Bukan latah, apalagi karena jengah melihat timeline twitter, tayangan Televisi atau berita di media massa yang sedang genit-genitnya mengangkat isu kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak,red) yang seolah mengalihkan isu-isu lain seperti kasus wisma atlet, kisruh dan skandal Demokrat, mafia pajak, hingga kelanjutan kasus Bank Century yang hingga kini ceritanya menggantung entah kemana. Agenda setting media aku fikir sukses berat menggiring massa beralih dari satu isu ke isu lainnya.
Rehat sejenak wajar aku fikir, di sela-sela memikirkan rehabilitasi medis pasien stroke, osteoarthritis, low back pain hingga cerebral palsy di rumah sakit ini, aku pinjam waktunya sejenak untuk menulis. Menulis tentang hal yang sedang ramai-ramainya dibicarakan oleh rekan-rekan seusiaku,hingga adik-adik ku dengan semangat mereka yang membara, berlabel idealisme menyuarakan amanah rakyat.
Tepat hari ini, adik-adik ku pergi menyuarakan amanah rakyat ke Ibukota, mengetuk pintu gedung DPR dalam demonstrasi menolak kenaikan harga BBM yang dibawakan nya. Sah-sah saja, tak ada yang salah dengan demonstrasi di negara demokrasi bernama Indonesia seperti ini aku fikir.
Bukan tentang demonstrasi yang akan kubahas (walau sesekali, sedikit banyak akan kusinggung tentang hal ini) di tulisan ini, melainkan tentang isu kenaikan harga BBM nya yang coba ingin aku tanggapi. Sesuai dengan judulnya, ini semacam tulisan seorang dokter muda yang berbicara tentang kenaikan harga BBM. Akan dangkal memang, atau sangat dangkal mungkin, orang yang berbicara diluar kapasitas inti nya ini, orang dengan keseharian berkutat dengan penyakit individu, hingga kesehatan masyarakat, kini ingin bicara tentang makroekonomi suatu bangsa. Tak apalah dibilang dangkal, dibanding menjadi dungu, menolak atau menerima kebijakan tanpa alasan dan alternatif solusi, anarkis, rusuh, bahkan menganiaya yang lain. Lebih baik dangkal dibanding tumpul, punya banyak gagasan dan omong besar namun menguap seiring berjalan nya waktu karena tak pernah ia tuliskan.
Berbicara tentang BBM, kembali mengingatkanku tentang pelajaran IPA jaman SD dulu. Minyak mentah, adalah sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (not renewable). Setiap kali minyak mentah diangkat ke permukaan bumi, persediaan minyak di dalam perut bumi berkurang. Pemakaian (konsumsi) minyak bumi sebagai bahan baku BBM meningkat terus, sehingga permintaan yang meningkat terus berlangsung bersamaan dengan berkurangnya cadangan minyak di dalam perut bumi. Hal ini yang membuat permintaan senantiasa meningkat sedangkan berbarengan dengan itu, penawarannya senantiasa menyusut. Inilah mungkin yang menjadi alasan mengapa harga minyak mentah di pasar internasional selalu meningkat. Inilah juga yang menjadi alasan, bahwa BBM merupakan barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Sebelum menyatakan sikap menerima atau menolak kenaikan harga ini, mari kita sama-sama menelaah kondisi yang berkembang saat ini, sehingga aku juga kita semua tak dibilang meracau atas semua penyikapan yang kita lakukan.
Aku ingin mengawali dengan sebuah informasi yang kudapat bahwa harga BBM di Indonesia adalah yang termurah ketujuh di dunia (enam termurah pertama adalah negara dgn SDA minyak bumi yg melimpah) dan paling murah se-Asia Tenggara. Lalu apa alasan pemerintah menaikkan harga BBM ini? setahuku ada beberapa alasan yang sering mereka kemukakan, semacam tidak tepat sasaran, implikasi logis dari kenaikan harga minyak dunia, konsumsi BBM terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang juga memiliki trend menanjak, sampai pembengkakkan APBN (yang sampai saat ini,alasan terakhir ini belum bisa aku mengerti sepenuhnya).
Apakah subsidi BBM ini tidak tepat sasaran?? Nampaknya bertentangan dengan data yang kudapat. Data Susenas 2010 oleh BPS menyebutkan 65% BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah dengan pengeluaran per kapita di bawah US$ 4 dan kalangan miskin dengan pengeluaran per kapita di bawah US$ 2. Sementara itu, 27% digunakan kalangan menengah, 6% kalangan menengah atas dan 2% kalangan kaya. Data Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas menyebutkan, kuota BBM bersubsidi tahun 2010 sekitar 36,51 juta kiloliter(KL) dengan rincian premium 21,46 juta KL, solar 11,25 KL dan minyak tanah 3,8 juta kl. Sementara konsumsi premium, 40% untuk sepeda motor, 53% untuk mobil pribadi plat hitam dan 7% untuk angkutan umum.
Lalu terkait kenaikan harga minyak dunia, melalui pikirku yang dangkal, dengan kenaikan harga di pasar internasional bukankah kita seharusnya berkata, “Untunglah kita punyak minyak sendiri, sehingga harus mengimpor sedikit saja?”
Namun mungkin pemerintah punya pikiran lain. Harga bensin premium yang Rp. 4.500 per liter sekarang ini ekuivalen dengan harga minyak mentah sebesar US$ 69,50 per barrel. Harga yang berlaku saat ini adalah US$ 105 per barrel. Lantas dikatakan bahwa pemerintah merugi US$ 35,50 per barrel. Dalam rupiah, pemerintah merugi sebesar US$ 35,50 x Rp. 9.000 = Rp. 319.500 per barrel. Kalo mau dikonversi kedalam liter, maka pemerintah merugi sebesar Rp. 2009,43 per liter. Karena konsumsi BBM Indonesia sebanyak 63 milyar liter per tahun, dikatakan bahwa kerugiannya 63 milyar x Rp. 2009,43 = Rp. 126,59 trilyun per tahun. Maka kalau harga bensin premium dipertahankan sebesar Rp. 4.500 per liter, pemerintah merugi atau memberi subsidi sebesar Rp. 126,59 trilyun. Uang ini tidak dimiliki, sehingga APBN akan jebol. Begitu katanya.
Belum lagi mental bangsa ini yang masih sakit, tercatat kerugian negara akibat penyelundupan BBM Rp 50 triliun. Dengan semakin meningkatnya harga minyak dunia, kemungkinan penyelundupan BBM bisa jadi semakin besar, mengingat kenaikan harga minyak mentah dunia otomatis akan menaikkan harga pasaran BBM di negara lain. Terlebih ketika mendengar jika pertamina hanya mampu mengeksplorasi minyak mentah tanpa bisa mengolah menjadi BBM, sehinngga minyak mentah tersebut harus dijual lagi ke luar dan dibeli kembali dengan keadaan minyak yang sudah siap pakai (seperti dumping), sehingga tentunya pembelian minyak tersebut disamakan harganya dengan harga jual internasional.
Menurutku, pertamina tak bisa mengolah minyak mentah menjadi BBM itu jaman dulu kala,sekarang kilang minyak indonesia sudah bisa mengolah BBM bahkan sampai turunannya seperti pelumas (setahuku ada iklannya kan, pelumas pertamina), dan aspalt. Masalahnya mungkin, memang hanya sekitar 60 persen yg bisa di olah di indonesia (data ESDM ), sisanya diexport karena katanya yang sisa itu karakteristiknya tidak sesuai dengan kilang kita ( meskipun ada isu kongkalikong para exportir dan importir). Jadi, pengeluaran uang tunai untuk pemompaan minyak sampai ke atas muka bumi (lifting) ditambah dengan pengilangan sampai menjadi BBM (refining) ditambah dengan pengangkutan sampai ke pompa-pompa bensin (transporting), seluruhnya sebesar USD 10 per barrel. Dengan kurs yang 1 USD = Rp. 9.000, uang tunai yang dikeluarkan untuk menghasilkan 1 liter premium hanya sebesar Rp.566, sehingga untuk memenuhi kebutuhan 63 milyar BBM dibutuhkan dana sebesar Rp. 35,658 trilyun saja. Sementara jika kita tahu bahwa pertamina diperintahkan untuk mengadakan 63 milyar liter bensin premium setiap tahunnya, yang harus dijual dengan harga Rp. 4.500 per liter. Maka perolehan Pertamina atas hasil penjualan bensin premium sebesar 63.000.000.000 liter x Rp. 4.500 = Rp. 283,5 trilyun. Uang ini tak akan hilang, melainkan masuk ke dalam pos pendapatan di APBN yg digabung dengan penerimaan pajak dan non pajak lainnya lalu digunakan untuk membangun infrastruktur, belanja pegawai, gaji PNS dll.
Terlepas dari angka-angka tersebut, kenaikan harga BBM bagi (transportasi) industri dapat mengakibatkan kenaikan harga produksi kemudian harga jual, sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Juga, ketika biaya produksi industri meningkat, maka salah satu langkah pemulihan yang dilakukan industri adalah pengurangan jumlah tenaga kerja, atau PHK. Bagaimanapun jalurnya, menurutku kenaikan harga BBM membawa dampak terhadap masyarakat pada lapisan paling bawah. Kenaikan biaya hidup rata-rata diperkirakan ada di kisaran 20-30%. Kenaikan biaya hidup ini akan dirasakan oleh semua golongan masyarakat dari yang superkaya sampe yang miskin absolut. Menkeu memprediksi kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi akan menyebabkan kenaikan tingkat kemiskinan menjadi 12,8%. Angka ini jauh lebih tinggi dari target pemerintah 10,5 – 11% pada 2012.
Menurutku Bantuan Langsung Tunai yang ditawarkan sebagai solusi nampaknya belum menyelesaikan masalah tanpa masalah. Dari info yang kudapat, dana penghematan dari kenaikan harga BBM bersubsidi adalah sebesar Rp 26 trilyun. Sementara BLT dan bantuan kepada pengusaha angkutan darat sekitar Rp 30 trilyun, belum lagi risiko “ditilep” oleh birokrat karena kita belum menemukan mekanisme pengontrolan yang tepat. Terlebih pemberian bantuan yang belum tepat sasaran. Lihat saja dari carut-marutnya pemberian Jamkesmas tak tepat sasaran yang sampai saat ini masih banyak ditemukan. Bagaimana mau disebut penghematan kalo seperti ini?
Oleh karena itu Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 002/PUU-I/2003 menyatakan aturan yg mengharuskan harga minyak sesuai harga pasar bertentangan dengan UUD 45. Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang dasar Republik Indonesia. Menurut UUD kita, harga BBM tidak boleh ditentukan oleh siapapun juga kecuali oleh hikmah kebijaksanaan yang sesuai dengan kepatutan, daya beli masyarakat dan nilai strategisnya bagi sektor-sektor kehidupan ekonomi lainnya. Mengapa ? Karena BBM termasuk dalam “Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Berbicara tentang sikap, hati kecil dan ilmu yang sampai di kepala ini tak bisa berbohong, bahwa kenaikan harga BBM ini merupakan kebijakan yang aku belum berpihak padanya. Lagi-lagi dengan pikiranku yang dangkal, bagiku mungkin ada beberapa alternatif yang bisa diajukan selain menaikan harga kenaikan BBM.
Menyunat anggaran mungkin menjadi hal utama yang sangat direkomendasikan. Keperluan birokratis yang besarnya lebih dari 50% total APBN 2012 aku rasa masih sangat bisa untuk dipangkas. Anggaran studi banding, belanja pegawai dsb, mungkin masih bisa dikurangi. Jangan sampai kita mengorbankan rakyat banyak, sementara beliau-beliau yang di gedung parlemen dan pemerintahan tak mau merugi, gajinya puluhan juta dan mendapat jatah mobil dinas serta bensin dari negara. Optimalisasi pengelolaan penerimaan negara (pajak dan non-pajak). optimalisasi pengelolaan belanja negara, serta optimalisasi pembiayaan mutlak dilakukan.
Alternatif lain seperti Konversi Bahan Bakar Gas (BBG). Konversi BBG di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1995. Dan 15 tahun kemudian (tahun 2010), perkembangannya adalah; kendaraan yang menggunakan BBG baru 2.000 unit (jauh dibanding Malaysia sebanyak 46.701 unit dan Iran sebanyak 1,95 juta unit). Pertumbuhan kendaraan yang menggunakan BBG di Indonesia per tahun tercatat minus 3,3% (sementara Malaysia tumbuh 116,2% dan Iran tumbuh 24.426%). Jumlah SPBG di Indonesia tahun 2010 tercatat 9 tempat (sementara di Malaysia 159 lokasi dan Iran 1.574 lokasi). Sebagai catatan, Indonesia, Malaysia dan Iran sama2 memulai konversi BBG sejak tahun 1995. Ironis? Memang, sementara Argentina yang belajar konversi BBG ke Indonesia saat ini telah sukses menerapkan BBG sebagai bahan bakar utamanya.
Sudah saatnya kita membangun infrastruktur untuk BBG, perbaharui dan wajibkan semua angkutan umum menggunakan BBG, sehingga tarifnya jauh lebih murah, setelah itu produksi masal converter BBG untuk kendaraan bermotor sehingga lebih murah, dengan begitu semua orang akan beralih ke BBG. Itu cara yg dilakukan negara negara maju, sehingga jika kelak harga BBM akan dinaikan, tak akan terlalu berdampak besar. Namun entah ini bisa tercapai kapan, sebelum menuju kesana, jangan sampai lah ada lagi berita bus way (yg jelas jelas pake BBG) kebakaran. Semacam jadi PR untuk anak-anak bangsa di bidang tekhnik, seperti ITB dsb untuk menggelar seminar mengenai konversi gas untuk kendaran bermotor mulai dari sekarang menurutku.
Hmmm, atau jika memang tak ada pilihan lain untuk dinaikkan pun, mengapa tidak membuat BBM bersubsidi dengan dua harga. Jika pemerintah ingin mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM, maka sebaiknya memilih kebijakan “pemilahan” sekaligus “pemihakan” (discriminative and affirmative policy) yaitu melalui skema BBM Bersubsidi 2 harga (dual price), yaitu Rp 6.000/liter untuk Mobil Pribadi sesuai usulan RAPBNP 2012, sementara Kendaraan Umum, Angkutan Pedesaan, Kendaraan Barang/Usaha Kecil Menengah, dan motor tetap seharga Rp 4.500/liter.
Dan jika memang tak ada pilihan lain, kenaikan harga BBM menjadi satu-satu nya pilihan, pengetatan pendataan dan pendistribusian segala jenis bantuan dari pemerintah (BLSM, beras miskin, subsidi siswa miskin dll) mutlak harus dilakukan bersama dengan transparansi nya.
Dan ada satu alternatif solusi lain yang aku sangat mengharapkan nya karena ada kaitan besar dengan kesehatan. Menaikkan cukai rokok! Ntah mengapa bukan solusi ini yang diambil pemerintah. Mengenai perihal pajak rokok ini, setahuku di newyork itu 100 ribu perbungkus, jika hal seperti ini diterapkan di negara kita, biaya kesehatan yg ditanggung pemerintah akan menjadi murah, karena orang miskin yang biaya kesehatannya kebanyakan di tanggung pemerintah akan jauh menjadi lebih sehat.
Nampak random memang seorang dokter muda ikut ambil bahasan dalam permasalahan ini. Namun jangan salah kawan, menjadi dokter sejatinya bukan menjadi agen penyembuh saja (agent of change), melainkan juga agen perubah dan pengembang bangsa ini juga (agent of change, agent of development).
Sebuah kajian singkat pribadi dalam beberapa jam ini memang sangat dangkal, atau banyak kekeliruan, pasti. Namun sekali lagi, setidaknya ingin aku tunjukkan, bahwa memiliki sikap harus disertai dengan alasan kuat yang mendasari nya, kadar intelektual penerus bangsa dipertaruhkan disini. Juga ingin menjadi sebuah ajakan, terutama bagi adik-adik yang diberi judul aktivis kemahasiswaan, jangan sampai tumpul, banyak bicara, nyaring dan genit di media, namun kemampuan analisis nya hanya ditataran cakap dan sikap saja, coba kau tuliskan, biarkan kami menilai gagasan mu, siapa tahu itu membuat paradigma kami berubah untuk menjadi lebih baik. Jangan terpatok dengan gaya lama (old fashion) pergerakan mahasiswa seperti demonstrasi saja. Juga bagi mereka yang bergerak di dunia kedokteran, bukan berarti dengan kesibukan mu berkutat dengan dunia klinis rumah sakit, tugas, dan ujian, membuat menutup diri akan kondisi sekitar.
Aku yakin, tak banyak diantara kita yang menyukai tulisan seperti ini, tapi terlepas dari itu semua, menulis kajian ditengah hectic nya dunia klinis rumah sakit menjadi angin segar sekaligus mengenang romantisme masa lalu di era mahasiswa bagiku, dan itu menyenangkan :)
Seandainya pun harga BBM naik menjadi kenyataan, ini pertanda, agar kita semakin meningkatkan infaq dan shadaqah kita, agar Allah semakin memudahkan rizki kita jauh melebihi kenaikan BBM yang ditetapkan pemerintah. Selebihnya masalah kebijakan, biar Allah yang memberi ganjaran, sebesar apa kemanfaatan dihasilkan dibanding dengan kemudharatan nya :)
#meracau, 28 Maret 2012
Bandung, ditengah persiapan ujian Rehabilitasi Medik