“Silakan menaruh sandal atau sepatu di rak,” ujar ketua rombongan saat jamaah haji asal Indonesia hendak masuk ke Masjidil Haram, Mekkah. Karena takut kelupaan, atau nanti hilang diambil orang, seorang jamaah wanita memasukkan sepatunya ke dalam tas dan membawanya masuk ke mesjid.
“Entah jatuh atau lupa, sepatu saya hilang tanpa terasa. Anehnya sepatu anggota rombongan lain yang ditaruh di rak tidak hilang,” ujar jamaah wanita tadi, Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, KAI. Kejadian itu membuatnya merasa malu, karena sudah berpikiran jelek. “Akhirnya, saya pulang ke hotel sambil nyeker (tanpa alas kaki).”
Itu pengalamannya saat pergi haji yang pertama. Maka, ketika berkesempatan naik haji untuk kedua kalinya, ia tak mau berpikir macam-macam dan memilih berserah diri kepada-Nya. “Benar kata orang, mereka yang pernah menjalankan ibadah haji, akan merasa kangen dan ingin kembali lagi ke tanah suci. Alhamdulillah doa saya tekabul. Tahun 2002, saya naik haji untuk kedua kalinya,” ujar puteri Prof. Dr. dr. Karnen Garna Baratawidjaja, SpPD, KAI, ini.
Ia bersyukur sudah dapat menunaikan rukun Islam yang kelima (haji). Awalnya, sebagai mualaf, ia merasa belum siap naik haji meski tawaran untuk menunaikan ibadah bukan sekali dua diterima. “Waktu bertugas di Rumah Sakit Haji Pondok Gede, Jakarta, hampir tiap tahun saya ditawari naik haji. Sampai-sampai ada teman mengambilkan formulirnya untuk saya isi. Baru pada tahun 2000, saya tanpa ragu berangkat ke tanah suci,” ujarnya.
Menurut dokter kelahiran Jakarta ini, untuk menjalankan ibadah haji harus ikhlas dan tidak bisa dipaksakan. Dr. dr. Iris lahir dan dibesarkan dari pasangan orangtua yang berbeda keyakinan. Ayahnya Muslim dan ibunya Kristen Protestan. Sempat memeluk kepercayaan Ibunya, kemudian hatinya mantap untuk menjadi Muslimah. Selain sering mengikuti ceramah, pengajian dan membaca buku, ia merasa beruntung karena suami mendukung untuk menganut keyakinan yang dianut ayah dan suaminya.itu.
“Meski beda keyakinan, hubungan keluarga besar kami tetap harmonis,” katanya.