“Saya tidak suka dengan simbol-simbol, karena tidak mencerminkan substansi,” ujar Direktur Utama Rumah Sakit Persahabatan dr. Agung P Sutiyoso, SpOT, FICS, MM, MARS. Itu sebabnya, dr. Agung jarang mengenakan jas dokter warna putih, atau berjas dan berdasi, kecuali dalam acara tertentu. Ia lebih tertarik mengenakan pakaian biasa. Kalau tamasya, dia juga lebih tertarik menyaksikan alam yang masih “asli” seperti di Peru, Amerika Latin.
“Hukum alam tidak boleh dilanggar,” ujar dokter yang senang traveling ini. Bagaimana penjabaranya dalam praktek? Ketika ada pasien datang dengan tulang yang patah, semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kondisi pasien. Termasuk penyambungan dengan alat bantu, yang ditanam di tubuh pasien. Pemasangan alat bantu hanya bersifat sementara, sambil menunggu terbentuknya kembali jaringan normal.
“Pemasangan alat Bantu hanya mediator, bukan untuk melawan hukum alam,” ujarnya. Dan ketika pasien sembuh, alat bantu pun dilepas. Contoh lain, ketika kita terserang flu. Jika tak ada komplikasi, flu akan sembuh tanpa diobati.
“Kenapa harus menggunakan antibiotik? Yang dibutuhkan adalah upaya, bagaimana memperkuat daya tahan tubuh,” kata kelahiran Yogyakarta, 2 April 1951 ini.
Berkunjung ke Amerika Latin, ia belajar mengenai tradisi dan kultur masyarakat di sana., yang menurut penilainnya masih sangat natural. Indonesia sendiri sebetulnya memiliki banyak hal yang natural. Turis asing sangat tertarik melihat orang bercocok tanam padi di sawah, atau riuhnya suasana di pasar tradisional, dibandingkan dengan sambutan yang serba mewah dan terkesan dibuat-buat. Dengan keaneka ragaman budaya dan keindahan alamnya, ia optimistis, pariwisata di Indonesia akan tetap menarik perhatian turis manca negara.
Kini dr. Agung tengah mempersiapkan secara matang keseluruhan aspek di lingkungan rumah sakit yang dipimpinnya, sehubungan dengan program Green Hospital. “Semoga, dalam waktu dekat saya dapat meresmikan konsep Geen Hospital pertama di Indonesia,” ujarnya sambil tersenyum