BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Di  Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15 –  44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan. Di  negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi  dan pembangunan frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala  berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma,  mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan  terlibat dalam suatu kecelakaan.
Distribusi  kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu  antara 15 – 44 tahun, dengan usia rata – rata sekitar tiga puluh tahun,  dan lebih didominasi oleh kaum laki – laki dibandingkan kaum perempuan.  Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas ( 49 % )  dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak –  anak).
Pada  kehidupan sehari – hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi  kalangan medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan  proses patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan  investigasi diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang  sederhana. Berbagai istilah lama seperti kromosio dan kontusio kini  sudah ditingalkan dan klasifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam  aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan yang  maksimal.
Cedera  pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari  lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak ,  durameter, vaskuler otak, sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa  luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan  biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing – masing proses di  atas, yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat,  diharapkan dapat menekan morbilitas dan mortalitasnya.
Jenis  beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit. Pada  garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban  dinamik. Beban statik timbul perlahan – lahan yang dalam hal ini tenaga  tekanan diterapkan pada kepala secara bertahap, hal ini bisa terjadi  bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan  berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dapat  mengakibatkan terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple, atau  kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak.Biasanya koma atau  defisit neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi  tengkorak hebat sekali sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi  jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme  ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik, dimana  peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang dari  200 mili detik). Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban  benturan. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom intrakranial,  yang dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu  yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya.
Disatu  pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang  kerumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak “ frekuensi  hematom ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan keluar  meninggal “.
B. TUJUAN PENULISAN
Pembuatan refran ini bertujuan  untuk  mengetahui dan memahami tentang definisi, anatomi, aplikasi klinis,  klasifikasi, etiologi, fatofisiologi perdarahan intrakranial, serta  memahami penanganan anastesi untuk pasien dengan cedera otak  intrakranial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI
Cedera  Kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) adalah salah satu dari trauma  yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat  diperlukan untuk mendapatkan outcome yang baik. Anestetist mengelola  pasien ini sepanjang periode perioperatif, dari ruang gawat darurat  sampai ke tempat pemeriksaan radiologi, kamar bedah, dan neuroICU.
Sasaran  utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah  optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari cedera  sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah saraf.  Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan  sirkulasi.
Cedera  kepala diklasifikasikan kedalam cedera primer dan cedera sekunder.  Klasifikasi ini berguna untuk pertimbangan terapi. Cedera primer adalah  kerusakan yang ditimbulkan oleh impak mekanis dan stres  aselerasi-deselerasi pada tulang kepala dan jaringan otak, mengakibatkan  patah tulang kepala (tulang kepala atau basis kranii) dan lesi  intrakranial. Lesi intrakranial diklasifikasikan kedalam dua tipe yaitu  cedera difus dan fokal. Difus injuri ada dua kategori yaitu brain  concussion (bila hilangnya kesadaran berakhir < 6 jam) dan Diffus  axonal injury /DAI (bila hilangnya kesadaran berakhir > 6 jam). Fokal  injury ada beberapa macam antara lain brain contusion, epidural  hematom, subdural hematom, intracerebral hematom. Cedera sekunder  berkembang dalam menit, jam atau hari sejak cedera pertama dan  menimbulkan kerusakan lanjutan dari jaringan saraf. Penyebab paling umum  dari cedera sekunder adalah hipoksia dan iskemi serebral. Cedera  sekunder dapat disebabkan hal-hal berikut : 1) disfungsi respirasi  (hipoksemia, hiperkarbia), 2) instabilitas kardiovaskuler ( hipotensi,  curah jantung rendah), 3) peningkatan tekanan intrakranial, dan 4)  kekacauan biokimi
B. ANATOMI
B.1 Meninges dan Vasa Darah Otak
1.   Meninges
Meninges  adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan  medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai  schock absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam  yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.
a.   Duramater 
Merupakan  selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus medulla  spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri atas  dua lembar yaitu lamina endostealis yang merupakan jaringan ikat  fibrosa cranium, dan lamina meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur  dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana diantara kedua hehemispherium  cerebri disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang merupakan  lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli, berbentuk  tenda yang merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan  cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran  yang menutupi sella tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut  diafragma sellae.
Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus ( venosus ) duramatris.
Sinus  duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv.  Emissari. Ada dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang  berpasangan. Sinus duramater yang tunggal adalah : sinus sagitalis  superior, sinus sagitalis inferior, sinus rectus, dan sinus occipitalis.  Sinus sagitalis superior menerima darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae,  dan vv. Emissari.Sinus sagitalis inferior menerima darah dari facies  medialis otak. Sinus rectus terletak diantara falx cerebri dan tentorium  cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri magna, dengan sinus  sagitalis superior membentuk confluens sinuum. Sinus occipitalis mulai  dari foramen magnum, bergabung dengan confluens sinuum.
Sinus  duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus cavernosus,  sinus sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior. Sinus  tranversus menerima darah dari sinus sagitalis superior dan sinus  rectus, kemudian mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus  merupakan lanjutan sinus tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus  superior dan inferior menerima darah dari sinus cavernosus dan  mengalirkan masing – masing ke sinus traaanversus dan v. jugularis  interna.
b.   Aracnoidea
Membran  halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus / fissura  kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul trabecula  halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang laba – laba.
Diantara  aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale, yang  dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah sempit  diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium subdurale, celah  sempit diluar duramater disebut spatium epidurale.
Dari  aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke  duramater disebut granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus  sagitalis yang berfungsi klep satu arah memungkinkan lalunya bahan –  bahan dari LCS ke sinus venosus.
c.   Piamater
Piamater  melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap lekukan,  mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan ependyma  membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai barrier terhadap  masuknya senyawa yang membahayakan.
B.2. Vasa Darah Otak
a.   Arteri
Otak  divaskularisasi oleh cabang – cabang a. carotis interna dan a.  vertebralis. A. carotis interna merupakan cabang dari a. carotis comunis  yang masuk ke kavum cranii melalui canalis caroticus, cabang- cabangnya  adalah a. optalmica, a. choroidea anterior, a. cerebralis anterior dan  a.cerebralis medialis. A. opthalmica mempercabang a. centralis retina,  a. cerebralis anterior mempercabangkan a. communicans anterior,  sedangkan a. cerebralis medialis mempercabangkan a. communican  posterior.
Arteri  vertebralis merupakan cabang a. subclavia naik ke leher melalui  foramina tranversalis. Kedua a. vertebralis di kranial pons membentuk a.  basillaris yang mempercabangkan aa. Pontis, a.labirintina (mengikuti n.  V dan n. VIII ), a. cerebellaris superior ( setinggi n. III dan n. IV )  dan a. cerebralis posterior yang merupakan cabang terminal a.  basilaris.
Cabang  -.cabang a. carotis interna dan a. vertebralis membentuk circulus  arteriosus Willis yang terdapat disekitar chiasma opticum. Dibentuk oleh  a. cerebralis anterior, a. cerebralis media, a. cerebralis posterior,  a. comunican posterior dan a.communican anterior. Sistem ini  memungkinkan suplai darah ke otak yang adekuat terutama jika terjadi  oklusi / sumbatan.
b.   Vena
Vena diotak diklasifikasikan sebagai berikut :
-     Vena cerebri eksterna, meliputi v. cerebralis superior / lateralis / medialis / inferior dan vv. Basallles.
-     Vena cerebri interna, meliputi v. choroidea dan v. cerebri magna.
-     Vv. Cerebellaris
-     Vv.  Emissariae, yaitu vena yang menghubungkan sinus duralis dengan vena  superfisialis cranium yang berfungsi sebagai klep tekanan jika terjadi  kenaiakan tekanan intrakranial. Juga berperan dalam penyebaran infeksi  ke dalam cavum cranii.
Vena  yang berasal dari truncus cerebri dan cerebellum pada umumnya mengikuti  kembali aliran arterinya. Sedangkan aliran balik darah venosa di  cerebrum tidak tidak mengikuti pola di arterinya. Semua darah venosa  meninggalkan otak melalui v. jugularis interna pada basis cranii.  Anastomosis venosa sangat ektensif dan efektif antara vv. Superfisialis  dan vv. Profunda di dalam otak.
C. MENIFESTASI KLINIS
Pada  trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom  intrakranial yang dibagi menjadi :hematom yang terletak diluar duramater  yaitu hematom epidural, dan yang terletak didalam duramater yaitu  hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masing-masing dapat  terjadi sendiri ataupun besamaan.
D. KLAFISIKASI PERDAAHAN INTRAKRANIAN
D.1 EPIDURAL HEMATOMA
D.1.a. Definisi
Hematom  epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan  duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis  ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur  linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri  meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai  dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh  regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus  anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom  epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.
D.1.b Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
-          Trauma kepala
-          Sobekan a/v meningea mediana
-          Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
-          Ruptur v diplorica
Hematom  jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya  fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri  meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 %  kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan  arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas  yang terjadi hanya sementara.
Hematom  jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi,  umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur  oksipital, parietal atau tulang sfenoid.
D.1.c. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
D.1.d. Patofisiologi
Hematom  epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang  lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu  berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien,  perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya.  Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur  melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
D.1.e. Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
1.   Interval lusid (interval bebas)
Setelah  periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan  perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.  Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan  ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit  kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura  dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval  lucid.
Interval  lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval  ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama  diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena  herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek  memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.
2.   Hemiparesis
      Gangguan  neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek  pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis  sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral  kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
3.   Anisokor pupil
      Yaitu  pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan  mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif  akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan  bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam,  pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil  tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
D.1.f. Terapi
Hematom  epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,  dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
D.1.g. Komplikasi Dan Outcome
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
-          Edema  serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun  tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat  bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan  tekanan intrakranial
-          Kompresi batang otak – meninggal
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
-          Mortalitas 20% -30%
-          Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
-          Sembuh tanpa defisit neurologik
-          Hidup dalam kondisi status vegetatif
D.2 SUBDURAL HEMATOMA
D.2. a Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1.   Ruptur  vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan  subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara  di dalam sinus venosus dura mater.
2.   Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid'
D. 2. b Etiologi
1.      Trauma kepala.
2.      Malformasi arteriovenosa.
3.      Diskrasia darah.
4.      Terapi antikoagulan
D.2.c. Klasifikasi
1.   Perdarahan akut
      Gejala  yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi  pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan  lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan  tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi  melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi  hiperdens.
2.   Perdarahan sub akut
      Berkembang  dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada  subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan  darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan  kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan  lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya  lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3.   Perdarahan kronik
      Biasanya  terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan  kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu  ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,  bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan  subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan  pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati  hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara  perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada  subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi  hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau  tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea  bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung  pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.  Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat  menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini  dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan  menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan  kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma  akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri.  Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang  berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan  lesi hipodens
D. 2.d. Patofisiologi
Vena  cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau  laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat  berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan  effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan  hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
D. 2.e. Gejala klinis
Gejala  klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala)  sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak  begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada  effek massa atau lesi lainnya.
Gejala  yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian  tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo,  papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor  pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya  tidak jelas, sering diduga tumor otak.
D.2.f. Terapi
Tindakan  terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom  secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom  subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang  tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih  dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan  burr-hole saja).
D.2.g. Komplikasi Dan Outcome
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1.   Hemiparese/hemiplegia.
2.   Disfasia/afasia
3.   Epilepsi.
4.   Hidrosepalus.
5.   Subdural empiema
Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
1.   Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2.   Pada sub dural hematom kronis :
-     Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
-     Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.
D.3 INTRASEREBRAL HEMATOM
D.3.a. Definisi
Adalah  perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral  pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan  cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh  darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran  hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa  centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral  hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam  substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau  petechial /bercak).
D.3.b. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
D.3.c. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.
III.3.d. Patofisiologi
Hematom  intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di  daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer  lainnya serta fraktur kalvaria.
D.3.e. Gejala klinis.
Klinis  penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip  dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya  tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer  tomografi otak  diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial nyeri kepala mendadak  penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
-          Hemiparesis / hemiplegi.
-          Hemisensorik.
-          Hemi anopsia homonim
-          Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
-          Nyeri kepala akut.
-          Penurunan kesadaran.
-          Ataksia
-          Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
-          Penurunan kesadaran koma.
-          Tetraparesa
-          Respirasi irreguler
-          Pupil pint point
-          Pireksia
-          Gerakan mata diskonjugat.
D.3.f. Terapi umum
Untuk  hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan  darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra  cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi,  manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai  uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom  masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya  elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
Konservatif
-          Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
-          Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
-          Bila perdarahan pons batang otak.
Pembedahan 
Kraniotomi
-          Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
-      Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa
E. PENANGANAN
Persiapan anastesi 
1. Pemeriksaan prabedah 
Pemeriksaan  prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan anestesi lain,  hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek samping  kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya, hasil CT-scan, MRI  dll. CT scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dengan  adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus,  hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan  edema (adanya daerah hipodensitas).
Indikasi  untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah 1) CT scan  abnormal dan GCS 3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia adekuat, 2) CT  scan normal dan GCS 3-8 dan disertai dua atau lebih : umur > 40  tahun, posturing, tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan  intrakranial menggunakan kateter intraventrikuler lebih disukai karena  selain dapat membaca tekanan intrakranial juga dapat digunakan untuk  terapi peningkatan tekanan intrakranial dengan cara drainase cairan  serebrospinal. Terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial umumnya  dimulai pada level tekanan intrakranial 20-25 mmHg. Tujuannya untuk  mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
Pengobatan  hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai 300,  mengendalikan kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu  tubuh normal, tidak ada obstruksi drainase vena jugularis, optimal  resusitasi cairan dan semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi  dan obat pelumpuh otot bila diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk  menurunkan tekanan intrakranial, tambahan terapi diberikan dalam manuver  first-tier dan second-tier terapi.
First-tier  terapi adalah : 1) drainase CSF secara inkremental melalui kateter  intraventricular, 2) Diuresis dengan mannitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan  lebih dari 10 menit, 3) hiperventilasi moderat. Mannitol menurunkan  tekanan intrakranial dengan cara mengurangi edema otak dan memperbaiki  aliran darah otak. Akan tetapi, mannitol dapat menyebabkan diuresis dan  hipotensi, terutama pada fase resusitasi awal bila tidak dipasang alat  pantau invasif dan adanya cedera lain tidak diketahui. Karena itu,  dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia selama terapi mannitol  dan osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan dibawah 320 mOsm/L.  Hiperventilatisi moderat untuk mencapai PaCO2 antara 35 sampai 40 mmHg  juga menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi aliran darah  otak. Hiperventilasi harus dilakukan dengan singkat untuk mengobati  gangguan neurologis akut atau peningkatan tekanan intrakranial yang  refrakter terhadap drainase cairan serebrospinal dan pemberian mannitol.
Second-tier  terapi adalah: 1) hiperventilasi agressif, 2) dosis tinggi barbiturat  dan, 3) craniektomi decompresif. Hiperventilasi agressif untuk mencapai  PaCO2 < 30 mmHg mungkin diperlukan untuk peningkatan tekanan  intrakranial yang tidak berespon terhadap first-tier terapi. Bila  digunakan aggresif hiperventilasi, pemantauan jugular venous oxygen  saturation (SJO2) atau cerebral tissue oxygenation dianjurkan untuk  menilai pengaruh penurunan aliran darah otak pada metabolisme oksigen  serebral.
Herniasi  otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat penyakit  intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera  kepala yang berkembang menjadi herniasi transtentorial, hanya 18%  mempunyai outcome yang baik, didefinisikan sebagai good recovery atau  moderate disability.
Secara  klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu  penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai  konsekwensi adanya massa hemisperic. Tanda pertama dan ketiga akan  hilang bila pasien dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan pupil  yang sering.
Pengelolaan  klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan hipertensi  intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan volume  darah otak yaitu dengan cara: berikan mannitol, hiperventilasi. Tambahan  tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi kepala head-up (supaya  drainase vena serebral baik), posisi leher netral (untuk menghindari  penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat, glukokortikoid  (hanya untuk tumor atau abses otak, tidak efektif untuk stroke dan  kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan terapi demam  (lakukan hipotermi ringan). Bila tekanan darah naik, harus dikurangi  secara hati-hati karena hipertensi umumnya sekunder bukan primer  (merupakan komponen dari trias Cushing).
Pengelolaan  pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak. Bila tidak ada tanda  herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus digunakan selama  transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan selama transportasi.  Agitasi, confus sering terdapat pada pasien cedera kepala dan memerlukan  pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai keterbatasan  untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT scan. Karena itu,  penggunaannnya pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah bila  pemberian sedatif saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan kemudahan  transportasi pasien. Bila akan digunakan pelumpuh otot, pakailah yang  masa kerjanya pendek. Tidak perlu mannitol karena dapat menimbulkan  hipovolemia. Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal optimal  oksigenasi dan normal ventilasi.
Pengelolaan  pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak. Bila ada tanda  herniasi transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya  neurologis yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan  untuk melakukan terapi agresif peningkatan tekanan intrakranial.  Hiperventilasi mudah dilakukan dengan meningkatkan frekuensi ventilasi  dan tidak tergantung pada sukses atau tidaknya resusitasi volume.  Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan memburuknya neurologis dan  hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol hanya bila volume  sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi mannitol.
2. Anestesi
Pasien  dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan intubasi  di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen datang ke  kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan  bebaskan jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa pasien ini  mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine  injury.
Beberapa  teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang stabil  menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat  dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun  prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial.  Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau  propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5  mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg  dapat diberikan pada pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada  pasien dengan hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau  tidak diberikan. Akan tetap, depresi kardiovaskuler selalu menjadi  pertimbangan, terutama pada pasien dengan hipovolemia.
Succinylcholin  dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis kecil pelumpuh  otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial,  akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi  merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan  intubasi yang cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang  memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya  pada dinamika intrakranial.
Bila  pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat  dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya  pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan  priming terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg  diperoleh kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl  1-4 ug/kg diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap  laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90  detik sebelum laringoskopi dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial.
Intubasi  dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan pasang  pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir  secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui  nasal disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat  menyebabkan masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.
Pemeliharaan  anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu menurunkan tekanan  intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat ke otak, dan  melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi berdasarkan  pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya  multiple trauma.
Tiopental  dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah otak, dan  tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini  berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak  akibat depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada  pasien yang respon terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan  pentobarbital mempunyai efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada  cedera kepala, iskemia merupakan sequele yang umum terjadi. Walaupun  barbiturat mungkin efektif pada brain trauma, tapi tidak ada penelitian  Randomized Controlled Trial yang menunjukkan secara definitif  memperbaiki outcome setelah cedera otak traumatika. Sebagai tambahan,  tiopental dapat mempunyai efek buruk bila tekanan darah turun.
3. Pascabedah 
Bila  pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi. Bila masih  tidak sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau nafas  spontan. Harus diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi  netral-head up, jalan nafas bebas sepanjang waktu, normokapni,  oksigenasi adekuat, normotensi, normovolemia, isoosmoler, normoglikemia,  normotermia (35-360C). Berikan fenitoin sampai 1 minggu pascabedah  untuk profilaksis kejang. Nutrisi enteral dimulai dalam 24 jam  pascabedah.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Olah Saga Citra; 2008.
2.      Bisri  T. Penentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation (SJO2) dan Cerebral  Extraction of Oxygen (CEO2) sebagai indikator utama proteksi otak pada  teknik anestesi untuk operasi cedera kepala. Disertasi. Universitas  Padjadjaran 2002.
Sumber info
