Rabu, 05 Oktober 2011

FORENSIK : VISUM ET REPERTUM

VISUM ET REPERTUM

Pendahuluan

VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut.

Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali.

Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah-rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian tidak ada di tempat, maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun dengan catatan "atas nama".

Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).


Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang berwenang mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi).

Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.

Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang diperiksanya.

Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan hukum, bukan sumpah.

Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain (misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.

Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila diperlukan kepada media massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau sensasi?).

Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup yang bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian juga terdapat ikatan-ikatan tertentu, seperti hubungan dengan anggota keluarganya yang masih hidup maupun dengan kaum kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang ditemukan dalam pemeriksaan yang dapat mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal-juga keluarga serta kawan-kawannya yang masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan berakibat aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.



Definisi

Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum et repertum, yaitu pada staatsblad (lembaga Negara) Tahun 1937 No. 350. Ketentuan dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali sebelum membuat visum. Seperti diketahui setiap keterangan yang akan disampaikan untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat VeR, biarpun lafal dan maksudnya berbeda.

Visum et repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.


Peranan dan Fungsi

Visum et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan.

Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.


Perbedaan VeR dengan Catatan Medis dan Surat Keterangan Medis Lain

Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh dokter/institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang rahasia kedokteran dengan sanksi hukum seperti pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dokter boleh membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung maupun berupa perjanjuan yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada klaim asuransi.

Karena Visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179, dan 133 ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintnya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses pengadilan.


Jenis dan Bentuk Visum et Repertum

Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana.

Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.


1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan.

Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik.

Di dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum et repertum.


2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila

Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul).

Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.

Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan.

Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.


3. Visum et Repertum Jenazah

Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).

Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :

1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.

2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.

Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas.


4. Visum et Repertum Psikiatrik

Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini.

Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.

Dalam Keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.
Aspek Pengadaan Visum Et Repertum

Pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain itu jaksa penyidik berwenang pula meminta visum et repertum pada perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hakim juga dapat meminta visum et repertum (psikiatrik) sesuai dengan pasal 180 jo pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum.

Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter. Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.

Korban atau keluarga korban juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta visum et repertum langsung dari dokter. Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang korban pada saat yang tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan. Dalam hal visum et repertum tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang korban hidup, maka dokter pemeriksa berhak untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada korban. Sikap ini masih dapat dibenarkan dari segi etika kedokteran, dan berkaitan dengan hak pasien atas informasi medis dirinya.

Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati yang telah mempunyai ketentuan yang mengaturnya dan bahkan mempunyai ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur permintaan visum et repertum korban hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual / abortus) tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP.

Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran.

KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang korban sebagai "barang bukti". Ketentuan tentang perlakuan terhadap korban hidup tidak menunjukkan bahwa ia adalah barang bukti; ia tidak diberi label dan tidak disegel, apalagi disita oleh negara. Situasi tersebut membawa kita kepada keadaan, dimana dokter turut bertanggung-jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa.

Dalam praktek sehari-hari, orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja yang akan lebih dahulu melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang "terlambat" dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan pelaporan kepada penyidik seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan darurat). Syarat pembuatan visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam pasal 187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik. Tidak ada alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi tersebut.

Perlu diingat bahwa selain sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai pasien, yaitu seorang manusia yang merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan kewajibannya. Hal ini berarti bahwa seseorang korban hidup tidak secara "en block" (seutuhnya) merupakan barang bukti. Yang merupakan "barang bukti" pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaannya beserta akibatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya, maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah "menyalin" barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum.

Adanya keharusan membuat visum et repertum atas seseorang korban tidak berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini sebagai pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Keadaan ini berbeda dengan korban mati yang tidak merangkap perannya sebagai pasien dengan segala haknya. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai hak untuk memperoleh informasi medik tentang dirinya, hak menentukan nasibnya sendiri (rights to self determination), hak untuk menerima atau menolak suatu pemeriksaan dan hak memperoleh pendapat kedua (second opinion), serta tentu saja hak untuk dirahasiakan ihwalnya.

Umumnya korban tidak akan menolak pemeriksaan dokter bila telah dijelaskan manfaatnya bagi korban sendiri sehubungan dengan perkara pidananya. Terlebih bila diingat bahwa biasanya pemeriksaan tersebut dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya. Apabila suatu pemeriksaan dianggap perlu oleh dokter pemeriksa tetapi pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis.

Ketentuan hukum mengenai siapa yang paling berwenang dalam pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual tidaklah jelas. Selama ini para dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, yang memang terbiasa memeriksa pasien wanita, dianggap paling berwenang dalam pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual.

Namun apabila diingat bahwa korban kejahatan seksual pada dasarnya adalah korban "perlukaan", dan bahwa pemeriksaan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar pemeriksaan fisik dan tujuannya adalah untuk pembuktian, maka dokter spesialis forensik tampaknya akan mempunyai peranan yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh segi keilmuan yang digunakan dalam memeriksa korban kejahatan seksual, yaitu ilmu-ilmu forensik dan bukan ilmu obstetri maupun ginekologi. Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa pemeriksa adalah dokter yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, baik di bidang ginekologi maupun di bidang kedokteran forensik.

Tindakan yang akan dilakukan harus didahului dengan penjelasan dan permintaan persetujuan korban, atau bila korban tidak cakap memberi persetujuan dimintakan dari orang tuanya atau keluarga terdekatnya. Apabila korban belum cukup umur, maka disarankan agar persetujuan tersebut ditandatangani oleh bersama, baik oleh korban maupun oleh orangtuanya. Selain adanya surat permintaan visum et repertum dan persetujuan korban, pemeriksaan harus disaksikan oleh chaperone (saksi yang berjenis kelamin sama dengan korban) guna menghindari keadaan yang tidak diinginkan.(2)


Struktur Dan Isi Visum Et Repertum

Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran kehakiman yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu (Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran kehakiman, edisi kedua, 1992).


Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :

1. Pro Yustitia.

Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian atas visum maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai.

Penulisan kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata Pro yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting artinya.


2. Pendahuluan

Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat pemeriksa (tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum.


3. Pemeriksaan.

Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif. Biasanya pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter menuliskan pada visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Sebagai tambahan pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa.


4. Kesimpulan.

Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan dokter dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.

Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini).

Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.


5. Penutup.

Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter mencantumkan Staatsblad 1937 No.350 atau dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai KUHP.(IJO)


Tatacara permintaan Visum Et Repertum

Seperti tercantum dalam KUHAP pasal 133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara permintaannya sabagai berikut :

a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik yang berwenang.

b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi :

Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda Polisi

1. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi.
2. Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena
3. Jabatannya adalah Penyidik

Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik



c. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan :

1) Korban Mati.

Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum et Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi cap jabatan , diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.

Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan

Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya.

2) Korban Hidup.

Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang keadaan korban.

Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila korban memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia.

Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.

Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya.

d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data jalannya peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya, karena data-data itu dapat membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat yang sedang diperiksa.

Contoh :

1) Pada kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak.

Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan.

2) Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal karena pembunuhan atau penganiayaan saja. sebutkan keterangan tentang jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku, senjata tajam, senjata api, racun.

Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban.

3) Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi serta perkiraan racun yang dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab

4) Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat, sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan

e. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya.

Catatan :

Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat Fakultas Kedokteran nya

Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter.

Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya :

1) Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek partikelir)

2) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran, permintaan ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu :

Untuk korban hidup :

a) Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah

b) Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan

Untuk korban mati : bagian Kedokteran Kehakiman

3) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri, disertai surat permintaannya

4) Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada Dokter pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta

f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan cara kematian korban.

g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang korban seperti :

1) Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.

2) Sejauh mana korban masih dapat berlari / jalan.

3)Apakah korban dipindah

4) Senjata/alat jenis apa yang melukai korban

5) Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka yang ada pada tubuh korban

6) Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban

7) Apakah ada tanda-tanda perlawanan

8) Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah kematian

9) Kapan kira-kira korban meninggal

10) Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal(3)


Tata Cara Pencabutan Visum Et Repertum

a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan, namun kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk dilaksanakan bedah mayat dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain.

b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134 ayat 2, maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan bedah jenazah tersebut.

Disamping itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah mayat Forensik :

1) Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat Nomor 4 / 1955.

2) Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi penjelasan tentang ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan sengaja mencegah menghalangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

3) Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka pelaksanaan pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan menggunakan formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas yang berwenang dimana pangkatnya satu tingkat diatas peminta, serta terlebih dahulu membahasnya secara mendalam.

4) Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang berkaian erat dengan masalah penyidikan yang sedang ditangani.


Pasal KUHP Yang Berkaitan Dengan Visum Et Repertum

Pasal 90 KUHP

Luka berat berarti :

1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya mati.

2) Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.

3) Kehilangan salah satu panca indera.

4) Mendapat cacat berat.

5) Menderita sakit lumpuh.

6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.

7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pasal 351 KUHP

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan dimaksud sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352 KUHP

Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan atau terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353 KUHP

(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang berarti dekenakan pidana penjara pailing lama tujuh tahun.

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 354 KUHP

(1) Barang siapa melakukan penganiayaan kepada orang dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 341 KUHP

Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada anak yang dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja mematikan anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 342 KUHP

Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena akan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 89 KUHP

Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena memperkosa, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan hal itu diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 287 KUHP

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Pasal 288 KUHP

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan penjara paling lama delapan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas ahun.

Pasal 289 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 44 KUHP

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Pasal 222 KHUP

Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


Yang berhak meminta visum et repertum

Yang berhak meminta visum et repertum adalah penyidik,hakim pidana,hakim perdata dan hakim agama.

Penyidik

Penyidik adalah pejabat polisi negara tertentu dengan pangkat serendah-rendahnya pelda,sedangkan pangkat terendah untuk penyidik pembantu adalah serda.Di daerah terpencil mungkin saja seorang dengan pangkat serda diberi wewenang sebagai penyidik karena ia komandan.

Hakim pidana

Hakim pidana biasanya tidak langsung minta visum et repertum pada dokter,tetapi memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara pemeriksaan dengan visum et repertum.Kemudian jaksa melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik.

Hakim perdata

Dasar hukumnya:HIR pasal 154

Karena di sidang pengadilan perdata tidak ada jaksa,maka hakim perdata minta langsung visum et repertum kepada dokter.Sebagai contoh adalah sidang pengadilan mengenai penggantian kelamin Iwan robyanto iskandar menjadi Vivian rubiyanti iskandar.

Hakim Agama

Dasar hukumnya:Undang-undang No.14.tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 10.

Hakim agama mengadili perkara yang bersangkutan dengan agama islam,sehingga permintaan visum et repertum hanya berkenaan dengan hal syarat untuk berpoligami,syarat untuk melakukan perceraian dan syarat waktu tunggu (idah) seorang janda.(2)