Halim Khananto |
Di masa kecil, ia pernah bercita-cita menjadi guru. “Bagi saya, tidur di gerobak bukan hal aneh. Itu karena orangtua jualan di pasar malam, yang lokasinya jauh dari rumah” ujarnya. Halim kecil juga biasa menitipkan dagangan buatan sang ibu, di kantin sekolah. “Orangtua, dengan kecerdasan emosionalnya, selalu berupaya agar anak-anaknya bisa sekolah hingga jenjang yang paling tinggi,” katanya.
Anak ke-3 dari 4 bersaudara ini prestasinya boleh dibilang unik. Ia pernah menduduki rangking terakhir, tapi mendapat peringkat pertama Ebtanas se kota Pekalongan. “Saat itu guru-guru heran, ada yang menduga saya nyontek. Tapi, beberapa guru percaya akan prestasi saya,” dia tertawa
Tamat SMA, Halim masuk Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarya. Kuliah putus di tengah jalan, karena biaya. “Dosen wali dan pembatu dekan 3 melarang saya keluar. Tapi, saya yakin, saya harus memilih keputusan yang sulit itu,” ujarnya.
Pada 1991, pencinta sepak takraw ini berdagang batik di kota kelahirannya. Usahanya maju tapi kemudian bangkrut karena ditipu teman sendiri.
Terispirasi sang kakak, akhinya ia masuk ke dunia farmasi. Setelah beberapa kali pindah kerja, akhirnya ia bergabung ke Pharma Serve. Selama berkarir di dunia farmasi, ia tidak pernah melamar, tapi malah dilamar oleh perusahaan farmasi. Tentu saja karena prestasinya dinilai bagus.
Bagi Halim, modal utama dalam bekerja bukanlah intelegensi, koneksi, ras, golongan atau agama, melainkan etos kerja. Ia berprinsip, untuk senantiasa melakukan hal yang terbaik dan benar, sehingga muncul trust dalam interaksi internal mau pun eksternal.
Hari libur merupakan kesempatkan untuk berkumpul dengan keluarga, yang sangat menyenangi nasi goreng buatannya. “Anak-anak dan istri menyebut nasi goreng bikinan saya dengan nasi goreng chinese, karena yang bikin orang China,” Halim tertawa.