Senin, 05 Maret 2012

dr. Bambang Budiono SpJP, FIHA

“Senang melihat orang lain senang, susah melihat orang lain susah.” Itulah moto dr. Bambang Budiono Sp.JP, FIHA, saat ditemui di simposium ke-18 ASMIHA,  beberapa waktu lalu di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta. Bagi kelahiran Bojonegoro, 15 Desember 1963 ini, susah dan senang datang silih berganti.
Di masa kecil, tak pernah terlintas di benaknya untuk menjadi dokter. Ia menghadapi masa-masa sulit, sehingga dua tahun setelah lulus SD, baru bisa melanjutkan ke SMP. Beruntung, kakak sepupu mengajaknya membantu berdagang di Pare, Kediri (Jawa Timur). Tak lama, ibundanya tercinta yang sudah sakit-sakitan meningal. “Saat itu, saya berpikir, seandainya menjadi dokter saya mungkin dapat memberikan pertolongan,” katanya.
Sang ibu yang sudah almarhumah seperti dapat membaca pikirannya. Maka, di SMP dia giat belajar, hingga selalu menduduki rangking pertama di kelas. Akhirnya, dia bisa masuk SMA unggulan di Kediri. Lulus SMA, karena alasan biaya, remaja Budiono  harus memendam cita-citanya menjadi dokter.
Tapi, ia ikut tes masuk Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, dan diterima. “Saya beruntung, karena bisa mendapat beasiswa dari sebuah perusahaan swasta. Kakak sepupu membantu. Ditambah uang tabungan hasil memberikan les kepada siswa SMP, saya bisa masuk FK Unair,” ujarnya.
Pengalaman pertama dalam pemasangan stent pada pasien penyempitan pembuluh koroner tahun 2002, sempat membuatnya degdegan. Itu merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar, tempatnya bertugas. Itu sekaligus juga tindakan angioplasti koroner pertama di Indonesia Timur.
Ayah dari Alvin Brilian Budiono dan Christy Angelia Budiono ini selalu menyempatkan diri untuk main tenis di hari libur. Ia selalu mengajak serta keluarganya. “Disamping bercengkerama dengan keluarga, kita bisa selalu sehat dengan berolah raga. Terlebih jika ditemani satu porsi rujak cingur, sebagai makanan favorit saya,” dia tertawa
Suami dr. Tashiro Tjen ini berharap, ke depan Indonesia bisa memiliki lebih banyak lagi laboratorium kateterisasi jantung untuk pelayanan kardiologi intervensi. Sehingga, pasien di Indonesia bisa lebih mudah melakukan akses pengobatan, tidak hanya fokus di Pulau Jawa.