Dia tak pewrnah bercita-cita menjadi dokter. Di masa kecil di Cirebon, hobynya di bidang otomotif dan elektronika. Lulus SMA, dia menjadikan Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagi pilihan utama. Tetapi, orangtua menginginkan agar dia menjadi dokter. Akhirnya, “Saya mendaftar ke tiga universitas: ITB, IPB dan FKUI. Di ketiganya ternyata saya diterima. Ibu menyarankan untuk mendaftar di FKUI. Dua panggilan yang lain disimpan dan tidak diberitahukan kepada saya, hingga satui tahun kemudian,” ujar dr. Shufrie Effendy, Sp.PD.
Dia tak pernah menyesali hal itu. “Apa yang di anugerahkan Tuhan, selalu sayaa nikmati dan syukuri,” katanya lagi.
Saat kuliah, kendala paling besar yakni saat mengikuti mata kuliah Biologi dan Fisika. Di SMA, pelajaran itu paling membuatnya jengkel. Beda dengan matematika, yang merupakan mata pelajaran favoritnya. “Meski susah, saya terus belajar untuk bisa menguasai mata kuliah Biologi dan Fisika. Akhirnya, saya bisa juga” ujarnya lega.
Penampilan pria yang berusia lebih setengah abad ini nyentrik. Saat simphosium, ia selalu setia dengan kopiah putih di kepala dan jas dokternyai. Ia menyenangkan karena ramah, humoris dan mudah bergaul. Banyak medical representative yang menyapanya dengan sebutan “Habib”.
Bagi pria yang hobi mendengarkan lagu-lagu Timur Tengah ini, hal tersulit menjadi dokter adalah ketika harus menagani pasien anak. “Saya paling tidak bisa berkomunikasi dengan anak kecil. Jadi, paling kepada ibunya saya bertanya,” ia tertawa.
Ayah dari Fithrianie Effendy dan Luthfie Effendy ini berpirinsip, apa yang dilakukan dan kerjakan mengalir saja apa adanya, tanpa perlu ngoyo. Ia yakin, jalan hidup seseorang telah diatur Sang Pencipta. Manusia tinggal berikhtiar saja.
Di sela-sela kesibukanya menagani pasien, ia selalku ingat keluarga. Sering, bila ada symposium di luar negeri, dia mengajak serta keluarganya. Kalau tidak, dia nonton TV bersama di akhir pekan. Saat Idul Fitri, ia mudik ke Cirebon untuk ziarah dan silaturahmi dengan keluarga besar.
Suami Endang Y Fauzia ini berharap, ke depan dunia kesehatan di Indonesia bisa maju, seperti di India misalnya. Di sana, meraka telah mampu menciptakan alat-alat kedokteran dan melakukan rekayasa genatik.