Selasa, 10 Mei 2005

The Fabric of The Cosmos: Space, Time, and The Texture of Reality

Awalnya membaca resensi buku ini di TIME edisi Maret kalau tidak salah. Edisi tersebut meresensi beberapa buku bestseller tahun 2004, yang awalnya hanya terbit edisi hardcover-nya saja, namun kini sudah ada paperback edition-nya. Tentunya lebih murah. Ada lima buku yang diresensi seingatku. Selain buku ini, sisanya novel fiksi. Kebetulan Tante ada kunjungan beberapa hari ke Amrik awal April kemarin, sekalian saja minta dibelikan. Sepertinya ia membelinya di Barnes and Noble dilihat dari plastik pembungkusnya yang diantar langsung oleh Om ke rumahku.

Buku ini secara umum berisi tentang fisika, suatu hal yang menarik minatku sejak SMP (dulu pernah bercita-cita masuk MIT, tapi tidak kesampaian :(). Kalau melihat dari koleksi buku-buku fisika populerku, mulai dari tiga buku tulisan Stephen Hawking (salah satunya tentunya “Riwayat Sang Kala”—terjemahan “A Brief History of Time” yang pernah menjadi international bestseller), seri terjemahan ‘for beginners’ yang memuat tema biografi Newton, Hawking, Teori Kuantum, sampai Chaos Theory (salah satu ide dalam Jurassic Park-nya Michael Crichton), dan beberapa buku astronomi-kosmologi Carl Sagan, orang tentunya mengira aku adalah penggemar fisika. Ya, sekedar suka dan punya minat saja, tapi tidak jago (dulu waktu kelas 3 SMU pengen banget ikut seleksi TOFI, tapi ga kepilih :(). Hanya seorang pemuda yang masih suka terbawa dengan khayalan masa kecilnya (penggemar serial TV Star Trek—dan punya buku terjemahan Fisika Star Trek-nya Lawrence M. Krauss, suka juga dengan Trilogi Star Wars serta film-film fiksi ilmiahnya Steven Spielberg macam “Close Encounters of The Third Kind” dan “E.T” serta “A.I”).

The Fabric of The Cosmos yang juga national bestseller ini (belum international bestseller macam “Da Vinci Code” lho) mungkin bisa disetarakan dengan ‘A Brief History of Time’-nya versi awal Milenium, dan Brian Greene juga bisa disejajarkan dengan Stephen Hawking. Dengan bahasa yang mudah dipahami oleh awam dan analoginya menggunakan tokoh-tokoh dalam serial TV populer (The Simpsons, The X-Files), buku ini memang benar-benar ditujukan untuk kalangan masyarakat umum, yang bahkan buta fisika sama sekali sebelumnya. Sampai saat ini aku belum selesai membaca buku setebal 569 halaman (termasuk indeks) ini. Tapi dari 100-an halaman yang sudah kubaca, isinya menjelaskan perkembangan ilmu fisika mulai dari jaman fisika klasiknya Newton, dilanjutkan oleh Einstein, Mekanika Kuantum, sampai akhirnya Superstring Theory. Greene yang juga seorang pakar teori adidawai (superstring) ini benar-benar mampu memaparkan ilustrasi yang sangat logis, sehingga pembaca dapat memahami (dalam bahasa Inggris tentunya :)). Fenomena satu keadaan pun dijabarkan mengikuti perkembangan teori fisika. Misalnya bagaimana perbedaan pandangan Newton dan Einstein terhadap sebuah ember yang terikat dalam seutas tali, dan dibiarkan berputar dalam ruang kosong. Newton menanggap ruang dan waktu adalah keadaan terpisah yang statis, dan Einstein memandangnya satu kesatuan space-time. Sampai akhirnya penulis menyimpulkan teori mana yang berlaku saat ini, dengan bukti-bukti ilmiah dan pemahaman logika sederhana yang ada.

Melihat dari beberapa babnya, ada beberapa judul yang cukup menarik para penggemar fiksi ilmiah. Semisal “Teleporters and Time Machines—Traveling Through Space and Time” (jadi ingat novel Timeline-nya Michael Crichton, yang mesin waktunya bisa men-scan manusia jadi semacam gambaran *.jpeg, dan mengirimnya melintasi waktu), dan menantang logika macam “Is Space a Human Abstraction or a Physical Entity”.

Overall, buku ini sangat menarik dan mencerdaskan. Aku masih berharap ada penerbit yang mau menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (atau sudah ada yang sedang dalam proses ini?). Dari harganya pun lumayan murah, $ US 15.95 dengan stiker 20% off di sampulnya. Setidaknya aku menganggap buku ini birthday present dua hari lagi :).

Penutup, aku kutipkan sedikit pertanyaan menarik dari Brian Greene, yang profilnya bisa dicari di Google: “What is reality? We humans only have access to the internal experiences of perception and thought, so how can we be sure they truly reflect an external world?” Well, bagiku, sebagian jawabannya ada dalam otak kita. The mysterious brain. Lihat saja dalam VCD BBC Series’ “Brain Story”-nya Prof. Susan Greenfield (ini harus diresensi secara terpisah tampaknya :)). Ilmu manusia memang hanya seujung celupan jari ke dalam lautan ilmu Alloh yang tidak terhingga.

Image hosted by Photobucket.com

http://drarifianto.multiply.com

Sakaratul Maut

Pernahkah Anda mendampingi seseorang yang sedang menghadapi ajalnya?

Saya pernah, dan cukup sering, mendampingi mereka yang menghadapi saat-saat terakhir hidupnya, karena sakit yang dialami.

Pertama kali saya menghadapi kematian seperti ini saat masih kuliah dulu. Ketika dinas di bangsal atau Instalasi Gawat Darurat RS, pemandangan ini mulai menjadi sesuatu yang harus dibiasakan. Bahkan akhirnya menjadi sangat biasa. Dan seringkali—khawatirnya—membuat kita sebagai seorang muslim menjadi terlupa kan satu aspek paling penting: mengingat kematian. Dzikrul Maut. Penghancur segala kesenangan dunia.



Inilah yang paling dikhawatirkan. Ketika melihat orang sekarat dan meninggal menjadi suatu hal yang biasa, dzikrul maut bisa menjadi terlupakan. Padahal sepatutnya orang-orang yang dekat dengan kematian inilah yang paling mudah diingatkan akan kematian, yang kelak akan menjemputnya.

Mungkin ibaratnya sama dengan para penggali kubur. Dalam sehari bisa jadi mereka berulang kali memasukkan jasad kaku tak bernyawa, menjadikannya sebagai rutinitas belaka. Atau bagi mereka di kamar jenazah dan bagian Kedokteran Forensik.



Ketika kami melewati stase Forensik saat ko ass, tugas yang minimal dikerjakan saat jaga malam adalah menerima mayat yang masuk ke Ruang Jenazah RSCM, dan mencatat semua luka-lukanya. Tak jarang di antara kami mengerjakannya dengan perasaan dingin, tanpa perasaan sama sekali bahkan, menghadapi tubuh kaku yang masih segar. Meneliti setiap inci tubuh telanjang itu, membolak-balikkannya, dan sesekali menggoreskan pena di atas clipboard sambil mengeluh dalam hati

“Huh, mengganggu tidurku saja”.

Sama sekali tak terlintas dalam pikiran, mereka dahulunya adalah manusia sama seperti kita, dan kelak kita pun akan menjadi sama seperti mereka.

Karena saking biasanya kah?

Astaghfirullah.



Pernah pula saat aku masih mahasiswa tk. V di RSU Tangerang, saat itu Sabtu siang, seharusnya aku sudah bisa menikmati istirahat di kamar ko ass Rumah Mahasiswa FKUI. Tapi keadaan yang aku hadapi saat itu berkata sebaliknya.

Pasien wanita tua yang tidak sadar selama berhari-hari sejak aku menginjakkan kakiku di bangsal perawatan Penyakit Dalam, mengalami henti napas. Ia meninggal. Sesuai standar penanganan, aku harus melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) terhadapnya. Melakukan kompresi dada, sambil sesekali memberikan napas buatan lewat oxygen mask. Sungguh melelahkan, melakukan hal itu hingga belasan menit, belum bisa dihentikan, karena EKG masih menunjukkan aktivitas listrik jantung.

Tanpa kusadari aku ngedumel dalam hati. Astaghfirullah, aku lupa akan dzikrul maut. Karena aku mulai terbiasa?



Sekitar dua minggu lalu, selama dua malam berturut-turut, aku mendapat giliran jaga malam di LKC. Dan lumayan, tiga kematian dalam dua hari.

Setelah cukup lama tidak menemui kematian, kini aku menghadapinya lagi.



Beberapa hari sebelumnya, seorang perempuan muda yang mengalami komplikasi di paru-parunya—salah satu bagian paru-parunya sudah tidak berfungsi lagi—akibat TB paru, mengalami gagal napas. Kami membuat analisa, tampaknya inilah masa-masa terakhir hidupnya. Tidak ada yang bisa kami lakukan lagi.

Jika Anda pernah menyaksikan orang yang mengalami sakaratul maut dalam keadaan sesak napas, tampaknya sangat berat sekali. Seluruh otot napas tambahannya bekerja. Napasnya memburu, tidak habis-habisnya berusaha mengkompensasi kebutuhan oksigen. Berat sekali.

“Aduuuhh, mendingan mati saja daripada merasakan seperti ini… Capeek..,” erangnya. Astaghfirullah. Aku berdoa kepada Alloh agar menjauhkan dari sekarat seperti ini.



Lainnya adalah seorang pria tua yang kesadarannya menurun, dengan muntah dan BAB darah. Hemoglobinnya rendah. Ia meninggal saat sedang menjalani transfusi kantong darah pertamanya.



Pada malam terakhir, kembali waktu istirahatku diusik oleh kedatangan pria usia 30-an dengan kesadaran menurun dan sesak napas. Wajah dan tubuhnya tampak sianosis, membiru, menunjukkan kadar oksigen yang jauh berkurang. Tekanan darahnya sangat rendah. Ia mengalami syok. Segera kami melakukan tindakan pemberian cairan via infus, sambil memastikan diagnosis pada riwayat kelainan katup jantung.

Istrinya yang tampak tidak begitu panik aku berikan penjelasan.

Inilah masalah yang sering dihadapi dokter. Akibat komunikasi yang kurang baik, atau informed consent, seringkali keluarga pasien menyalahkan jika orang yang mereka cintai meninggal akhirnya. Apalagi terhadap pasien-pasien LKC yang seluruhnya adalah dhu’afa dan mengenyam pendidikan sangat rendah. Harus diberikan penjelasan sampai benar-benar mengerti. Suaminya saat ini sangat kritis.



“Ibu, tolong dibimbing suaminya. Asyhadu allaa ilaaha illallah, laa ilaa ha illallah.”

Perempuan tidak berkerudung yang membawa anak-anaknya yang masih kecil ini tampak ragu membacakan kalimat-kalimat ini di samping telinga suaminya. Suaranya sangat lirih, menyerupai bisikan.

Bagaimana sih ini Ibu, suaminya sedang sekarat kok ragu-ragu untuk dibimbing, gerutuku dalam hati. Aku benar-benar ingin bisa memanfaatkan momen ini sebagai dzikrul maut bagiku, dan membimbing orang lain sesuai Sunnah Rasul dalam menghadapi orang yang sekarat.



Beberapa upaya telah dilakukan. Konsul ke seniorku yang di Penyakit Dalam. Mengguyur dengan NaCl 0,9%, memasukkan dobutamin, oksigen senantiasa terpasang… Ia masih tampak sesak. Ya Alloh, berat sekali orang yang sekarat dalam keadaan sesak napas.

Kateter urin harus dipasang, agar imbang cairan bisa diukur.

Tidak berapa lama kemudian, pasien yang telah bertahun-tahun menderita kelainan jantung ini tiba-tiba memaksakan diri untuk bangkit. Ajaib, keadaan yang sewajarnya tidak terjadi. Ia malah kemudian terus mengoceh dan minta selang kencingnya dilepaskan sambil terus memprotes.

“Ya Alloh, ampun Dok, tolong dilepas, pegal sekali rasanya,” keluh laki-laki ini sambil berdiri.



Sampai kira-kira lebih dari sejam ia terus mengeluhkan masalah ini. Aneh juga, tadi dikira sudah hampir ‘pergi’, eh, kini malah ;menyusahkan’ saja. Astaghfirullah, kembali aku beristighfar. Luruskan niatmu menolong orang. Sudah konsekuensinya jaga malam tidak tidur karena pasien. Memang ini sudah tugasmu.



Detik terus berjalan. Sampai akhirnya ia tiba-tiba tidak sanggup lagi berdiri. Laki-laki ini berusaha keras agar matanya tidak terpejam, dan memaksakan untuk duduk. Tetapi kondisinya memang sudah lemah.



Tiba-tiba napasnya berhenti. O oh, saatnya RJP. Oke, kita mulai bagging dan kompresi dada. Tanpa aku ingat, si perawat membawakan set intubasi. A ha, mari amalkan ilmu ACLS-mu. Kucoba berulang kali memasukkan endotracheal tube ke dalam trakea pasien, mencoba mencari epiglotisnya. Jelas terlihat, tetapi ternyata mandrain-nya tidak ada! Lagi-lagi masuk esofagus, dan selalu regurgitasi tiap kali kompresi dada. Aduh, aspirasi nih. Suction…



Usaha kami tidak mengembalikan pasien. Alloh telah memanggilnya. Meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil, para pengamen cilik jalanan.



Ya Alloh, dengan keadaan seperti apa kelak aku menghadapi sakaratul mautku nanti?



Jadi ingat dengan do’a yang dibaca tiap habis sholat, …“Allohumma hawwin ‘alaina fii sakaarootil mauut, wannajaati minannaar, wal ‘afwi ‘indal hisab”…

Dan do’a Rabithah …”wa amithaa ‘alasysyahaadati fii sabiilik”… Ya Alloh, matikan kami dalam syahid di jalan-Mu.



Kalau tidak salah, pernah membaca hadits yang menceritakan bahwa saat seseorang menghadapi sakaratul maut-nya, maka syaitan akan berusaha mengajaknya kembali kepada kekafiran. Sehingga orang yang sholeh selama hidupnya pun akan bisa terbongkar pertahanan keimanannya.



Dari potongan hadits keempat dalam hadits ‘Arbain:

“Demi Alloh, Dzat yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya setiap kalian ada yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dia dengan surga hanya sehasta (dari siku sampai ke ujung jari). Lalu suratan takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka.

Ada juga di antara kalian yang beramal dengan amalan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan neraka hanya sehasta. Lalu suratan takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli surga, maka ia pun masuk surga (Riwayat Bukhari-Muslim)



Semoga Alloh swt. memberikan husnul khotimah untuk kita semua. Amin.

http://drarifianto.multiply.com