sih ada 10, cek elektrodanya (Empat elektroda ekstremitas dan 6 elektroda hisap untuk dada).
Apa saja sih hal-hal teknis yang sering membuat hasil EKG berantakan??? Saya coba me list beberapa nih, kadang penanganannya mudah kadang sulit juga.
  1. Salah Pasang Elektoda Ekstremitas.
Ini nih yang pertama yang harus di cek sebelum melakukan EKG, Elektroda Ekstre
mitas adalah berupa penjepit kaki dan tangan yang di bagian dalam terdapat lempeng logam. Terdiri dari empat buah elektroda, bia
sanya berwarna Merah, Kuning, Hijau dan Hitam.
Selama ini sih standar semua alat sama, Warna merah hingga hitam dipasang secara berurutan searah jarum jam dimulai dari tangan kanan. Nah, pastikan Warna merah dijepit di pergelangan lengan kanan, dengan lempeng log
am terletak dibagian dalam atau bagian arteri radialis atau bagian biasa kita meraba nadi (ah.. kurasa anda mengerti maksud saya kan?), kemudian warna kuning di Pergelangan tangan Kiri dengan cara yang sama, nah warna hijau dijepitkan di kaki (atas mata kaki sedikit) sebelah kiri dengan logam juga di bagian dalam, dan hitam di bagian kaki sebelah kanan dengan aturan yang sama. Belum berakhir teman, colokkan kabel yang tersedia sesuai warna (tinggal dicocokin aja warnanya…), biasany
a sih kabelnya sudah dipisah digabung empat buah dan lebih panjang kabelnya.. gampang kan…
2. Salah Pasang Elektroda Hisap
Kadang geregetan liat adek-adek mahasiswa asal ceplok-ceplok aja memasang elektroda hisap di dada, pake ilmu kirologi murni.. he..he.. semoga anda tidak deh… elektroda hisap untuk dada ada 6 buah, warnanya jika di pasang secara urut begini: Merah – Kuning – Hijau – Coklat – Hitam – Ungu. Nah kesalahan
apa yang sering terjadi??? Keseringan nih, langsung ditempel aja merah di kanan terus kuning sampai hitam ditempel sejajar di kiri, padahal itu salah. Sebagai perawat professional, apabila kita belum professional ada bagusnya kita menerapkan ilmu semasa kuliah, nah semasa kuliah dulu saya diajarin sebelum memasang elektroda hisap ini kita main raba-raba untuk menentukan titik yang jelas. Warna Merah diletakkan di kanan sela iga ke empat, jadi caranya raba dengan jari hitung dari atas dimulai sela pertama, diurut hingga ketemu sela ke empat, kemudian ceplok deh, untuk warna kuning, di seberangnya yaitu di dada kiri dengan posisi yang sama. Nah yang berikutnya nih yang sering dikerjakan asal-asalan oleh oknum-oknum tertentu. Bagusnya pasang dulu elektroda ke Empat yang berwarna coklat di sela kelima bagian kiri, nah letak pastinya kita bagi dua dada kiri, diurut dari atas, nah pas ketemu sela kelima ceplokin aja disitu. Nah untuk elektroda ketiga yang berwarna hijau di ceplokin antara elektroda kedua dan keempat, jadi harusnya posisinya pas banget diatas tulang iga kelima. Untuk elektroda berwarna hitam atau yang kelima tetap di sela iga kelima namun digeser kearah ketiak, nah yang keenam atau yang berwarna ungu pas di pertengahan ketiak kiri, jadi letak yang sejajar mengikuti sela iga kelima adalah yang berwarna Coklat – Hitam – Ungu… he..he.. anda mengerti maksud saya kan…??

3. Elektroda tidak bersih
Elektroda yang terlapisi sesuatu mengakibatkan terhalangnya aliran listrik, jadi pastikan kebersihan lempeng logam dengan mengusapnya dengan alcohol terlebih dahulu, agar logam tidak tertutup atau terlapisi kotoran

4. Elektroda tidak menempel sempurna
Dalam hal ini penggunaan Jelly sangat dianjurkan, karena akan mengantar listrik lebih sempurna, juga akan mempermudah elektroda sedot menempel dengan sempurna. Pastikan juga bahwa ketika pemasangan elektroda di dada bukan diatas rambut-rambut dada, karena akan mempengaruhi hasil yang sebenarnya, jadi bila berambut, cukur dulu… pastikan semua elektroda menempel dengan sempurna sebelum dijalankan mesin EKG nya

5. Kontak dengan logam dan Radiasi
Sudahkah anda meminta pasien untuk menanggalkan perhiasan logam baik itu kalung, cincin, anting, jam tangan, ikat pinggang bahkan Handphone? Jika belum maka wajarlah hasil EKG anda berantakkan, karena adanya logam dan radiasi tertentu akan mengganggu aliran listrik dalam pemeriksaan jantung ini. Masih belum berhasil juga??? Anda terlupa bahwa pasien mengantongi uang koin logam. Masih belum berhasil juga?? Lihat tangan pasien memegang list logam ranjang, eh kakinya juga nempel dengan list ranjang, dan ternyata suami pasien juga memegangi pasien… he..he.. wajar aja gagal.

6. Pasien Gelisah
Cetlik..!!! gerak dikit aja EKG jadi seperti lagu anak-anak Naik-Naik Ke Puncak Gunung, jadi usahakan pasien dalam kondisi tenang. Lalu bagaimana misa pasien gelisah dan tak sadarkan diri? Baiknya diskusikan dengan dokter untuk pemberian obat penenang jika dianjurkan.
7. Trouble alat
Semua benar kok masih gagal? He..he.. coba cek lagi, jangan-jangan bukan alat EKG yang dipakai, jangan-jangan stop kontak belum dicolokin, jangan-jangan kertasnya habis atau terbalik memasangnya. Semua benar kok masih belum jalan juga…??? Nah kalau ini tergantung amal… (Piss…)

Minggu, 29 Mei 2011

Rekam Medis Rawat Jalan

Isi Rekam Kesehatan untuk Rawat Jalan
Isi rekam kesehatan selain untuk rawat inap sebagaimana tersebut di atas, juga digunakan untuk kepentingan rawat jalan. Informasi dasar dalam rekam medis rawat jalan di sarana pelayanan Kesehatan (rumah sakit) setidaknya meliputi :
  • Identitas demografi pasien.
  • Daftar masalah (problem list) yang meringkas seluruh masalah medis dan pembedahan yang dalam jangka panjang berdampak klinis secara bermakna.
  • Daftar medikasi memuat informasi jenis medikasi yang sedang dijalani pasien.
  • Informasi tentang kondisi pasien sekarang dan lampau.
  • Riwayat medis tentang temuan tenaga kesehatan atas status kesehatan pasien.
  • Laporan pemeriksaan fisik berisi hasil temuan tenaga kesehatan saat melakukan pemeriksaan terhadap pasien.
  • Data imunisasi dan laporan tentang vaksinasi pasien.
  • Catatan perkembangan yang memberikan ringkasan secara kronologis tentang kondisi sakit pasien dan pengobatan yang diberikan.
  • Perintah dokter yang mencatat instruksi dokter terhadap pihak lain yang juga sama sama merawat pasien.
Disamping isi rekam medis untuk rawat jalan tersebut di atas, juga ada beberapa informasi yang disarankan yaitu :
  • Informasi tindak lanjut dari tenaga kesehatan kepada pasien.
  • Lembaran lanjutan yang dapat digunakan untuk mencatat setiap kunjungan.
  • Catatan tentang pembatalan penjanjian oleh pasien.
  • Catatan yang membahas tentang kontak telepon antara tenaga pelayanan kesehatan dan pasien.

Sabtu, 28 Mei 2011

Riwayat Medis Yang Lalu

Riwayat Medis Masa Lalu
Berisi ringkasan latar belakang penyakit terdahulu yang perlu diketahui dokter dan cendrung dijawab oleh pasien secara subjektif meliputi komponen :
  • Keluhan Utama : Gambaran subjektif yang mempertegas alasan diperlukannya pengobatan medis.
  • Penyakit saat ini : Gambaran subjektif tentang penyakit pasien.
  • Riwayat sakit terdahulu : Gambaran subjektif tentang penyakit sebelumnya.
  • Data sosial dan riwayat pribadi : Gambaran subjektif tentang pekerjaan, status pernikahan, kebiasaa, cara dan gaya hidup.
  • Riwayat sakit keluarga : Gambaran subjektif tentang penyakit yang pernah diderita di antara anggota keluarga terdekat.
  • Telaah sistem tubuh : Gambaran subjektif tentang gejala lain atau penyakit yang terdapat pada sistem tubuh.
Pemeriksaan Fisik
Sesudah pasien memberikan masukan yang bersifat subjektif tentang riwayat medisnya, dokter akan memeriksa keadaan fisik pasien secara objektif. Informasi pemeriksaan fisik yang objektif ini harus tersedia dala rekam kesehatan / medis pasien dalam waktu 24 jam sejak pasien terdaftar sebagai pasien masuk, tanpa informasi ini pembedahan tidak dapat terlaksana. Bila dalam 30 hari sesudah pasien pulang ternyata pasien kembali masuk rawat inap dengan kondisi yang sama, pada instansi pelayanan kesehatan yang sama maka dokter yang menerima cukup memberikan catatan interval dalam rekam medis pasien sebagai pengganti catatan tentang riwayat dan pemeriksaan fisik pasien. Dengan demikian pasien tidak dianggap sebagai pasien awal.
Catatan interval tersebut di atas berisi informasi tentang keluhan pasien dan hal hal lain yang memperngaruhi kesehatan sekrang maupun tentang temuan pemeriksaan baru. namun bila perawatan ulang yang terjadi dalam 30 hari tersebut diakibatkan oleh kondisi yang berbeda dengan rawatan terakhir, maka riwayat dan laporan pemeriksaan fisik yang lengkap harus segera dibuat. Berarti tidak menggunakan catatan riwayat interval.

Kamis, 26 Mei 2011

Sebuah refleksi tentang tujuan pembelajaran ilmu kedokteran :)

tiba2 dapet sms dari seorang adik kelas, ia bertanya tentang tujuan ilmu kedokteran.
ingin rasanya langsung dijawab, tapi rasanya tak puas dengan balasan sms yang terbatas karakter. ingin rasanya berdiskusi, tapi terbatas ruang dan waktu. ingin rasanya menelepon juga, tapi rasanya terbatas oleh pulsa :p

karena itu tulisan ini hadir sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan tadi :)

Berbicara tentang tujuan ilmu kedokteran berarti berbicara tentang beberapa hal.

Berbicara tentang tujuan ilmu kedokteran berarti berbicara tentang perlindungan agama, hifdh ad ddin, dalam kaitan nya dengan kesehatan fisik maupun mental. Perlindungan agama intinya adalah ibadah dalam arti luas, bahwa setiap usaha manusia adalah sebuah bentuk ibadah. Pengobatan medis mempunyai sumbangan langsung kepada ibadah dengan melindungi dan mempromosikan kesehatan yang baik, sehingga para pemeluk agama akan mempunyai kekuatan fisik dan mental untuk menanggung tanggung jawab ibadah. Seorang yang sakit atau tubuhnya lemah tetap bisa melaksanakannya dengan baik. Kesehatan mental yang seimbang diperlukan untuk memahami akidah dan menghindari ajaran-ajaran yang melanggar akidah karena akidah adalah dasar agama.

Berbicara tentang tujuan ilmu kedokteran berarti berbicara tentang perlindungan kehidupan, hifdh al nafs, tujuan primer kedokteran. Ilmu kedokteran tidak bisa menghindari atau menunda kematian karena hal-hal seperti itu berada di tangan Allah sendiri. Pengobatan hanya mencoba untuk mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi sampai waktu kematian yang ditentukan datang. Dunia kedokteran ikut menyumbang pemeliharan dan kelanjutan hidup dengan memastikan bahwa fungsi-fungsi fisiologis dipertahankan dengan baik. Juga melepaskan tekanan patofisiologi dengan pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi.

Berbicara tentang tujuan ilmu kedokteran berarti berbicara tentang perlindungan keturunan, hifdh al nasl. Ilmu kedokteran menyokong pemenuhan fungsi ini dengan memastikan bahwa anak-anak dirawat dengan baik sehingga mereka tumbuh menjadi seorang dewasa yang dapat memelihara anak. Ilmu kedokteran juga memberi perhatian kepada pengobatan laki-laki dan wanita untuk memastikan reproduksi yang berhasil. Juga pada perawatan wanita hamil, pengobatan perinatal, dan pengobatan anak-anak untuk memastikan bahwa anak-anak dilahirkan dan tumbuh secara sehat.

Berbicara tentang tujuan ilmu kedokteran berarti berbicara tentang perlindungan pikiran, hifdh al ’aql. Pengobatan medis memainkan peran yang sangat penting dalam perlindungan pikiran. Pengobatan penyakit-penyakit fisik akan menghilangkan tekanan mental. Pengobatan neurosis dan psikosis mengembalikan fungsi emosi dan intelektualnya. Pengobatan medis terhadap alkohol dan penyalahgunaan obat akan mencegah penghancuran intelektual.

Berbicara tentang tujuan ilmu kedokteran berarti berbicara juga tentang perlindungan terhadap kekayan, hifdh al maal. Kekayaan setiap masyarakat tergantung aktivitas produktif dari warganya yang sehat. Ilmu kedokteran mendukung pemeliharan kekayaan dengan mencegah penyakit, mempromosikan kesehatan, dan pengobatan tiap penyakit dan squellenya. Masyarakat dengan kesehatan umum yang rendah kurang produktif dibanding masyarakat yang sehat dan semangat. Prinsip perlindungan kehidupan dan perlindungan kekayaan bisa saling bertentangan pada kasus-kasus penyakit terminal. Perawatan untuk penyakit terminal menghabiskan banyak kekayaan yang bisa digunakan untuk mengobati orang lain dengan kondisi yang masih bisa diobati. Jalan keluar hal yang kontras seperti di atas membutuhkan prinsip-prinsip Hukum, qawa’id al shari’at.

Ya, inilah ilmu kedokteran. Berbicara tentang kedokteran berarti berbicara tentang kebermanfaatan, begitulah ideal nya. Dan Rasulullah sawa pernah bersabda, bahwa
" sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat......."

jadi beruntunglah setiap kita yang berada di jalan ini, menjalankan peran yang tak mudah, tapi memiliki peluang kebermaknaan yang begitu besar. selamat menebar manfaat.
belajar, berjuang, bermanfaat.

semoga menjawab pertanyaan nya dik! :)

Kamis, 19 Mei 2011

Penanganan Awal Luka Tertusuk Paku


Pernah tertusuk paku atau benda yang terbuat dari logam? Bisa di kaki, di tangan atau di bagian tubuh lainnya. Kali ini mencoba berbagi pengalaman pas dinas diruang Gawat Darurat, jadi ya karena ini cerita pengalaman, berarti gak ilmiah-ilmiah banget. Tapi saya akan berusaha mengingat dan menjelaskan secara ilmiah. Apa sih yang terbayang pertama kali ketika tertusuk paku??? Saya yakin setidaknya 8 dari 10 orang yang ditanya akan khawatir terkena tetanus, karena memang kita sudah diajarkan dari jaman dulu, yang namanya paku itu pasti berkarat, nah bakteri Clostridium tetani memang suka menempel disitu. Lalu apakah benda lain juga tidak bisa? Salah, semua benda bisa menjadi tempat perindukan kuman tetanus. Dulu sewaktu saya kuliah, saya pernah membaca sebuah artikel seorang profesor meninggal karena penyakit tetanus, selidik-punya selidik, eh ternyata kuman tersebut didapat ketika setelah makan profesor tersebut memakai tusuk gigi dan melukai gusinya, nah dari situlah pertama kali kuman tersebut masuk kedalam tubuh.

Untuk menghadapi luka tusuk, itu susah-susah gampang, kadang juga ribet tergantung jenis lukanya sih. Apabila tertusuk paku pada telapak kaki, yang harus pertama kita lakukan adalah dengan mencabut paku tersebut, berikutnya adalah proses membersihkan luka hingga benar-benar bersih. Pembersihan luka dimulai dengan memberikan anastesi lokal, lazimnya sih menggunakan lidocain, injeksikan mengelilingi sekitar luka tusukkan. Setelah itu, buat robekan luka secara teratur membentuk huruf “X” dengan titik tengah persilangan adalah luka tusuk (membuat robekan dilakukan pada luka tusuk yang sempit), lebar dan dalamnya menyesuaikan dengan dalamnya luka. Tujuan dibuat robekan luka adalah agar mempermudah pembersihan kotoran didalam luka tusuk. Setelah membuat robekan, siramlah dengan larutan H202, biasanya akan timbul buih, gosoklah dengan kuat, benar-benar digosok, sampai benar-benar bersih tak tertinggal bekas karat yang menempel ataupun kotoran yang masih tersisa. Ingat! Gosok dengan kuat, baru setelah benar-benar bersih, bilas luka dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% tekan-tekan sekitar luka hingga berdarah, tujuannya adalah untuk menghilangkan cairan H2O2 serta membersihkan luka. Langkah terakhir adalah sterilkan luka dengan cara menyiram dengan cairan IODINE (Betadhine).

Yang harus diingat untuk langkah berikutnya adalah, Clostridium tetani adalah jenis kuman anaerob, jadi hidup dengan kadar oksigen yang sangat sedikit, jadi HARAM hukumnya untuk membungkus luka atau menutup dengan kasa yang sangat rapat, sehingga sirkulasi udara terganggu. Biarkan luka tetap terbuka, karena hal tersebut akan menghambat pertumbuhan kuman tetanus jika ada, namun kebersihan lukan dan kesterilan luka juga perlu diperhatikan.

Pemberian Serum Anti Tetanus juga perlu dipertimbangkan untuk diberikan, namanya juga berjaga-jaga. Serum Anti Tetanus ada 2 jenis, nah sebagai perawat jika mendapat order untuk memberikan serum ini harus diperhatikan. Serum anti tetanus ada dua jenis, yang pertama adalah serum yang dibiakkan dari kuda (Anti Tetanus Serum), nah karena sifat kuda dengan manusia yang tentunya lain, maka sebelum menginjeksikan secara IM, maka harus dilakukan uji alergi obat (Skin test), caranya adalah dengan menggunakan spuit 1 cc, ambil 0,1 lalu encerkan dengan aquadest hingga 0,5 – 1 cc kemudian injeksikan dengan cara IC, lingkari dan tunggu 10 – 20 menit, bila tak muncul gejala gatal, panas atau kemerahan, maka aman untuk diinjeksikan, dan harus diingat, dosis dewasa dan anak-anak untuk obat ini berbeda. Serum yang kedua adalah serum yang dibiakkan menggunakan organ manusia (Tetagam), kalo penggunaan obat ini lebih mudah, bisa langsung diinjeksi secara IM, dan dosis dewasa maupun anak-anak sama, yaitu 1 ampul. Sebagai perawat, kita harus memberi pertimbangan yang jelas kepada pasien, secara harga Anti Tetanus Serum setengah harga dari Tetagam, namun kerugiannya harus di tes alergi terlebih dahulu, bila alergi, maka pemakaian Tetagam adalah harga mati.

Ini hanyalah catatan sebuah pengalaman saya, yang ketika dibenturkan dengan isu Undang-undang Keperawatan saya sudah melewati wewenang saya, tapi dimanapun sebagai seorang tenaga kesehatan, nyawa manusia tentunya lebih diutamakan , ketika situasi dan kondisi mewajibkan kita berlari, tak mungkin kita hanya merangkak. Semoga bermanfaat, Wallahu ‘alam Bi Shawab...

Rabu, 18 Mei 2011

10 Kesalahan Perawat Dalam Memasang Infus


Mumpung masih hobi nulis, apa yang kepikir coba ditulis deh, kali aja ada manfaatnya. Terlepas dari urusan Undang-Undang Perawat yang masih harus terus kita perjuangkan, dan tentunya Undang-Undang Keperawatan adalah harga mati, gak boleh nawar sedikitpun. Selama ini memasang infus (IVFd – Intravenous Fluids), sudah menjadi keseharian tugas perawat. Terkadang memasang infus adalah hal yang gampang, kadang pula karena hal-hal sepele kita malah gagal memasangnya. Berikut sepuluh hal yang sering terlupa ataupun yang menjadi penyebab kita gagal dalam memasang infus
1. Salah Sudut
Hal penentu masuk dan tidaknya abocath kedalam pembuluh darah vena secara tepat tergantung dari perawat ketika dalam membuat sudut pemasangan ketika akan menusuk. Kemiringan jarum abocath tidak boleh terlalu besar, karena akan berimbas pecahnya pembuluh darah vena karena terjadi ruptur akibat tembusnya abocath pada bagian bawah vena. Sebaliknya sudut yang terlalu kecil mengakibatkan abocath hanya akan berjalan-jalan didalam kulit (dibawah permukaan kulit) tanpa mengenai pembuluh darah, dan tahukah anda, ini berasa sangat sakit sekali. Sebelum menusukkan abocath, perkirakan bahwa sudut yang kita buat adalah berkisar antara 40 hingga 60 derajat dari permukaan kulit pasien, tusukkanlah dan rasakan ketika ujung jarum menembus pembuluh darah, kurangi sedikit sudutnya sambil menarik sedikit jarum ketika darah sudah terlihat keluar dia penampung darah abocath, terus dorong selang abocath hingga habis, tarik jarum, tekan sedikit pada permukaan kulit tempat masuknya jarum agar darah tidak mengalir, masukkan selang ifus dan alirkan cairan.
2. Salah Ukuran Abocath
Pastikan selalu perhatikan ukuran pembuluh darah yang akan ditusuk dan perkirakan dengan ukuran abocath. Ingat, disini ilmu kirologi perawat sangat dibutuhkan. Ukuran jarum abocath berhitung terbalik, semakin kecil nomornya, semakin besar ukuran jarumnya, dan ukuran abocath untuk infus selalu genap. Untuk ukuran pasien Indonesia, pada orang dewasa lazimnya memakai abocath dengan ukuran 20 G, sedangkan pada anak-anak dimulai pada ukuran 24 G keatas. Yang perlu dicatat disini, ukuran jarum mempengaruhi jumlah cairan yang masuk, apabila pada kondisi pasien syok, maka jumlah cairan yang masuk pun harus dalam jumlah banyak dan cepat, makanya biasanya untuk pasien-pasien gawat dan memerlukan terapi cairan yang banyak dan cepat, biasanya menggunakan abocath berukuran 18 G, begitupun untuk calon pasien operasi biasanya menggunakan abocath dengan ukuran 18 G. Catatan penting disini, semakin besar ukuran jarum, maka panjang abocath juga semakin panjang, oleh karena itu perlu disesuaikan dengan pembuluh darah.
3. Salah Memilih Pembuluh Darah Vena
Kesalahan yang berikutnya adalah kesalahan dalam memilih pembuluh darah vena, yang harus diingat pemilihan pembuluh darah vena adalah dari ujung ke pangkal, dari punggung tangan semakin keatas. Pembuluh darah yang dicari pun harus dicari yang tidak bercabang dan tidak keriting, karena akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah. Vena yang kita pilih juga tidak boleh yang melewati persendian, karena akan mengakibatkan infus mudah macet.
4. Salah Cairan
Memasang infus adalah kerja kolaborasi perawat dengan profesi lain, namun sebagai perawat kita harus jeli, apakah cairan yang diorder benar-benar sesuai dengan kebutuhan serta kondisi pasien atau tidak, karena perawat adalah seseorang yang mendampingi pasien selama 24 jam. Pelajari apa saja yang terkandung dalam cairan infus tersebut, misalnya pada pasien dengan oedem harus membatasi garam, maka cairan NaCl harus dipertimbangkan, pada pasien DM penggunaan cairan Dextrose harus benar-benar diperhatikan, cairan-cairan dengan osmolaritas tinggi perlu dibatasi kadarnya. Hal terpenting, jangan sampai salah cairan yang masuk ke pasien, karena itu sangat merugikan dan membahayakan pasien.
5. Salah Pasien
Yang ini nih, jangan sampe lupa ya... kenali pasien anda dengan dilihat, diraba dan diterawang.. hehehe.. emang duit. Yang bener harus dilihat, ditanya dan diyakinkan...
6. Lupa Mengalirkan cairan dalam selang infus
Keteledoran yang lumayan sering terjadi adalah abocath sudah tertusuk tapi cairan belum siap... ini nih yang sering bikin berabe, dan kesannya tidak profesional. Buatlah sebuah ritual khusus dalam memasang infus, misal menusuk botol, mengalirkan cairan dalam selang melihat ada udara atau tidak baru gantungkan diatas tiang infus, jadikan itu adalah ritual pertama sebelum memasang infus, jadi walaupun pikiran kita sedang ruwet otak bawah sadar kita pasti akan melakukannya ketika memasang infus.
7. Lupa memotong Plaster
Ini nih yang gak kalah bikin bete... sudah siap semuanya eh.. plaster belum ada, repot kan jadinya. Masih nyambung dengan poin sebelumnya, pastikan memotong plaster adalah ritual kedua setelah mempersiapkan cairan dan selang, hitung bener-bener jumlah plaster, panjang pendeknya sudah tepat belum (sesuai ilmu kirologi) atau kalau memakai metode satu plaster apakah plaster sudah dibelah atau belum.
8. Lupa Melakukan Desinfeksi
Terkadang hal yang sepele begini bisa kelupaan loh... dengan pedenya kita menusukkan abocath, eh baru teringat belum di desinfeksi, hal ini bisa karena kita terlalu grogi, terlalu-buru-buru tau lupa bawak alatnya. What ever alasan kita, pokoknya melakukan desinfeksi sebelum menusukkan abocath itu wajib hukumnya, kan kasihan pasiennya....
9. Lupa Memakai Handscoon
Berbagai alasan ketika kita tidak memakai Handscoon, kadang lupa kadang juga sengaja. Memang terkadang kita tidak merasa nyaman memasang infus dengan memakai Handscoon, apalagi kalo pas lagi memasang plaster... huh lengket sana sini. Tapi demi keamanan serta kenyamanan kita dan pasien ini juga kudu dilakuin...
10. Lupa Berkomunikasi dengan Pasien
Dateng-dateng langsung Jus..... tanpa ba-bi-bu lagi... ini masih sering terjadi di negara kutub selatan sana (di negara kita gak lagi) perawat tanpa ada basa-basi, langsung nyiapin alat langsung tusuk sudah selesai pergi deh... yang ditusuk siapa ya...?? salah satu kelebihan ilmu kita adalah berkomunikasi.. karena komunikasi perawat adalah komunikasi yang menyembuhkan.. ingat, selalu pastikan pasien itu benar atau tidaknya dengan berkomunikasi, meminta ijin dengan berkomunikasi, dan merilekskan pasien dengan berkomunikasi.

Begitu deh rekan-rekan, ini Cuma cerita doang, tapi semoga bisa menjadi pelajaran bagi saya dan kita semua, karena kita pernah belajar dari kesalahan, tapi bodohnya kita bila mengulang kesalahan. Kalo banyak salah harap dikoreksi, mari kita belajar bersama menjadi perawat profesional. I’m Proud To Be A Nurse

Senin, 16 Mei 2011

Asuhan Keperawatan Leptospirosis


Sembilan bulan lebih... rasanya terlalu lama dan sangat lama saya tidak berhadapan dengan pasien, bahkan nyaris setahun saya tidak update Blog saya ini, dunia perfesbukkan membuat saya lupa bahwa saya pernah menjadi Blogers (tukang ngeblog yang gak sukses), what ever lah... daripada numpuk aja dan gak berbekas kan mending di share ke semua, mengekspresi kesukaan yang pernah dimiliki... halah!!!

Dua tahun ini negara kita agak dihebohkan dengan adanya kasus Leptospirosis, sudah menyerang hingga 22 propinsi... sebenarnya Leptospirosis buka pemain baru, ini sudah lama sekali, banyak istilah orang menyebutnya, dari penyakit banjir, hingga penyakit kencing tikus. Dan memang demikian, dahulu kala memang penyakit ini mewabah diwaktu banjir namun apa dikata sekarang ini sudah muncul di hutan pinus... so what, penyakit pun ikut mode...

Sebelum muter jauh, baiknya kita kenal dulu apa itu Leptospirosis/Leptospira
I. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia. Bakteri Leptospira dapat bertahan hingga satu bulan lho dalam air tawar, makanya mudah sekali menyebar ketika banjir atau tertular melalui air, namun dalam air laut, selokan dan cairan yang pekat dia gak bertahan dengan lama.

II. Sumber Penularan
Menurut literatur yang ada, Hewan yang menjadi sumber penularan adalah tikus (rodent), babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi. biasanya kita lebih curiga dengan yang namanya tikus, tikus kencing di air dan menular deh melalui air, tapi nampaknya hal tersebut perlu dikaji lagi mengingat menumpuknya kasus di akhir-akhir ini...

III. Cara Penularan
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi selama 4 - 19 hari.

IV. Gejala Klinis

Stadium Pertama
1. Demam menggigil
2. Sakit kepala
3. Malaise
4. Muntah
5. Konjungtivitis
6. Rasa nyeri otot betis dan punggung
7. Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari

Gejala yang Kharakteristik
1. Konjungtivitis tanpa disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata)
2. Rasa nyeri pada otot-otot Stadium Kedua
3. Terbentuk anti bodi di dalam tubuh penderita
4. Gejala yang timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama
5. Apabila demam dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi meningitis.
6. Stadium ini terjadi biasanya antara minggu kedua dan keempat.

Komplikasi Leptospirosis
Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6
Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat mengikabatkan kematian mendadak.
Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva).
Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.

V. Pengkajian
Dalam hal ini, yang perlu dilakukan perawat adalah mengkaji TTV, riwayat penyakit lampau, tanyakan keluhan klien. Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya, sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.hal tersebut perlu dicermati oleh perawat.. dan tentunya harus hati-hati dalam menegakkan diagnosa, mengingat hampir ada kemiripan gejala klinis yang terjadi. wajib dianamnesa tentang riwayat bepergian, riwayat luka, riwayat terkena banjir, riwayat pekerjaan (petani lebih beresiko). satu hal yang harus diingat gunakan HANDSCOON sewaktu anamnesa...

VI. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul:
Hipertermi
Kurang Cairan
Gangguan Pertukaran Gas
Nyeri


VII. Perencanaan dan Tindakan
Pantau TTV
Pantau kebutuhan cairan dan elektrolit (gangguan Ginjal dan Jantung)
Berkolaborasi dalam pemberian antibiotik
Kompres Bila perlu
dan perencanaan lain sesuai gejala yang muncul...

kurang lebihnya seperti itu, jika ada usulan yang perlu ditambahkan monggo saja... saya baru bertemu dengan pasiennya tapi belum pernah merawatnya, jadi ya masih sebatas pengetahuan tekstual... biasanya kalo sudah pengalaman lebih mengena...

Tambahan:
Penkes yang perlu diberikan kepada warga sekitar meliputi:
Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
Mencucui tangan dengan sabun sebelum makan.
Mencucui tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/sampah/tanah/selokan dan tempat-tempat yang tercemar lainnya.
Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
Menjaga kebersihan lingkungan
Membersihkan tempat-tempat air dan kolam renang.
Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung.
Menghindari pencemaran oleh tikus.
Melakukan desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar oleh tikus
Meningkatkan penangkapan tikus.

SYARAT PEMBERIAN ANESTESI UMUM PADA PEMBEDAHAN DARURAT

PRESENTASI KASUS ANESTESI
Disusun Oleh Mohamad Fikih
SMF ANESTESIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UPN “VETERAN” JAKARTA
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

BAB I
PENDAHULUAN

Untuk operasi yang direncanakan secera elektif tersedia waktu berhari-hari untuk pemeriksaan klinik dan laboratorium, serta persiapan operasinya. Teknik anestesi dapat direncanakan dalam keadaan tidak terburu-buru. Jalan dan luasnya operasi sudah dapat direncanakan, waktu untuk operasi elektif terdapat di pihak ahli anestesi. (1)
Pada bedah gawat darurat, faktor waktu yang sangat berharga ini tidak ada lagi. Dokter anestesi dihadapkan kepada tugas dengan waktu persiapan yang sangat singkat, mungkin 1 jam atau kurang. Sehingga harus dicapai kompromi antara pendekatan ideal dan kondisi anestesi optimal yang dapat diberikan untuk menunjang intervensi bedah gawat darurat ini. (2)
Banyak bedah gawat darurat masih dapat ditangguhkan pelaksanaannya selama 1 jam atau lebih untuk persiapan yang lebih baik, kecuali keadaan di bawah ini : (1, 2)

1. Kegawatan janin
2. Perdarahan yang tidak terkendalikan
3. Gangguan pernafasan yang sangat berat
4. Cardiac arrest
5. Emboli arterial
Bila keadaan umum pasien yang kurang baik, manfaat untuk segera dibedah harus dipertimbangkan terhadap risiko penangguhan yang digunakan untuk persiapan yang lebih baik demi keuntungan pasien. Tindakan bedah darurat yang kecil dapat membawa risiko anestesi besar yang tidak terlihat dengan jelas pada permulaan. Penilaian klinis yang baik, serta kemampuan untuk mengenal dan mempersiapkan diri untuk situasi-situasi yang berbahaya serta menentukan jenis anestesi yang digunakan adalah sangat berharga. Walaupun dokter anestesi biasanya dibantu oleh perawat anestesi untuk memelihara perakatan dan pengadaan obat, namun ahli anestesi tetap bertanggung jawab agar peralatannya tetap terpelihara dan berfungsi baik. (1, 2)
Pasien-pasien yang membutuhkan anestesi untuk operasi gawat darurat akan lebih sulit bagi ahli anestesi, yang harus mempersiapkan dan menanggulangi masalah yang ada, karena pasien ini tidak dipersiapkan lebih dahulu dan tidak dalam keadaan ideal. Keadaan patologis yang mungkin ada harus ditanggulangi dengan cepat sebelum anestesi misalnya kekurangan cairan, tetapi bila terdapat infeksi maka penaggulangan dilakukan dalam waktu yang terbatas karena bila terlalu lama akan mengganggu kondisi pasien. Biasanya makin berat keadaan pasien, makin besar risiko yang berhubungan dengan anestesi spinal, sehingga dipilih tehnik anestesi umum. (1, 2, 3)
Pada penulisan referat ini akan dibahas syarat yang harus dipenuhi pada pemberian anestesi umum pada pembedahan darurat supaya risiko yang dihadapi dapat minimal sekali.

BAB II
PEMBAHASAN

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal adalah : hipotonik, analgesik dan relaksasi otot. Metode anestesi umum dilihat dari cara pemberian obat adalah : inhalasi dan intravena. (4)
Masalah-masalah anestesi umum untuk pembedahan darurat yang harus diperhatikan oleh ahli anestesi adalah : (1, 2)
1. Lambung terisi penuh
2. Hipotensi
3. Kegagalan pernafasan
4. Tamponade kardiak
5. CNS (Central Nervous System)
Masalah tersebut diatas harus dapat dihindari atau diminimalisasikan oleh ahli anestesi agar dapat dicapai suatu keberhasilan dalam melakukan pembedahan darurat dan mengurangi risiko akibat dari pemberian anestesi umum, syarat pemberian anestesi umum harus memperhatikan masalah-masalah tersebut diatas, dan pasien harus sudah dalam keadaan stabil hemodinamikanya.
a. Pencegahan Aspirasi (1, 2, 3)
Untuk mencegah terjadinya aspirasi dari isi lambung dapat dilakukan cara :
- Posisi head down selama trakea tidak diintubasi. Posisi head down juga setelah trakea diintubasi, kecuali bila ada trauma kapitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
- Tube nasogastrik diisap bersih lalu dilepas sebelum diinduksi, dipasang kembali setelah intubasi dan cuff dipasang.
- Siapkan suction yang kuat, bekerja baik dan kateter besar.
- Induksi : head up crash intubation (40°) untuk tenaga yang sudah trampil intubasi. Penderita dengan trauma maksilofasial yang sukar jalan nafasnya dan berdarah terus-menerus jangan memakai cara ini. Periode head up dilakukan sependek mungkin agar perfusi otak tidak terganggu.
Bila fasikulasi selesai cepat relaksasi rahang, cepat intubasi, pasang cuff, kembali head down, nafas buatan. Selama intubasi dan cuff belum terpasang, jangan berikan nafas buatan kecuali intubasi gagal, segera robah head down dan beri nafas buatan untuk mengatasi hipoksia.
Intubasi head down merupakan pilihan lainnya jika cara head up tidak dapat dilakukan. Bila perlu penderita tidur miring dulu, baru ditelentang waktu akan laringoskopi. Pada cara intubasi diatas tetap ada saja pasien yang muntah dan aspirasi masif. Pada trauma maksilofasial atau kesulitan jalan nafas pertimbangkan intubasi sadar. Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan faring, tetapi jangan kena plika vocalis. Diazepam 0,1 - 0,2 mg/kg iv dapat diberikan untuk mengurangi stres penderita dan memudahkan intubasi.

b. Obat-obat anestesi umum yang digunakan pada pembedahan darurat (1, 2, 3, 4)
- Oksigenasi 10 L/menit selama minimal 3 menit
- Pentotal 3 - 5 mg/kg BB, suksinilkoline 1 - 2 mg/kgBB (jangan terlalu sedikit suksinilkoline). Kompresi krikoesofageal dilakukan saat ini, bila terlalu pagi justru merangsang muntah.
- Diazepam 0,2 mg/kg BB iv sebagai pengganti pentotal bila tekanan darah labil atau pada penderita asma bronkiale, karena pentotal atau tiopental dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan hipotensi akibat depresi pusat motor dan henti nafas karena depresi pusat pernafasan.
- Ketamin 1 - 2 mg/kg BB pada penderita dengan shock atau trauma status III asalkan tidak ada kenaikan tekanan intrakranial.
- Metode prelurarisasi dapat saja digunakan asalkan semua cara-cara tersebut diatas tidak dikurangi atau diubah
- Hilangnya kesadaran akan disertai penurunan tonus simpati dan hipotensi. Karena itu sedapat mungkin jangan mulai anestesi, bila volume replacement masih belum cukup
- Lidokain spray tidak dipakai untuk plika vocalis trakea, karena refleks protektif jalan nafas tidak boleh hilang, kecuali pada pembedahan intrakranial.
- Halotan disertai suplement narkotik intra vena merupakan alternatif lain dan merupakan obat pilihan untuk toraktomi bila hemodinamik mengijinkan. Karena halotan menyebabkan relaksasi uterus, hatri-hati dengan bahaya hemoragia post partum pada SC, forceps ekstraksi dan lain-lain.
- Ketamin selain untuk induksi juga dapat dipakai sebagai obat maintenance (IV ½ - 1 mg/kg BB tiap 10 - 15 menit). Merupakan pilihan yang baik pada keadaan dimana gangguan hemodinamik tidak dapat diatasi sebelum/selama pembedahan. Kecuali untuk penderita dengan kenaikan tekanan intrakranial/kraniotomi, sebab ketamin menaikkan tekanan intra kranial.
- N2O2 O2 dipakai hanya untuk kraniotomi dengan tambahan pentotal atau diazepam, droperidol smua diberikan secara intra vena.
- Untuk torakotomi mutlak dipakai O2 100%
- Relaksan dipakai dalam kombinasi dengan salah satu obat anestesi diatas. Dosisnya diatur agar tidak terjadi 100% blok supaya reversal nanti mudah. Prostigmin, Atropin dengan perbandingan 2 : 1 dalam satu semprit disuntikkan iv perlahan-lahan (2 - 3 menit).
Untuk kraniotomi diberikan suksinilkoline (100 mg iv pada orang dewasa), pada waktu kepala akan dibalut dan ekstubasi. Nafas buatan diberukan secara perlahan-lahan, awasi kemungkinan regurgitasi, bila perlu dipakai tube nasofaring. (2, 3)
Setelah nafas spontan kembali, reversal diberikan untuk menghilangkan sisa relaksan, siap suction yang kuat. Kecuali pada kraniotomi maka semua ekstubasi dilakukan setelah penderita sadar/cukup sadar untuk menjaga jalan nafasnya dari aspirasi. Minimal bisa melakukan head lift selama 5 detik setelah obat relaksasi otot diberi anti dotum. (2)
Penderita dengan penyakit-penyakit khusus sebagai penyulit dari masalah bedahnya sering dijumpai seperti : (1, 2, 3)
1. Penyakit jantung koroner
Usahakan oksigen demand tidak meningkat oleh infeksi, gelisah, nyeri dan eksitasi. Usahakan tekanan darah tetap stabil seperti pada waktu sadar atau dapat turun atau naik ± 10 - 20 mmHg. Monitoring EKG dengan mengawasi segmen ST, arah T dan timbulnya aritmia yang berbahaya.
2. Penyakit jantung dekompensasi
Usahakan depresi myokard seringan mungkin dengan menghindari halotan konsentris tinggi. Usahakan tekanan darah tidak turun banyak. Pada mitral stenosis yang sempit, takikardi dapat memacu timbulnya dekompensasi. Usahakan nadi senormal mungkin pasang CVP kateter dan digitalisasi cepat preoperasi harus diusahakan.
3. Diabetes mellitus
Periksa kadar gula darah, korelasikan dengan reduksi urin yang sedang menetes dari kateter. Kadar diusahakan 150 - 200 mg%, jangan berusaha membuat normal.
4. Asma bronkiale
Anamnesis yang teliti tentang berapa berat penyakitnya, seberapa sering serangan, obat apa yang biasa dipakai. Beri aminofilin IV, kadang penambahan oradexon 1 ampul iv dapat membantu. Jangan intubasi sebelum refleks hilang, pentotal suksinil kurang tepat disini. Kalau bisa anestesi didalamkan dengan halotan sampai refleks jalan nafas hilang, baru diintubasi. Ekstubasi juga dilakukan sebelum refleks timbul lagi, posisi tetap head down.

BAB III
KESIMPULAN

Masalah-masalah yang ada pada pembedahan darurat adalah bahaya terjadinya aspirasi dari lambung yang berisi, gangguan pernafasan, gangguan hemodinamik, dan kesadaran yang tidak selalu dapat diperbaiki sampai optimal serta terbatasnya waktu untuk persiapan mencari data dan perbaikan fungsi tubuh. Penundaan pembedahan akan membahayakan jiwa atau penyebabkan kehilangan anggota badan.
Oleh sebab itu pelaksanaan operasi harus segera dilakukan dengan menggunakan anestesi umum dan harus memperhatikan syarat-syarat pemberian anestesi umum seperti stabilisasi hemodinamik, mencegah terjadinya aspirasi isi lambung dan obat-obat anestesi umum yang sesuai dengan kondisi operasi yang akan dilakukan. Apabila syarat-syarat tersebut sudah dapat terpenuhi maka pembedahan darurat dapat dilakukan dan risiko pasca anestesi dan pembedahan dapat dihindari seminimal mungkin.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Zuhardi, T.B, Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 3-5

2. Rahardjo, E., Rahardjo, P., Sulistiyono, H., Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 6-9.

3. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994, Jakarta.

4. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Anestesiologi, 1989, Jakarta

Efek anestesi pada anak

Pembiusan tidak dapat dihindarkan bila alasan medis mengharuskan untuk dilakukan tindakan operasi pada pasien yang memerlukannya, termasuk pada anak-anak. Namun, dalam penelitian terbaru ditemukan, pembiusan atau anestesi ulang, bisa menghambat kemampuan belajar pada anak-anak.

Para peneliti asal Swedia menyatakan, anestesi ulang berkaitan dengan kemampuan memori dan sel-sel pada batang otak. Anestesi ulang menyebabkan masalah belajar pada anak-anak.

''Bagian anestesi untuk dokter anak telah lama menduga ini. Anak-anak yang terbius berulang kali selama beberapa tahun memungkin menderita gangguan belajar dan memori,'' kata peneliti Klas Blomgren dalam suatu pernyataannya yang dimuat dalam pemberitaan internasional, termasuk Healthday, beberapa waktu yang lalu.

Tim dari Universitas Goteborg melakukan percobaan pada tikus. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi pada sel-sel batang otak ketika mereka sedang terkena medan magnet yang kuat. Para peneliti menemukan bahwa medan magnet tidak berpengaruh pada tikus. Hanya, diketahui bahwa setelah berkali-kali mendapatkan pembiusan untuk pencitraan resonansi magnetik, rupanya tindakan itu berdampak pada sel-sel batang otak.

''Kami menemukan bahwa mengulangi anestesi dapat menghapuskan sebagian besar sel-sel batang dalam hippocampus, wilayah otak yang penting untuk memori. Sel-sel dalam hippocampus yang membentuk saraf dan sel-sel glial, dan pembentukan sel-sel saraf dianggap penting bagi fungsi ingatan kita,'' kata Blomgren.

Pembiusan pada tikus muda yang hidup sampai dewasa memiliki masalah memori. Namun, masalah ini tidak terlihat pada pembiusan yang dilakukan pada tikus dewasa. Gejala ini dimungkinkan karena sel-sel otak pada tikus muda lebih sensitif dibandingkan tikus dewasa.

"Meskipun beragai upaya-upaya diperluas, kami belum dapat memahami persis, apa yang terjadi ketika sel-sel induk telah dihapuskan. Kami tidak bisa melihat tanda-tanda peningkatan kematian sel, tetapi kami berpendapat bahwa sel induk kehilangan kemampuan mereka untuk membagi,'' tambahnya.

Para peneliti berpendapat, dari hasil ujicoba pembiusan pada tikus muda dan tikus dewasa, maka disimpulkan bahwa anestesi yang berulang-ulang memang berpengaruh pada sel otak. Hal ini pun dimungkinkan berlaku pula pada manusia, khususnya pasien anak-anak yang perlu untuk mendapatkan tindakan pembiusan

Penatalaksanaan pasien di RR

Pada prinsipnya dalam penatalaksananaan anestesi pada suatu operasi, terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksana ananestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasa dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room, yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca bedah atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi dan anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola dikamar pulih atau Unit Perawatan Pasca Anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anestesia Care Unit). Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijjumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesi yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang pendarahan.
Recovery room atau ruang pemulihan adalah sebuah ruangan di rumah sakit, dimana pasien dirawat setelah mereka telah menjalani operasi bedah dan pulih dari efek anestesi. Pasien yang baru saja di operasi atau prosedur diagnostik yang menuntut anestesi atau obat penenang dipindahkan ke ruang pemulihan, dimana keadaan vital sign pasien (nadi, tekanan darah, suhu badan dan saturasi oksigen) diawasi ketat setelah efek dari obat anestesi menghilang.

Pasien biasanya akan mengalami disorientasi setelah mereka sadar kembali, dan di ruang pemulihan ini pasien ditenangkan apabila menjadi anxietas dan dipastikan kalau fisik dan emosional mereka terkendali.
Ruangan dan Fasilitas
Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat dengan kamar bedah, supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak akan banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan anestesi dihentikan pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesi dan perlu diawasi dengan ketat seperti masih berada di kamar bedah.
Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi ruangan yang membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna kulit dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnose dari adanya kegawatan nafas dan sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar bedah akan mempercepat atau memudahkan bila diperlukan tindakan bedah kembali. Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan jalan nafas harus tersedia, misalnya jalan nafas orofaring, jalan nafas orotrakeal, laringoskop, alat trakeostomi, dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FiO2 25% – 100%.
Pengelolaan Pasien di Ruang Pulih Sadar
Pengawasan ketat di ruang pemulihan atau UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oxymeter), EKG,peralatan resusitasi jantung-paru dan obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari kamar bedah.
Personil dalam UPPA sebaiknya sudah terlatih dalam penanganan pasien gawat, mahir menjaga jalan napas tetap paten, tanggap terhadap perubahan dini tanda vital yang membahayakan pasien.
Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar. Pasien yang dikelola adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan sirkulasinya sudah baik atau tidak. Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau spasme laring, pasca bedah dini kemungkinan terjadi mual-muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi.
Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanul nasal atau masker sampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari pengaruh obat anestesi akan sadar kembali. Kartu observasi selama di ruang pulih sadar harus ditulis dengan jelas, sehingga dapat dibaca bila pasien sudah kembali ke bangsal. Bila keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.
Tingkat perawatan pasca anestesi pada setiap pasien tidak selalu sama, bergantung pada kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi, monitoring lebih ketat dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi seperti:
Kelainan organ
Syok yang lama
Dehidrasi berat
Sepsis
Trauma multiple
Trauma kapitis
Gangguan organ penting, misalnya : otak
Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan lebih mudah dapat dilakukan ³monitoring B6´, yaitu :
Breath (nafas) : sistem respirasi
Pasien belum sadar dilakukan evaluasi :
Pola nafas
Tanda-tanda obstruksi
Pernafasan cuping hidung
Frekuensi nafas
Pergerakan rongga dada : simetris/tidak
Suara nafas tambahan : tidak ada pada obstruksi total
Udara nafas yang keluar dari hidung
Sianosis pada ekstremitas
Auskultasi : wheezing, ronki
Pasien sadar : tanyakan adakah keluhan pernafasan.
Jika tidak ada keluhan : cukup berikan O2
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi : terapi sesuai kondisi (aminofilin,kortikosteroid, tindakan tri ple manuver airway).
Blood (darah) : sistem kardiovaskuler
Tekanan darah
Nadi
Perfusi perifer
Status hidrasi (hipotermi ± syok)
Kadar Hb
Brain (otak) : sistem SSP
Menilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
Perhatikan gejala kenaikan TIK 4.
Bladder (kandung kencing) : sistem urogenitalis
Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urine
Untuk menilai : Apakah pasien masih dehidrasi, Apakah ada kerusakan ginjal saat operasi, acute renal failure
Bowel (usus) : sistem gastrointestinalis
Periksa :
Dilatasi lambung
Tanda-tanda cairan bebas
Distensi abdomen
Perdarahan lambung post operasi
Obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain, misal: hepar,lien, pancreas
Dilatasi usus halus,
Hati-hati, pasien operasi mayor sering mengalami kembung yang mengganggu pernafasan, karena ia bernafas dengan diafragma.
Bone (tulang) : sistem musculoskeletal
Periksa :
Tanda-tanda sianosis
Warna kuku
Perdarahan post operasi
Gangguan neurologis : gerakan ekstremitas
Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik,seperti skor Aldrete (lihat tabel). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar ruang pemulihan.
Namun bila pasien tersebut anak-anak kriteria pemulihan yang digunakan adalah skor Steward, yang dinilai antara lain pergerakan, pernafasan dan kesadaran. Bila skor total di atas 5, pasien boleh keluar dari ruang pemulihan.
Untuk pasien dengan spinal anestesi digunakan kriteria skor Bromage, yang dinilai adalah pergerakan kaki, lutut dan tungkai, apabila total skor di atas 2, pasien boleh di pindahkan ke ruang rawat.
Tabel Skor pemulihan pasca anestesi
Aldrete Score (dewasa)
Penilaian
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang 50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
Tabel Skor pemulihan pasca anestesi
Steward Score (anak-anak)
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
Tabel. Skor pemulihan pasca anestesi
Bromage Score (spinal anestesi)
Kriteria Nilai
Gerakan penuh dari tungkai, 0
Tak mampu ekstensi tungkai, 1
Tak mampu fleksi lutut, 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki, 3
Jika Bromage Score 2 dapat pindah ke ruangan.
Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya
Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalahdengan menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan mekanik dan bronkospasme harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih seringterjadi, dan mungkin dapat menjadi total, dimana wheezing akibat dapat terdengar tanpa atau dengan stetoskop.
Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi dengan meluruskan pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke dalam trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama jika kadar tinggi oksigen yang dipakai,sampai terjadi tanda-tanda hipoksia, hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi nyata.
Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah dipasang dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi dada, sementara secara manual paru-paru dikembangkan, jika suara pernafasan tidak terdengar atau pengembangan pada satu sisi dada telah didiagnosis, maka harus secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar memasuki kedua sisi toraks secara seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.
Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan mekanik yang tidak dapat dijelaskan, segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik adalah pipa ditarik keluar dan dilakukan re-intubasi.
Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi, apakah dapat bernafas dengan spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara anestetik peroral atau nasal.
Sumbatan mekanik pada penderita yang di intubasi mungkin bersifat samar-samar. Paling penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung dapat terhalang pada dinding trakea, atau dapat terlalu menjorok jauh dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul keluar menutupi bagian ujung.
Bronkospasme
Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara anatomis,akibat lidah yang terjatuh ke belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg, atau 30 mg intramuscular, sehingga dapat menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan tekanan darah. Secara bergantian, suntikan lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.
Hipoventilasi
Pada hipoventilasi, rangsang hipoksia dan hiperkarbia mempertahankan penderita tetap bernafas. Pada hipoventilasi berat, pC02 naik > 90 mmHg, sehingga menimbulkan koma, dengan pemberian O2 hipoksia berkurang (p02 naik) tetapi pCO2 tetap atau naik pada hipoventilasi ringan. Sedangkan pada hipoventilasi berat jusrtu mengakibatkan paradoksikal apnea, yaitu penderita justru jadi apnea setelah diberi oksigen. Terapi yang benar pada hipoventilasi adalah :
Membebaskan jalan nafas
Memberikan oksigen
Menyiapkan nafas buatan
Terapi sesuai penyebabnya
Hiperventilasi
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraselular mengalir ke intraselular, hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa bradikardia relatif dapat terjadi pada hipokalemia.
Komplikasi Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnea dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 ± 1,0 µg/kg/ menit.
Hipotensi yang terjadi karena isian balik vena (venous return) menurun disebabkan pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis,hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.
Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika. Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik seperti propanolol atau obat vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi hipertensi pada waktu laringoskopi dapat dicegah antara lain dengan terlabih dahulu memberi semprotan lidokain topical kedalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.
Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati dengaan analgetika narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V dengan memperhatikan pernafasan (depresi).
Aritmia jantung pada anestesia, terjadi kira-kira 15-30 %. Etiologi aritmia selama anestesia :
Tindakan bedah : Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium, dilatasi anus.
Pengaruh metabolisme : hipertiroid, hiperkalemi
Penyakit tertentu : penyakit jantung bawaan, penyakit hiperkapnia,hipokelmia, jantung koroner
Pengaruh obat tertentu : atropine, halotan, adrenalin dll.
Komplikasi Lain-lain
Mengigil
Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang timbul mengigil di seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin terjadi karena hipotermia atau efek obat anestesi, Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Faktor lain yang menjadi pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi aliran gas diberikan terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi meningkat.
Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion warmer, lampu penghangat untuk menghangatkan suhu tubuh.
Gelisah setelah anestesi
Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis,hipotensi, kesakitan. Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif tanpa anelgetika, hingga pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini sering didapatkan pada anak dan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut di atas, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1mg/kgBB atau terapi dengan analgetika narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).
Kenaikan Suhu
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat Celcius dan masih dapat diturunkan dengan pemberian salisilat. Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40 derajat Celcius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah:
Puasa terlalu lama
Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)
Penutup kain operasi yang terlalu tebal
Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar
Infeksi
Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasihipertermia maligna)
Hipertermia maligna merupakan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari 2 derajat Celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1: 50.000, pada penderita dewasa dan 1: 25.000 pada anak-anak, tetapi jika terjadi, angka kematiannya cukup tinggi yaitu 60%. Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah banyak dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat pada ikatan kalsium dalam reticulum sarkoplasma otot atau jantung.
Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk kedalam sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat,penumpukan asam laktat dan karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen,asidosis metabolik, dan pembentukan panas. Kebanyakan obat anestetika akan menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering dilaporkan sebagai pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat lain aman terhadap komplikasi ini. Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani, mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung.
Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:
Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%
Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas dengan larutan NaCl fisiologis dingin
Pemeriksaan gas darah segera dilakukan
Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat
Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin
Oradekson dosis tinggi diberikan i.v.
Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini merupakan satu-satunya obat spesifik untuk hipertermia maligna.
Reaksi Hipersensitif
Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karenaterbentuknya mediator kimia endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya.Reaksi dapat saja terjadi pada tiap pemberian obat termasuk obat yang digunakandalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada pemberian induksi intravena danobat pelumpuh otot.
Gejala klinis hipersensitif :
Kulit kemerahan dan timbul urtikaria
Muka menjadi sembab
Vasodilatasi, tetapi nadi kecil sering tak teraba, sampai henti jantung.
Bronkospasme
Sakit perut, mual dan muntah, kadang diare
Pengobatan:
Hentikan pemberian obat anestetika
Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi hentijantung
Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakeal
Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan tertentu
Percepat cairan infus kristaloid
Operasi dihentikan dulu sampai gejala-gejala hilang.
Nyeri
Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan.Untuk meredam nyeri pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa,sering ditambahkan morfin 0.05-0.10 mg saat memasukkan anestesi lokal ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat baiknyamanfaat karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10-16 jam. Setelahitu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID (anti inflamasi non steroid) misalnya ketorolac 10-30 mg IV atau IM.
Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau epidural, karena efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal atau epidural ialah gatal di daerah muka. Pada manula dapat terjadi depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi napas dapat dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan pada manula kecuali dengan pengawasan ketat.
Kalau terjadi nyeri pasca bedah di UPPA diberikan obat golongan opioid secara bolus dan selanjutnya dengan titrasi perinfus.
Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umumterutama pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada peri anesthesia ialah :
Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v
Cyclizine 25-50 mg.
Sumber : http://smart-pustaka.blogspot.com

Regional Anestesi

Definisi
Anesthesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara ,dg hambat impuls syaraf sensorik. Fungsi motorik → terpengaruh sebagian/seluruhnya.
Obat anestesi lokal → blok konduksi impuls syaraf, reversible, terjadi pemulihan sempurna fungsi fisiologis syaraf.
Untuk klasifikasi, keuntungan, tekhnik, kontra indikasi bisa klik->

Klafikasi Regional Anesthesi
• Infiltrasi lokal
○ Injeksi obat anestesi lokal langsung ke tempat lesi, luka atau insisi.
• Neroaxial Block
○ Dua cara : Spinal dan Epidural
• Field Block
○ Membentuk dinding analegesi di sekitar lapangan operasi
• Surface Analgesia
○ Obat dioleskan atau disemprotkan
○ Misalnya: EMLA, Chlor ethyl
• Intravenous Regional Anesthesia
○ Injeksi obat anestesi lokal intravena ke ekstremitas atas/ bawah lalu dilakukan isolasi bagian tersebut dengan torniquet (BIER BLOCK)

Persiapan Anesthesia Regional
• Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan GA karena:
• Antisipasi terjadinya toksik sistemik reaction yg bisa berakibat fatal, perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi sinal/epidural masuk ke pembuluh darah → kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest
• Antisipasi terjadinya kegagalan, operasi bisa dilanjutkan dg GA.

Keuntungan Anestesia Regional
• Alat minim dan teknik relatif sederhana → biaya relatif lebih murah.
• Relatif aman untung pasien yg tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh) karena penderita sadar.
• Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
• Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
• Perawatan post operasi lebih ringan.

Kerugian Anestesia Regional
• Tidak semua penderita mau
• Membutuhkan kerjasama penderita
• Sulit diterapkan pada anak-anak
• Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
• Terdapat kemungkinan kegagalan

Spinal dan Epidural Anestesi
Neuroaksial blok (spinal dan epidural anestesi ) akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi dan volume obat anestesi lokal)
Terdapat perbedaan fisiologis dan farmakologis bermakna antara keduanya.

Indikasi Anestesi Spinal
• Bedah ekstremitas bawah
• Bedah panggul
• Tindakan sekitar rektum-perineum
• Bedah obstetri ginekologi
• Bedah urologi
Bedah abdomen bawah

Kontra Indikasi
Kontra indikasi absolut :
a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal
b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat sampai syok
d. Menderita koagulopati dan sedang mendapat terapi
antikoagulan
e.Tekanan intrakranial yang meningkat
f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim
g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi

Kontra indikasi relatif :
a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan
c. Kelainan neurologis
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama
f. Menderita penyakit jantung
g. Hipovolemia ringan
h. Nyeri punggung kronis.

Efek Fisiologis Neuroaxial Block
1. Efek Kardiovaskuler
Akibat dari blok simpatis → penurunan tekanan darah. Efek simpatektomi tergantung dari tinggi blok. Pada spinal : 2-6 dermatom diatas level blok sensoris, pada Epidural: pada level yang sama.
Terjadi vasodilatasi arteri dan vena → hipotensi. Pencegahan: dengan pemberian cairan (pre-loading) untuk mengurangi hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum dilakukan spinal/epidural anestesi.
Terapi: pemberian cairan dan vasopressor (efedrin)
Bila terjadi high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber di T1-T4) → bardikardi sampai cardiac arrest.
2. Efek Respirasi
Bila terjadi spinal tinggi (blok lebih dari dermatom T5) → hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak → respiratory arrest. Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus → ganggu gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.
3. Efek Gastrointestinal
Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, → hiperperistaltik GI oleh aktivitas parasimpatis vagal yg unopposed oleh simpatis yg terblok. Menguntungkan pada operasi abdomen karena kontraksi usus → kondisioperasi maksimal.
Mual muntah juga bisa akibat hipotensi → hipoksia otak yg merangsang pusat muntah di CTZ (dasar ventrikel ke IV)

Rabu, 11 Mei 2011

Open Pneumothorax


Management of Open Pneumothorax Caused by Penetrating Trauma Using Water Sealed Drainage (WSD)

Dana SatriaKusnadi, Liberty TuaPanahatan, Rian Fabian Sofyan, RylisMaryanaTamba, YusakKristianto,
AsriDwiRachmawati
Translator: Adrian Salim, Andrio Wishnu Prabowo, Arnetta Naomi L. Lalisang, Julistian, Muliyadi, Sony Sanjaya, Stefanny, Zamzania Anggia Shalih.
General Surgery, Department of Surgery, Faculty of Medicine Universitas Indonesia – CiptoMangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia, April 2011

Case Illustration
A 29 year-old man came to the ER with chief complaint open wounds on his chest and neck since 1 hour prior hospital visit. Pasien was severely battered by several people using baton to the head and had also several slash injuries caused by sickle to the left side of his chest, neck and arm. The patient had difficulty breathing and was agitated in the ER.
On physical examination, we found:
Primary Survey
-        Airway           : clear
-        Breathing       : spontaneous with RR 42x/mnts (tachypnea). There was bruises on the left chest, vulnusscissumon anterolateral aspect of the left sixth intercostal space (15x3 cm). Thoracic cavity, diafraghm and lung were intact, no bleeding, but left chest movement was delayed with sucking chest wound (+). This suggested the presence of left open pneumothorax. The patient was given 100% oxygen 10L/mnts via NRM, then underwent emergency chest tube insertion 10 minutes after arrival to the ER. 


-        Circulation      : face and extremities were pale, clammy and cold, pulse rate 110x/mnts, regular but faint,  blood pressure 90/60 mmHg, and oxygen saturation 95,6%. We placed 2 IV lines to give fast RL infusion and placed a central venous line on left jugular vein
-        Disability         : GCS = E3M5V4, total 15
Post-resuscitation and chest tube insertion, blood pressure remained 90/60 mmHg, pulse rate 108x/mnts, RR 38x/mnts, and O2 saturation 99%; breath sounds was vesicular bilateral, no rales and wheezing. We then performed AP and Supine Chest X-ray. 

Secondary Survey
There was pale conjunctiva showing sign of anemia, vulnusscissumon left aspect of the neck with no bleeding. Limbs examination showed clammy extremities with prolongation of CRT (>2 secs) and traumatic amputation of digiti II manussinistraat the level of PIP.
Laboratory values showed the Complete Blood Count and Arterial Blood Gas were within normal values. Other therapies given in inpatient care were chest physiotherapy, routine inhalation therapy, analgesia, antibiotics and liquid diets given per NGT; with close monitoring of vital signs and chest tube drain production. Chest tube drains 375cc per 10 hours (0,6cc/kgs/hour, body weight 60 kgs)

Chest Tube Insertion Report (in the ER)
Sepsis and asepsis of the surgical field were performed.
Vulnusscissum on the anterolateral aspect of left hemithorax, sixth intercostal space was identified, size 15x3 cm. Thoracic cavity and diafraghm were intact, no active bleeding.
A no 32 chest tube was inserted on the left midaxilaris line of sixth intercostal space. Initial fluide production was 30 cc, serohemorrhagic with fluctuation (+), initial bubble (+) and respiratory bubble (-). Chest tube was then fixated using 1.0 silk suture. Open wounds were sutured using vicryl x.0, and closed layer by layer.
Operation is finished.


Literature Review
Thoracic trauma accounts for one-forth of all chest-related mortality; two-thirds of these mortalities happen after hospital admission.1,2Trauma to the chest may cause pneumothorax.2,3Based on the patophysiology, there are two types of pneumothorax: tension pneumothorax and traumatic pneumothorax.
In tension pneumothorax, there is disruption in either visceral pleura, parietal pleura of tracheobronkial tree that create abnormal connection between intrapulmonary and intrapleural air.1Traumatic pneumothorax may be caused by blunt or penetrating trauma.1,3 Penetrating trauma, potentially those that creates big open wound on chest wall, will cause open pneumothorax. When the wound size exceeds two-thirds of tracheal diameter, air will fill the intrapleural space causing the loss of pressure gradient.4The ongoing air collection in the pleural space may shift the mediastinum, a life-threatening emergency condition.2
As with other trauma cases, pneumothorax management consists of the management of Airway, Breathing, and Circulation. Sucking chest wound requires emergent wound closing using occlusive or pressure dressing that is taped to the chest wall on 3 sides. This type of closure may create Flutter Type Valve that allows air to flow outside during expiration but not inside during inspiration.4



Tube Thoracostomy using Water Sealed Drainage (WSD)is still the first management option in pneumothorax. Beside therapeutic, WSD may also be beneficial in establishing diagnosis.5,6WSD is useful to evacuate air, to evacuate and measure bleeding, to detect massive air leak and to see if the patient is indicated to undergo thoracotomy. Indications for thoracotomy includes chest tube drainage of 3-5cc/kgBW/hr for 3 consecutive hours or 5cc/kgBW/hr, the presence  of continuous bubble in large bronchopleuralfistule or the persistence of expiration bubble for more than 2 days in medium-sized bronchopleural fistula.7

Discussion
The diagnosis of open pneumothoraxwas established based on clinical examination: chest pain, dyspnea with tachypnea, tachycardia, hyperresonant on percussionwith diminished breath sounds and vulnusscissumon the anterolateral aspect of sixth intercostal space of the left hemithorax, size 15x3cm. Chest X-ray done after chest tube insertion showed free air in the pleural space.
In the late stages, pneumothorax patients may experience loss of consciousness, contralateral tracheal deviation, sianosis and hypotension with distented neck veins. Additional examinations that may be suggested are chest x-ray, CT-scan, ultrasonography, arterial blood gas and electrocardiography; but it should be bear in mind that pneumothorax is a clinical diagnosis, laboratory and radiological examination should not delay the emergency management.1

The respiratory distress that this patient experienced is cause by open pneumothorax that created abnormal connection between intrapleural space and atmospheric air. This condition should be managed emergently by inserting a WSD chest tube. While can be done in the ER, care should be taken to make sure a- and antiseptic measures are done correctly.5,6
Chest tube connected to the WSD may be placed anywhere in the chest, as long as it can return the negative intrapleural pressure. The ideal place for tube insertion is fifth or sixth intercostal space between the medial and posterior axillaris line for the right chest, and sixth or seventh intercostal space between the medial and posterior axillaris line for the left chest.5

Chest tube can be removed when the physiological function has returned completely: (1) full expansion of the lungs, as evidenced by clinical and radiographic examination, (2) drain production is less than 100cc per 24 hrs, (3) no air bubble, (4) no fluctuation in the tube, provided there were no tube blockage or kinking. Chest tube may be removed during inspiration or expiration. At the end of inspiration or expiration, the patient should do Valsalvamanuever and hold it until chest tube is removed completely from chest wall.7




  GLOSSARY
1. Open Pneumothorax: Pneumothorax with opening of the pleural space and have abnormal connection with the atmosphere through the defect of the chest wall.

2. CVC: Central Venous Catheter.  Is a catheter that placed into a large vein (Internal Jugular Vein, Vena JugularExternal Jugular Vein,Subclavian Vein,FemoralVein that used to administer medications and fluids, to measure venous oxygen saturation,  and toobtain cardiovascular measurements such as the Central Venous Pressure.

3. VulnusScissum :wound that caused by sharp objects (ex : Knife)

4. CRT: capillary refill time isa quick examination by pressing the soft pad of a finger or toe nails and taking note of the time needed for the color for the color to return, used to evaluate the dehydration status and peripheral perfusion.

5. Undulation: movement of fluids in the WSD tube which follow the respiratory pattern of the patients
Reference
1. Sharma A, Jindal P. Principles of diagnosis and management of traumatic pneumothorax. J Emerg Trauma Shock [serial online] 200 [cited 2011 Apr 8];1;34-41. Available from: http://www.onlinejets.org/text.asp?2008/1/1/34/41789

2. Khan MLZ, Haider J, Alam SN, Jawaid M, Maliks KA. Chest Trauma Management: Good Outcomes possible in a general surgical unit. Pak J Med Sci April - June 2009 Vol. 25 No. 2 217-221.

3. M.R. Khammash& F. El Rabee: Penetrating Chest Trauma in North of Jordan: A Prospective Study. The Internet Journal of Thoracic and Cardiovascular Surgery.2006 vol 8(1)

4.American College of Surgeons Committee on Trauma.Thorax Injury. In: Advanced Trauma Life Support for Doctors: Student Course Manual 7th ed. 2004. Jakarta: Trauma Committee “IKABI”. page 111-42.

5. Dural K, Gulbahar G, Kocer B, Sakinci U. A novel and safe technique in closed tube thoracostomy. Journal of Cardiothoracic Surgery 2010, 5:21. Available from: http://www.cardiothoracicsurgery.org/content/5/1/21

6. Muslim M, Bilal A, Salim M, Khan MA, Baseer A, Ahmed M. Tube Thoracostomy: Management and outcome in patients with penetrating chest trauma. J Ayub Med Coll Abbottabad 2008;20(4)

7. Wuryantoro.Water Sealed Drainage (WSD). Presented in The Department of Surgery, Faculty of  Medicine University of Indonesia, CiptoMangunkusumoNational Hospital, May 15, 2009