Rabu, 05 Oktober 2011

INITIAL ASSESSMENT

INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAANNYA


 


 


Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ).

Penilaian awal meliputi:

  1. Persiapan
  1. Triase
  2. Primary survey (ABCDE)
  3. Resusitasi
  4. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi

  5. Secondary survey
  6. Tambahan terhadap secondary survey
  7. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
  8. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik


     

    Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.


     

  • PERSIAPAN
    • Fase Pra-Rumah Sakit
      • Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
      • Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai diangkut dari tempat kejadian.
      • Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
    • Fase Rumah Sakit
      • Perencanaan sebelum penderita tiba
      • Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat yang mudah dijangkau


       

      • Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau
      • Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktu-waktu dibutuhkan.
      • Pemakaian alat-alat proteksi diri


       

  • TRIASE

    Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase :

    • Multiple Casualties

      Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.

    • Mass Casualties

      Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.


     

    Pemberian label kondisi pasien pada musibah massal :

  1. Label hijau

    Penderita tidak luka . Ditempatkan di ruang tunggu untuk dipulangkan.

  2. Label kuning

    Penderita hanya luka ringan. Ditempatkan di kamar bedah minor UGD.

  3. Label merah

    Penderita dengan cedera berat. Ditempatkan di ruang resusitasi UGD dan disiapkan dipindahkan ke kamar operasi mayor UGD apabila sewaktu-waktu akan dilakukan operasi

  4. Label biru

    Penderita dalam keadaan berat terancam jiwanya. Ditempatkan di ruang resusitasi UGD disiapkan untuk masuk intensive care unit atau masuk kamar operasi.

  5. Label hitam

    Penderita sudah meninggal. Ditempatkan di kamar jenazah.

Gambar 1        

Alur Skema Triase


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Kebutuhan untuk perlindungan airway 

Kebutuhan untuk ventilasi 

Tidak sadar 

Apnea

•    Paralisis neuromuskuler

•    Tidak sadar 

Fraktur maksilofasial 

Usaha nafas yang tidak adekuat

•    Takipnea

•    Hipoksia

•    Hiperkarbia

•    Sianosis 

Bahaya aspirasi

•    Perdarahan

•    Muntah - muntah 

Cedera kepala tertutup berat yang

membutuhkan hiperventilasi singkat,

bila terjadi penurunan keadaan neurologis 

Bahaya sumbatan

•    Hematoma leher

•    Cedera laring, trakea

•    Stridor 

 

Gambar 2

        Algoritme Airway


 


 

        Keperluan Segera Airway Definitif


 

Kecurigaan cedera servikal


 

        Oksigenasi/Ventilasi

    

    Apneic        Bernafas

    Intubasi orotrakeal        Intubasi Nasotrakeal

    dengan imobilisasi        atau orotrakeal

    servikal segaris        dengan imobilisasi

            servikal segaris*

    Cedera
    maksilofasial berat


 


 

    Tidak dapat intubasi    Tidak dapat intubasi    Tidak dapat intubasi


 


 

            Tambahan farmakologik


 


 

            Intubasi orotrakeal


 


 

            Tidak dapat intubasi


 


 

        Airway Surgical


 


 

* Kerjakan sesuai pertimbangan klinis dan tingkat ketrampilan/pengalaman


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Gambar 3

  1. Rapid response


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

  1. Transient response


 


 


 


 


 


 


 

  1. No response


 


 

Tabel 2- Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah,

Berdasarkan Presentasi Penderita Semula


 

KELAS I 

Kelas II 

Kelas III 

Kelas IV 

Kehilangan Darah (mL) 

Sampai 750 

750-1500 

1500-2000 

>2000 

Kehilangan Darah (% volume darah) 

Sampai 15% 

15%-30% 

30%-40%

>40%

Denyut Nadi 

<100 

>100 

>120 

>140 

Tekanan Darah 

Normal 

Normal 

Menurun 

Menurun 

Tekanan nadi

(mm Hg) 

Normal atau Naik 

Menurun 

Menurun 

Menurun

Frekuensi Pernafasan 

14-20 

20-30 

30-40 

>35 

Produksi Urin

(mL/jam)

>30 

20-30 

5-15 

Tidak berarti 

CNS/ Status

Mental 

Sedikit cemas 

Agak cemas 

Cemas,

bingung 

Bingung,lesu

(lethargic) 

Penggantian Cairan

(Hukum 3:1) 

Kristaloid 

Kristaloid 

Kristaloid dan darah 

Kristaloid dan darah 

 

Table 3-Penilaian Awal dan Pengelolaan Syok


 


 

KONDISI 

PENILAIAN (Pemeriksaan Fisik)

PENGELOLAAN 

Tension

Pneumothorax

•    Deviasi Tracheal

•    Distensi vena leher

•    Hipersonor

•    Bising nafas (-) 

•    Needle decompression

•    Tube thoracostomy 

Massive hemothorax 

•    ± Deviasi Tracheal

•    Vena leher kolaps

•    Perkusi : dullness

•    Bising nafas (-)

•    Venous access

•    Perbaikan Volume

•    Konsultasi bedah

•    Tube thoracostomy 

Cardiac tamponade 

•    Distensi vena leher

•    Bunyi jantung jauh

•    Ultrasound 

Pericardiocentesis

•    Venous access

•    Perbaikan Volume

•    Pericardiotomy

•    Thoracotomy 

Perdarahan Intraabdominal

•    Distensi abdomen

•    Uterine lift, bila hamil

•    DPL/ultrasonography

•    Pemeriksaan Vaginal 

•    Venous access

•    Perbaikan Volume

•    Konsultasi bedah

•    Jauhkan uterus dari vena cava 

Perdarahan Luar 

•    Kenali sumber perdarahan 

Kontrol Perdarahan

•    Direct pressure

•    Bidai / Splints

•    Luka Kulit kepala yang

berdarah : Jahit 


 


 


 


 


 

Tabel 4-Penilaian Awal dan Pengelolaan Syok


 


 

KONDISI 

IMAGE FINDINGS 

SIGNIFICANCE 

INTERVENSI 

Fraktur Pelvis 

Pelvic x-ray

•    Fraktur Ramus Pubic 

• Kehilangan
darah kurang

dibanding jenis lain

• Mekanisme

Kompresi Lateral 

•    Perbaikan Volume

•    Mungkin Transfuse

•    Hindari manipulasi

berlebih 

 

•    Open book 

•    Pelvic volume

•    Perbaikan Volume

•    Mungkin Transfusi

•    Pelvic volume

•    Rotasi Internal Panggul

•    PASG 

 

•    Vertical shear 

•    Sumber perdarahan banyak 

•    External fixator

•    Angiography

•    Traksi Skeletal

•    Konsultasi Ortopedi 

Cedera Organ Dalam 

CT scan

•    Perdarahan intraabdomimal

•    Potensial kehilangan darah

• Hanya dilakukan bila

hemodinamik stabil 

•    Perbaikan Volume

•    Mungkin Transfusi

•    Konsultasi Bedah 


 


 

Tabel 5-Transient Responder


 

ETIOLOGI 

PEM.FISIK 

PEM.DIAGNOSTIK

TAMBAHAN 

INTERVENSI 

Dugaan Jumlah

perdarahan kurang atau

Perdarahan Berlanjut 

•    Distensi Abdomen

•    Fraktur Pelvis

•    Fraktur Pelvis

•    Perdarahan Luar 

•    DPL atau ultrasonografi 

•    Konsultasi Bedah

•    Perbaikan Volume

•    Mungkin Transfusi

•    Pasang bidai 

Nonhemorrhagic

    • Cardiac tamponade

•    Distensi vena leher

•    Bunyi jantung jauh

•    Ultrasound

•    Bising nafas normal

•    Pericardiocentesis 

•    Reevaluasi toraks

•    Dekompresi jarum

    Tube thoracostomy 

•    Recurrent/

persistent tension

pneumothorax 

•    Deviasi Tracheal

•    Distensi versa leher

•    Hipersonor

•    Bising nafas (-)

  


 


 

Tabel 6-Non responder


 

ETIOLOGI 

PEM.FISIK 

PEM.DIAGNOSTIK

TAMBAHAN 

INTERVENSI 

Massive blood loss

(Class III atau IV)

•    Intraabdominal bleeding 

•    Distensi Abdomen 

•    DPL/USG 

•    Intervensi segera (ahli bedah)

•Perbaikan Volume

•    Resusitasi Operatif 

Nonhemorrhagic

•    Tension pneumothorax

•    Distensi Vena Leher

•    Trachea tergeser

•    Suara nafas menghilang

•    Hipersonor 

 

•    Chest Decompresion (Needle

thoracocentesis diteruskan

dengan tube thoracostomy)

•    Mungkin diperlukan

penggunaan monitoring

invasive

Nonhemorrhagic

•Cardiac tamponade

•    Distensi vena leher

•    Bunyi jantung jauh

•    Ultrasound

•    Bising nafas normal 

•Pericardiocentesis 

•    Nilai ulang ABCDE

•    Nilai ulang jantung

•    Pericardiocentesis 

•    Cedera tumpul jantung 

•    Nadi # teratur

•    Perfusi jelek 

•    EKG : kelainan iskemik

•    Transesophageal

echocardiography

•    Ultrasonography

(pericardial) 

•    Persiapan OK

•    Invasive monitoring

•    Inotropic support

•    Pertimbangkan operasi 


 

  • TAMBAHAN PADA PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI
    • Pasang EKG
      • Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai adanya hipoksia dan hipoperfusi
      • Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia
    • Pasang kateter uretra
      • Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan kateter urine
      • Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH, jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada bagian bedah
      • Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine
      • Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal dan hemodinamik penderita
      • Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi
    • Pasang kateter lambung
      • Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial yang merupakan kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan orogastric tube.
      • Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena bahaya aspirasi bila pasien muntah.
    • Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium

      Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah, Analisis Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan laboratorium darah.

    • Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST
      • Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan mesin x-ray portabel dan atau FAST bila terdapat kecurigaan trauma abdomen.
      • Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat proses resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat secondary survey.
      • Pada wanita hamil, foto rotgen yang mutlak diperlukan, tetap harus dilakukan.
  • SECONDARY SURVEY
    • Anamnesis

      Anamnesis yang harus diingat :

      A : Alergi

      M : Mekanisme dan sebab trauma

      M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)

      P : Past illness

      L : Last meal (makan minum terakhir)

      E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.


       

    • Pemeriksaan Fisik ( lihat tabel 7 )


 


 

Tabel 7- Pemeriksaan Fisik pada Secondary Survey


 

Hal yang

dinilai 

Identifikasi/

tentukan 

Penilaian 

Penemuan Klinis

Konfirmasi dengan 

Tingkat

Kesadaran 

•    Beratnya trauma kapitis 

•    Skor GCS 

•    £ 8, cedera kepala berat

•    9 -12, cedera kepala sedang

•    13-15, cedera kepala ringan

•    CT Scan

•    Ulangi tanpa relaksasi Otot 

Pupil 

•    Jenis cedera kepala

•    Luka pada mata

•    Ukuran

•    Bentuk

•    Reaksi 

•    "mass effect"

•    Diffuse axional injury

•    Perlukaan mata 

•    CT Scan 

Kepala 

•    Luka pada kulit kepala

•    Fraktur tulang tengkorak 

•        Inspeksi adanya luka dan fraktur

•    Palpasi adanya fraktur 

•    Luka kulit kepala

•    Fraktur impresi

•    Fraktur basis 

•    CT Scan 

Maksilofasial 

•    Luka jaringan lunak

•    Fraktur

•    Kerusakan syaraf

•    Luka dalam mulut/gigi 

•    Inspeksi : deformitas

•    Maloklusi

•    Palpasi : krepitus 

•    Fraktur tulang wajah


 

•    Cedera jaringan lunak

•    Foto tulang wajah


 

•    CT Scan tulang wajah 

Leher 

•    Cedera pada faring

•    Fraktur servikal

•    Kerusakan vaskular

•    Cedera esofagus

•    Gangguan neurologis 

•    Inspeksi

•    Palpasi

•    Auskultasi 

•    Deformitas faring

•    Emfisema subkutan

•    Hematoma

•    Murmur

•    Tembusnya platisma

•    Nyeri, nyeri tekan C spine 

•    Foto servikal

•    Angiografi/ Doppler

•    Esofagoskopi

•    Laringoskopi 

Toraks 

•    Perlukaan dinding toraks

•    Emfisema subkutan

•    Pneumo/ hematotoraks

•    Cedera bronchus

•    Kontusio paru

•    Kerusakan aorta torakalis 

•    Inspeksi

•    Palpasi

•    Auskultasi 

•    Jejas, deformitas, gerakan

•    Paradoksal

•    Nyeri tekan dada, krepitus

•    Bising nafas berkurang

•    Bunyi jantung jauh

•    Krepitasi mediastinum

•    Nyeri punggung hebat

•    Foto toraks

•    CT Scan

•    Angiografi

•    Bronchoskopi

•    Tube torakostomi

• Perikardio sintesis

•    USG Trans-Esofagus 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Tabel 7- Pemeriksaan Fisik pada Secondary Survey ( lanjutan )


 


 

Hal yang

Dinilai

Identifikasi/ tentukan

Penilaian 

Penemuan klinis 

Konfirmasi dengan 

Abdomen/ pinggang

•    Perlukaan dd. Abdomen

•    Cedera intra-peritoneal

•    Cedera retroperitoneal

•    Inspeksi

•    Palpasi

•    Auskultasi

•    Tentukan arah penetrasi

•    Nyeri, nyeri tekan abd.

•    Iritasi peritoneal

•    Cedera organ viseral

•    Cedera retroperitoneal

•    DPL

•    FAST

•    CT Scan

•    Laparotomi

•    Foto dengan kontras

•    Angiografi 

Pelvis 

•    Cedera Genito-urinarius

•    Fraktur pelvis 

•    Palpasi simfisis pubis untuk pelebaran

•    Nyeri tekan tulang elvis

•    Tentukan instabilitas pelvis (hanya satu kali)

•    Inspeksi perineum

•    Pem. Rektum/vagina 

•    Cedera Genito- rinarius (hematuria)

•    Fraktur pelvis

•    Perlukaan perineum, rektum, vagina

•    Foto pelvis

•    Urogram

•    Uretrogram

•    Sistogram

•    IVP

•    CT Scan dengan kontras

Medula

spinalis 

•    Trauma kapitis

•    Trauma medulla spinalis

•    Trauma syaraf perifer

•    Pemeriksaan motorik

•    Pemeriksaan sensorik 

•    "mass effect" unilateral

•    Tetraparesis

    Paraparesis

•    Cedera radiks syaraf

•    Foto polos

•    MRI 

Kolumna

vertebralis 

•    Fraktur

•    lnstabilitas kolumna Vertebralis

•    Kerusakan syaraf

•    Respon verbal terhadap nyeri,

tanda lateralisasi

•    Nyeri tekan

•    Deformitas 

•    Fraktur atau dislokasi

•    Foto polos

•    CT Scan 

Ekstremitas 

•    Cedera jaringan lunak

•    Fraktur

•    Kerusakan sendi

•    Defisit neuro- vascular

•    Inspeksi

•    Palpasi 

•    Jejas, pembengkakan, pucat

•    Mal-alignment

•    Nyeri, nyeri tekan, Krepitasi

•    Pulsasi hilang/ berkurang

•    Kompartemen

•    Defisit neurologis 

•    Foto ronsen

•    Doppler

•    Pengukuran tekanan kompartemen

•    Angiografi 


 


 

  • TAMBAHAN PADA SECONDARY SURVEY
    • Sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan, periksa keadaan penderita dengan teliti dan pastikan hemodinamik stabil
    • Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemeriksaan tambahan biasanya dilakukan di ruangan lain
    • Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan :
      • CT scan kepala, abdomen
      • USG abdomen, transoesofagus
      • Foto ekstremitas
      • Foto vertebra tambahan
      • Urografi dengan kontras


       

  • RE-EVALUASI PENDERITA
    • Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.
    • Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin
    • Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan

IX. TRANSFER KE PUSAT RUJUKAN YANG LEBIH BAIK

  • Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih memungkinkan untuk dirujuk.
  • Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita selama perjalanan serta komunikasikan dengan dokter pada pusat rujukan yang dituju.


 


 


 

TRAUMA VERTEBRA


 


 


 

I.     PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI - PENILAIAN CEDERA TULANG BELAKANG

Penderita harus dipertahankan dalam keadaan berbaring, posisi netral dengan menggunakan tehnik imobilisasi yang baik.

  1. Airway

    Nilai airway sewaktu mempertahankan posisi tulang leher. Membuat airway definitif apabila diperlukan.

  2. Breathing

    Menilai dan memberikan oksigenasi yang adekuat dan bantuan ventilasi bila diperlukan.

  3. Circulation
    1. Bila terdapat hipotensi, harus dibedakan antara syok hipovolemik (penurunan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, ekstremitas yang dingin) dari syok neurogenik (penurunan tekanan darah, penurunan denyut jantung, ekstremitas hangat).
    2. Penggantian cairan untuk menanggulangi hipovolemia
    3. Bila terdapat cedera medula spinalis, pemberian cairan harus dipandu dengan monitor CVP.( Catatan : Beberapa penderita membutuhkan pemberian inotropik )
    4. Bila melakukan pemeriksaan colok dubur sebelum memasang kateter, harus dinilai sensasi serta kekuatan sfinkter.
  4. Disability- Pemeriksaan neurologis singkat
    1. Tentukan tingkat kesadaran dan menilai pupil.
    2. Tentukan AVPU atau lebih baik dengan Glasgow Coma Scale
    3. Kenali paralisis / paresis.


     

II.     SURVEY SEKUNDER - PENILAIAN NEUROLOGIS

  1. Memperoleh anamnesis AMPLE
    1. Anamnesis dan mekanisme trauma
    2. Riwayat medis
    3. Identifikasi dan mencatat obat yang diberikan kepada penderita sewaktu datang dan selama pemeriksaan dan penatalaksanaan.
  2. Penilaian ulang Tingkat Kesadaran dan Pupil
  3. Penilaian ulang Skor GCS
  4. Penilaian Tulang Belakang
    1. Palpasi

      Rabalah seluruh bagian posterior tulang belakang dengan melakukan log roll penderita secara hati-hati . Yang dinilai

      1. Deformitas dan / atau bengkak
      2. Krepitus
      3. Peningkatan rasa nyeri sewaktu dipalpasi
      4. Kontusi dan laserasi/luka tusuk.
    2. Nyeri, paralisis, paresthesia
      1. ada/ tidak
      2. Lokasi
      3. Level neurologis
    3. Sensasi

      Tes pinprick untuk mengetahui sensasi, dilakukan pada seluruh dermatom dan dicatat bagian paling kaudal dermatom yang memberikan sensasi rasa.

    4. Fungsi Motoris
    5. Refleks tendo dalam (kurang memberikan informasi pada keadaan emergensi)
    6. Pencatatan dan pemeriksaan ulang

    Catat pemeriksaan neurologis dan ulangi pemeriksaan sensoris dan motoris secara reguler sampai datang spesialis terkait.

  5. Evaluasi ulang akan adanya cedera penyerta/ cedera yang tersembunyi


 

III.     PEMERIKSAAN UNTUK LEVEL CEDERA MEDULA SPINALIS

Penderita cedera medula spinalis mungkin mempunyai defisit neurologis dengan level yang bervariasi. Level fungsi motoris dan sensasi harus dinilai ulang secara berkala dan secara hati-hati, dan didokumentasikan, karena tidak terlepas kemungkinan terjadi perubahan level

  1. Pemeriksaan Motoris
    1. Menentukan level kuadriplegia, level radiks saraf
      1. Mengangkat siku sampai setinggi bahu - Deltoid, C5
      2. Fleksi lengan bawah - Biceps, C6
      3. Ekstensi lengan bawah - Triceps, C7
      4. Fleksi pergelangan tangan dan jari - C8
      5. Membuka jari - T1
    2. Menentukan level paraplegia, level radiks saraf
      1. Fleksi panggul - iliopsoas, L2
      2. Ekstensi lutut - Kuadriseps, L-3,4
      3. Fleksi lutut - Hamstring, L4,5 sampai S1
      4. Dorsofleksi jempol kaki - Ekstensor Hallusis Longus, L5
      5. Plantar fleksi ankle - Gastroknemius, S1


       

  2. Pemeriksaan Sensoris

    Menentukan level sensasi dilakukan terutama dengan melakukan penilaian pada dermatom. Harap diingat, dermatom sensoris servikal dari C-2 sampai C-4 membentuk mantel yang meluas ke bawah sampai ke papilla mammae. Oleh karena gambaran yang tidak lazim ini, pemeriksa jangan tergantung dari ada atau tidaknya sensasi pada daerah leher dan klavikula, dan level sensasi harus sesuai dengan level respons motoris.


     

Tabel 9. Derajat Kekuatan Otot


 

Skor 

Hasil Pemeriksaan 

0

1

2

3

4

5

NT 

Kelumpuhan Total

Teraba atau terasanya kontraksi

Gerakan tanpa menahan gays berat

Gerakan melawan gays berat

Gerakan kesegala arch, tetapi kekuatan kurang

Kekuatan normal

Tak dapat diperiksa


 


 

IV.     PRINSIP TERAPI BAGI PENDERITA CEDERA MEDULA SPINALIS

  1. Perlindungan terhadap trauma lebih lanjut

    Penderita yang diduga mengalami cedera tulang belakang harus dilindungi terhadap trauma lebih lanjut. Perlindungan ini meliputi, pemasangan kolar servikal semi rigid dan long back board, melakukan modifikasi teknik log roll untuk mempertahankan kesegarisan bagi seluruh tulang belakang, dan melepaskan long spine board secepatnya. Imobilisasi dengan long spine board pada penderita yang mengalami paralisis akan meningkatkan resiko terjadinya ulcus dekubitus pada titik penekanan. Karenanya , long spine board harus dilepaskan secepatnya setelah diagnosa cedera tulang belakang ditegakkan, contoh, dalam waktu 2 jam.

  2. Resusitasi Cairan dan Monitoring
    1. Monitoring CVP

      Cairan intravena yang dibutuhkan umumnya tidak terlampau banyak, hanya untuk maintenance saja, kecuali untuk keperluan pengelolaan syok. CVP harus dipasang untuk memonitor pemasukan cairan secara hati hati.

    2. Kateter urin

      Pemasangan kateter dilakukan pada primary survey dan resusitasi, untuk memonitor output urine dan mencegah terjadinya distensi kandung kencing.

    3. Kateter Lambung

      Kateter lambung harus dipasang pada seluruh penderita dengan paraplegia dan kuadriplegia untuk mencegah distensi gaster dan aspirasi.

  3. Penggunaan Steroid

    Penggunaan kortikosteroid, bila memungkinkan dipergunakan bagi penderita dengan defisit neurologist yang disebabkan bukan karena luka tembus kurang dari 8 jam pasca trauma. Obat pilihan adalah metilprednisolon (30 mg/kg), diberikan secara intravena dalam waktu kurang lebih 15 menit. Dosis awal dilanjutkan dengan dosis maintenance 5,4 mg/kg per jam untuk 24 jam berikutnya dimulai antara 3 jam pasca trauma, atau untuk 48 jam bila pemberian awal antara 3 dan 8 jam pasca trauma, kecuali jika ditemukan adanya komplikasi.


     


     


     

V.     PRINSIP MELAKUKAN IMOBILISASI TULANG BELAKANG DAN LOG ROLL

  1. Penderita dewasa

    Empat orang dibutuhkan untuk melakukan prosedur modifikasi log roll dan imobilisasi penderita, seperti pada long spine board: (1) satu untuk mempertahankan imobilisasi segaris kepala dan leher penderita; (2) satu untuk badan (termasuk pelvis dan panggul); (3) satu untuk pelvis dan tungkai; dan (4) satu mengatur prosedur ini dan mencabut spine board. Prosedur ini mempertahankan seluruh tubuh penderita dalam kesegarisan, tetapi masih terdapat gerakan minimal pada tulang belakang. Saat melakukan prosedur ini, imobilisasi sudah dilakukan pada ekstremitas yang diduga mengalami fraktur.

    1. Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi penderita. Tali pengikat ini dipasang pada bagian toraks, diatas krista iliaka, paha, dan diatas pergelangan kaki. Tali pengikat atau plester dipergunakan untuk memfiksir kepala dan leher penderita ke long spine board.
    2. Dilakukan in line imobilisasi kepala dan leher secara manual, kemudian dipasang kolar servikal semirigid.
    3. Lengan penderita diluruskan dan diletakkan di samping badan.
    4. Tungkai bawah penderita diluruskan secara hati-hati dan diletakkan dalam posisi kesegarisan netral sesuai dengan tulang belakang. Kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan plester.
    5. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang kedua memegang penderita pada daerah bahu dan pergelangan tangan. Orang ke tiga memasukkan tangan dan memegang panggul penderita dengan satu tangan dan dengan tangan yang lain memegang plester yang mengikat ke dua pergelangan kaki.
    6. Dengan komando dari penolong yang mempertahankan kepala dan leher, dilakukan log roll sebagai satu unit ke arah ke dua penolong yang berada pada sisi penderita, hanya diperlukan pemutaran minimal untuk meletakkan spine board di bawah penderita. Kesegarisan badan penderita harus dipertahankan sewaktu menjalankan prosedur ini.
    7. Spine board diletakkan dibawah penderita, dan dilakukan log roll ke arah spine board. Harap diingat, spine board hanya digunakan untuk transfer penderita dan jangan dipakai untuk waktu lama.
    8. Untuk mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan penderita, maka diperlukan bantalan yang diletakkan dibawah kepala penderita.
    9. Bantalan, selimut yang dibulatkan atau alat penyangga lain ditempatkan di kiri dan kanan kepala dan leher penderita, dan kepala penderita diikat ke long spine board. Juga dipasang plester di atas kolar servikal untuk menjamin tidak adanya gerakan pada kepala dan leher.


 

  1. Penderita Anak-anak
    1. Untuk imobilisasi anak diperlukan long spine board pediatrik. Bila tidak ada, maka dapat menggunakan long spine board untuk dewasa dengan gulungan selimut diletakkan di seluruh sisi tubuh untuk mencegah pergerakan ke arah lateral.
    2. Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa, oleh karena itu harus dipasang bantalan dibawah bahu untuk menaikkan badan, sehingga kepala yang besar pada anak tidak menyebabkan fleksi tulang leher, sehingga dapat mempertahankan kesegarisan tulang belakang anak. Bantalan dipasang dari tulang lumbal sampai ujung bahu dan kearah lateral sampai di ujung board.
  2. Komplikasi

    Bila penderita dalam waktu lama (kurang lebih 2 jam atau lebih lama lagi) diimobilisasi dalam long spine board, penderita dapat mengalami dekubitus pada oksiput, skapula, sakrum, dan tumit. Oleh karena itu, secepatnya bantalan harus dipasang dibawah daerah ini, dan apabila keadaan penderita mengizinkan secepatnya long spine board dilepas.


 

  1. Melepas Long Spine board

    Pergerakan penderita yang mengalami cedera tulang belakang yang tidak stabil akan menyebabkan atau memperberat cedera medula spinalisnya. Untuk mengurangi resiko kerusakan medula spinalis, maka diperlukan pencegahan secara mekanis untuk seluruh penderita yang mempunyai resiko. Proteksi harus dipertahankan sampai adanya cedera tulang belakang yang tidak stabil di singkirkan.

    1. Seperti sebelumnya dibicarakan, melakukan imobilisasi penderita dengan long spine board adalah teknik dasar membidai (splinting) tulang belakang. Secara umum hal ini dilaksanakan pada saat penanggulangan prehospital dan penderita datang ke rumah sakit sudah dalam sarana transfer yang aman. Spine board tanpa bantalan akan menyebabkan rasa tidak nyaman pada penderita yang sadar dan mempunyai resiko terhadap terjadinya dekubitus pada daerah dengan penonjolan tulang (oksiput, skapula, sakrum, tumit ). Oleh karena itu penderita harus dipindahkan dari long spine board ke tempat dengan bantalan yang baik dan permukaan yang nyaman secepatnya bisa dilakukan secara aman. Sebelum dipindahkan dari spine board, pada penderita dilakukan pemeriksaan foto servikal, toraks, pelvis sesuai dengan indikasinya, karena penderita akan mudah diangkat beserta dengan spine boardnya. Sewaktu penderita di imobilisasi dengan spine board, sangat penting untuk mempertahankan imobilisasi kepala dan leher dan badan secara berkesinambungan sebagai satu unit. Tali pengikat yang dipergunakan untuk imobilisasi penderita ke spine board janganlah dilepas dari badan penderita sewaktu kepala masih terfiksir ke bagian atas spine board.
    2. Spine board harus dilepaskan secepatnya, waktu yang tepat untuk melepas long spine board adalah sewaktu dilakukan tindakan log roll untuk memeriksa bagian belakang penderita.
    3. Pergerakan yang aman bagi penderita dengan cedera yang tidak stabil atau potensial tidak stabil membutuhkan kesegarisan anatomik kolumna vertebralis yang dipertahankan secara kontinyu. Rotasi, fleksi, ekstensi, bending lateral, pergerakan tipe shearing ke berbagai arah harus dihindarkan. Yang terbaik untuk mengontrol kepala dan leher adalah dengan imobilisasi inline manual. Tidak ada bagian tubuh penderita yang boleh melekuk sewaktu penderita dilepaskan dari spine board.
    4. Modifikasi teknik log roll,

      Modifikasi tehnik log roll, dipergunakan untuk melepas long spine board. Diperlukan empat asisten: (1) satu untuk mempertahankan imobilisasi in line kepala dan leher; (2) satu untuk badan penderita ( termasuk pelvis dan panggul ); (3) satu untuk pelvis dan tungkai bawah; dan (4) satu untuk menentukan arah prosedur ini dan melepas long spine board.

    5. Tandu Sekop (Scoop Stretcher)

      Alternatif melakukan modifikasi teknik log roll adalah dalam penggunaan scoop stretcher untuk transfer penderita. Penggunaan yang tepat alat ini akan mempercepat transfer secara aman dari long spine board ke tempat tidur. Sebagai contoh alat ini dapat digunakan untuk transfer penderita dari satu alat traspor ke alat lain atau ke tempat khusus misalnya meja ronsen.

Harap diingat, penderita harus tetap dalam imobilisasi sampai cedera tulang belakang disingkirkan. Setelah penderita ditransfer dari backboard ke tempat tidur dan scoop stretcher dilepas, penderita harus di reimobilisasi secara baik ke ranjang/tandu. Scoop stretcher bukanlah alat untuk imobilisasi penderita. Scoop stretcher bukanlah alat transport, dan jangan mengangkat scoop stretcher hanya pada ujung-ujungnya saja, karena akan melekuk di bagian tengah dengan akibat kehilangan kesegarisan dari tulang belakang.

  1. Imobilisasi untuk penderita dengan kemungkinan cedera tulang belakang

    Penderita umumnya datang ke bagian gawat darurat dengan alat perlindungan tulang belakang. Alat ini menyebabkan pemeriksa harus memikirkan adanya cedera tulang vertebra servikal atau torakolumbal, berdasarkan dari mekanisme cedera. Pada penderita dengan cedera multipel dengan penurunan tingkat kesadaran, alat perlindungan harus dipertahankan sampai cedera pada tulang belakang disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Bila penderita diimobilisasi dengan spine board dan paraplegia, harus diduga adanya ketidakstabilan tulang belakang dan perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk mengetahui letak dari cedera tulang belakang. Bila penderita sadar, neurologis normal, tidak mengeluh adanya nyeri leher atau nyeri pada tulang belakang, dan tidak terdapat nyeri tekan pada saat palpasi tulang belakang, pemeriksaan radiologis tulang belakang dan imobilisasi tidak diperlukan.

    Penderita yang menderita cedera multipel dan dalam keadaan koma harus tetap diimobilisasi pada usungan dan dilakukan tindakan log roll untuk mengetahui foto yang diperlukan untuk menyingkirkan adanya suatu fraktur. Kemudian penderita dapat ditransfer secara hati-hati dengan menggunakan prosedur tersebut di atas ke tempat tidur untuk bantuan ventilasi yang lebih baik.


 


 

Tabel 10 - Panduan Skrining Penderita dengan Dugaan Cedera Servical


 

  1. Adanya paraplegia atau quadriplegia adalah bukti pendahuluan adanya instabilitas servikal
  2. Penderita sadar, tidak mabuk, neurologis normal dan tanpa nyeri leher, atau nyeri tekan di bagian tengah leher:

    Penderita seperti ini sangat jarang menderita cedera servikal akut atau instabilitas. Dengan penderita dalam posisi terlentang, lepaskan kolar dan lakukan palpasi tulang leher. Bila tidak ada nyeri tekan, mintalah penderita uuntuk melakukan latero-fleksi. Jangan memaksa menggerakkan leher penderita. Gerakan ini aman bila dilakukan oleh penderita sendiri. Bila gerakan ini tanpa nyeri, mintalah kembali agar penderita melakukan fleksi dan ekstensi lehernya. Bila inipun tanpa nyeri, tidak perlu dilakukan foto servikal.

  3. Penderita sadar, neurologis normal, koperatif, namun ada nyeri leher atau nyeri tekan di bagian tengah leher.

    Tugas dokter adalah untuk menyingkirkan adanya cedera servikal. Semua penderita seperti ini memerlukan foto servikal AP, Lateral dan Open mouth dengan aksial CT scan pada daerah yang dicurigai atau tulang leher bawah yang tidak dapat terlihat dengan baik hanya dengan foto polos saja. Yang dinilai pada foto cervical : (a). deformitas tulang, (b). fraktur korpus vertebra atau prosesus, (c). hilangnya kesegarisan (alignment ) aspek posterior korpus vertebra ( bagian anterior kanalis vertebralis), (d). meningkatnya jarak antar prosesus spinosus pada 1 level vertebra, (e). menyempitnya kanalis vertebralis dan (f). meningkatnya ruangan jaringan lunak prevertebral. Bila foto ini normal, lepaskan kolar, dan dibawah pengawasan seorang dokter yang menguasai masalah, lakukan fleksi dan ekstensi pada leher dan kemudian dilakukan foto fleksi lateral dari leher. Bila pada foto ini tidak ditemukan subluksasi, dianggap tidak ada cedera servikal dan kolar dapat dilepaskan. Bila salah satu dari foto di atas mencurigakan akan adanya cedera servikal, pasanglah kolar kembali, dan konsultasikan dengan seorang spesialis orthoped spine.

  4. Penderita dengan gangguan kesadaran atau anak kecil yang tidak dapat menerangkan dengan jelas.

    Semua penderita di atas memerlukan foto servikal lateral, AP dan open mouth disertai tambahan pemeriksaan CT scan pada daerah yang dicurigai (C1 dan C2, dan didaerah cervical bawah yang tidak dapat dinilai dengan tepat dengan foto polos) . Pemeriksaan CT pada anak adalah pemeriksaan tambahan. Bila seluruh vertebra servikal dapat terlihat, dan tanpa kelainan, maka setelah dilakukan pemeriksaan oleh ahli bedah syaraf atau ortopedi, kolar dapat dilepas.

  5. Bila ragu-ragu pertahankan kolar.
  6. Konsul:

    Bila curiga atau menemukan cedera servikal selalu konsultasikan dengan dokter yang mempunyai keahlian dalam mengevaluasi serta melakukan tindakan terhadap penderita yang mengalami cedera vertebra.

  7. Backboard

    Penderita dengan deficit neurologis (kuadriplegia atau paraplegia) harus dievaluasi secara cepat dan dilepaskan dari backboard secepat mungkin. Penderita seperti ini bila tidur di atas backboard lebih dari 2 jam ber-resiko tinggi untuk dekubitus.

  8. Keadaan gawat-darurat

    Penderita cedera yang membutuhkan Bedah darurat sebelum pemeriksaan tulang belakang secara lengkap dikerjakan, harus ditranspor dan digerakkan secara hati-hati dengan asumsi terdapat cedera vertebra yang tidak stabil. Dalam keadaan ini kolar harus dipertahankan, penderita dipindahkan ke meja operasi dengan cara logroll. Team Bedah harus berhati-hati dalam memproteksi leher sewaktu melakukan tindakan operasi. Ahli Anestesi harus diberitahukan sejauh mana pemeriksaan untuk adanya cedera servikal sudah dilakukan.


 

Tabel 11 - Panduan Skrining Penderita dengan Dugaan
Cedera Vertebra Thorakolumbal


 

  1. Adanya paraplegia atau kehilangan sensasi di daerah dada atau abdomen, membuktikan adanya bukti instabilitas.
  2. Penderita sadar, tidak mabuk, neurogis normal, tidak terdapat rasa nyeri atau nyeri tekan di garis tengah thorak dan lumbal: Seluruh tulang belakang harus dipalpasi dan di inspeksi. Bila tidak terdapat rasa nyeri sewaktu di palpasi atau ekimosis di daerah prosesus spinosus, maka tidak ada fraktur vertebra sehingga sehingga tidak diperlukan pemeriksaan ronsen vertebra thorakolumbal.
  3. Penderita dengan nyeri tulang belakang, atau nyeri tekan, terdapat deficit neurologis, dan penurunan tingkat kesadaran, atau dicurigai mabuk : Pemeriksaan ronsen seluruh vertebra thorakal dan lumbal harus dilakukan. CT scan aksial dengan interval 3 mm harus dilakukan di daerah yang dicurigai yang telah di identifikasi dengan foto polos. Semua foto ronsen harus dengan kualitas baik dan dinyatakan normal oleh seorang dokter yang berpengalaman sebelum melepaskan imobilisasi tulang belakang.
  4. Konsul ke dokter yang mempunyai keterampilan dalam mengevaluasi dan melakukan pengelolaan cedera tulang belakang apabila dicurigai atau dideteksi adanya cedera tulang belakang.


 

TRAUMA MUSCULOSKELETAL


 


 

I .     PEMERIKSAAN FISIK

  1. Melihat, Gambaran Umum

    Perdarahan luar dapat diketahui dengan jelas dari perdarahan pada ekstremitas, kumpulan darah pada lantai atau brankar, balutan yang penuh darah, dan perdarahan yang terjadi selama ditranspor ke rumah sakit. Pemeriksa perlu menanyakan karakteristik terjadinya trauma dan pelayanan pra rumah sakit.

    1. Luka terbuka mungkin sudah tidak berdarah, tetapi bisa terdapat trauma saraf atau fraktur terbuka.
    2. Deformitas pada ekstremitas menunjukkan adanya fraktur atau trauma sendi. Jenis trauma ini harus dibidai sebelum penderita dirujuk atau segera setelah aman.
    3. Warna ekstremitas perlu diperiksa. Adanya memar menunjukkan adanya trauma otot atau jaringan lunak diatas tulang atau sendi. Perubahan ini mungkin disertai bengkak atau hematoma. Gangguan vaskular mula-mula ditandai dengan pucat pada ekstremitas distal.
    4. Posisi ekstremitas dapat membantu membedakan sejumlah pola trauma. Bila ada trauma saraf akan menampilkan posisi ekstremitas yang khas, misalnya trauma saraf radialis menimbulkan wrist drop, dan trauma saraf peroneus menimbulkan drop foot.
    5. Pengawasan aktifitas spontan penderita dapat membedakan beratnya trauma. Dalam pengawasan, adanya gerakan spontan dapat menunjukkan adanya trauma yang tampak atau terselubung. Misalnya pada trauma kepala penderita tidak mengikuti perintah dan tidak ada gerakan spontan ekstremitas, penderita ini mungkin ada trauma torakal atau lumbal.
    6. Jenis kelamin dan usia penting untuk menentukan potensi trauma Anak-anak dapat terjadi trauma lempeng epifisis atau patah tulang tersembunyi (misalnya buckle fraktur). Pada wanita dengan trauma pelvis, lebih besar kemungkinan cedera vagina dibandingkan cedera uretra.
    7. Urin yang keluar dari kateter harus dilihat. Jika urin berdarah atau jika pemasangan kateter sulit, penderita mungkin menderita fraktur pelvis dan trauma traktus urinarius.
  2. Raba

    Ancaman jiwa dan ancaman ekstremitas disingkirkan terlebih dahulu.

    1. Pelvis dipalpasi anterior dan posterior akan adanya deformitas, pergerakan, dan jarak yang menunjukkan potensi pelvis tidak stabil. Tes kompresi-distraksi seperti menarik-mendorong pelvis dikerjakan sekali saja. Tes ini berbahaya karena terlepasnya bekuan darah dapat menimbulkan perdarahan baru.
    2. Pulsasi ekstremitas dipalpasi dan penemuannya dicatat. Adanya perbedaan atau abnormalitas harus dicatat. Pengisian kapiler yang normal (kurang dari 2 detik) di bawah kuku atau telapak tangan menandakan aliran darah di ekstremitas distal baik. Hilangriya pulsasi dengan pengisian kapiler normal menandakan ekstremitas viable, walaupun demikian konsultasi bedah perlu dilakukan. Jika pulsasi dan pengisian kapiler tidak ada diperlukan pembedahan gawat darurat.
    3. Kompartemen otot seluruh ekstremitas dipalpasi untuk menentukan adanya fraktur atau sindroma kompartemen. Dilakukan dengan palpasi yang lembut. Jika terdapat fraktur, penderita sadar akan mengeluh nyeri. Jika penderita tidak sadar, hanya teraba gerak abnormal. Sindroma kompartemen dicurigai jika teraba keras-tegang dan nyeri. Sindroma kompartemen dapat disertai fraktur.
    4. Stabilitas sendi diperiksa dengan meminta penderita menggerakkan sendi secara aktif. Hal ini tidak perlu dikerjakan jika terdapat fraktur yang nyata atau deformitas, atau penderita tidak kooperatif. Setiap sendi dipalpasi untuk nyeri, bengkak, dan adanya cairan intar-artikular. Stabilitas sendi diperiksa dengan melakukan regangan lateral, medial, dan anterior -posterior. Segala deformitas atau dislokasi sendi harus dibidai dan dilakukan pemeriksaan ronsen sebelum melakukan pemeriksaan akan stabilitas.
    5. Pemeriksaan neurolgi secara cepat dan menyeluruh dilakukan dan dicatat pada ekstremitas. Pemeriksaan diulang dan dicatat sesuai indikasi dan keadaan klinis penderita. Sensasi diperiksa dengan rabaan/sentuhan dan tusukan pada setiap ekstremitas. Adanya trauma neurologis yang progresif menunjukkan ada masalah besar.
      1. C5 - Sisi lateral dari lengan atas (juga N.axilaris)
      2. C6 - Sisi palmar ibu jari dan telunjuk (N.medianus)
      3. C7 - Sisi palmar jari tengah.
      4. C8 - Sisi palmar jari kelingking (N.ulnaris).
      5. T1 - Sisi dalam lengan bawah.
      6. L3 - Sisi dalam paha.
      7. L4 - Sisi dalam tungkai bawah,terutama diatas maleolus medialis.
      8. L5 - Dorsal kaki diantara ibu jari dan jari kedua (peroneus communis)
      9. Si - Sisi lateral kaki.
    6. Pemeriksaan motorik ekstremitas yang harus dikerjakan;
      1. Abduksi bahu - N. axilaris, C5.
      2. Fleksi siku - N. muskulokutaneus, C5 dan C6
      3. Ekstensi siku - N.radialis, C6, C7, dan C8.
      4. Tangan dan pergelangan - Kekuatan genggaman dorsofleksi pergelangan (N. radialis, C6) dan fleksi jari jari (N medianus dan ulnaris, C7 dan C8).
      5. Aduksi dan abduksi jari - N ulnaris, C 8 dan Ti.
      6. Ekstremitas bawah- dorsofleksi ibu jari dan pergelangan kaki memeriksa N.peroneus profundus, L5, dan plantar fleksi memeriksa N.tibialis posterior, S1.
      7. Pemeriksaan tingkat kekuatan otot menurut standar. Pemeriksaan ini spesifik sesuai dengan gerakannya. (lihat tabel 9)
    7. Pemeriksaan refleks tendo.
    8. Jangan lupa memeriksa punggung.


     

II.     PRINSIP IMOBILISASI EKSTREMITAS

  1. Periksa ABCDE dan terapi keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu.
  2. Buka semua pakaian seluruhnya termasuk ekstremitas. Lepaskan jam, cincin, kalung dan semua yang dapat menjepit. Ingat cegah terjadinya hipotermia.
  3. Periksa keadaan neurovaskular sebelum memasang bidai. Periksa pulsasi perdarahan eksternal yang harus dihentikan, dan periksa sensorik dan motorik dari ekstremitas.
  4. Tutup luka dengan balutan steril.
  5. Pilih jenis dan ukuran bidai yang sesuai dengan ekstremitas yang trauma. Bidai harus mencakup sendi di atas dan di bawah ekstremitas yang
    trauma.
  6. Pasang bantalan di atas tonjolan tulang.
  7. Bidai ekstremitas pada posisi yang ditemukan jika pulsasi distal ada. Jika pulsasi distal tidak ada, coba luruskan ekstremitas. Traksi secara hati-hati dan pertahankan sampai bidai terpasang.
  8. Bidai dipasang pada ekstremitas yang telah lurus, jika belum lurus coba luruskan.
  9. Jangan meluruskan secara paksa, jika mengalami kesulitan, pasang bidai pada posisi yang ditemukan.
  10. Konsulkan ke ahli Orthopedi.
  11. Catat status neurovaskular sebelum dan setelah pemasangan bidai atau manipulasi.
  12. Berikan profilaksis Tetanus.


 

III.     MELURUSKAN DEFORMITAS

Pemeriksaan fisik membedakan deformitas karena dislokasi atau fraktur. Prinsip meluruskan ekstremitas yang patah adalah mengembalikan panjang ekstremitas secara hati-hati dengan tarikan lurus mengoreksi angulasi dan rotasi. Dengan mempertahankan secara manual pasang bidai dengan bantuan asisten.

  1. Ekstremitas Atas
    1. Humerus

      Pegang siku dan tarik ke bawah, setelah lurus bidai dipasang dan lengan dipertahankan dengan sling dan swath ke dinding dada.

    2. Lengan bawah

      Tarik pergelangan tangan ke bawah dengan siku ditahan sebagai kontraksi. Bidai dipasang di lengan bawah dan dielevasikan.


       

  2. Ekstremitas Bawah
    1. Femur

      Luruskan femur dengan melakukan traksi di daerah ankle jika tibia dan fibula tidak fraktur. Setelah spasme otot diatasi tungkai diluruskan dan rotasi dikoreksi. Tindakan ini memerlukan waktu beberapa menit tergantung dari besarnya penderita.

    2. Tibia

      Lakukan traksi di daerah ankle dan kontra-traksi di atas lutut, dikerjakan bila femur utuh.

  3. Gangguan Vaskular dan Neurologis

    Fraktur disertai trauma neurovaskular perlu diluruskan dengan hati-hati. Konsultasi bedah segera dikerjakan. Jika trauma neurovaskular bertambah setelah diluruskan dan dibidai, bidai dilepas dan tungkai dikembalikan keposisi semula dimana aliran darah dan status neurologi maksimal. Ekstremitas diimobilisasi dalam posisi ini.


 

IV.     PEMASANGAN TRACTION SPLINT

  1. Pemasangan alat ini perlu dua orang, satu orang mempertahankan posisi tungkai dan seorang lagi memasang splint.
  2. Lepaskan pakaian, termasuk sepatu agar seluruh ekstremitas terlihat. Tutup luka dengan balut steril, dan periksa neurovaskular distal.
  3. Bersihkan tonjolan tulang dan otot dari kotoran sebelum memasang traksi. Catat jika ada tulang yang
    keluar dan masuk ke jaringan lunak setelah ditraksi.
  4. Ukur panjang splint melalui kaki yang sehat. Bagian atas dari ring diletakkan di bawah bokong dan tuberositas iskhium. Bagian distal splint dibawah ankle sepanjang 15 cm. Strap dipasang untuk menahan paha dan betis.
  5. Femur diluruskan dengan menarik ankle, kemudian diangkat dan splint diletakkan di bawahnya. Proximal splint diletakkan pada tuberositas iskhium. Periksa ulang keadaan neurovaskular distal tungkai yang mengalami cedera.
  6. Alat pengikat traksi dipasang di ankle dengan asisten tetap mempertahankan tarikan tungkai dengan strap terbawah lebih pendek dari atasnya.
  7. Pasang penarik ankle pada pengait traksi, asisten tetap mempertahankan tarikan. Tarik traksi sampai tungkai stabil, atau nyeri dan spasme otot hilang.
  8. Periksa status neurovaskular, jika perfusi distal menjadi buruk setelah pemasangan traksi, lepaskan / kurangi tarikan.
  9. Pasang strap.
  10. Status neurovaskular dievaluasi ulang secara terus menerus, dan dicatat setiap tindakan manipulasi tungkai.
  11. Berikan pencegahan tetanus bila ada indikasi.


 

V.    PEMERIKSAAN DAN PENGELOLAAN SINDROMA KOMPARTEMEN

  1. Yang penting diperhatikan
    1. Sindroma kompartemen dapat timbul perlahan dan berakibat berat.
    2. Dapat timbul pada ekstremitas karena kompresi atau remuk dan tanpa cedera luar atau fraktur yang jelas.
    3. Reevaluasi yang sering sangat penting.
    4. Penderita dengan hipotensi atau tidak sadar meningkatkan resiko terjadinya sindroma kompartemen.
    5. Tidak sadar atau dalam intubasi tidak dapat mengkomunikasikan tanda awal dari iskemia ekstremitas.
    6. Nyeri merupakan tanda awal mulainya iskemia kompartemen, terutama nyeri pada tarikan otot secara pasif.
    7. Hilangnya pulsasi dan tanda iskemia lain merupakan gejala lanjut, setelah kerusakan yang menetap telah terjadi.
  2. Palpasi kompartemen otot, dibandingkan ketegangannya tungkai yang cedera dengan yang normal.
    1. Asimetri adalah tanda penemuan yang penting
    2. Pemeriksaan berulang dari ekstremitas yang cedera adalah hal pokok.
    3. Pengukuran tekanan intra kopartemen sangat membantu.
    4. Jika curiga sindroma kompartemen segera konsultasi bedah.
  3. Dapatkan konsultasi bedah atau ortopedi segera.


 

V1.     IDENTIFIKASI DAN PENGELOLAAN FRAKTUR PELVIS

  1. Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur pelvis misalnya terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki ditabrak kendaraan, tabrakan sepeda motor.
  2. Periksa daerah pelvis adanya ekhimosis, perianal atau hematoma skrotal, darah di meatus uretra.
  3. Periksa tungkai akan adanya perbedaan panjang atau asimetri rotasi panggul.
  4. Lakukan pemeriksaan rektum, posisi dan mobilitas kelenjar prostat, teraba fraktur, atau adanya darah pada kotoran.
  5. Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus, adanya darah. Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil.
  6. Jika dijumpai kelainan pada B sampai E, jika mekanisme trauma menunjang terjadinya fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan ronsen pelvis AP (mekanisme trauma dapat menjelaskan tipe fraktur).
    1. Jika B sampai E normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk menemukan tempat nyeri.
    2. Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anterior- posterior dan lateral- medial pada SIAS.Pemeriksaan mobilitas aksial dengan melakukan dorongan dan tarikan tungkai secara hati-hati, tentukan stabilitas kranial - kaudal.
    3. Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau lakukan pemeriksaan retrograd uretrogram jika terdapat kecurigaan trauma uretra.
    4. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kusus pada fraktur yang sering disertai kehilangan darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan volume pelvis.
      1. Cocokan identitas penderita pada film.
      2. Periksa foto secara sistematik;
        1. Lebar simfisis pubis - pemisahan lebih dari 1 cm menunjukan ada trauma pelvis posterior.
        2. Integritas ramus superior dan inferior pubis bilateral.
        3. Integritas asetabulum, kaput dan kolum femur.
        4. Simetri ileum dan lebarnya sendi sakroiliaka.
        5. Simetri foramen sakrum dengan evaluasi linea arkuata. F
        6. Fraktur prosesus transversus L5.
      3. Ingat, karena tulang pelvis berbentuk lingkaran jarang kerusakan hanya pada satu tempat saja.
      4. Ingat fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical shear dan fraktur open-book, sering disertai perdarahan banyak.
    5. Teknik mengurangi perdarahan dari fraktur pelvis.
      1. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang.
      2. Tungkai bawah di rotasi kedalam untuk menutup fraktur open-book. Pasang bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua tungkai yang dilakukan rotasi. Tindakan ini akan mengurangi pergeseran simpisis, mengurangi volume pelvis, bermanfaat untuk tindakan sementara menunggu pegobatan definitif.
      3. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk membawa/ transpor penderita.
      4. Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera).
      5. Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera)
      6. Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi.
      7. Lakukan segera konsultasi bedah / orthopedi untuk menentukan prioritas.
      8. Letakkan bantal pasir dibawah bokong kiri-kanan jika tidak terdapat trauma tulang belakang atau cara menutup pelvis yang lain tidak tersedia.
      9. Pasang pelvic binder.
      10. Mengatur untuk transfer ke fasilitas terapi definitif jika tidak mampu melakukannya.


       

VII.    IDENTIFIKASI TRAUMA ARTERI

  1. Mengetahui bahwa iskemia merupakan ancaman tungkai dan mempunyai potensi ancaman nyawa.
  2. Palpasi pulsasi perifer bilateral (dorsalis pedis, tibialis anterior, femoral, radial dan brakialis) akan simetri dan kualitas.
  3. Catat dan evaluasi adanya asimetri pulsasi perifer.
  4. Reevaluasi pulsasi perifer yang sering, terutama jika terdapat asimetri.
  5. Konsultasi bedah segera.


 


 


 


 


 


 


 


 


 

TRAUMA KEPALA


 

I.     SURVEI PRIMER

  1. ABCDE
  2. Imobilisasi dan Stabilisasi Servikal
  3. Melakukan Pemeriksaan Neurologis Singkat
    1. Respon Pupil
    2. Menentukan Nilai GCS


     

II.     SURVEY SEKUNDER DAN PENATALAKSANAAN

  1. Inspeksi Keseluruhan Kepala, Termasuk Wajah
    1. Laserasi
    2. Adanya LCS dari lubang hidung dan telinga
  2. Palpasi Keseluruhan Kepala, Termasuk Wajah
    1. Fraktur
    2. Laserasi dengan fraktur di bawahnya
  3. Inspeksi Semua Laserasi Kulit Kepala
    1. Jaringan otak
    2. Fraktur depresi tulang tengkorak
    3. Debris
    4. Kebocoran LCS
  4. Menentukan Nilai GCS dan Respon Pupil
    1. Respon buka mata
    2. Respon motorik terbaik anggota gerak
    3. Respon verbal
    4. Respon pupil
  5. Pemeriksaan Vertebra Servikal
    1. Palpasi untuk mencari adanya rara nyeri dan pakaikan kolar servikal semirigid bila perlu.
    2. Pemeriksaan foto ronsen vertebra servikalis proyeksi cross-table lateral bila perlu.
  6. Penilaian Beratnya Cedera
  7. Pemeriksaan Ulang Secara Kontinyu-Observasi Tanda-tanda Perburukan
    1. Frekuensi
    2. Parameter yang dinilai
    3. Ingat, pemeriksaan ulang ABCDE


     

Ill.    EVALUASI CT SCAN KEPALA

Diagnosis abnormalitas pada CT scan dapat sangat samar dan sulit. Karena kompleksnya penilaian CT scan, maka penilaian awal singkat oleh ahli bedah saraf atau radiologi sangatlah penting. Tahap-tahap cara evaluasi CT scan kepala berikut ini bertujuan terutama untuk memudahkan mengenal kelainan patologi yang mengancam jiwa penderita dalam waktu singkat. Harus diingat, pemeriksaan CT scan kepala tidak boleh menunda tindakan resusitasi atau rujukan penderita ke pusat trauma.


 

IV.    MELEPAS HELM

Penderita yang memakai helm dan memerlukan penatalaksanaan jalan napas harus dijaga kedudukan kepala dan leher dalam posisi netral saat helm dilepaskan oleh 2 penolong.

  1. Satu orang menstabilkan kepala dan leher pasien dengan meletakkan tangan pada setiap sisi helm dengan jari terletak pada mandibula pasien. Posisi ini mencegah tergelincirnya helm bila tall pengikat lepas.
  2. Penolong kedua memotong atau melepaskan tali helm pada cincin D-nya.
  3. Penolong kedua meletakkan satu tangan pada angulus mandibula dengan ibu jari pada satu sisi dan jari-jari lainnya pada sisi lain. Sementara tangan yang lain melakukan penekanan di bawah kepala pada regio oksipitalis. Manuver ini mengalihkan tanggung jawab imobilisasi lurus kepada penolong kedua.
  4. Penolong pertama kemudian melebarkan helm ke lateral untuk membebaskan kedua daun telinga dan secara hati-hati melepas helm. Bila helm yang digunakan mempunyai penutup wajah, maka penutup ini harus dilepaskan dulu. Bila helm yang dipakai mempunyai penutup wajah yang lengkap, maka hidung penderita dapat terhimpit dan menyulitkan melepaskan helm. Untuk membebaskan hidung, helm harus didorong ke belakang lalu dinaikkan ke atas melewati hidung penderita.
  5. Selama tindakan ini penolong kedua harus tetap mempertahankan imobilisasi dari bawah guna menghindari tertekuknya kepala.
  6. Setelah helm terlepas, imobilisasi lurus manual dimulai dari atas, kepala dan leher penderita diamankan selama penatalaksanaan pertolongan jalan napas.
  7. Bila upaya melepaskan helm menimbulkan rasa nyeri dan parestesia maka helm harus dilepas dengan menggunakan gunting gips. Bila dijumpai tanda-tanda cedera vertebra servikalis pada foto ronsen, maka melepaskan helm harus menggunakan gunting gips.


 


 


 


 


 

Tabel 2- Glasgow Coma Scale (GCS)


 

Jenis pemeriksaan 

Nilai 

Respon buka mata (Eye opening, E)

Spontan

Terhadap suara

Terhadap nyeri

Tidak ada 


 

4

3

2

1 

Respon motorik terbaik (M)

Ikut perintah

Melokalisir nyeri

Fleksi normal (menarik anggauta yang dirangsang)

Fleksi abnormal (dekortikasi)

Ekstensi abnormal (deserebrasi)

Tidak ada (Hasid) 


 

6

5

4

3

2

1 

Respon verbal (V)

Berorientasi baik

Berbicara mengacau (bingung)

Kata-kata ticsk teratur

Suara tidak jelas

Tidak ada 


 

5

4

3

2

1 


 


 

Table 2- Pediatric Trauma Score


 

Bagian

Pemeriksaan 

 

Nilai 

 

+2 

+1 

-1 

Berat 

>20 kg

10-20 kg

<10 kg

Airway 

Normal 

Oro/nasofaringeal 02 

Intubasi; cricothyroidotomy

atau tracheostomy

Tekanan Darah Systolic

>90 mm Hg; atau nadi dan

perfusi perifer baik 

50-90 mm Hg; pulsasi

karotis /femoralis teraba 

<50 mm Hg;

pulsasi lemah atau tidak

ada 

Tingkat kesadaran 

Sadar 

Keadaan yang

memburuk atau

kehilangan kesadaran

lainnya 

Koma;

Tidak bereaksi 

Patch tulang

Tidak tampak atau conga 

Tunggal atau tertutup 

Terbuka atau multiple 

Kulit 

Tidak tampak 

Kontusi, abrasi; laserasi

<7 cm; tidak tembus

fasia 

Kehilangan jaringan; luka

tembak/tusuk; menembus

fascia 

Jumlah: 

   


 

Algoritme 1

Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan


 


 


 

  • Definisi : Penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15)
  • Riwayat

    • Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan     • Tingkat kewaspadaan

    • Mekanisme cedera     • Amnesia: Retrograde, Antegrade

    • Waktu cedera     • Sakit kepala: ringan, sedang, berat

    • Tidak sadar segera setelah cedera


     

  • Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik.
  • Pemeriksaan neurologis terbatas.
  • Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi.
  • Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
  • Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap penderita,

kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal


 


 


 


 


 

Observasi atau dirawat di RS    Dipulangkan dari RS

• CT scan tidak ada    •     Tidak memenuhi kriteria rawat.

• CT scan abnormal    •     Diskusikan kemungkinan kembali

• Semua cedera tembus        Ke rumah sakit bila memburuk dan

• Riwayat hilang kesadaran        berikan lembar observasi

• Kesadaran menurun    •     Jadwalkan untuk kontrol ulang

• Sakit kepala sedang-berat

• Intoksikasi alkohol/obat-obatan

• Kebocoran likuor: Rhinorea-otorea

• Cedera penyerta yang bermakna

• Tak ada keluarga di rumah

• GCS<15

• Defisit neurologis fokal


 


 

Tabel 3- Instruksi Bagi Penderita Cedera Kepala Di Luar RS


 


 

Kami telah memeriksa dan ternyata tidak ditemukan indikasi bahwa cedera kepala anda serius. Namun gejala-gejala baru dan komplikasi yang tidak terduga dapat muncul dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera. 24 jam pertama adalah waktu yang kritis dan anda harus tinggal bersama keluarga atau kerabat dekat anda sedikitnya dalam waktu itu. Bila kelak timbul gejala-gejala berikut seperti tertera di bawah Ini maka anda harus segera menghubungi dokter anda atau kembali ke RS.


 

  1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibangunkan setiap 2 jam selama periode tidur).
  2. Mual dan muntah.
  3. Kejang.
  4. Perdarahan atau keluar cairan dari hidung atau telinga.
  5. Sakit kepala hebat.
  6. Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai.
  7. Bingung atau perubahan tingkah laku.
  8. Salah satu pupil mata (bagian mata yang gelap) lebih besar dari yang lain, gerakan gerakan aneh bola mats, melihat dobel atau gangguan penglihatan lain.
  9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat, atau pola nafas yang tidak teratur.


 

Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es di atas selembar kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan semakin hebat walau telah dibantu dengan kantung es, segera hubungi RS.


 

Anda boleh makan dan minum seperti biasa namun tidak diperbolehkan minum minuman yang mengandung alkohol sedikitnya 3 had setelah cedera.


 

Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari Acetaminophen sedikitnya 24 jam setelah cedera. Jangan minum obat mengandung aspirin.


 

Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat, kami dapat dihubungi di nomor telepon : …………………    


 

Nama dokter : ……………………………………


 


 

Algoritme 2

Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang


 


 

  • Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu menuruti perintah


 

  • (GCS : 9-13).


 

  • Pemeriksaan awal

    • Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana

    • Pemeriksaan CT scan kepala pads semua kasus

    • Dirawat untuk observasi


 

  • Setelah dirawat

    • Pemeriksaan neurologis periodik

    • Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akan dipulangkan.


     


     


     


     


     

Bila kondisi membaik (90%)    Bila kondisi memburuk (10%)

• Pulang bila memungkinkan     •     Bila penderita tidak mampu melakukan

• Kontrol di poliklinik        perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan

    CT scan ulang dan penatalaksanaan

    sesuai protokol cedera kepala berat.


 


 


 


 


 

Tabel 4- Penatalaksanaan Awal Cedera Otak Berat


 


 

  • Definisi : Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana

    karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)


     

  • Pemeriksaan dan penatalaksaan
    • ABCDE
    • Primary Survey dan resusitasi
    • Secondary Survey dan riwayat AMPLE
    • Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan perawatan definitif Bedah saraf
    • Reevaluasi neurologis: GCS
    • Respon buka mata
    • Respon motorik
    • Respon verbal
    • Refleks cahaya pupil
    • Obat-obatan
    • Manitol
    • Hiperventilasi sedang (PCO2<35 mmHg)
    • Antikonvulsan


 

  • Tes Diagnostik (sesuai urutan)
    • CT Scan
    • Ventrikulografi udara
    • Angiogram


 

Tabel 5- Prioritas Evaluasi Awal Dan Triase
Penderita Dengan Cedera Otak Berat


 


 

  1. Semua penderita cedera otak dengan koma harus segera diresusitasi (ABCDE) setibanya di unit gawat darurat.


 

  1. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis dilakukan (GCS dan refleks pupil). Bila tekanan darah tidak bisa mencapai normal, pemeriksaan neurologis tetap dilakukan dan dicatat adanya hipotensi.


     


 

  1. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa > 100 mmHg setelah-dilakukan resusitasi agresif, prioritas tindakan adalah untuk stabilisasi penyebab hipotensinya, dengan pemeriksaan neurologis menjadi prioritas kedua.

    Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomi. CT scan kepala dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-tanda klinis suatu massa intracranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole eksplorasi atau kraniotomi di kamar operasi sementara seliotomy sedang berlangsung.


     


     

  2. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi intrakranial (pupil anisokor, hemiparesis), maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat dilakukan di UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi neurologis dan tindakannya tidak boleh tertunda.


 

  1. Pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat terkoreksi tapi cenderung untuk turun, upayakan utuk membawa ke ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk seliotomi atau thorakotomi.

    Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat antara ahli bedah trauma dengan ahli bedah saraf. 


 


 

TINDAKAN AIRWAY


 


 

I.     PEMASANGAN AIRWAY OROFARINGEAL

  1. Prosedur ini digunakan untuk ventilasi sementara pada penderita yang tidak sadar sementara intubasi penderita sedang dipersiapkan.
  2. Pilih airway yang cocok ukurannya. Ukuran yang cocok sesuai dengan jarak dari sudut mulut penderita sampai kanalis auditivus eksterna.
  3. Buka mulut penderita dengan manuver chin lift atau teknik cross-finger (scissors technique).
  4. Sisipkan spatula lidah diatas lidah penderita, cukup jauh untuk menekan lidah, hati-hati jangan merangsang penderita sampai muntah.
  5. Masukkan airway ke posterior, dengan lembut diluncurkan diatas lengkungan lidah sampai sayap penahan berhenti pada bibir penderita. Airway tidak boleh mendorong lidah sehingga menyumbat airway.
  6. Tarik spatula lidah.
  7. Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.


 

II.     PEMASANGAN AIRWAY NASOFARINGEAL

  1. Prosedur ini digunakan apabila penderita terangsang untuk muntah pada penggunaan airway orofaringeal.
  2. Lubang hidung dinilai untuk melihat adanya penyumbatan (seperti polip, fraktur, perdarahan).
  3. Pilih airway yang ukurannya cocok.
  4. Lumasi airway nasofaringeal dengan pelumas yang dapat larut dalam air atau dengan air.
  5. Masukkan ujung airway kedalam lubang hidung dan arahkan ke posterior dan menuju ke arah telinga.
  6. Dengan hati-hati masukkan airway orofaringeal menuju hipofaring dengan sedikit gerakan memutar, sampai sayap penahan berhenti pada lubang hidung.
  7. Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.


 

III.    VENTILASI BAG-VALVE-MASK - TEKNIK DUA ORANG

  1. Pilih ukuran masker yang cocok dengan wajah penderita.
  2. Hubungkan selang oksigen dengan alat bag-valve-mask, dan atur aliran oksigen sampai 12 L/ menit.
  3. Pastikan airway penderita terbuka dan dipertahankan dengan teknik-teknik yang telah dijelaskan sebelumnya.
  4. Orang pertama memegang masker pada wajah penderita, dan menjaga agar rapat dengan dua tangan.
  5. Orang kedua memberikan ventilasi dengan memompa kantong dengan dua tangan.
  6. Kecukupan ventilasi dinilai dengan memperhatikan gerakan dada penderita.
  7. Penderita diberi ventilasi dengan cara seperti ini tiap 5 detik.


 

IV.     INTUBASI OROTRAKEAL DEWASA

  1. Pastikan bahwa ventilasi yang adekuat dan oksigenasi tetap berjalan, dan peralatan penghisap berada pada tempat yang
    dekat sebagai kesiagaan bila penderita muntah.
  2. Kembangkan balon pipa endotrakeal untuk memastikan bahwa balon tidak bocor, kemudian kempiskan balon.
  3. Sambungkan daun laryngoskop pada pemegangnya, dan periksa terangnya lampu.
  4. Minta seorang asisten mempertahankan kepala dan leher dengan tangan. Leher penderita tidak boleh di-hiperekstensi atau di-hiperfleksi selama prosedur ini.
  5. Pegang laringoskop dengan tangan kiri.
  6. Masukkan laringoskop pada bagian kanan mulut penderita , dan menggeser lidah kesebelah kiri.
  7. Secara visual identifikasi epiglotis dan kemudian pita suara.
  8. Dengan hati-hati masukkan pipa endotrakeal kedalam trakea tanpa menekan gigi atau jaringan-jaringan di mulut.
  9. Kembangkan balon dengan udara secukupnya agar tidak bocor. Jangan mengembangkan balon secara berlebihan.
  10. Periksa penempatan pipa endotrakeal dengan cara memberi ventilasi dengan bag-valve tube.
  11. Secara visual perhatikan pengembangan dada dengan ventilasi.
  12. Auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop untuk memastikan letak pipa.
  13. Amankan pipa (dengan plester). Apabila penderita dipindahkan, letak pipa harus dinilai ulang.
  14. Apabila intubasi endotrakeal tidak bisa diselesaikan dalam beberapa detik atau selama waktu yang
    diperlukan untuk menahan napas sebelum ekshalasi, hentikan percobaan intubasinya, ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask, dan coba lagi.
  15. Penempatan pipa harus diperiksa dengan teliti. Foto toraks berguna untuk menilai letak pipa, tetapi tidak dapat menyingkirkan intubasi esofageal.
  16. Hubungkan alat kolorimetris CO2 ke pipa endotrakeal antara adaptor dengan alat ventilasi. Penggunaan alat kolorimetrik merupakan suatu cara yang dapat diandalkan untuk memastikan bahwa letak pipa endotrakeal berada dalam airway.
  17. Pasang alat pulse oxymeter pada salah satu jari penderita (perfusi perifer harus masih ada) untuk mengukur dan memantau tingkat saturasi oksigen penderita. Pulse oxymeter berguna untuk memantau tingkat saturasi oksigen secara terus menerus dan sebagai cara menilai segera tindakan intervensi.


 

V.     INTUBASI NASOTRAKEAL DEWASA

Ingat: Intubasi nasotrakeal membuta (blind) merupakan kontraindikasi pada penderita apnea dan pada keadaan fraktur midface yang berat atau apabila ada kecurigaan fraktur basis kranii. Untuk meniru penderita yang bernafas dengan menggunakan manikin dewasa, instruktur dianjurkan memasang alat bag-valve pada ujung akhir trakea manikin.

  1. Apabila dicurigai ada fraktur ruas tulang leher, biarkan cervical collar ditempatnya untuk membantu menjaga immobilisasi leher.
  2. Pastikan ventilasi dan oksigenasi yang
    cukup tetap berjalan.
  3. Kembangkan balon pipa endotrakeal untuk memastikan bahwa balon tidak bocor, kemudian kempiskan.
  4. Apabila penderita sadar, semprot lorong lubang hidung dengan anestetika dan vasokonstriktor untuk memati-rasakan dan mengempiskan mukosa. Apabila penderita tidak sadar, cukup menyemprot dengan vasokonstriktor saja.
  5. Minta asisten menjaga immobilisasi kepala dan leher secara manual.
  6. Lumasi pipa nasotrakeal dengan gel anestetika lokal dan masukkan pipa kedalam lubang hidung.
  7. Dorong pipa pelan-pelan tetapi pasti kedalam lorong lubang hidung, ke arah atas hidung (untuk menghindari concha inferior yang besar) dan kemudian kebelakang dan kebawah ke nasofaring. Lengkungan pipa harus sesuai untuk memudahkan masuknya kelorong yang melengkung.
  8. Sewaktu pipa melewati hidung dan ke nasofaring, harus dibelokkan kebawah untuk masuk kedalam faring.
  9. Begitu pipa telah masuk ke faring, dengarkan aliran udara yang berasal dari pipa endotrakeal. Dorong pipa sampai suara aliran udara maksimal, yang memberi kesan ujung pipa berada pada mulut trakea. Sambil mendengarkan gerakan udara, pastikan saat inhalasi dan dorong pipa dengan cepat. Apabila penempatan pipa tidak berhasil, ulangi prosedur dengan memberikan tekanan ringan pada cartilago thyroidea. Ingat untuk melakukan ventilasi dan oksigenasi penderita secaraberkala.
  10. Kembangkan balon secukupnya sehingga tidak bocor. Cegah pengembangan yang berlebihan.
  11. Periksa letak pipa endotrakeal dengan cara memberi ventilasi bag-valve-tube.
  12. Perhatikan secara visual pengembangan dada dengan ventilasi.
  13. Auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop untuk memastikan letak pipa.
  14. Amankan pipa. Apabila penderita dipindahkan posisinya, letak pipa haris dinilai ulang.
  15. Apabila intubasi endotrakeal tidak bisa diselesaikan dalam 30 detik atau selama waktu yang diperlukan untuk menahan napas sebelum ekshalasi, hentikan percobaan intubasinya, ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask, dan coba lagi.
  16. Penempatan pipa harus diperiksa dengan teliti. Foto toraks berguna untuk menilai letak pipa, tetapi tidak dapat menyingkirkan intubasi esofageal.
  17. Hubungkan alat kolorimetris CO2 ke pipa endotrakeal antara adapter dengan alat ventilasi. Penggunaan alat kolorimetrik merupakan suatu cara yang dapat diandalkan untuk memastikan letak pipa endotrakeal berada dalam airway.
  18. Pasang alat pulse oxymeter pada salah satu jari penderita (perfusi perifer harus masih ada) untuk mengukur dan memantau tingkat saturasi oksigen penderita. Pulse oxymeter berguna untuk memantau tingkat saturasi oksigen secara terus menerus dan sebagai cara menilai segera tindakan intervensi.


 

PENYULIT PADA INTUBASI OROTRAKEAL DAN NASO-TRAKEAL

  1. Intubasi esofageal, dapat menyebabkan hipoksia dan kematian
  2. Intubasi bronkus utama kanan, berakibat ventilasi hanya pada paru kanan saja, dan kolaps paru kiri
  3. Ketidak mampuan intubasi, menyebabkan hipoksia dan kematian
  4. Terangsangnya muntah, menyebabkan aspirasi, hipoksia dan kematian
  5. Trauma pada jalan napas, menyebabkan perdarahan dan bahaya aspirasi
  6. Gigi pecah atau goyah (akibat menggunakan gigi sebagai landasan daun laryngoskop)
  7. Balon pipa endotrakeal pecah/bocor, mengakibatkan kebocoran ventilasi, dan memerlukan intubasi ulang
  8. Berubahnya cedera servikal leher tan pa defisit neurologis menjadi cedera servikal dengan defisit neurologist


 

VI.     INTUBASI OROTRAKEAL ANAK

  1. Pastikan ventilasi dan oksigenasi yang cukup tetap berjalan.
  2. Pilih pipa tanpa balon dengan ukuran yang cocok, yang umumnya sama ukurannya dengan lubang hidung anak atau kelingkingnya.
  3. Pasang daun laringoskop dengan pemegangnya, periksa terangnya sinar lampu.
  4. Pegang laringoskop dengan tangan kiri.
  5. Masukkan daun laringoskop melalui sebelah kanan mulut, menggeser lidah kekiri.
  6. Perhatikan epiglottis, kemudian pita suara.
  7. Masukkan pipa endotrakeal tidak lebih 2 cm melalui pita suara.
  8. Periksa penempatan pipa dengan ventilasi bag-valve-tube.
  9. Periksa penempatan pipa endotrakeal dengan cara memperhatikan pengembangan paru dan auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop.
  10. Amankan pipa. Apabila penderita dipindahkan, penempatan pipa harus dinilai ulang.
  11. Apabila intubasi endotrakeal tidak bisa diselesaikan dalam 30 detik atau selama waktu yang diperlukan untuk menahan nafas sebelum ekshalasi, hentikan percobaan intubasinya, ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask, dan coba lagi.
  12. Penempatan pipa harus diperiksa dengan teliti. Foto toraks berguna untuk menilai letak pipa, tetapi tidak dapat menyingkirkan intubasi esofageal.
  13. Hubungkan alat kolorimetris C02 ke pipa endotrakeal antara adaptor dengan alat ventilasi. Penggunaan alat kolorimetrik merupakan suatu cara yang dapat diandalkan untuk memastikan letak pipa endotrakeal berada dalam airway.
  14. Pasang alat pulse oxymeter pada salah satu jari penderita (perfusi perifer harus masih ada) untuk mengukur dan memantau tingkat saturasi oksigen penderita. Pulse oxymeter berguna untuk memantau tingkat saturasi oksigen secara terus menerus dan sebagai cara untuk menilai tindakan intervensi.


 

VII    . PEMANTAUAN OKSIMETRI PULSA

Pulse oxymeter didesain untuk mengukur saturasi oksigen dan laju nadi pada sirkulasi perifer. Apabila menilai hasil pulse oxymeter, nilailah pembacaan-pembacaan awal. Apakah laju nadi sesuai dengan monitor EKG? Apakah saturasi oksigen cocok/sesuai? Apabila pulse oxymeter memberikan hasil yang rendah atau sangat sulit membaca penderita, carilah penyebab fisiologisnya, jangan menyalahkan alatnya.


 

VIII. NEEDLE CRICOTHYROIDOTOMY

  1. Rakit dan siapkan selang oksigen dengan cara membuat sebuah lubang pada salah satu ujungnya. Hubungkan ujung satunya pada sum her oksigen, yang mampu mengeluarkan tekanan pada nipplenya 50 psi atau lebih, dan pastikan oksigen mengalir dengan lancar melalui selangnya.
  2. Baringkan penderita.
  3. Pasang cateter over-the-needle ukuran #12 atau #14, 8.5 cm pada semprit 6- sampai 12-m1.
  4. Siapkan secara bedah leher dengan kapas antiseptik.
  5. Palpasi membrana krikoidea, sebelah anterior antara kartilago tiroid dan krikoid. Pegang trakea dengan ibu jari dan telunjuk salah satu tangan untuk mencegah pergerakan trakea ke lateral pada waktu prosedur.
  6. Tusuk kulit pada garis tengah (midline) dengan jarum ukuran #12 sampai #14 yang telah dipasang pada semprit, langsung di atas membrana krikoidea (yaitu midsagittal). Incisi kecil dengan pisau ukuran #11 mempermudah masknya jarum melewati kulit.
  7. Arahkan jarum dengan sudut 45o kearah caudal, sambil mengisap semprit (memberikan tekanan negatif).
  8. Dengan hati-hati tusukkan jarum melewati setengah bagian bawah membrana krikoidea, sambil melakukan aspirasi waktu mendorong.
  9. Aspirasi udara menunjukkan masuknya jarum kedalam lumen trakea.
  10. Lepas semprit dan tarik stylet sambil dengan lembut mendorong kateter kearah bawah ke posisinya, dengan hati-hati untuk tidak melubangi dinding belakang trakea.
  11. Sambungkan selang oksigen pada ujung kateter yang di luar, dan plester kateter pada leher penderita.
  12. Ventilasi berkala dapat dicapai dengan menutup lubang yang terbuka dengan ibu jari selama 1 detik dan membukanya selama 4 detik. Setelah ibu jari dilepaskan dari lubang selang, terjadi ekshalasi pasif. Catatan: PaO2 yang adekuat dapat dipertahankan selama hanya 30 sampai 45 merit, dan penumpukan CO2 dapat terjadi lebih cepat.
  13. Lanjutkan memperhatikan pengembangan paru dan lakukan auskultasi dada untuk mengetahui ventilasi yang cukup.


 

Penyulit-Penyulit Needle Krikotiroidotomi

  1. Ventilasi yang tidak adekuat akan menimbulkan hipoksia dan kematian 2. Aspirasi (darah)
  2. Laserasi esofageal
  3. Hematoma
  4. Perforasi dinding posterior trakea
  5. Emfisema subkutan dan/atau mediastinal
  6. Perforasi thyroid


 

IX.     SURGICAL CRICOTHYROIDOTOMY

  1. Baringkan penderita dengan leher pada posisi netral. Palpasi cekungan thyroid (thyroid notch), sela krikotiroid, dan cekungan sternal (sternal notch) untuk orientasi. Rakit peralatan yang diperlukan.
  2. Persiapkan lapangan bedah dan beri anestesi lokal, apabila penderita masih sadar.
  3. Stabilisasi kartilago tiroidea dengan tangan kiri dan pertahankan sampai trakea diintubasi.
  4. Buat insisi kulit melintang (transversal) diatas membrana krikotiroidea, dan dengan hati-hati iris melintang menembus membrana.
  5. Sisipkan gagang pisau pada masuk pada irisan dan putar 900 untuk membuka airway. (Dapat juga digunakan hemostat atau trakeal spreader sebagai ganti gagang pisau.)
  6. Sisipkan pipa endotrakeal atau pipa trakeostomi dengan cuff dengan ukuran yang sesuai (biasanya #5 atau #6) masuk ke irisan membrana, dengan mengarahkan pipa kedalam trakea sebelah distal.
  7. Kembangkan cuff dan ventilasi penderita.
  8. Perhatikan pengembangan paru dan auskultasi dada untuk mengetahui ventilasi yang cukup.
  9. Plester pipa endotrakeal atau ikat pipa trakeostomi pada penderita untuk mencegahnya tercabut.
  10. Perhatian: Jangan memotong kartilago krikoidea.

Penyulit-Penyulit Krikotiroidotomi Surgikal

  1. Aspirasi (misalnya darah)
  2. Salah masuk kedalam jaringan
  3. Stenosis/edema subglottic
  4. Stenosis laringeal
  5. Perdarahan atau hematoma
  6. Laserasi esofagus
  7. Laserasi trakea
  8. Emfisema mediastinal
  9. Paralisis pita suara, suara parau

TINDAKAN CIRCULATION


 

I.     AKSES VENA PERIFER

  1. Pilih tempat yang baik di salah satu anggota badan, misalnya pembuluh di sebelah depan dari siku, lengan depan, pembuluh kaki (safena).
  2. Pasang turniket elastis di atas tempat punktur yang dipilih.
  3. Bersihkan tempat itu dengan larutan antiseptis.
  4. Tusuklah pembuluh tersebut dengan kateter kaliber besar dengan plastik di atas jarum, dan amatilah kembalinya darah.
  5. Masukkan kateter ke dalam pembuluh di atas jarum kemudian keluarkan jarum dan buka torniketnya.
  6. Pada saat ini boleh ambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium.
  7. Sambunglah kateter dengan pipa infus intravena dan mulailah infusi larutan kristaloid yang dipanasi.
  8. Amatilah infiltrasi yang mungkin terjadi dari cairan ke jaringan. I. Tambatkan kateter dan pipa ke kulit anggota badan.


 

II. VENA SEKSI

  1. Siapkan kulit pergelangan kaki dengan larutan antiseptis dan tutup daerahnya dengan kain.
  2. Infiltrasi kulit di atas pembuluh dengan lidocaine 0,5%.
  3. Insisi kulit melintang setebalnya dibuat di daerah anestesia sepanjang 2,5 cm.
  4. Disseksi tumpul, dengan menggunakan klem hemostat yang lengkung, vena diidentifikasi dan dipotong dan dibebas dari semua jaringan sekitarnya.
  5. Angkat dan diseksi vena tsb sepanjang kira-kira 2 cm untuk melepaskannya dari dasarnya.
  6. Ikat vena bagian distal, dan mobilisasi vena, tinggalkan jahitan di tempat untuk ditarik (traction).
  7. Pasang pengikat keliling pembuluhnya, arah cepal.
  8. Buat venotomi yang kecil melintang dan dilatasi perlahan-lahan dengan ujung klem hemostat yang ditutup.
  9. Masukkan kanul plastik melalui venotomi dan ikat dengan ligasi proksimal keliling pembuluh dan kanul. Kanul harus dimasukkan dengan panjang yang cukup untuk mencegah terlepas.
  10. Sambung pipa intravena dengan kanul dan tutuplah insisinya dengan jahitan interupsi. K. Pasang pembalut steril dengan salep antibiotik topikal.


 

III.     PUNKSI VENA FEMORAL : TEKNIK SELDINGER

  1. Terlentangkan penderita.
  2. Bersihkan kulit keliling punktur pembuluh dan pasang kain keliling daerah ini. Kalau melakukan prosedur ini harus menggunakan sarong tangan yang steril.
  3. Dapatkan vena femoral dengan meraba denyut arteri femoral. Venanya terletak tepat di medial dari arteri femoral (syaraf, arteri vena, ruang kosong). Satu jari tetap di arteri untuk memudahkan lokasi anatomis dan untuk mencegah pemasukan kateter ke dalam arteri.
  4. Kalau penderitanya sadar, gunakan anestesi lokal di tempat punksi.
  5. Masukkan jarum kaliber besar yang dihubungkan dengan suatu semprit 12 ml berisikan 0,5 sampai 1 ml air garam (saline). Jarumnya, diarahkan ke kepala penderita, harus memasuki kulit langsung di atas vena femoralis.
  6. Jarum dan semprit dipegang paralel dengan permukaan depan (frontal plane).
  7. Dengan mengarahkan jarum ke arah kranial dan ke belakang (posteriorly), majukanlah jarum dengan lambat sambil dengan pelan menarik tutup penyedot (plunger) semprit.
  8. Kalau tampak aliran darah bebas di dalam semprit, cabut semprit dan tutup jarumnya untuk mencegah emboli udara.
  9. Masukkan kawat pemandu dan keluarkan jarum. Kemudian masukkan kateter melalui kawat pemandu.
  10. Keluarkan kawat pemandu dan hubungkan kateter dengan pembuluh intravena.
  11. Tambatkan kateter di tempat (yaitu, dengan jahitan), berikan salep antibiotika, dan menata daerahnya.
  12. Ikatlah pipa intravena dengan plester.
  13. Lakukan foto toraks dan abdomen untuk penentuan posisi kateter
  14. Kateter harus diganti segera bila keadaan memungkinkan.

Komplikasi Akses Vena Femoral Yang Penting

  1. Trombose di vena profunda
  2. Cedera arteri atau syaraf
  3. Infeksi
  4. Fistula vena dan arteri


 

IV.    PUNKSI VENA SUBCLAVIA : PENDEKATAN DI BAWAH TULANG CLAVICULA

  1. Penderita dalam posisi terlentang, kepala lebih rendah 15 derajad ke bawah untuk menggembungkan pembuluh leher dan mencegah emboli udara. Hanya bila tidak terdapat cedera servikal, maka kepala penderita dapat diputar menjauhkan tempat punksi.
  2. Bersihkan kulit keliling venipunktur dengan baik dan pasang kain keliling daerah ini. Kalau melakukan prosedur ini harus menggunakan sarung tangan yang steril.
  3. Kalau penderitanya sadar, gunakan anestesi lokal di sekitar tempat punksi.
  4. Gunakan jarum kaliber besar yang terpasang pada suatu semprit 12 ml, masukkan 0,5 sampai 1 ml saline, 1 cm di bawah perbatasan sepertiga tengah dan sepertiga medial tulang selangka.
  5. Setelah kulit ditembus, arahkan sudut jarum ke atas, untuk mencegah jaringan kulit menyumbat jarum.
  6. Jarum dan semprit dipegang paralel dengan permukaan depan.
  7. Arahkan jarum ke tengah, sedikit ke arah kepala, dan posterior di belakang tulang selangka mengarah ke belakang, dengan sudut superior ke ujung tulang dada (sternal) (mengarah ke jari yang ditempatkan di sela suprasternal).
  8. Majukan jarum dengan lambat sambil menarik mundur tutup semprit dengan perlahan.
  9. Kalau tampak aliran darah bebas di dalam semprit, cabut semprit dan tutup jarumnya untuk mencegah emboli udara.
  10. Masukkan kawat pemandu sambil memantau electrocardiogram untuk ketidak-normalan irama. Kemudian cabut jarum sambil menahan kawat pemandu di tempat.
  11. Masukkan kateter melalui kawat pemandu sampai kedalaman yang ditentukan sebelumnya (ujung kateter harus berada di atas atrium kanan untuk menjalankan cairan)
  12. Sambungkan kateter dengan pipa intravena.
  13. Tambatkan kateter dengan baik kepada kulit (yaitu, dengan jahitan), berikan salep antibiotika, dan menata daerahnya.
  14. Ikatlah pipa intravena dengan plester.
  15. Dapatkan foto dada untuk mengetahui posisi kateter intravena dan mungkin terjadinya pneumothorax.


 

V.    PUNKSI VENA JUGULARIS INTERNA: ARAH TENGAH ATAU SENTRAL

Catatan: Kateterisasi vena jugularis interna seringkali sukar pada penderita yang cedera karena tindakan pencegahan yang diperlukan untuk melindungi servikal.

  1. Terlentangkan penderita, dengan sedikit-dikitnya kepala turun 15° untuk menggembungkan pembuluh leher dan untuk mencegah emboli udara. Bila telah dipastikan tidak ada cedera servikal, maka kepala penderita dapat diputar menjauhi tempat punksi vena.
  2. Bersihkan kulit sekeliling tempat punksi vena dan pasang kain steril keliling daerah ini Dalam melakukan prosedur ini harus menggunakan sarung tangan yang steril.
  3. Bila penderitanya sadar, gunakan anestesi lokal di tempat punksi vena.
  4. Gunakan jarum kaliber besar yang disambung kepada suatu semprit 12 ml, masukkan 0,5 sampai 1 ml air garam (saline), ke dalam pusat segitiga yang dibentuk oleh kedua caput otot sternocleidomastoideus dan tulang clavicula.
  5. Setelah kulit dipunksi, arahkan sudut jarum ke atas, untuk mencegah jaringan kulit (plug) menyumbat jarum.
  6. Arahkan jarum ke ujung bawah (ekor), paralel dengan permukaan sagittal, dengan sudut 30o posterior dengan permukaan depan.
  7. Majukan jarum dengan lambat sambil mencabut tutup semprit dengan perlahan.
  8. Kalau tampak aliran darah bebas di dalam semprit, cabut semprit dan tutup jarumnya untuk mencegah emboli udara. Kalau pembuluh belum dimasuki, cabut jarum dan arahkan jarumnya kembali dengan 5o sampai 10o ke lateral.Masukkan kawat pemandu sambil memantau electrocardiogram untuk ketidak-normalan irama.
  9. Cabut jarum sambil menahan kawat pemandu dan majukan kateter melalui kawat pemandu. Sambunglah kateter dengan tubing intravena.
  10. Tambatkan kateter ke kulit (misalnya dengan jahitan), berikan salep antibiotik dan merata didaerah tsb.
  11. Pasang pipa intravena dengan plester.
  12. Dapatkan film dada untuk mengetahui posisi kateter intravena dan pneumothorax yang mungkin terjadi.


 

Komplikasi Dan Punksi Vena Sentral

  1. Pneumo- atau hemothorax
  2. Trombosis vena
  3. Cedera arteri atau syaraf
  4. Fistula arteriovena
  5. Chylothorax
  6. Infeksi
  7. Emboli udara


 

VI. PUNKSI / INFUS INTRAOSSEOUS : LEWAT TULANG TIBIA PROKSIMAL

Prosedur ini terbatas pada anak-anak berusia 6 tahun atau kurang, dimana akses pembuluh tidak mungkin didapat karena kolapsnya sirkulasi, atau dimana kanulasi ke vena perifer gagal dua kali. Infus intraosseous harus dibatasi pada resusitasi darurat sang anak, dan dihentikan segera kalau diperoleh akses pembuluh darah lain.

  1. Tempatkan penderita dengan posisi telentang. Pilih anggota badan bawah yang tidak cedera, taruh lapisan (padding) secukupnya di bawah lutut untuk mendapatkan bengkokan lutut sekitar 30° dan biarkan tumit penderita terletak dengan santai di atas usungan.
  2. Tentukan tempat punksi - permukaan anteromedial dan proksimal tulang betis, sekitar satu jari (1-3 cm) di bawah tuberositas.
  3. Bersihkan kulit sekeliling daerah punksi dengan baik dan pasang kain steril sekelilingnya. Bila melakukan prosedur ini harus menggunakan sarung tangan yang steril.
  4. Bila penderitanya sadar, gunakan anestesi lokal di tempat punksi.
  5. Pada permulaan dengan sudut 90°, masukkan jarum aspirasi sumsum tulang yang kaliber besar (atau jarum spinal pendek berukuran #18 dengan stilet) ke dalam kulit dan periosteum dengan sudut jarum diarahkan ke kaki dan menjauh lapisan epihysis.
  6. Setelah memperoleh tempat masuk di tulang, arahkan jarum 45° sampai 60° menjauh dari lapisan epiphysis.
  7. Keluarkan stilet dan sambungkan suatu 12 ml semprit dengan kira-kira 6m1 saline yang steril kepada jarum. Tarik tutup semprit dengan perlahan. Aspirasi sumsum tulang ke dalam semprit berarti telah masuk ke dalam rongga medulla.
  8. Suntikkan satin ke dalam jarum untuk mengeluarkan bekuan yang mungkin menyumbat jarum. Bila satin disuntikkan dengan mudah dan tidak ada bukti pembengkakan, jarumnya berada di tempat yang benar. Bila sumsum tulang tidak diaspirasi seperti diuraikan di butir G, tetapi saline yang diinjeksi mengalir dengan mudah tanpa bukti pembengkakan, jarumnya berada di tempat yang benar. Sebagai tambahan, penempatan jarum yang benar tertanda bila jarum tetap tegak lures tanpa didukung dan larutan intravena mengalir bebas tanpa bukti infiltrasi di bawah kulit.
  9. Hubungkan jarum kepada pipa intravena dengan kaliber besar dan mulailah infus cairan. Jarumnya kemudian diputar masuk lebih jauh ke dalam cavum medula sampai pusat jarum berada di kulit penderita. Bila digunakan jarum licin, jarum itu harus distabilkan dengan sudut 45° sampai 60° dengan permukaan anteromedial dari kaki anak.
  10. Berikanlah salep antibiotika dan perban 3 x 3 steril. Tambatkan jarum dan pipanya.
  11. Secara rutin lakukan evaluasi ulang mengenai tempat jarum intraosseous, dengan memastikan bahwa jarumnya tetap di dalam korteks tulang dan di saluran medulla. Ingat, infus intraosseous harus dibatasi pada resusitasi darurat si anak dan dihentikan segera begitu terdapat akses vena lain.


 


 


 

KOMPLIKASI PUNKSI INTRAOSSEOUS

  1. Infeksi
  2. Penetrasi tulang through and through
  3. Infiltrasi subcutan atau subperiosteum
  4. Nekrosis Wit karena tekanan
  5. Cedera pada lapisan epifisis.
  6. Hematoma


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

TINDAKAN PADA TRAUMA THORAKS


 


 

I.     TORAKSOSENTESIS JARUM

Catatan : Prosedur ini untuk tindakan penyelamatan pada tension pneumotoraks. Jika tindakan ini dilakukan pada penderita bukan tension pneumotoraks, dapat terjadi pneumotoraks dan/ atau kerusakan pada parenkim paru.

  1. Identifikasi toraks penderita dan status respirasi.
  2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai kebutuhan.
  3. Identifikasi sela iga II, di linea midklavikula di sisi tension pneumotoraks.
  4. Asepsis dan antisepsis dada.
  5. Anestesi lokal jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan.
  6. Penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal sudah disingkirkan.
  7. Pertahankan Luer-Lok di ujung distal kateter, insersi jarum kateter (panjang 3-6 cm) ke kulit secara langsung tepat di atas iga kedalam sela iga.
  8. Tusuk pleura parietal.
  9. Pindahkan Luer-Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara ketika jarum memasuki pleura parietal, menandakan tension pneumotoraks telah diatasi.
  10. Pindahkan jarum dan ganti Luer-Lok di ujung distal kateter. Tinggalkan kateter plastik di tempatnya dan ditutup dengan plaster atau kain kecil.
  11. Siapkan chest tube, jika perlu. Chest tube harus dipasang setinggi puting susu anterior linea midaksilaris pada hemitoraks yang terkena.
  12. Hubungkan chest tube ke WSD atau katup tipe flutter dan cabut kateter yang digunakan untuk dekompresi tension pneumotoraks.
  13. Lakukan rontgen toraks.


 

Komplikasi toraksosentesis

  1. Hematom lokal
  2. Infeksi pleura, empiema
  3. Pneumotoraks


     

II.     INSERSI CHEST TUBE

  1. Resusitasi cairan melalui paling sedikit satu kateter intravena kaliber besar, dan monitor tanda-tanda vital harus dilakukan.
  2. Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi puting (sela iga V) anterior linea midaksilaris pada area yang terkena. Chest tube kedua mungkin dipakai pads hemotoraks.
  3. Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup dengan kin.
  4. Anestesi lokal kulit dan periosteum iga.
  5. Insisi transversal (horisontal) 2-3 cm pada tempat yang telah ditentukan dan diseksi tumpul melalui jaringan subkutan, tepat di atas iga.
  6. Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam tempat insisi untuk mencegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlekatan, bekuan darah dll.
  7. KIem ujung proksimal tube toraksostomi dan dorong tube ke dalam rongga pleura sesuai panjang yang diinginkan.
  8. Cari adanya "fogging" pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar aliran udara.
  9. Sambung ujung tube toraksostomi ke WSD.
  10. Jahit tube di tempatnya.
  11. Tutup dengan kain/kasa dan plester.
  12. Buat Foto ronsen toraks.
  13. Pemeriksaan analisa gas darah sesuai kebutuhan.

Komplikasi

  1. Laserasi atau menusuk intratoraks/atau organ abdomen, yang dapat dicegah dengan tehnik jari sebelum dilakukan insersi
  2. Infeksi pleura (empiema )
  3. Kerusakan saraf interkostal, arteri , vena
    1. Pneumotoraks menjadi hemotoraks
    2. Neuritis interkostal/neuralgia
  4. Posisi tube yang keliru, ekstratoraks6ntratoraks
  5. Lepasnya chest tube dari dinding dada atau lepasnya sambungan dengan WSD
  6. Pneumotoraks persisten
    1. Kebocoran primer yang besar
    2. Kebocoran di Wit sekitar chest tube; pengisapan pada tube terlalu kuat
    3. WSD yang bocor
  7. Emfisema subkutis
  8. Pneumotoraks rekuren sesudah pencabutan tube; penutupan luka toraksostomi tidak segera dilakukan
  9. Gagalnya paru untuk mengembang akibat adanya plak bronkus; perlu bronkoskopi
  10. Reaksi anafilaktik atau alergi obat anestesi atau persiapan bedah


 

III.     PERIKARDIOSENTESIS

  1. Monitor tanda vital penderita, CVP, dan EKG sebelum, selama, dan sesudah prosedur.
  2. Pesiapan bedah pada area xiphoid dan subxiphoid, jika waktu mengijinkan.
  3. Anestesi lokal di tempat pungsi, jika perlu.
  4. Gunakan #16-#18 gauge, 6 inchi (15 cm) atau kateter jarum yang lebih panjang, terpasang pada tabung jarum yang kosong 35 ml dengan 3 way stopcock.
  5. Identifikasi adanya pergeseran mediastinum yang menggeser jantung secara bermakna.
  6. Tusuk kulit 1-2 cm inferior xiphokondrial junction kiri, dengan sudut 45 derajat.
  7. Dorong jarum dengan hati-hati ke arah sefalad dan ditujukan ke ujung skapula kiri.
  8. Jika jarum didorong terlalu jauh (ke otot ventrikular) pola cedera (mis, perubahan ekstrim gelombang ST-T atau melebar dan membesarnya kompleks QRS) muncul pada monitor EKG. Pola ini mengindikasikan jarum perikardiosentesis harus ditarik sampai pola EKG sebelumnya muncul kembali. Kontraksi ventrikular prematur dapat terjadi juga, sekunder terhadap iritasi pada miokard ventrikel.
  9. Ketika ujung jarum memasuki perikard yang terisi darah, hisap sebanyak mungkin.
  10. Selama aspirasi, epikardium kembali mendekat dengan permukaan dalam perikard, juga mendekati ujung jarum. Akibatnya pola cedera pada EKG muncul kembali. Hal ini menandakan jarum perikardiosentesis harus ditarik sedikit. Jika pola cedera ini persisten, tarik seluruh jarum keluar.
  11. Sesudah aspirasi selesai, cabut tabung jarum, dan sambungkan ke 3 way stopcock, tinggalkan stopcock tertutup. Pertahankan posisi kateter di tempatnya.
  12. Jika gejala tamponade jantung persisten, buka stopcock dan perikard diaspirasi ulang. Jarum plastik perikardiosentesis dapat dijahit atau diplester dan ditutup dengan kain/kasa kecil untuk memungkinkan dilakukan dekompresi berulang atau pada saat pemindahan penderita ke fasilitas medis yang lain.


 

Komplikasi

  1. Aspirasi darah ventrikel dan bukan darah perikardium
  2. Laserasi ventrikel epikard/miokard
  3. Laserasi arteri/vena koroner
  4. Hemoperikardium baru, sekunder terhadap laserasi arteri/vena koroner, dan atau ventrikel epikard/miokard
  5. Fibrilasi ventrikel
  6. Pneumotoraks, sekunder terhadap pungsi paru
  7. Penusukan pembuluh darah besar dengan akibat memburuknya tamponade Jantung
  8. Penusukan esofagus dengan akibat mediastinitis
  9. Penusukan peritoneum dengan akibat peritonitis, atau aspirasi cairan yang false positive


 


 


 


 


 

TINDAKAN PADA TRAUMA ABDOMEN


 


 

I.     DIAGNOSTIC PERITONEAL LAVAGE : TEHNIK TERBUKA

  1. Kurangi tekanan kandung kencing dengan memasang kateter urin.
  2. Kurangi tekanan abdomen (stomach) dengan memasang pipa "gastric tube".
  3. Siapkan abdomen depan untuk pembedahan (misalnya tepi iga sampai daerah pubis dan pinggang kiri sampai pinggang kanan)
  4. Injeksikan anestesia lokal di garis tengah dan sepertiga jarak dari umbilicus ke symphysis pubis. Gunakan lidocaine dengan epinephrine untuk mencegah kontaminasi darah dari kulit dan tisyu bawah kulit.
  5. Buat insisi vertikal di kulit dan jaringan bawah kulit sampai ke fascia.
  6. Pegang pinggir-pinggir fascia dengan klem, angkat, dan bust insisi di peritoneum.
  7. Masukkan kateter dialisis pertoneum ke dalam rongga peritoneum.
  8. Setelah kateter dimasukkan ke peritoneum, majukan kateter ke daerah pelvis.
  9. Hubungkan kateter dialisis kepada sebuah syring dan sedot.
  10. Bila tidak terdapat darah (gross blood) masukkan 10 ml per kilo berat badan larutan Ringer Laktat /normal saline yang dipanasi (sampai 1 liter) ke dalam peritoneum melalui tubing intravena yang disambung kateter dialisis.
  11. Guncang abdomen perlahan-lahan untuk menyalurkan cairan ke seluruh rongga peritoneum dan meningkatkan pencampurannya dengan darah.
  12. Kalau kondisi penderita stabil, biarkan cairan selama 5 sampai 10 merit sebelum dialirkan keluar (drain). Ini dilakukan dengan menaruh tempat larutan Ringer Laktat /normal saline di lantai dan membiarkan cairan perut mengalir keluar abdomen. Pastikan bahwa tempat itu diberi lubang udara supaya aliran cairan dari abdomen lancar.
  13. Setelah cairannya kembali, kirimlah contoh ke laboratorium untuk penghitungan eritrosit (RBC) dan leukosit (WBC) (tanpa diputar -unspun). Tes positif dan memerlukan tindakan pembedahan ditandai oleh 100,000 RBC/mm3 atau lebih dan lebih besar dari 500 WBC/mm3.
  14. Namun, pencucian yang negatif tidak berarti tidak ada cedera retroperitoneum, yaitu pankreas atau usus duabelas jari, perforasi viscera yang berongga yang terisolasi, atau robekan diafragma.


 

II.     DIAGNOSTIC PERITONEAL LAVA GE: TEHNIK TERTUTUP

  1. Kurangi tekanan kandung kencing dengan memasang kateter urin.
  2. Kurangi tekanan abdomen (stomach) dengan memasang pipa gaster (gastric tube).
  3. Siapkan abdomen depan untuk pembedahan (misalnya, tepi iga sampai daerah pubis dan pinggang kiri sampai pinggang kanan, ke depan)
  4. Injeksikan anestesia lokal di garis tengah dan sepertiga jarak dari umbilicus ke symphysis pubis. Gunakan lidocaine dengan epinephrine untuk mencegah kontaminasi darah dari kulit dan jaringan bawah kulit.
  5. Angkat kulit di kedua sisi tempat untuk pemasukan jarum dengan jari atau dengan tang (forceps).
  6. Masukkan jarum beveled berukuran #18 yang disambung dengan semprit tembus kulit dan jaringan bawah kulit. Setelah tiba di fascia, akan terdapat tahanan. Dengan menambah tekanan langsung, fascia akan ditembus. Kemudian jarum didorong masuk ke rongga peritoneum, biasanya tidak lebih dari 1 cm.
  7. Kemudian ujung kawat pemandu yang lentur dimasukkan melalui jarum ukuran #18 sampai ketemu perlawanan atau masih ada 3 cm di luar jarum. Kemudian jarumnya dikeluarkan dari rongga abdomen sehingga hanya kawat pemandu yang tinggal.
  8. Dibuat insisi kulit yang kecil di tempat masuknya kateter, dan kateter diagnostic peritoneal lavage dimasukkan di atas kawat pemandu ke dalam rongga peritoneum. Kemudian kawat pemandu dikeluarkan dari rongga abdomen sehingga yang tinggal hanya kateter pencucian. I. Sambung kateter dialisis kepada suatu semprit dan sedot.
  9. Bila tidak terdapat darah (gross blood) masukkan 10 ml per kilo berat badan larutan Ringer laktat / normal saline yang dipanasi (sampai 1 liter) ke dalam peritoneum melalui tubing intravena yang disambung kepada kateter dialisis.
  10. Guncangan abdomen perlahan-lahan akan menyalurkan cairan ke seluruh rongga peritoneum dan meningkatkan pencampurannya dengan darah.
  11. Kalau kondisi penderita stabil, biarkan cairan selama 5 sampai 10 menit sebelum dialirkan keluar (drain). Ini dilakukan dengan menaruh tempat larutan Ringer Lactate /saline normal di lantai dan membiarkan cairan perut mengalir keluar abdomen. Pastikan bahwa tempat itu diberi lubang udara supaya aliran cairan dari abdomen lancar.
  12. Setelah cairannya kembali, kiriunlah contoh ke laboratorium untuk penghitungan eritrosit (RBC) dan lekosit (WBC) (tanpa diputar -unspun). Tes positif dan kebutuhan intervensi pembedah ditandai oleh 100,000 RBC/mm3 atau lebih dan lebih besar dari 500 WBC/mm3.


 

KOMPLIKASI DART PENCUCIAN PERITONEUM

  1. Pendarahan sekunder pada injeksi anestesia lokal, insisi kulit, atau jaringan bawah kulit yang akan memberikan studi semu-positif (false-positive).
  2. Peritonitis akibat perforasi usus.
  3. Robek kandung kencing (kalau kandung kencing tidak dikosongkan sebelum prosedur)
  4. Cedera pada struktur abdomen dan retroperitoneum lain yang memerlukan perawatan pembedahan.
  5. Infeksi luka di daerah pencucian (komplikasi tertunda - late complication)


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Tabel 2-Contoh Formulir Rujukan
(Data yang dianjurkan untuk dibawa)


 


 

A.     Data penderita

Nama

Alamat

Kota

Umur    Sex Beratbadan


 

Nama keluarga terdekat

Alamat

Kota

No. telpon


 

B.     Waktu

Tanggal :

Tanggal cedera

Waktu masuk UGD

Waktu masuk kamar operasi

Waktu saat dirujuk


 

C.     Riwayat AMPLE :


 


 


 


 

D.     Keadaan saat datang

Nadi

Tekanan darah

Laju Pernafasan

Suhu


 

E.     Diagnosis


 

F.     Pemeriksaan diagnostik

Data lab.: terlampir

Foto ronsen : terlampir

EKG: terlampir

Contoh darah, cairan LCS

terlampir


 

G.     Terapi yang diberikan

Medikasi yang telah diberikan,

jumlah, waktu

Cairan yang diberikan: jenis,

jumlah

Lain-lain


 

H.     Keadaan penderita saat dirujuk


 

I.     Pengelolaan selama transport


 

J.     Data rumah sakit yang merujuk

Nama dokter

Rumah Sakit

No. Telpon


 

K.     Data rumah sakit penerima rujukan

Nama dokter

Rumah Sakit

No. Telpon


 

Contoh Lembar Catatan dan Observasi Pasien Trauma


 


 


 

Nama :

Tanggal

Waktu datang 

KELUHAN UTAMA 

INFORMASI TRANSPORTASI PREHOSPITAL 

MEKANISME KECELAKAAN 

 Kejadian     Ambulans     Helikopter

 Polisi     Kendaraan pribadi      Berjalan

 Kursi roda     Lain-lain    

 Dokter yg merujuk        

 RS. yg merujuk    

 Informasi lain    

    
 

    

    

 Mobil:  Pengemudi  Penumpang  Depan  Blkng

 Pakai sabuk pengaman  Kantung udara terkembang

 Motor:  Pengemudi  Pembonceng


 Berhelm  Berpakaian pelindung

 Pejalan kaki x kendaraan

 Kecepatan kendaraan _____________ km/jam

 Jatuh____________meter

 Luka tembak  Luka tusuk  Hancur  Kombustio

 Penganiayaan  Hypothermia  Lain-lain

TINDAKAN SEBELUM KEDATANGAN 

RIWAYAT 

 Jalan nafas oral      Jalan nafas nasal     EOA/PTL

 ETT#     NTT#     RSI

 Kriko#     102@______L/min via ________

Suara nafas :    Sin :    Dex:

 IV#

 Penfer  Sentral     Intraoseous

 Cairan IV 1 2 3 4 5 6  Darah 1 2 3 4 5

 CPR  PASG:  Tungkai      Abdomen

 Kateter Urine      Pipa gaster

 Pipa toraks:     Sin  Dex      Bilateral

 Proteksi spinal-C  Proteksi spinal, mulai jam :

 Jenis bidai :    

 Medikasi :    

    

 Prosedur lain :    


 

    
 

    


 

BANTUAN UNIT LAIN 

Allergi:    

Medikasi:    

    

Penyakit yang lalu :    

    

Makan terakhir:_________Tetanus terakhir :    

Kejadian-kejadian:    

    

Hamil?  Ya  Tidak  Mens terakhir    

Proteksi spinal dilepas @    

    
 

RESPONS PETUGAS

PETUGAS 

NAMA 

JAM

PANGGIL 

JAM

TIBA 

Dokter UGD 

   

Bedah Syaraf 

   

B. Orthopaedi 

   

(Jam dipanggil dan jam tiba) 

Anesthesia 

   
 

Pediatri 

   
 

THTBM 

   
 

B. Plastik 

   
 

B. Urologi 

   
 

Perawat 

   
 

Perawat 

   
 

Lainnya

   

 

PENILAIAN INISIAL

PENOMORAN
IDENTIFIKASI
LOKASI
TRAUMA

JALAN NAFAS/PERNAFASAN

 Bebas     Tersumbat      Simetrik

 Asimetrik     Tidak sesak      Sesak

 Trachea di median?      Ya     Tidak

Suara nafas:     Ada     Sin     Dex

    Jelas     Sin     Dex

    Menurun     Sin     Dex

    Tidak ada     Sin     Dex

    Ronkhi     Sin     Dex

Krepitus?     Ya     Tidak

 

SIRKULASI 

1. Laserasi    6. Fx terbuka    11. Edema

2. Abrasi    7. Luka tembak     12. Amputasi

3. Hematoma    8. Luka tusuk    13. Avulsi

4. Kontusio    9. Luka bakar    14. Nyeri

5. Deformita    10. Luka dingin

_______________________________________________

Kepala :

_______________________________________________

_______________________________________________

Maksilofacial :

_______________________________________________

_______________________________________________

Tulang leher :

_______________________________________________

_______________________________________________

Paru-paru/nadi :

_______________________________________________

_______________________________________________


 

Abdomen :

_______________________________________________

_______________________________________________


 

Perineum :

_______________________________________________

_______________________________________________


 

Musculoskeletal :

_______________________________________________

_______________________________________________

Kulit/Mukosa :     Normal     Pucat

Wama membran :      Merah     Jamdice

     Abu-abu      Kebiruan

Pulse :     Normal, Site

     Melewati batas, Site

     Menurun, Site

     Tidak ada, Site

Rata-rata____________/menit Ritme___________

Temp. kulit :     Hangat      Panas      Dingin

Gamb. kulit :     DBN     Kering      Basah

KETIDAK MAMPUAN 


 

Skor GCS :    Buka mats,____________

    Bicara,_______________

    Kekuatan motorik___________

SKOR TOTAL GCS : ________________

Skor RTS :     Pernafasan______________

    Tekanan sistolik_____________

    GCS________________

SKOR TOTAL GCS___________________

Reaksi pupil    Ukuran OS    Ukuran OD

 Cepat    ________mm    ________mm

 Kontriksi    ________mm    ________mm

 Lambat    ________mm    ________mm

 Dilatasi    ________mm    ________mm

 Tak bereaksi    ________mm    ________mm

2· 3·4· 5·6·7· 8· 9·

 

URUTAN RESUSITASI TRAUMA 

JAM 

LABORATORIUM 

JAM 

X-RAY 

JAM 

PROSEDUR 

 

Tipe/kros#    unit 

 

Toraks 

 

02A L/mnt via 

 

Tipe/ 

 

Pelvis 

 

ETT#    oleh: 

 

Darah rutin 

 

Spinal-C lateral

 

NTT#    oleh: 

 

ETOH 

 

Perenang 

 

Kriko#    oleh: 

 

Kadar obat-obatan 

 

Odontoid 

 

Torakostomi jarum oleh 

 

PT/PTT 

 

Spinal-T 

 

Pipa toraks#    oleh: 

 

Analisis gas darah 

 

Spinal-L 

 

Hasil dari dex:    Hasil dari sin 

 

Urinalisis 

 

Kepala 

 

Torakotomi emergensi oleh: 

 

Cairan LPD

 

Seri fasial 

 

Autotransfusi 

 

Tes kehamilan +/- 

 

Mandibula 

 

IV dex. di:    Ukuran: 

 

HIV +/- 

 

Abdomen 

 

IV dex. di:    Ukuran: 

   

Ekstremitas atas S/D 

 

IV sin. di:    Ukuran: 

 

Lain-lain: 

 

Ekstremitas bawah S/D 

 

IV sin. di:    Ukuran: 

   

IVP 

 

CVP di:    Ukuran: 

   

Sistogram 

 

Perikardiosentesis oleh: 

   

Urethrogram 

 

EKG 

   

Arteriogram/Aorto 

 

Pipa gaster oleh: 

   

CT kepala 

 

Hasil pipa lambung: 

   

CT toraks 

 

Warna: 

   

CT abdomen 

 

Tonus rektum: 

   

CT pelvis 

 

Darah rektum: 

     

Kateter urine# 

     

Hasil kateter:

     

Warna: 

     

Urine dip +/ 

     

Spont void dip + - 

     

LPD: + /- oleh: 

     

Sonografi:    oleh: 

     

Hasil: 

      
      
     

Penjahitan luka oleh: 

     

Pembidaian Extr. atas 

     

Extr. bawah 

      
      

KELUARAN / ASUPAN CAIRAN

ANALISIS GAS DARAH

MASUK     KELUAR

Total praRS_____ml    Urine_____ml

Total cairan_____    Gaster_____ml

Total darah_____ml    Darah_____ml

Total PRBC di UGD__ml TOTAL_____ml

FFP Total_________ml

Trombosit_________ml

Lain-lain:

TOTAL: _________ml

02 LPM 

pH 

Pco2 

Po2 

JAM 

     
     
     

PENGOBATAN 

   

OBAT 

DOSIS

OLEH

RUTE

JAM

Tetanus  

    
     
     
     

 

JAM 

         

Tekanan darah (manset) 

/ 

/ 

/ 

/ 

/ 

/ 

/ 

/ 

/ 

Nadi 

         

Ritme 

         

Pemafasan 

         

Suhu 

         

MAP line 

         

Saturasi 02 / Hgb

         

Karboksimetri 

         

CVP 

         

Keluaran urine 

         

Perdarahan 

         

Skor GCS 

         

1. Skor buka mata 

         

2. Skor verbal 

         

3. Skor kekuatan motorik 

         

TOTAL (1 + 2 + 3) 

         

Ukuran & reaksi pupil dex

         

Ukuran & rekasi pupil sin 

         
          

JAM 

CATATAN 

  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  

DISPOSISI :      Hidup     : Jam keluar :__________ ke : _____________ Pelayanan :____________

     Mati     : Jam :__________ ke : _________________


 

 Izin operasi  Memberitahu keluarga  Memberitahu ulama  Memberitahu dinas sosial

Barang berharga/baju : ___________________________Barang bukti forensik___________________


 

Tanda tangan dokter :________________________________________________________________________________

*CATATAN : Lembar catatan ini hanya contoh informasi yang mungkin diperlukan. Semua institusi yang menerima pasien trauma dapat mengembangkan bentuk yang sesuai dengan kebutuhan institusi tersebut.