Senin, 31 Maret 2008

Resident Story--The Beginning

I am a resident in pediatrics--eight months down, three more years to go. I'm not allowed to make excuses. If my senior resident needs something done, I can't say, "But I haven't had my lunch," or, "I'm still working on another patient." With 180-hour workweeks and many nights without sleep during the night shift, I'm also trying to learn to be a pediatrician. And my weight has already decreased 4 kilos within two months.

--have to give thesis presentation next week, many stories to tell, and urge to read Atul Gawande's "Better". Has anyone?--

Minggu, 23 Maret 2008

TRAUMA THORAX (TRAUMA DADA) - Bagian I

Pendahuluan Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan diseluruh kota besar didunia dan diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun yang disebabkan oleh trauma toraks di Amerika. Sedangkan insiden penderita trauma toraks di Amerika Serikat diperkirakan 12 penderita per seribu populasi per hari dan kematian yang disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20-25% . Dan hanya 10-15% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana untuk menolong korban dari ancaman kematian. Canadian Study dalam laporan penelitiannya selama 5 tahun pada "Urban Trauma Unit" menyatakan bahwa insiden trauma tumpul toraks sebanyak 96.3% dari seluruh trauma toraks, sedangkan sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma tajam.
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%). Sedangkan mortalitas pada setiap trauma yang disertai dengan trauma toraks lebih tinggi (15.7%) dari pada yang tidak disertai trauma toraks (12.8%)
Pengelolaan trauma toraks, apapun jenis dan penyebabnya tetap harus menganut kaidah klasik dari pengelolaan trauma pada umumnya yakni pengelolaan jalan nafas, pemberian ventilasi dan kontrol hemodinamik .
Patofisiologi trauma tumpul toraks
Ada 3 mekanisme pada trauma tumpul toraks :

  • Trauma ledakan : Ada semacam gelombang udara dengan suatu tekanan kuat yang akan merusak/merobek jaringan, seperti trakhea dan bronkhus dan diafragma
  • Trauma deselerasi : Tubuh yang sedang bergerak menabrak sesuatu obyek yang diam, tapi struktur yang berada didalam toraks terus bergerak. Terjadi ruptur aorta.
  • Trauma kompresi :Tubuh tertekan pada suatu obyek yang keras. Terjadi fraktur kosta, sternum dan kerusakan organ intra torakal.
Trauma deselerasi sering terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor atau korban yang terjatuh dari ketinggian.
Trauma kompresi akibat benturan benda tumpul pada toraks akan menyebabkan kerusakan yang sifatnya terlokalisir, seperti fraktur kosta, sternum atau scapula yang seringkali disertai cedera pada organ intra torakal . Bila gaya kompresi tersebut berasal dari sisi anterior-posterior, bisa menyebabkan fraktur kosta dibagian lateral, sedangkan gaya yang berasal dari lateral bisa mengakibatkan terjadinya dislokasi sterno klavikula atau fraktur klavikula. Selain itu faktor usia juga memegang peranan yang cukup penting, pada penderita dewasa akan lebih mudah terjadi fraktur akibat adanya kalsifikasi dan osteoporosis. Sedangkan pada anak masih banyak tulang rawan yang dapat menyerap benturan, sehingga jarang ditemukan fraktur kosta pada trauma tumpul toraks. Rongga toraks dibentuk oleh 2 struktur penting, yakni bagian yang keras/kaku yang membentuk ruangan di rongga toraks, dibentuk oleh tulang tulang seperti kosta, klavikula dan sternum, sedangkan bagian lain adalah otot pernafasan yang berada disekeliling rongga toraks. Secara anatomis dan fisiologis, toraks memegang peranan penting dalam melindungi serta bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja paru dan jantung yang penting untuk dapat menjamin suplai darah dan oksigen keseluruh jaringan tubuh.
Bila terjadi trauma dari salah satu atau kombinasi dari ketiga gaya / mekanisme diatas, maka akan menimbulkan ketimpangan metabolisme pada jaringan tubuh.
Trauma toraks dapat menyebabkan 2 kelainan yang serius : 1). Kegagalan nafas sebagai akibat dari terjadinya pneumotoraks, tension pneumotorak, open pneumotoraks, flail chest dan kontusio pulmonum, 2). Syok perdarahan sebagai akibat dari terjadinya hematotoraks dan hemomediastinum

Trauma toraks sering mengakibatkan keadaan hipoksia, hiperkarbia dan asidosis. Hipoksia disebabkan oleh adanya perubahan tekanan intra pleura yang sering menyertai trauma toraks. Sedangkan keadaan hiperkarbia sering disebabkan oleh gangguan ventilasi serta adanya gangguan kesadaran yang seringkali menyertai penderita dengan trauma tumpul toraks. Sedangkan keadaan metabolik asidosis pada penderita dengan trauma tumpul toraks terjadi akibat adanya hipoperfusi jaringan.
Prinsip dasar pemeriksaan dan pengelolaan
Survei primer (Resusitasi fungsi vital, Survei sekunder, Perawatan definitif)
Hipoksia adalah keadaan yang sangat serius pada setiap trauma toraks, jadi semua tindakan awal ditujukan untuk mencegah dan mengkoreksi hipoksia.
Keadaan yang mengancam jiwa pada trauma toraks harus cepat dilakukan tindakan pertolongan dengan cara yang sesederhana mungkin
Mayoritas tindakan pertolongan yang dikerjakan pada trauma toraks adalah dengan cara kontrol jalan nafas, pemasangan toraks drain dan pemasangan jarum torakostomi.
Survei sekunder lebih ditekankan pada anamnesa trauma dan pemeriksaan yang lebih detil untuk mengetahui adanya cedera yang spesifik

Diagnostik
  1. Anamnesa dan pemeriksaan fisik : Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola dari trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan dari kendaraan yang ditumpangi, kerusakan stir mobil /air bag dan lain lain.
  2. Pemeriksaan foto toraks : Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien dengan trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan dengan hasil pemeriksaan foto toraks. Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto toraks.
  3. CT Scan : Sangat membantu dalam membuat diagnose pada trauma tumpul toraks, seperti fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi. Adanya retro sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis dapat diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum pada pemeriksaan toraks foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini sebelum dilakukan Aortografi
  4. Ekhokardiografi : Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan diagnose adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium, cedera pada esophagus dan aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung ataupun sekat serta katub jantung dapat diketahui segera. Pemeriksaan ini bila dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya meliputi 90% dan spesifitasnya hampir 96%.
  5. Elektrokardiografi : Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang terjadi akibat trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma . Adanya abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi, tachiaritmia semuanya dapat menunjukkan kemungkinan adanya kontusi jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia, gangguan elektrolit, hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti kontusi jantung.
  6. Angiografi : Adalah ‘Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan adanya cedera aorta pada trauma tumpul toraks.
Therapi.... (bersambung)

Senin, 17 Maret 2008

Nyeri Dada (Chest Pain)

Nyeri dada merupakan salah satu keluhan yang paling banyak ditemukan di klinik. Sebahagian besar penderita merasa ketakutan bila nyeri dada tersebut disebabkan oleh penyakit jantung ataupun penyakit paru yang serius. Diagnosa yang tepat sangat tergantung dari pemeriksaan fisik yang cermat, pemeriksaan khusus lainnya serta anamnesa dari sifat nyeri dada mengenai lokasi, penyebaran, lama nyeri serta faktor pencetus yang dapat menimbulkan nyeri dada.
Salah satu bentuk nyeri dada yang paling sering ditemukan adalah angina pektoris yang merupakan gejala penyakit jantung koroner dan dapat bersifat progresif serta menyebabkan kematian, sehingga jenis nyeri dada ini memerlukan pemeriksaan yang lebih lanjut dan penangannan yang serius. Agar diagnosa lebih cepat diarahkan, maka perlu juga lebih dulu mengenal macam – macam jenis nyeri dada yang disebabkan oleh berbagai penyakit lain.

MACAM -MACAM NYERI DADA
Ada 2 macam jenis nyeri dada yaitu:
A. Nyeri dada pleuritik
Nyeri dada pleuritik biasa lokasinya posterior atau lateral. Sifatnya tajam dan seperti ditusuk. Bertambah nyeri bila batuk atau bernafas dalam dan berkurang bila menahan nafas atau sisi dada yang sakit digerakan. Nyeri berasal dari dinding dada, otot, iga, pleura perietalis, saluran nafas besar, diafragma, mediastinum dan saraf interkostalis. Nyeri dada pleuritik dapat disebakan oleh :
- Difusi pelura akibat infeksi paru, emboli paru, keganasan atau radang subdiafragmatik ; pneumotoraks dan penumomediastinum.
B. Nyeri dada non pleuritik
Nyeri dada non-pleuritik biasanya lokasinya sentral, menetap atau dapat menyebar ke tempat lain. Plaing sering disebabkan oleh kelainan di luar paru.
1. Kardial
a. Iskemik miokard akan menimbulkan rasa tertekan atau nyeri substernal yang menjalar ke aksila dan turun ke bawah ke bagian dalam lengan terutama lebih sering ke lengan kiri. Rasa nyeri juga dapat menjalar ke epigasterium, leher, rahang, lidah, gigi, mastoid dengan atau tanpa nyeri dada substernal.
Nyeri disebabkan karena saraf eferan viseral akan terangsang selama iekemik miokard, akan tetapi korteks serebral tidak dapat menentukan apakah nyeri berasal sari miokard. Karena rangsangan saraf melalui medula spinalis T1-T4 yang juga merupakan jalannya rangsangan saraf sensoris dari sistem somatis yang lain. Iskemik miokard terjadi bila kebutuhan 02 miokard tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah koroner. Pda penyakit jantung koroner aliran darah ke jantung akan berkurang karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner.
Ada 3 sindrom iskemik yaitu :
- Angina stabil ( Angina klasik, Angina of Effort) :
Serangan nyeri dada khas yang timbul waktu bekerja. Berlangsung hanya beberapa menit dan menghilang dengan nitrogliserin atau istirahat. Nyeri dada dapat timbul setelah makan, pada udara yang dingin, reaksi simfatis yang berlebihan atau gangguan emosi.
- Angina tak stabil (Angina preinfark, Insufisiensi koroner akut) :
Jenis Angina ini dicurigai bila penderita telah sering berulang kali mengeluh rasa nyeri di dada yang timbul waktu istirahat atau saat kerja ringan dan berlangsung lebih lama.
- Infark miokard :
Iskemik miokard yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menyebabkan infark miokard. Nyeri dada berlangsung lebih lama, menjalar ke bahu kiri, lengan dan rahang. Berbeda dengan angina pektoris, timbulnya nyeri dada tidak ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan bila tidak diobati berlangsung dalam beberapa jam. Disamping itu juga penderita mengeluh dispea, palpitasi dan berkeringat. Diagnosa ditegakan berdasarkan serioal EKG dan pemeriksa enzym jantung.
b. Prolaps katup mitral dapat menyebabkan nyeri dada prekordinal atau substernal yang dapat berlangsung sebentar maupun lama. Adanya murmur akhir sisttolik dan mid sistolik-click dengan gambaran echokardiogram dapat membantu menegakan diagnosa.
c. Stenosis aorta berat atau substenosis aorta hipertrofi yang idiopatik juga dapat menimbulkan nyeri dada iskemik.
2. Perikardikal
Saraf sensoris untuk nyeri terdapat pada perikardium parietalis diatas diafragma. Nyeri perikardila lokasinya di daerah sternal dan area preokordinal, tetapi dapat menyebar ke epigastrium, leher, bahu dan punggung. Nyeri bisanya seperti ditusuk dan timbul pada aktu menarik nafas dalam, menelan, miring atau bergerak.
Nyeri hilang bila penderita duduk dan berdandar ke depan. Gerakan tertentu dapat menambah rasa nyeri yang membedakannya dengan rasa nyeri angina.
Radang perikardial diafragma lateral dapat menyebabkan nyeri epigastrum dan punggung seperti pada pankreatitis atau kolesistesis.
3. Aortal
Penderita hipertensi, koartasio aorta, trauma dinding dada merupakan resiko tinggi untuk pendesakan aorta. Diagnosa dicurigai bila rasa nyeri dada depan yang hebat timbul tiba- tiba atau nyeri interskapuler. Nyeri dada dapat menyerupai infark miokard akan tetapi lebih tajam dan lebih sering menjalar ke daerah interskapuler serta turun ke bawah tergantung lokasi dan luasnya pendesakan.
4. Gastrointestinal
Refluks geofagitis, kegansan atau infeksi esofagus dapat menyebabkan nyeri esofageal. Neri esofageal lokasinya ditengah, dapat menjalar ke punggung, bahu dan kadang – kadang ke bawah ke bagian dalam lengan sehingga seangat menyerupai nyeri angina. Perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut distensi gaster kadang – kadang dapat menyebabkan nyeri substernal sehingga mengacaukan nyeri iskemik kardinal. Nyeri seperti terbakar yang sering bersama – sama dengan disfagia dan regurgitasi bila bertambah pada posisi berbaring dan berurang dengan antasid adalah khas untuk kelainan esofagus, foto gastrointestinal secara serial, esofagogram, test perfusi asam, esofagoskapi dan pemeriksaan gerakan esofageal dapat membantu menegakan diagnosa.
5. Mulkuloskletal
Trauma lokal atau radang dari rongga dada otot, tulang kartilago sering menyebabkan nyeri dada setempat. Nyeri biasanya timbul setelah aktivitas fisik, berbeda halnya nyeri angina yang terjadi waktu exercis. Seperti halnya nyeri pleuritik. Neri dada dapat bertambah waktu bernafas dalam. Nyeri otot juga timbul pada gerakan yang berpuitar sedangkan nyeri pleuritik biasanya tidak demikian.
6. Fungsional
Kecemasan dapat menyebabkan nyeri substernal atau prekordinal, rasa tidak enak di dada, palpilasi, dispnea, using dan rasa takut mati. Gangguan emosi tanpa adanya klealinan objektif dari organ jantung dapat membedakan nyeri fungsional dengan nyeri iskemik miokard.
7. pulmonal
Obstruksi saluran nafas atas seperti pada penderita infeksi laring kronis dapat menyebakan nyeri dada, terutama terjadi pada waktu menelan. Pada emboli paru akut nyeri dada menyerupai infark miokard akut dan substernal. Bila disertai dengan infark paru sering timbul nyeri pleuritik. Pada hipertensi pulmoral primer lebih dari 50% penderita mengeluh nyeri prekordial yang terjadi pada waktu exercise. Nyeri dada merupakan keluhan utama pada kanker paru yang menyebar ke pleura, organ medianal atau dinding dada.
III. ANGINA PEKTORIS
Angina pektoris adalah jenis nyeri dada yang perlu diperhatikan karena merupakan petunjuk ke arah penyakit jantung koroner dan indikasi untuk mengirim penderita ke Rumah Sakit guna pemeriksaan lebih lanjut. Untuk mengenal indikasi yang tepat pada penatalaksanaan angina selanjutnya yaitu kapan silakukan arteriografi koroner, angioplasti koroner ataupun cedah koroner maka perlu diketahui lebih dulu mengenai jenis angina, prevalensi angina, patigenesa dan perjalanan penyakitnya serta pemeriksaan yang perlu dilakukan.
A. Jenis Angina
Ada 3 dasar jenis angina yaitu angina stabil, angina tak stabil dan angina variant sebagian besar penderita angina, kelainan disebabkan karena adanya pembuluh darah koroner yang obstruktif serta kemungkinan timbul spasme koroner dengan derajat yang bervariasi. Pada angina variant (angina Prinzmetal) yaitu jenis angina yang jarang, nyeri timbul akibat spasme pembuluh darah koroner yang normal ataupun ketidak seimbangan antara kebutuhan O2 miokard dengan aliran darah juga dapat terjadi bukan karena faktor koroner yang dapat menimbulkan angina non-koroner seperti pada :
- Penyakit katup jantung terutama pada stenosis aorta
- Stenosis aorta akibat klasifikasi (non-rematik) yang terjadi pada orang tua atau karena penggantian katup
- Tahikardi yang intermiten atau menetapkan seperti fibrilasi atrial terutama pada orang tua
- Hipertensi, anemi dan DM yang tidak terkontrol.
B. Prevalansi Angina
Penelitian dari Framingham di Amerika Serikat melaporkan setiap tahunnya 1% dari laki – laki 30-62 tahun tanpa gejala pada permulaan pemeriksaan akan timbul kemudian gejala penyakit jantung koroner yaitu dari jumlah tersebut 38 % dengan angina stabil dan 7 % dengan angina tak stabil (Dawber, 1980). Penelitian dari Irlandia mendapatkan insedens angina pertahun 0,44% pada laki –laki umur 45-54 tahun, sedangkan pada perempuan separuhnya (Greig dkk, 1980).
Diamond dan Forrester 1979 telah mengadakan penelitian untuk mengetahui prevelansi penyakit jantung koroner dengan nyeri dada jenis angina tipikal, angina apitikal dan nonangina berdasarkan umur dan jenis kelamin.
C. Potogenesa
Pola penyakit jantung koroner dapat diketahui berdasarkan hubungan antara jala klinis dengan patologi endotelial yang dilihat secara angioskopi. Pada perulaan penyakit akan tampak lapisan lemak pada permukaan pembuluh darah. Bila licin. Bila plak bertambah besar aliran koroner akan berkurang yang menyebabkan kumpulan platelet pada tempat tersebut. Kumpulan platelet tersebut akan mengakibatkan lepasnya vasokonstriktor koroner secara periodik dari aliran darah dan menyebabkan angina yang laju (accelerated angina) yaitu bentuk peralihan dari angina stabil ke angina tidak stabil. Bila trombus menyebabkan obstruksi yang total akan terjadi infark miokard. Setelah terjadi infark, trombus akan lisis oleh proses endogen. Ulserasi endotelial menyembuh dalam beberapa minggu. Proses penyembuhan kadang – kadang tidak seluruhnya sempurna, seringkali trombus yang tersisa membentuk sumbatan ke dalam pembuluh darah .
D. Pemeriksaan Khusus pada angina
Pemeriksaan darah rutin, kadar glukosa, lipid dan EKG waktu istirahat perlu dilakukan. Hasilnya meungkin saja normal walaupun ada penyakit jantung koroner yang berat. EKG bisa didapatkan gambaran iskemik dengan infark miokard lama atau depresi ST dan T yang terbalik pada penyakit yang lanjut.
Test exercise selanjutnya perlu dipertimbangkan dengan indikasi sebagai berikut:
- Untuk menyokong diagnosa angina yang dirangsang akibat nyeri dengan perubahan iskemik pada EKG
- Untuk menilai penderita dengan resiko tinggi serta prognosa penyakit
- Untuk menilai kapasitas fungsional dan menentukan kemampuan exercise
- Untuk evaluasi nyeri dada yang atipik
Jenis test exercise bermacam-macam antara lain test treadmill, protokol Bruce, test Master dan Sepeda ergometri. Test exercise tidak perlu dilakukan untuk diagnostik pada wanita dengan nyeri dada non anginal karena kemungkinan penyakit jantung koroner sangat rendah, sedangkan pada laki-laki dengan angina tipikal perlu dilakukan untuk menentukan penderita dengan resiko tinggi dimana sebaliknya perlu dibuat arteriografi koroner. Penderita dengan angina atau perubahan iskemik dalam EKG pada tingkat exercise yang rendah biasanya penderita yang mencapai beban kamsimum yang rendah biasanya menderita kelainan pembuluh darah yang multipel dan bermanfaat bila dilakukan bedah koroner. Bila tekanan darah turun waktu exercise perlu dicurigai adanya obstruksi pada pembuluh darah utama kiri yang juga merupakan indikasi untuk pembedahan. Penderita dengan angina atipikal terutama wanita sering memberi hasil false positif yang tinggi. Sedangkan hasil test yang negatif pada angina atipikal dan non-angina besar kemungkinannya tidak ada kelainan koroner. Bila hasil exercise test meragukan perlu dilakukan pemeriksaan radionuklir karena jarang sekali didapatkan hasil false positif. Thallium scintigrafi menggambarkan perfusi miokard saat istirahat maupun exercise ataupun gangguan fungsi ventrikel kiri yang timbul akibt exercise.
Pemeriksaan arteriografi koroner sangat akurat untuk menentukan luas dan beratnya penyakit jantung koroner. Angiografi koroner dilakukan dengan keteterisasi arterial di bawah anastesi lokal, biasanya pada a. femoralis atau pad a. rakialis. Kateter dimaksudkan di bawah kontrol radiologis ke ventrikel kiri dan a. koronaria kiri dan kanan, kemudian dimasukkan kontras media. Lesi yang sering tampak pada angiogram koroner adalah stenosis atau oklusi oleh ateroma yang bervariasi derajat luas dan beratnya.
Tidak semua penderita angina harus dilakukan test exercise dan angiografi koroner. Indikasi penderita angina yang harus dikirim ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
- angina yang menyebabkan terbatasnya aktifitas walaupun dengan pemakaian obat-obatan.
- Angina progresif dan tak stabil
- Angina baru yang timbul terutama bila tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
- Angina dengan kapasitas exercise yang buruk dibandingan dengan penderita pada umur dan jenis kelamin yang sama.
- Angina dengan gagal jantung
- Angina atipikal pada laki-laki dan wanita di atas 40 tahun.
- Angina post-infark
- Nyeri dada non-anginal yang menetapkan dan tidak dapat didiagnosa pada penderita usia tua terutama bila ada risiko yang multipel
- Keadaan lainnya seperti keadaan non-kardial yang serius dan umur tua.
E. Penerangan Angina
Penerangan angina bertujuan untuk:
- memperlambat atau menghentikan progresifitas penyakit.
- Memperbaiki kualitas hidup dengan mengurangi frekuensi serangan angina
- Mengurangi atau mencegah infark miokard dan kematian mendadak.
a. Memperbaiki faktor risiko
Walaupun masih diperdebatkan ternyata menurunkan kolesterol darah dalam jangka lama dapat mengurangi progresifitas penyakit. Pencegahan primer dengan diet ternyata bermanfaat, bila tidak ada respons dapat diberikan obat-obatan anti lipid. Exercise dapat menurunkan kolesterol LDL. Pngobatan hipertensi juga dapat mengurangi progresifits penyakit, demikian juga merokok perlu dilarang.
b. Pemberian obat-obatan
1. Nitrat
Nitrat meningkatkan pemberian D2 miokard dengan dialatasi arteri epikardial tanpa mempengaruhi, resistensi arteriol arteri intramiokard. Dilatasi terjadi pada arteri yang normal maupun yang abnormal juga pada pembuluh darah kolateral sehingga memperbaiki aliran darah pada daerah isomik. Toleransi sering timbul pada pemberian oral atau bentuk lain dari nitrat long-acting termasuk pemberian topikal atau transdermal. Toleransi adalah suatu keadaan yang memerlukan peningkatan dosis nitrat untuk merangsang efek hemodinamik atau anti-angina. Nitrat yang short-acting seperti gliseril trinitrat kemampuannya terbatas dan harus dipergunakan lebih sering. Sublingual dan jenis semprot oral reaksinya lebih cepat sedangkan jenis buccal mencegah angina lebih dari 5 am tanpa timbul toleransi.
2. Beta- Bloker
Beta –Bloker tetap merupakan pengobatan utama karena pada sebagian besar penderita akan mengurangi keluhan angina. Kerjanya mengurangi denyut jantung, kontasi miokard, tekanan arterial dan pemakaian O2. Beta Bloker lebih jarang dipilih diantara jenis obat lain walaupun dosis pemberian hanya sekali sehari. Efek samping jarang ditemukan akan tetapi tidak boleh diberikan pada penderita dengan riwayat bronkospasme, bradikardi dan gagal jantung.
3. Ca-antagonis
Kerjanya mengurangi beban jantung dan menghilangkan spasma koroner, Nifedipin dapat mengurangi frekuensi serangan anti-angina, memperkuat efek nitrat oral dan memperbaiki toleransi exercise. Merupakan pilihan obat tambahan yang bermanfaat terutama bila dikombinasi dengan beta-bloker sangat efektif karena dapat mengurangi efek samping beta bloker. Efek anti angina lebih baik pada pemberian nifedipin ditambah dengan separuh dosis beta-bloker daripada pemberian beta-bloker saja.
Jadi pada permulaan pengobatan angina dapat diberikan beta-bloker di samping sublingual gliseril trinitrat dan baru pada tingkat lanjut dapat ditambahkan nifedi-pin. Atau kemungkinan lain sebagai pengganti beta-bloker dapat diberi dilti azem suatu jenis ca-antagonis yang tidak merangsang tahikardi. Bila dengan pengobatan ini masih ada keluhan angina maka penderita harus direncanakan untuk terapi bedah koroner. Pengobatan pada angina tidak stabil prinsipnya sama tetapi penderita harus dirawat di rumah sakit. Biasanya keluhan akan berkurang bila ca-antagonis ditambah pada beta-bloker akan tetapi dosis harus disesuaikan untuk mencegah hipertensi. Sebagian penderita sengan pengobatan ini akan stabil tetapi bila keluhan menetap perlu dilakukan test exercise dan arteriografi koroner. Sebagian penderita lainnya dengan risiko tinggi harus diberi nitrat i.v dan nifedipin harus dihentikan bila tekanan darah turun. Biasanya kelompok ini harus segera dilakukan arteriografi koroner untuk kemudian dilakukan bedah pintas koroner atau angioplasti.
4. Antipletelet dan antikoagulan
Segi lain dari pengobatan angina adalah pemberian antipletelet dan antikoagulan. Cairns dkk 1985 melakukan penelitian terhadap penderita angina tak stabil selama lebih dari 2 tahun, ternyata aspirin dapat menurunkan mortalitas dan insidens infark miokard yang tidak fatal pada penderita angina tidak stabil. Pemberian heparin i.v juga efeknya sama dan sering diberikan daripada aspirin untuk jangka pendek dengan tujuan menstabilkan keadaan penderita sebelum arteriografi. Terdapat obat-obatan pada angina pektoris tak stabil secara praktis dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Heparin i.v dan aspirin dapat dianjurkan sebagai pengobatan rutin selama fase akut maupun sesudahnya
- Pada penderita yang keadaannya cenderung tidak stabil dan belum mendapat pengobatan, beta-bloker merupakan pilihan utama bila tidak ada kontra indikasi. Tidak ada pemberian kombinasi beta-bloker dengan ca-antagonis diberikan sekaligus pada permulaan pengobatan.
- Pada penderita yang tetap tidak stabil dengan pemberian beta-bloker dapat ditambah dengan nifedipin.
- Pengobatan tunggal dengan nifedipin tidak dianjurkan.
c. Bedah pintas koroner (Coronary Artery Bypass Graft Surgery)
Walupun pengobatan dengan obat-obatan terbaru untuk pengobatan angina dapat memeperpanjang masa hidup penderita, keadaan tersebut belum dapat dibuktikan pada kelompok penderita tertentu terutama dengan penyakit koroner proksimal yang berat dan gangguan fungsi ventrikel kiri dengan risiko kerusakan mikardium yang luas (Rahimtoola 1985).
Pembedahan lebih bagus hasilnya dalam memperbaiki gejala dan kapasitas exercise pada angina sedang sampai berat. Perbaikan gejala angina didapatkan pada 90% penderita selama 1 tahun pertama dengan kekambuhan setelah itu 6% pertahun. Kekambuhan yang lebih cepat biasanya disertai dengan penutupan graft akibat kesulitan teknis saat operasi sedangkan penutupan yang lebih lama terjadi setelah 5 – 12 tahun sering karena adanya graft ateroma yang kembali timbul akibat pengaruh peninggian kolesterol dan diabetes.
Penelitian selama 10 tahun mendapatkan kira-kira 60% graft vena tetap baik dibandingkan dengan 88% graft a. mamaria interna. Mortalitas pembedahan tidak lebih dari 2% akibat risiko yang besar pada penderita angina tak stabil dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk. Resiko meninggi pada umur lebih dari 65 tahun akibat penyakit yang lebih berat terutama pada kerusakan ventrikel kiri walaupun memberikan respons yang baik dengan graft dan sekarangpun pembedahan biasa dilakukan pada penderita umur 20 tahun. Morbiditas pembedahan juga tidak sedikit yaitu sering didapatkan perubahan neuropsikiatrik sementara dan insidens stroke 5%. Akan tetapi kebanyakan penderita lambat laun akan kembali seperti semula.
d. Ercutaneous transluminal Coronary Angioplasaty (PTCA)
Pada bebrapa negara 30% penderita dilakukan dilatasi stenosis koroner dengan balon. Mula-mula indikasinya terbatas pada lesi koroner yang tunggal akan tetapi sekarang juga dilakukan pada penyakit pembuluh darah multipel. Tekhnik ini dilakukan dengan anestesi lokal dan biasanya perawatan di rumah sakit tidak lebih dari 3 hari. Risiko oklusi pembuluh darah dan infark miokard didapatkan 5%. 25% stenosis kembali dalam waktu 6 bulan dan perlu diulang kembali, sedangkan 75% berhasil untuk waktu yang lama. Pemilihan penderita yang tepat untuk dilakukan PTCA memberi hasil yang aman dan sangat efektif untuk memperbaiki angina stabil dan angina tak stabil walaupun belum ada percobaan kontrol yang membandingkan dengan bedah koroner.
e. Penderita penanganan angina berdasarkan tingkatan risiko
Penanganan secara sistematik dan rasional pada penderita angina pektoris dapat disimpulkan sebagai berikut:
Penderita yang telah ditentukan kelompok risiko tinggi dengan parameter non-invasif merupakan indikasi untuk arteriografi koroner. Bila arteriografi menunjukkan kelainan a.koronaris pada 3 pembuluh darah atau pembuluh darah uatama kiri dan diperkirakan dengan pembedahan dapat mempebaiki prognosa maka merupakan indikasi untuk CABG. PTCA dipertimbangkan pada lesi proksimal yang kritis walaupun manfaatnya belum dapat dilakukan operasi karena risiko operasi yang tinggi atau alasan lainnya.
Penderita yang secara non-invasif ditentukan sebagai kelompok risiko tinggi dan pada arteriografi koroner dengan 1 atau 2 kelaianan pembuluh darah serta fungsi ventrikel kiri yang normal, tetapi bila gejala tidak terkontrol, pilihan pertama adalah PTCA tidak berhasil atau tidak dapat dilakukan karena alasan lain.

Parkinson

Penyakit Parkinson ( paralysis agitans ) atau sindrom Parkinson ( Parkinsonismus ) merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus palidus/ neostriatum ( striatal dopamine deficiency ).

Penyakit Parkinson dijumpai pada segala bangsa, dan satu sampai lima diantara seribu penduduk menderita penyakit ini. Kebanyakan para penderita mulai dilanda penyakit ini pada usia antara 40-60 tahun, dengan perbandingan laki-laki dan wanita 5:4.Faktor genetic mungkin mempunyai peran penting pada beberapa keluarga, khususnya bila terdapat pada usis di bawah 40 tahun ( parkinsonismus juvenilis ).
Ganglia basalis sering ikut terlibat di dalam proses degeneratif dan mengakibatkan gangguan gerakan, yang dapat berupa gerakan menjadi lamban atau gerakan menjadi berlebihab. Gerak lamban di sebut sebagai gerak involunter yang abnormal, hiperkinesia atau diskinesia.
Ganglia basalis itu sendiri terdiri dari :
1. Korpus striatum : nukleus kaudatus, putamen, dan globus palidus.
2. Substansia nigra.
3. Nukleus subtalamik.
Sinrdom parkinson dengan beragam etiologi gambaran gejala klinis hampir serupa. Kriteria untuk menggolongkannya ke dalam sindrom Parkinson adanya rigiditas, tremor, dan bradikinesia.
Johnson dan kawan-kawan mengemukakan bahwa diagnosis klinis penyakit Parkinson dapat ditegakkan bila dijumpai sekurang-kurangnya 2 dari4 gejala seperti tremor, rigiditas, bradikinesia dan instabilitas postural.

KLASIFIKASI
Pada umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan, tetapi harus diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapat gambaran tentang etiologi, prognosis dan penatalaksanaannya.

1. Parkinsonismus primer/ idiopatik/paralysis agitans.
- sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya belum jelas.
- Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk jenis ini.
2. Parkinsonismus sekunder atau simtomatik
- dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain : tuberkulosis, sifilis meningovaskuler.
- iatrogenik atau drug induced, misalnya golongan fenotiazin, reserpin, tetrabenazin.
- lain-lain, misalnya perdarahan serebral petekial pasca trauma yang berulang-ulang pada petinju, infark lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.
3. Sindrom paraparkinson ( Parkinson plus )
- pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran penyakit keseluruhan.
- jenis ini bisa didapat pada penyakit Wilson ( degenerasi hepato-lentikularis ), hidrosefalus normotensif, sindrom Shy-drager, degenerasi striatonigral, atropi palidal ( parkinsonismus juvenilis ).

GAMBARAN KLINIS
1. Tremor
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam atau memulung-mulung ( pil rolling ).
Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut membuka menutup, lidah terjulur-tertarik.
Tremor ini menghilang waktu istirahat dan menghebat waktu emosi terangsang ( resting/ alternating tremor )



2. Rigiditas
Adanya hipertoni pada otot fleksor ekstensor dan hipertoni seluruh gerakan, hal ini oleh karena meningkatnya aktifitas motorneuron alfa, adanya fenomena roda bergigi ( cogwheel phenomenon ).
3. Bradikinesia
gerakan volunteer menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif, misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat.
Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimic dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut.
4. Mikrografia
Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini.
5. Langkah dan gaya jalan ( sikap Parkinson )
Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat ( marche a petit pas ), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan, punggung melengkung bila berjalan.
6. Bicara monoton
Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara, otot laring, sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan volume suara halus ( suara bisikan ) yang lambat.
7. Disfungsi otonom
Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia dan hipotensi ortostatik.
8. Gangguan behavioral
Lambat-laun menjadi dependen ( tergantung kepada orang lain ), mudah takut, sikap kurang tegas, depresi.
Cara berpikir dan respon terhadap pertanyaan lambat ( bradifrenia ) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal diberi waktu yang cukup.

9. Dimensia
Adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan deficit kognitif.
10. lain-lain
kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas pangkal hidungnya ( tanda Myerson positif )

DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dab pemeriksaan penunjang. Pada setiap kunjungan penderita :
1.Tekanan darah diukur dalam keadaan berbaring dan berdiri, hal ini untuk mendeteksi hipotensi ortostatik.
2.Menilai respons terhadap stress ringan, misalnya berdiri dengan tangan diekstensikan, menghitung surut dari angka seratus, bila masih ada tremor dan rigiditas yang sangat, berarti belum berespon terhadap medikasi.
3.Mencatat dan mengikuti kemampuan fungsional, disini penderita disuruh menulis kalimat sederhana dan menggambarkan lingkaran-lingkaran konsentris dengan tangan kanan dan kiri diatas kertas, kertas ini disimpan untuk perbandingan waktu follow up berikutnya.

TERAPI
1. Medikamentosa
- bromokriptin → stimulasi reseptor dopamine
- triheksiphenidil HCL → antikolinergik
2. Fisik
Merupakan program jangka panjang dan jenis terapi disesuaikan dengan perkembangan penyakit, misalnya latihan mengatasi kaku dan berat pada anggota gerak, memperbaiki sikap tubuh, cara melangkahkan tungkai dan melenggangkan lengan.


PEMERIKSAAN PENUNJANG
- EEG ( biasanya terjadi perlambatan yang progresif )
- CT Scan kepala ( biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar, hidrosefalua eks vakuo )