“Waktu kecil, saya sempat ingin menjadi jendral,” ujar Dr. dr. Bambang Udji Djoko Rianto, SpTHT, M. Kes (53 tahun) Staf Departemen THT Rumah Sakit DR. Sardjito, FK Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Niat itu diurungkan, ketika menyadari bahwa tentara harus berani perang dan menembak orang yang dianggap musuh. Hal ini, “Bertentangan dengan hati nurani saya.”
Akhirnya, ia mengubah cita-cita menjadi dokter. Tidak mudah, karena secara ekonomi orangtuanya tidak bisa disebut kaya. Maka, dia harus berjuang keras untuk meraih cita-citanya. Ia berjuang dengan modal kemandirian dan tekad kuat untuk belajar. Ia lulus dari Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta tahun 1983. Ia bersyukur bisa menjadi dokter karena, “Dokter adalah profesi yang baik.” Juga, karena profesi ini sesuai dengan moto hidupnya yaitu: selagi punya kemampuan, pergunakan untuk sesama
Bakat dokter sudah terlihat sejak ia masih di SD. “Binatang piaraan saya tertabrak mobil dan kakinya patah. Saya coba menyambung dengan mengikat kaki binatang itu menggunakan potongan bambu kecil. Ternyata bisa pulih lagi,” ujarnya.
Pengalaman menarik sebagai dokter, adalah ketika pertama kali menyuntik seorang pasien. Hatinya dipenuhi rasa bangga dan seribu satu perasaan lain. Ia seperti ingin berkata, “Begini rupanya jadi dokter.”
Di masa sekolah dulu, ia piawai memainkan kuas di atas kanwas putih. Dia juga hobi nonton bola. Sekarang, di kala senggang suami dr. Retno Ekantini, SpM, M.Kes, ini senang bercengkerama bersama cucu. Kalau tidak, “Makan sate kambing dan sayur tahu tempe bersama keluarga. Atau bermain musik.”
Main musik? DR. Bambang Udji bahkan ingin punya grup band dan commercial broadcasting. Ia ingin melibatkan mahasiswa kedokteran. Sehingga, selain bisa menyiarkan informasi kesehatan, juga dapat membantu mahasiswa memperoleh tambahan untuk biaya kuliah.
Dia memang dekat dengan mahasiswa. Di sela praktek dokter, laptopnya tak pernah ketinggalan. Sambil menunggu pasien, disempatkan untuk menulis makalah ilmiah atau mengoreksi tesis mahasiswa PPDS, S2 dan S3. Dalam menjalani hidup, dia berpegang pada falsafah Jawa “ojo dumeh” (jangan mentang-mentang).