"Kalau kamu punya ilmu, derajatmu akan naik berkali-kali lipat dan banyak yang bisa kamu sumbangkan kepada masyarakat.” Begitu pesan guru ngaji yang juga kakeknya. “Kata-kata itu memotivasi saya agar menjadi orang yang berilmu,” ujar Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH., Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Perjuangannya menjadi professor, ditempuh melalui berbagai rintangan. Dia sempat berjualan koran untuk biaya hidup, karena tidak ada beasiswa selama kuliah di University of California, Berkeley, Amerika Serikat. “Meski cuaca dingin, jam 04.00 pagi saya bangun dan mengantarkan 200 koran ke rumah-rumah. Hasilnya 1.200 dolar sebulan. Cukup untuk hidup,” ujarnya.
Menurutnya di AS cukup nyaman karena jarang ada keributan, yang pasti teratur tidak “nakal”. Misalnya, jika SIM dan STNK habis maka 2 bulan sebelumnya kantor Departement of Motor Vehicle (DMV) akan menyurati biaya perpanjangan. Beda di Indonesia, harus mengantri dan banyak calonya. “AS lebih teratur dibanding Indonesia. Saya sempat berpikir, jalur masuk surga lebih dekat AS dari pada lewat Indonesia. Ha ha ha.” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Jack Bhull oleh teman-temannya ini berpendapat, meski hidup di AS enak, manfaatnya hanya untuk diri sendiri dan keluarga. Dengan pulang ke Indonesia, ilmunya lebih bermanfaat untuk orang banyak. “Dengan ilmu yang saya peroleh, saya berharap Indonesia bisa lebih maju.”
Kegiatan bertualang sudah menjadi hobynya sejak di SMA. Ia pernah jalan kaki dan menumpang truk dari Jakarta ke Bandung. Di Amerika, hampir seluruh negara bagian sudah ia kunjungi. Pengalaman paling berkesan bagi pria Betawi ini adalah saat berkemah dengan anaknya di pedalaman North Dakota. Banyak bule yang heran hingga bertanya, melihat rambut anaknya yang berwarna hitam.
“Saya ingin Indonesia menjadi cerdas. Dan syarat utama cerdas adalah kesehatan. Baru 30 tahun lagi kita bisa kompetitif,” ujar pendiri PAMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia) ini.