Selasa, 26 Juni 2007

FORMULIR REKAM MEDIS TANGGAP DARURAT BENCANA (RM-TDB)

(Sebuah ulasan dari pengalaman)

Latar belakang

Setiap sarana pelayanan kesehatan sudah selayaknya menyiapkan diri untuk mengantisipasi kejadian bencana di wilayahnya, atau membantu pelayanan kesehatan di wilayah lain yang terkena bencana. Rekam medis (RM) merupakan suatu bentuk catatan yang merekam segala bentuk layanan kesehatan yang telah (bahkan yang akan) diberikan kepada pasien. Pencatatan layanan kesehatan ini dilakukan melalui berbagai cara dalam berbagai bentuk. Sejak dari kedatangan pasien, pencatatan identitas pasien, anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, rencana terapi dan tindakan, hingga hasil pelayanan semua harus terekam dengan lengkap. Berbagai bentuk RM meliputi tulisan, cetakan, foto, video, suara, hingga bentuk kombinasinya (multi media) selayaknya tersusun rapi sesuai urutan kejadiannya hingga tercipta dokumen rekam medis yang akurat, informatif, rasional, reasonable (beralasan), dan responsible (dapat dipertanggungjawabkan).

Setelah selesai episode layanan maka RM wajib disimpan agar terjaga dari kehilangan atau kerusakan yang bisa diakibatkan oleh manusia (termasuk karena huru-hara), hewan (tikus; rayap; kecoa; semut; dsb), kekuatan alam seperti api; debu; air; cahaya matahari; bencana alam; gangguan listrik (pada rekam medis elektronik / rekam kesehatan elektronik), serta gangguan teknis seperti kerusakan perangkat keras (hardware); media penyimpan (storage); dan perangkat lunak (software).

Penyimpanan berkas RM dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya berkas kertas; microfilm; microfice; floppy disk; CD; dan harddisk. Dalam bentuk dan media apapun, penyimpanan RM harus mengikuti aturan masa peyimpanan (retensi) dan akhirnya juga aturan tata cara pemusnahannya.

Pelaksanaan dari keseluruhan prosedur pengelolaan RM ini secara rutin telah dilaksanakan di berbagai unit pelayanan kesehatan, terutama di rumah sakit. Dalam kondisi pelayanan rutin (harian) pengelolaan RM “terasa” seperti kegiatan rutin yang nyaris berjalan tanpa beban berarti. Namun dalam kondisi tertentu seperti dalam kondisi terjadi bencana, pengelolaan RM masih menjadi sesuatu yang perlu ditelaah dan dikembangkan. Situasi bencana yang hiruk pikuk, panik, dengan beban kerja yang mendadak tinggi dan tuntutan kecepatan pelayanan dengan tingkat resiko meningkat dan standar pelayanan (medis) yang tetap harus terjamin, menjadikan proses pencatatan layanan kesehatan kedalam bentuk RM membutuhkan fokus yang semestinya disederhanakan tanpa melanggar berbagai aspek pendukung lainnya.

Beberapa aspek pendukung proses pelayanan RM antara lain aspek medis, aspek etika profesi perekam medis, aspek hukum kesehatan, aspek manajemen pelayanan kesehatan, dan aspek teknologi informasi & komunikasi.

Bencana yang dimaksudkan dalam tulisan ini dapat meliputi bencana alam (gempa bumi; banjir; tsunami; kebakaran), bencana karena manusia (misalnya huru-hara), bencana teknis (gangguan listrik; gangguan sistem; gangguan hardware dan software).
Ilustrasi kasus

  • Pelaksanaan layanan kesehatan yang dilaksanakan di rumah sakit (RS) tenda pada suatu kejadian bencana ternyata sempat menyisakan pengelaman menarik dari sejawat medis yang bertugas. Selama memberikan layanan di RS, sejawat dokter ini mencatat rencana dan hasil layanan dalam berkas RM yang kemudian RM ini disimpan (diletakkan) menggantung di tempat tidur pasien. Cara penyimpanan seperti ini bertujuan untuk mempercepat pencarian RM karena tidak tersedia ruang filing yang memadai. Pada suatu hari, salah satu pasien (atau beberapa pasien ?) tidak berada lagi ditempatnya pada saat dokter akan melakukan visite. Pasien yang “hilang” ini ternyata sudah dibawa pulang oleh keluarganya (atau dipindahkan ke RS lain) tanpa ijin dan prosedur dari petugas setempat. Masalahnya lagi adalah bahwa pindahnya (atau perginya?) pasien ini ternyata membawa serta berkas RM yang digantung ditempat tidurnya. Akibatnya RS tenda tersebut tidak memiliki RM si pasien. Padahal, menurut peraturan yang (masih) berlaku disebutkan bahwa RS wajib membuat, menyimpan, dan mengelola berkas RM sesuai standar yang berlaku.
  • Pada saat terjadi gempa bumi skala besar dan tsunami, banyak RS yang rusak berat termasuk ruang filingnya. Kejadian ini mengakibatkan RS tersebut kehilangan sebagian besar (bahkan bisa seluruh) berkas RMnya termasuk persediaan formulir RM. Beberapa saat setelah bencana, masyarakat mulai berdatangan ke RS tersebut untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagai korban bencana. Dalam melayani korban bencana ini, pihak RS akhirnya menggunakan kertas seadanya dan mencatat seadanya/sebisanya dan akhirnya menyimpan “RM”nya ini sebisanya juga. Hasilnya, banyak RM darurat ini yang hilang tercecer karena diperlakukan sebagai kertas catatan biasa.
  • Tim relawan bidang RM yang berangkat ke lokasi bencana untuk membantu proses pelayanan RM di RS lokasi bencana umumnya membawa serta formulir-formulir RM dari RS asalnya untuk langsung digunakan di RS lokasi bencana. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa RS lokasi bencana kesulitan atau tidak lagi memiliki formulir-formulir RM yang dibutuhkan untuk melayani korban bencana. Selain membawa formulir RM umumnya tim relawan ini juga membawa serta dan menerapkan sistem pelayanan RM sebagaimana yang biasanya mereka laksanakan di RS asalnya. Hal ini bisa dikatakan sebagai tahap adopsi dalam masa awal pasca bencana. Selama masa adopsi ini hampir bisa dipastikan bahwa banyak hal yang kurang sesuai sehingga perlu dilakukan proses adaptasi. Dalam proses adaptasi ini perlu dilakukan penyesuaian antara sarana kerja (formulir RM), ketersediaan dan kemampuan SDM, alur dan prosedur pelayanan, bahkan kadang-kadang juga melibatkan penyesuaian budaya kerja.
  • Kondisi bencana / pasca bencana tentu tidak lepas dari liputan dan tayangan media massa, termasuk penayangan korban bencana dengan berbagai kondisi trauma dan penyakitnya. Sampai dimana sebenarnya sharing informasi untuk keadaan seperti ini? RM bersifat rahasia dan hanya boleh dibuka informasinya atas ijin pasien yang bersangkutan dan untuk pihak-pihak yang berhak. Apakah sifat confidential RM ini masih harus berlaku pada kondisi bencana?
    Ulasan

Hingga saat ini ada berbagai peraturan pengelolaan RM yang diterbitkan oleh pemerintah misalnya:

  • Permenkes 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang penyelenggaraan RM,
  • PP no.10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran,
  • SK Menkes no.034/Birhup/1972 tentang perencanaan dan pemeliharaan RS,
  • SK Dirjen Yanmed no.78 tahun 1991 tentang penyelenggaraan RM,
  • Permenkes no.585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik,
  • SE Dirjen Yanmed no:HK.00.06.1.5.01160 tentang petunjuk teknis pengadaan formulir RM dasar dan pemusnahan arsip RM,
  • UU 23/1992 tentang kesehatan, dan
  • UU 29/2004 tentang praktek kedokteran, dan sebagainya.

Berbagai peraturan ini secara jelas dan tegas mengatur pengadaan dan pengelolaan RM di sarana pelayanan kesehatan, terutama di RS. Namun sayangnya, berbagai peraturan ini belum menyentuh aspek pengelolaan RM pada situasi dan kondisi bencana. Berbagai pertanyaan mulai muncul dan layak untuk segera dicari alternatif solusinya, antara lain:

  • Apakah ada model formulir RM yang memang dirancang untuk digunakan saat kondisi bencana?
  • Apa saja minimal yang harus dicatat/direkam dalam RM dari pelayanan kesehatan saat bencana?
  • Bagaimana pencatatan sistem identifikasi pasien saat bencana?
  • Berapa lama masa retensi berkas RM dari para korban bencana?
  • Bagaimana aspek hukum pelayanan kesehatan dalam pengelolaan RM saat bencana?
    Informasi apa saja yang boleh dilepaskan oleh pihak RS mengenai isi berkas RM dari pasien korban bencana?
  • Bagaimana batasan hak dan kewajiban pasien korban bencana terhadap berkas RMnya?
  • Apakah ada prosedur pelaporan khusus untuk pelaporan RM saat bencana?
  • Bagaimana menyiapkan diri / RS agar lebih siap menghadapi bencana dan mengelola RM saat bencana?

Menilik dan mempelajari berbagai kejadian bencana (terutama bencana alam) di Indonesia selama ini, jelas dapat dilihat bahwa saat ini belum ada model formulir RM yang memang dirancang untuk digunakan saat kondisi bencana. Belum ada model prosedur dan formulir yang bisa diterapkan untuk mengelola RM pada saat bencana dan dapat segera diadopsi untuk berbagai kondisi bencana diberbagai wilayah Indonesia dengan berbagai ragam mutu SDM, sarana, dan budaya. Mungkinkah disusun model RM seperti ini?

Disain formulir RM tanggap darurat bencana (RM-TDB)

Pemikiran disain formulir RM melibatkan 3 hal yang saling terkait, yaitu: aspek fisik formulir, aspek anatomik formulir, dan aspek isi formulir.

Aspek fisik formulir RM-TDB
Aspek fisik formulir RM-TDB meliputi pertimbangan terhadap bahan, ukuran, bentuk/model, dan warna.

Bahan untuk formulir RM-TDB sebaiknya dipilih bahan yang tidak mudah rusak/kusut dan mudah ditulisi. Pertimbangan ini berkaitan dengan situasi bencana yang relatif panik, serba-cepat, dan cenderung-kacau. Dalam kondisi ini biasanya orang akan bekerja dengan tempo dan gerakan yang lebih cepat dan “kasar” dibanding kondisi normal. Dengan situasi dan cara kerja seperti ini maka cara memegang, mengambil, dan meletakkan barang-barang termasuk alat tulis dan formulir RM juga lebih “keras/kasar” dari biasanya. Pilihan bahan ini juga sebaiknya bahan yang mudah ditulisi agar tidak menimbulkan kesulitan saat mengisi formulir tersebut. Kesulitan seperti ini selain bisa mengakibatkan ketidaklengkapan pengisian juga berpotensi menimbulkan kejengkelan pada petugas pengisinya. Beberapa jenis kertas seperti kertas minyak atau kertas yang mengandung lapisan minyak/lilin atau sejenisnya biasanya termasuk jenis kertas yang sulit ditulisi. Jenis ini tentu menghambat dan memperlambat kerja pengisian formulir nantinya.

Pemilihan bahan ini juga berkaitan dengan masa simpan (masa retensi) dari formulir RM yang secara umum adalah minimal 5 tahun sejak pelayanan terakhir. Untuk RM pasien yang berkaitan dengan kasus hukum (medikolegal) masa retensinya jauh lebih lama sekitar 20 tahun. Jadi, berkas RM-TDB dari pasien korban huru-hara harus disimpan sebagaimana RM medikolegal. Untuk bisa disimpan selama 5 tahun atau lebih dibutuhkan bahan kertas yang baik. Kertas buram adalah contoh kertas yang kurang baik untuk disimpan dalam jangka lama.

Ukuran dari suatu formulir RM, termasuk RM-TDB mempertimbangkan beberapa hal antara lain: jumlah item dan kebutuhan ruang isiannya, cara pengisiannya (ditulis; diketik; atau diprint), cara menyimpannya (ukuran map/foldernya; ukuran laci; atau dibawa pasien seperti kartu berobat), sikap/posisi saat menggunakan/mengisi formulir (diisi di atas meja; diisi sambil berdiri dengan landasan map; dsb). Untuk RM-TDB, mengingat situasi dan kondisi saat bencana, maka kemungkinan besar pengisiannya adalah dengan berdiri berlandasan map atau bahkan mungkin sambil bergerak dari satu tempat/satu pasien ke tempat/pasien lainnya. Dengan mengingat hal ini maka ukuran RM-TDB lebih baik tidak terlalu besar karena akan mempersulit proses pengisiannya. Ukuran yang sesuai dengan map penyimpannya (misalnya A4) bisa mempermudah proses pengisian karena map tersebut sekaligus bisa digunakan untuk landasan saat mengisinya. Dalam hal kaitan dengan jumlah item isi dan kebutuhan ruang isiannya, apabila memungkinkan bisa dirancang untuk dicakup dalam satu lembar. Bila membutuhkan lebih dari satu lembar kertas maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan kertas ukuran dobel (double A4) yang dilipat untuk menghindari kemungkinan tercecernya lembar-lembar RM-TDB tersebut. Jika menggunakan kertas ukuran besar dengan model dilipat maka rancangan penempatan item isi dan ruang isiannya harus sesuai dengan posisi dan cara melipat halamannya.

Bentuk atau model formulir RM-TDB secara langsung berkaitan dengan ukuran formulir dan tata letak item-item isinya. Hal ini telah dibahas dalam paragraf terdahulu.

Warna formulir RM-TDB dapat dipertimbangkan untuk berbeda dari formulir RM rutin lainnya. Hal ini untuk membantu mengidentifikasi formulir tersebut saat dibutuhkan. Meskipun dibedakan, namun jenis warna yang dipilih tetap harus memperhatikan aspek kenyamanan pada mata pengguna, nilai kontrasnya dengan warna tulisan cetakan serta nilai kontrasnya terhadap tinta yang secara umum digunakan untuk mengisi formulir tersebut. Formulir dengan bahan kertas berwarna coklat masih bisa kontras dengan tinta cetaknya namun akan timbul kesulitan waktu mengisi dengan menggunakan tinta hitam atau biru karena nilai kontrasnya menjadi rendah. Selain pemilihan warna bahan kertasnya, warna tinta cetaknya juga perlu diperhatikan untuk tidak menggunakan warna muda karena cenderung sulit atau bahkan tidak tampak bila suatu saat formulir tersebut hendak difotokopi.

Aspek anatomik formulir RM-TDB
Secara umum aspek anatomik suatu formulir RM, termasuk juga RM-TDB, terdiri dari 5 bagian yaitu: heading, introduction, instruction, body, closing.

Heading dari formulir RM-TDB minimal terdiri dari dan berisi: identitas formulir (nama formulir; kode formulir; dan nomor edisi/revisi), identitas institusi (nama RS), dan nomor halaman.

Introduction berisi keterangan singkat tentang formulir RM-TDB tersebut. Keterangan singkat ini bisa meliputi: kapan formulir tersebut digunakan dan tujuan penggunaannya.

Instruction berisi petunjuk/perintah singkat berkaitan dengan cara pengisian formulir dan pendistribusian lembar tembusan (bila ada).

Body merupakan bagian inti dari formulir yang berisi item-item formulir tersebut. Rancangan pada bagian body ini meliputi pemikiran mengenai: item-item yang harus tercantum, pengelompokan item (grouping), penyusunan urutan penempatan item (sequencing), penempatan item dalam kolom/field-nya (caption), serta pemilihan terminologi (istilah, simbol, dan singkatan) yang tepat untuk masing-masing item.

Closing dari formulir RM-TDB merupakan bagian penutup yang sama pentingnya dengan bagian lain. Closing formulir berisi keterangan mengenai tempat pelayanan, tanggal, nama dan tanda tangan pemberi layanan. Kadang-kadang dibutuhkan pula keterangan tentang jam layanan, misalnya untuk pemeriksaan yang peka terhadap perjalanan waktu (EKG, laboratorium, dsb).

Aspek isi formulir RM-TDB
Rancangan isi dari formulir RM-TDB meliputi: pemilihan model RMnya, penentuan item-item yang harus tercantum, dan penentuan cara pengisian masing-masing item tersebut.

Model rancangan formulir RM dapat berupa Source oriented medical record (SOMR), Problem oriented medical record (POMR), atau Structured medical record (SMR). Mengingat formulir RM-TDB diharapkan dapat digunakan dalam kondisi bencana dengan berbagai keterbatasan dan berbagai tuntutan, maka perlu pertimbangan yang matang untuk memutuskan model yang akan digunakan, apakah SOMR; POMR; atau SMR. Masing-masing model tersebut tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya. SMR dapat dipertimbangkan karena rancangannya akan menghasilkan formulir yang terstruktur sedemikian sehingga formulir tersebut dapat digunakan untuk mencatat berbagai masukan dengan alur area pencatatan yang benar. Dengan model SMR dapat dirancang RM-TDB dengan jumlah lembar yang minimal. Ini penting untuk diperhatikan agar RM-TDB-set tidak terdiri dari banyak lembar yang akhirnya akan menyulitkan petugas layanan kesehatan saat menggunakannya.

Isi RM-TDB dirancang sedemikian rupa sehingga mencakup item-item yang minimal harus tercatat dalam proses pelayanan kesehatan saat bencana. Mengacu pada jurnal AHIMA (American Health Information Management Association) yang membahas disaster planning, maka isi RM-TDB perlu diminimalkan untuk menjaga kemudahan dan kecepatan penggunaannya. Namun, minimalnya isi RM-TDB tidak berarti dan tidak boleh menjadikannya kehilangan fungsi dasarnya sebagai RM dan tetap harus memenuhi persyaratan aspek-aspek pendukungnya (hukum, medis, etika profesi, dan manajenen pelayanan kesehatan).

Secara umum isi RM dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu data identitas pasien dan data medis pasien. Masih diperlukan diskusi dan telaah mendalam untuk menyepakati item-item yang harus tercantum (minimal requirement) dalam formulir RM-TDB. Pemikiran dan pemilihan item ini menjadi bagian yang sangat penting mengingat proses pengisian formulir RM-TDB harus bisa cepat dan mudah namun mampu menghasilkan RM yang akurat, informatif, rasional, reasonable, dan responsible. Pemilihan, pencantuman, dan pengurutan item-item tersebut hendaknya juga memikirkan aspek tindak lanjut dari informasi yang terkandung dalam formulir RM-TDB, misalnya aspek pengolahan statistiknya, aspek keabsahan hukumnya, dan aspek kelengkapan serta keakuratan kode diagnosis dan tindakannya.

Selain item yang merupakan catatan kondisi pasien, perlu juga dicantumkan kelompok item yang menyatakan “identitas bencana”nya, misalnya: natural event (banjir, gempa bumi), unintentional event (kecelakaan transportasi), dan intentional event (kejadian teroris, huru-hara), tempat kejadian, saat/jam kejadian, dan identitas bencana lainnya.

Cara pengisian masing-masing item tersebut juga harus diatur dan dirancang agar dalam pengisiannya bisa cepat, lengkap, dan akurat. Cara pengisian dengan cara memilih bisa menjadi cara yang tepat untuk digunakan karena mempercepat pengisian dan mengurangi aspek “pengisian yang terlewatkan” karena lupa atau tergesa-gesa. Cara pengisian seperti ini bisa digunakan sejak dari anamnesa, pemeriksaan fisik, hingga ke penentuan kode diagnosis dan kode tindakan. Dengan demikian, pengelompokan (grouping) dan urutan (sequence) dari item-item isian juga sangat penting untuk diperhatikan agar mampu menuntun pengisi RM sehingga hasil isiannya menjadi selengkap dan seakurat mungkin.
Penggunaan gambar/skema tubuh manusia yang sudah tercetak di formulir untuk menunjukkan lokasi luka juga akan mempermudah pengisian dibandingkan dengan model isian narasi untuk mendeskripsikan hal yang sama. Beberapa item mungkin tidak bisa menggunakan cara pengisian dengan cara memilih. Untuk item-item seperti ini maka harus disediakan area pengisian yang cukup sesuai dengan kebutuhan isinya. Area yang terlalu sempit akan mengakibatkan pengisian yang tidak lengkap atau bahkan kosong. Sebaliknya, area pengisian yang terlalu luas (berlebihan) akan menyebabkan ukuran formulir yang “membengkak”.

Pengisian Identitas pasien perlu diperhatikan berkaitan dengan cara pengisian RM-TDB dan penentuan status kegawatdaruratan pasien. Kode warna dapat digunakan pada rancangan formulir RM-TDB yang menunjukkan tingkat kegawatan seorang pasien, misalnya: hitam, merah, kuning, dan putih.

Sistem identifikasi bisa dipertimbangkan untuk menggunakan kode nomor RM yang berbeda dari pelayanan rutin. Keuntungannya yaitu tidak mengganggu alokasi penggunaan nomor RM untuk pelayanan rutin dan lebih mudah / cepat dalam mengidentifikasi pasien korban bencana. Formulir RM-TDB sebaiknya sudah mencantumkan nomor RM sehingga menghindari kerepotan pengisiannya, menghindari kemungkinan terjadi penggunaan satu nomor untuk lebih dari satu RM-TDB, dan juga untuk menghindari RM-TDB yang tidak bernomor. Sistem pencantuman nomor secara pre-printed ini dikombinasikan dengan kartu kecil yang siap untuk digantungkan pada tubuh pasien. Kartu kecil ini sebaiknya terbuat dari kertas yang agak tebal (misalnya karton manila) dengan ukuran maksimal seperti KTP dan berisi minimal keterangan mengenai nama pasien, nomor RM-TDB, dan status kegawatdaruratannya. Nomor RM-TDB dalam kartu kecil ini sudah tercetak (pre-printed) dan sama dengan nomor RM-TDB yang juga sudah tercetak di lembar RM-TDBnya. Kartu kecil ini disarankan memiliki lubang dan sudah dilengkapi dengan karet atau benang sehingga siap digantungkan atau diikatkan ditubuh pasien, misalnya di ibu jari tangan/kaki pasien. Dengan adanya kartu kecil di tubuh pasien ini maka setiap kali petugas mendatangai pasien bisa langsung mengecek kesesuaian identitas pasien dengan RM-TDB yang ada disampingnya. Hal ini diharapkan bisa mempercepat proses pelayanan, mengatasi pengulangan dalam menanyakan identitas pasien, dan menghindari tertukarnya RM-TDB. Dalam kartu kecil ini bisa dicetak “identitas awal” dari korban bencana, misalnya “Korban No: #1” yang mana identitas ini sama dengan lembar RM-TDBnya. Dengan adanya identitas preprinted ini maka kekeliruan identitas antara kartu dengan lembar RM dapat dihindari. Hal ini juga dapat digunakan untuk memberi identitas terhadap pasien yang belum dikenali identitas aslinya.

Selain nama dan nomor RM, identitas penguat lainnya perlu dipertimbangkan misalnya pencantuman cap ibu jari tangan (sidik jari) atau pengambilan foto pasien dengan bantuan teknologi digital.

Formulir terkait lainnya.
Beberapa formulir lain selain RM-TDB misalnya yaitu: formulir daftar benda milik pasien (termasuk surat keterangan diri), dan formulir/kartu catatan kesehatan pribadi pasien (Keep It With You / KIWY-form). Perancangan dan penggunaan formulir KIWY mungkin perlu dipikirkan untuk menjadi kebiasaan setiap warga memiliki dan membawanya.

Kesimpulan
Masih dibutuhkan pemikiran mendalam dan komprehensif untuk merancang suatu model formulir RM yang dapat digunakan sebagai formulir standar untuk kondisi tanggap darurat bencana.

Rancangan formulir RM-TDB perlu “didampingi” dengan prosedur tetap untuk mengisian dan penggunaannya. Selanjutnya, rancangan formulir RM-TDB perlu diuji coba dan disosialisasikan penggunaannya agar terdapat kesamaan persepsi pemanfaatannya.

Formulir hanya merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dengan serangkaian kegiatan lainnya dalam pelayanan kesehatan, termasuk dalam kondisi tanggap darurat bencana. Perancangan formulir tanpa disertai pembenahan rangkaian aspek lainnya hampir dapat dipastikan tidak terasa manfaatnya.

Jumat, 15 Juni 2007

Kalau Anak Diare, Boleh Tidak Dikasih Antibiotika dan Antidiare?

Pertama, kita harus tahu dulu apa definisi diare. Diare atau gastroenteritis akut adalah buang air besar lebih dari tiga kali dalam 24 jam, dan konsistensi tinja lebih lembek atau berair. Tapi ada juga lho orang yang punya kebiasaan sehari BAB sampai 4x, tapi tidak lembek/cair. Ini juga tidak termasuk diare.

Kedua, secara umum diare dibagi dua: diare akut dan diare kronik. Diare akut berlangsung di bawah 14 hari, sedangkan diare kronik lebih dari 14 hari. Ada juga istilah diare persisten, yang hampir mirip dengan diare kronik.

Ketiga, anak diare biasanya disertai mual-muntah. Ini adalah hal yang umum terjadi, dan tidak butuh penanganan khusus. Artinya tidak butuh obat mual-muntah. Saya jelaskan di bawah.

OK, yang kita bahas di sini adalah diare akut tanpa penyulit. Artinya bukan disentri (diare disertai darah), diare kronik/persisten, atau diare dengan dehidrasi berat (di sini saya tidak menjelaskan macam-macam kategori dehidrasi, bisa ditemui di banyak sumber di internet).

SATU HAL PENTING: diare sebenarnya adalah mekanisme pertahanan tubuh juga. Kok bisa? Ya, diare membuang semua virus dan bakteri yang mengganggu sistem pencernaan kita. Begitu juga dengan muntah. Makanya kalau penyakitnya belum keluar semua, kemudian diare di-STOP, atau muntah di-STOP, bisa-bisa si kuman muter-muter aja di saluran cerna, berkembang biak lebih banyak, dan bisa mengakibatkan penyakit bertambah berat. PRINSIPNYA: cegah dehidrasi.

Kalau anak diare, khususnya bayi dan balita, biasanya orangtua panik. Apalagi kalau disertai mual-muntah. Langsung deh pada hari itu, hari pertama-kedua diare, si anak dibawa ke dokter. Jreeenngg... apakah yang dokter berikan?

ORALIT! Yak, inilah obat utama dan andalan untuk semua diare. Jadi jangan lupa, kalau anak diare: minum ORALIT. Inipun tidak perlu pergi ke dokter, karena oralit bisa dibeli secara bebas. Prinsipnya adalah anak harus banyak minum dan makan, jika oralit belum/tidak tersedia. Minum apa saja boleh... termasuk susu. Lho, kok susu? Ya iya dong, kan diarenya bukan karena susu (intoleransi laktosa). Jadi nggak perlu susunya diganti susu LLM (low lactose milk).

Trus bagaimana dengan antibiotika? Pada anak, diare sebagian besar disebabkan oleh Rotavirus, yang akan sembuh dengan sendirinya, antara 2 sampai 7 hari. Jadi ya... didiamkan saja anaknya. Kok tega banget sih anak mencret-muntah didiamkan aja, nggak dikasih obat? Nggak dikasih antibiotika? Ya iya dong, dikasih antibiotika malah bisa memperparah diare. Berhubung tidak ada bakteri jahat yang harus dibunuh (kan akibat virus, bukan bakteri), jadinya si antibiotika membunuh bakteri baik. Makanya ada yang namanya antibiotic-associated-diarrhea.

Antibiotika hanya diberikan pada disentri, kolera dengan dehidrasi BERAT, dan penyakit lain seperti pneumonia.

Trus... kalau antidiare dan antimuntah? Hmmm.... saya tidak akan menyebut merek dagangnya. Tapi menyebut isinya saja (coba Ibu-ibu, Bapak-bapak, dilihat obat mencret-muntah anaknya isinya apa).

Ada yang istilahnya adsorben, macamnya: kaolin-pektin, attapulgite, smectite, karbon, dan kolestiramin. Obat-obat ini digunakan karena mampu mengikat dan menonaktifkan racun (toksin) bakteri atau bahan kimia lainnya yang menyebabkan diare, dan kemampuannya untuk "melindungi" mukosa usus halus. Penelitian tidak menunjukkan kegunaan obat jenis ini.

Obat antimuntah seperti chlorpromazine, metoclopramide, dan domperidone malah dapat menimbulkan efek mengantuk, gangguan keseimbangan, dan berinteraksi secara kimiawi dengan oralit. Muntah akan berhenti dengan sendirinya jika diare hilang.

Obat antimotilitas, misalnya: loperamide, hyoscine, dll diberikan untuk mengurangi gerakan usus, sehingga tinja tidak cair, dan diare mereda. Padahal ini dapat menyebabkan ileus paralitik (usus berhenti bergerak/berkontraksi sama sekali), dan berakibat mengancam nyawa (kematian). Penyakit pun tidak bisa dikeluarkan jika usus tidak mau mengeluarkan.

Ada beberapa obat lain yang saya dapati dalam survei yang saya lakukan: ada nifuroxazide (antibiotika), ini juga tidak perlu, dan ada juga antijamur. Padahal diare yang timbul akibat jamur hanya pada anak dengan gangguan sistem daya tahan tubuh (HIV/AIDS, lupus, kanker, terapi steroid jangka panjang).

Sudah cukup paham Bapak dan Ibu? Anak mencret dan muntah: jangan panik dulu, pikirkan penyebabnya (kebanyakan makan sambel kali...), amati anaknya: ada dehidrasi/tidak. Masih mau minum kan? Nggak terlalu lemes kan? Mau makan walau sedikit tapi sering kan? Masih ada pipisnya kan? Masih mau netek kan? Berarti sekedar diare akut. Delapan puluh persen akan sembuh sendiri.


sumber: The Treatment of Diarrhoea, a manual for physicians and other senior health workers, WHO 2005.

Kamis, 14 Juni 2007

Kalo Berobat ke Dokter Pulangnya Pasti Bawa Obat

Each visit to doctor ends with prescriptions.

Kita sakit, trus kita berobat ke dokter, pulangnya harus bawa obat, atau minimal dikasih resep. Iya nggak sih?

Ya iya dong. Masak udah jauh-jauh datang ke dokter, keluar ongkos, waktu kepake, keluar dari ruang dokter nggak dikasih obat?

Misalnya kita demam dari semalam, badan panas dingin, menggigil, nggak masuk kerja hari ini, udah minum parasetamol sih, ada stoknya di rumah, trus sorenya berobat ke dokter. Setelah diperiksa, dokternya bilang: ini demam baru hari kedua, tidak ada tanda-tanda penyakit spesifik lain, paling mungkin ini infeksi virus aja. Sudah ada obat penurun demam di rumah kan ya? Pake itu aja. Saya nggak ngasih obat lagi. Nggak perlu antibiotika dll. Minum air yang banyak, kompres pake air hangat supaya demamnya turun, kita observasi sampai lusa. OKeh?

Udah deh, gitu aja, dokternya nggak ngasih obat. Cuma kasih nasehat aja. Padahal ongkos konsultasinya aja Rp 50 rebu.

Padahal saudara-saudara, tidak semua kunjungan ke dokter harus berakhir dengan dikasih resep. Kalau cuma sakit demam baru tiga hari, batuk-pilek, mencret alias diare, ini mah kaga perlu obat. Istirahat aja dulu, minum yang banyak. Kalo diare nggak perlu minum obat macam-macam antidiare-antibiotika (diare baru 1-2 hari tanpa darah, dan warna tinja biasa aja). Minum aja oralit. Ini kan juga nggak perlu ke dokter.

Jadi jangan ngambek ya kalau dokternya nggak kasih resep obat, cuma kasih nasihat aja. Pemberian obat yang tidak sesuai indikasi justru meningkatkan risiko efek samping, dan interaksi obat kalau obatnya lebih dari dua macam.

Kan ente-ente pade punya akses internet, silakan browsing dulu di internet kira-kira ini masuk kategori sakit apa. Perlu ke dokter nggak, atau perlu obat nggak?

Nasihat dokter itu obat juga lho. Makanya konsultasinya aja dihargai mahal. Hehehe...

kalo yg mau kasih komen, berhubung shoutbox-nya lagi error, ke http://drarifianto.multiply.com aja isi shoutbox di situ
apin lagi nulis dikit, dikejar menyelesaikan penelitian sebelum mulai kuliah PPDS