Agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan  sukses dibutuhkan kesiapan dalam menangani kejadian yang akut dan berat.  Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan  prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat. Seorang pasien wanita  umur 14 tahun datang ke UGD  RS dengan keluhan mata kanan tertusuk  pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Oleh dokter UGD, pasien  dikonsulkan kedr. Sp. M. oleh dr. Sp. M pasien direncanakan untuk  operasi emergency.Kemudian dilakukan general anestesi dengan tekhnik  anestesi yang digunakan yaitu GETA.
KASUS
Seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS pukul  09.42 dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien  tidak pingsan. Oleh dokter UGD, pasien dikonsulkan kedr. Sp. M. oleh dr. Sp. M pasien direncanakan untuk operasi emergency. Pada pemeriksaan didapatkan mata kanan tampak mata merah, berair, dan tampak corpal dikornea, konjungtiva tidak anemis dan ikterik.
Diagnosis 
Penetrating injury, ASA II Mallampati I
Terapi
Tatalaksana Repair cornea emergency 
Pasien tidak melalui proses preoperatif karena akan  dilakukan operasi emergency yang tidak mungkin dilakukan persiapan  emergency layaknya operasi elektif. Sebelum obat anestesi diberikan pasien tidak diberi premedikasi. Dilakukan Induksi dengan Propofol 100 mg. Teknik
GETA, ET no 7,5, menggunakan mayo, menggunakan cuff, kontrol respirasi.
Selama operasi berlangsung pasien diobservasi tekanan  darah, nadi dan pernapasannya. Pasien diberi anestesi inhalasi berupa  halothan, N2O dan O2. Nadi rata-rata 120 x/menit.
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan diobservasi berdasarkan Aldrete Score. Jika  Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa ada nilai 0 atau Aldrete Score > 9, maka  pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada pasien ini didapatkan Aldrete  Score 9.
 Program post operasi yaitu awasi vital sign dan kesadaran, pasien diposisikan tidur terlentang tanpa bantal sampai sadar, jika pasien sudah sadar penuh boleh minum secara bertahap, terapi lain-lain sesuai dokter bedah, jika terdapat emergensi lapor dokter anestesi.
DISKUSI
Pada kasus ini seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke  UGD RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien  tidak pingsan. Pasien direncanakan untuk operasi emergency. Anesthesia  untuk pasien yang harus dibedah secara darurat mempunyai kekhususan  karena keadaan umum pasiennya sangat bervariasi dari yang masih normal  sehat sampai yang menderita penyakit dasar berat yang kemudian masih  dibebani lagi dengan adanya kelainan bedahnya. Tidak hanya sampai disini  saja karena pemakaian obat-obatan juga dapat berinteraksi dengan  obat-obat anestesi.
Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada  kasus emergency adalah (1) keterbatasan waktu untuk menevaluasi pra  anesthesia yang lengkap (2) pasien sering dalam keadaan takut dan  gelisah (3) lambung sering berisi cairan dan makanan (4) sistem  hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk (5) menderita cedera  ganda (6) kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui  dengan jelas (7) riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui (8)  komplikasi yang ada kadang-kadang tidak dapat diobati dengan baik  sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan  mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan  bedah elektif.
Yang penting agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat  berjalan sukses adalah kesiapannya dalam menangani kejadian yang akut  dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan  kesiapan prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat.
Untuk persiapan pasiennya dengan mengurangi rasa takut dan  gelisah sangat penting dan sering dilupakan pada situasi darurat.  Walaupun hanya sebentar tapi penjelasan apa yang akan dilakukan akan  banyak menolong untuk membuat pasien tenang. Pengobatan terhadap  kelainan medis yang menyertai, kadang-kadang pada pasien bedah darurat  menderita juga penyakit lain yang belum terkontrol baik seperti asma,  hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes.
      Asma adalah penyakit saluran nafas dengan karakteristik reversible bronchospasme. Dengan gejala dyspnea, wheezing expiratory dan batuk. Sampai saat ini patogenisis  dan  etiologi asma belum diketahui dengan pasti namun berbagai penelitian  telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon  saluran nafas yang berlebihan. 
 Penerapan Anastesi pada Pasien Asma
Kunjungan  pra-anestesi dilakukan  sekurang kurangnya dalam waktu 24 jam sebelum tindakan anestesi.  Perkenalan dengan orangtua penderita sangat penting untuk memberi  penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesia yang dilakukan.  Pada kunjungan tersebut kita mengadakan penilaian tentang keadaan umum,  keaadaan fisik dan mental penderita. 
a.  Penilaian Prabedah / Pra Anastesi
     Anamnesis 
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia  sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang  perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya : alergi, mual muntah,  gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang  anestesi berikutnya dengan baik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah  relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan  tindakan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistemik  tentang keaadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi,  palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.  Pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada sistem  kardiopulmonal merupakan pemeriksaan klinis utama yang banyak membantu  dalam penilaian penderia asma. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui  frekuensi nafas, pola pernafasan, adanya wheezing/ronkhi. 
Pemeriksaan EKG
Selain untuk mengetahui tentang keadaan / penyakit jantung  terutama gambaran EKG dapat pula mengetahhui adanya pengaruh fungsi  paru.
Pemeriksaan Radiologis
Meliputi foto thorax dan CT-scan (bila perlu). Pemeriksaan ini bukan untuk menilai gangguan  fungsi paru tetapi penting untuk penunjang diagnosa penyakit paru,  tanda-tanda hiperinflasi paru dan penyakit jantung kongestif, juga untuk  membantu menetukan kelainan dirongga mediastinum(CT-scan).
Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan darah rutin, gula darah analisa gas darah. 
Tes Faal Paru
· Tanpa alat : walaupun sederhana tapi dapat memberikan informasi   mengenai fungsi pernafasan dan berguna sebagai penilaian “fronss for operation” seperti kemampuan naik tangga sambil bicara tanpa sesak nafas. Snider match test : kemampuan menahan nafas selama 30 detik.
· Memakai spirometer. 
Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari  The American Society of Anaesteshesiologist (ASA). Klasifikasi  fisik ini bukan alat prakiraan rasio anestesia, karena dampak samping  anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik,psikiatrik, biokimia.
Kelas II       : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III      : Pasien dengan penyakit sistemik berat , sehingga aktivitas rutin    terbatas.
Kelas IV    : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V       : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
Persiapan Pre Operatif
Puasa 
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi  isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan  resiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk  meminimalkan resiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk  operasi elektif harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama  periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Manajemen Perioperatif
Untuk anestesi dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat  asma, maka asma harus sudah terkontrol dan pasien tidak sedang menderita  infeksi atau serangan mengi berat. Jika pasien memakan obat secara  teratur, maka obat jangan dihentikan. Perhatian khusus harus diberikan  pad pasien yang menggunakan steroid, secara sistemik atau dengan  inhaler. 5
Bronchospasme dapat dirangsang oleh rasa cemas, nyeri,  obat-obatan, intubasi endotrakeal, benda asing atau iritasi. Obat-obatan  yang dikontraindikasin adalah:tubocurarrine dan anticolinesterase,  pentotal, morphin, papaverin, trimethapan dan beta bloker. 
Banyak obat-obatan yang bisa digunakan sebagai premidikasi  seperti diazepam,petidin, prometazin dan atropine, diperkirakan bebas  dari bronchospatik activity. Terapi bronchodilator dan steroid  diteruskan.
Teknik Anestesi
Bila memungkinkan, pilih regional anestesi dengan blok rendah dengan continous epidural dengan lidocaine 1% (hanya analgesia) sehingga otot pernapasan tidak terganggu. 
Jika diperlukan anestesi umum maka diberikan premedikasi dengan  antihistamin seperti prometazin bersama dengan hidrokortison 100 mg.  Yang penting hindari laringoskopi dan intubasi dengan anestesi yang  dangkal, karena dapat menyebabkan bronkospasme. Ketamin cukup baik untuk  induksi intravena, karena bersifat bronkodilator. Untuk tindakan  singkat, sebaiknya gunakan teknik masker wajah setelah induksi dan  hindarilah intubasi. Gunakan oksigen dengan konsentrasi 30% atau lebih  untuk udara inspirasi. Jika dibutuhkan intubasi, maka perdalam anestesi  dengan inhalasi, kemudian lakukan intubasi tanpa relaksan otot.  Pada pasien yang dianestesi dalam dapat dilakukan laringoskopi tanpa menyebabkan bronkospasme bila diintubasi. Vecuronium mungkin diberikan sebagai relaksan otot yang baik karena tidak melepaskan histamin. Eter  dan hallotan merupakan broncodilator yang baik, tetapi eter mempunyai  kelebihan, yaitu bila terjadi bronkospasme, epinefrin(0,5 mg subkutan)  bisa diberikan dengan aman (tapi hal ini berbahaya bila diberikan  bersamaan dengan hallotan atau trikloretilen, karena dapat menyebabkan  gangguan irama jantung akibat efek katekolamin). Sebagai alternatif  pengganti epinefrin, dapat diberikan aminofilin 250 mg intravena secara  pelan-pelan untuk dewasa ; obat ini cocok dengan semua obat inhalasi. 
Pada akhir tindakan bila memakai intubasi, lakukan ekstubasi  dalam posisi miring dan dengan anestesi dalam, karena stimulasi laring  dapat mengakibatkan bronkospasme.
d.  Perawatan Post Operatif
Pemberian analgesia yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya  obat anti asma masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa steroid  intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan brokodilator  nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat bernafas  dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila  terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat  pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif  (ICU). 
KESIMPULAN
Pada kasus ini seorang pasien wanita umur 14 tahun datang  ke UGD RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya.  Pasien tidak pingsan. Pasien direncanakan untuk operasi emergency. Agar  pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses dibutuhkan  kesiapan dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam  hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur dasar  tindakan pertolongan gawat darurat.
Pada pasien asma pemberian ketorolac sebagai analgesik yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya  obat dexamethason masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa  dexamethason intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan  brokodilator nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat  bernafas dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila  terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat  pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif  (ICU). 
REFERENSI
1. Muhiman,  M., Thaib, R., Sunatrio, S., Dahlan, R. (1989). Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Sudoyo, Aru W.. (2006), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Latief, S. A., Suryadi, K. A.,  Dachlan, R., 2007, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua, Bagian  Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas  Indonesia, Jakarta. 
4. Akademi Keperawatan Anestesi Surabaya, 1998, Materi Kursus Penyegar Ilmu Anestesi.
5. Dobson, Michael B., 1994, Penuntun Praktis Anestesi, EGC, Jakarta.  
6. Dr Michael Mercer. Anaesthesia For The Patient With Respiratory Disease, http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u12/u1212_01.htm
PENULIS
Eron Dowana Patria N, Program profesi Pendidikan Dokter. Bagian Ilmu Anestesi & Reanimasi. RSUD Wirosaban, 2010.
Sumber berita
