“Bagi saya, pasien adalah anak dan teman. Seperti halnya pasien thalasemia, saya harus merasakan bagaimana menderitanya mereka. Anggap saja yang sakit itu anak atau saudara kita. Jadi, kita bisa merawatnya secara benar dengan memberikan kasih saying,” ujar Dr. dr. Pustika Amalia Wahidayat, SpA(K)., saat acara Program Sosial 2000 untuk Berjuta Harapan, pada 24 Agustus 2010 di Laboratorium Klinik Prodia, Jakarta.
Thalasemia merupakan penyakit kelainan bawaan lahir pada sel darah merah. Sel darah merah mudah pecah, menyebabkan penderitanya wajib menjalani tranfusi darah seumur hidup dan belum ada obatnya, serta bisa menyebabkan komplikasi. Di Indonesia, tingkat prevalensinya 6-10%.
Menurut kelahiran Jakarta 4 November 1961 ini, yang perlu diperhatikan dalam menangani pasien thalasemia adalah, dokter harus men-support kalau mereka bisa hidup secara normal. Memang, pada kenyataannya pasien harus meminum obat setiap hari, disuntik dan tranfusi darah yang membuat mereka bosan dan jenuh.
“Tapi, saya katakana, mereka boleh bosan dan jenuh tapi jangan terlalu lama. Selain itu, kini di pusat thalasemia, pasien kita angkat sebagai karyawan agar mereka bisa merasakan hidup normal,” katanya.
Mencegah adalah pilihan tepat, untuk menekan prevalensi thalasemia di Indonesia. Skrining pemeriksaan darah terhadap pasangan yang berpotensi pembawa sifat gen thalassemia, merupakan strategi untuk menekan tingkat kejadian thalasemia. Pasangan istri atau suami yang memiliki pembawa sifat, sekitar 25% berisiko tinggi janinnya mengidap thalassemia mayor.
“Pemerintah tiap tahun mengeluarkan Rp. 300 juta untuk seorang anak thalassemia, melalui program GAKIN dan JAMKESDA. Sebenarnya, Rp.300 juta bisa digunakan untuk skrining nasional. Hasilnya bukan sekarang, tapi bisa terlihat 10 tahun ke depan. Selain bisa menekan jumlah thalassemia, skrining bisa mengurangi budget untuk pengobatan,” kata ibu satu anak ini (Muhhamad Ramadika).
Di Thailand dan Malaysia, setiap ada remaja yang terdeteksi membawa sifat akan ditandai dengan label pada hasilnya, kemudian dilakukan konseling genetik. Orangtuanya diberitahu, nanti jika ingin menikah pasangannya harus diperiksa, sebagai rambu-rambu pencegahan.
Ia berharap, thalassemia bisa menjadi program nasional. “Saya kasihan melihat anak-anak dengan thalasemia. Alhamdulillah, sekarang kami sudah mulai dilirik Departemen Kesehatan. Sudah diminta membuat program, untuk melakukan skrining di seluruh Indonesia,” ujar dokter yang hobi tennis dan berenang ini.