Putera seorang atase militer RI yang lahir di Beijing, 4 November 1957, ini tertarik pada dunia kedokteran sejak masih kecil. Ketika tinggal di komplek tentara Cijantung, Jakarta Timur, persis di sebelah rumahnya tinggal seorang dokter tentara yang menjabat pimpinan rumah sakit. "Ketika itu, umur saya sekitar 2-3 tahun. Saya sering melihat, tetangga sebelah sudah pake seragam tentara masih memakai jas putih dinas dokter. Kelihatannya keren sekali," ungkap dr. Hananto Adriantoro SpJP, FICA (Fellow of International Colege of Angiology).
Ia sempat menjadi mahasiswa Institut Teknologi Surabaya, mengambil jurusan Teknik Elektronika (1977). Tahun berikutnya, ia memutuskan untuk menjadi mahasiswa kedokteran di FKUI. Ternyata, untuk menjadi dokter tidaklah mudah. Perjuangannya sangat berat. Ia belajar dan harus terus belajar, untuk bisa meraih cita-citanya. Ia sempat menjadi guru les privat untuk anak SMA, untuk bisa membeli buku dan mencukupi biaya kuliah. "Orang mungkin hanya melihat setelah saya berhasil sekarang ini, sebagai dokter, menjadi pembicara, menulis. Jarang yang tahu, bagaimana perjuangan saya dulu," papar dokter yang tugas di RS. Harapan Kita, Jakarta.
Dokter bertubuh tinggi besar ini adalah atlet tolak peluru. Pada PON IX 1977, ia meraih mendali perak. Ia juga atlet angkat besi junior kelas 82,5 kg. Olahraga baginya merupakan hal yang penting, yang selalu ia tanamkan dalam kehidupan keluarga. Ayah dua anak laki-laki (Cahyo Baskoro dan Aji Nugroho) dan istri drg. Yulidar Nur Adinda, Mkes ini tak ingin anaknya nanti berbadan besar. Dia mewajibkan anaknya untuk olahraga terutama lari dan berenang.
”Dalam menangani pasien diperlukan kejujuran, komunikasi yang baik, rasa hormat dan berbagai macam komponen soft skill lain,” katanya.