Kamis, 28 Juli 2011

ANESTESIA PADA PASIEN EMERGENCY DENGAN RIWAYAT ASMA

Agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses dibutuhkan kesiapan dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat. Seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD  RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Oleh dokter UGD, pasien dikonsulkan kedr. Sp. M. oleh dr. Sp. M pasien direncanakan untuk operasi emergency.Kemudian dilakukan general anestesi dengan tekhnik anestesi yang digunakan yaitu GETA.



KASUS
Seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS pukul 09.42 dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Oleh dokter UGD, pasien dikonsulkan kedr. Sp. M. oleh dr. Sp. M pasien direncanakan untuk operasi emergency. Pada pemeriksaan didapatkan mata kanan tampak mata merah, berair, dan tampak corpal dikornea, konjungtiva tidak anemis dan ikterik.
Diagnosis
Penetrating injury, ASA II Mallampati I

Terapi
Tatalaksana Repair cornea emergency
Pasien tidak melalui proses preoperatif karena akan dilakukan operasi emergency yang tidak mungkin dilakukan persiapan emergency layaknya operasi elektif. Sebelum obat anestesi diberikan pasien tidak diberi premedikasi. Dilakukan Induksi dengan Propofol 100 mg. Teknik
GETA, ET no 7,5, menggunakan mayo, menggunakan cuff, kontrol respirasi.
Selama operasi berlangsung pasien diobservasi tekanan darah, nadi dan pernapasannya. Pasien diberi anestesi inhalasi berupa halothan, N2O dan O2. Nadi rata-rata 120 x/menit.
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan diobservasi berdasarkan Aldrete Score. Jika Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa ada nilai 0 atau Aldrete Score > 9, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada pasien ini didapatkan Aldrete Score 9.
 Program post operasi yaitu awasi vital sign dan kesadaran, pasien diposisikan tidur terlentang tanpa bantal sampai sadar, jika pasien sudah sadar penuh boleh minum secara bertahap, terapi lain-lain sesuai dokter bedah, jika terdapat emergensi lapor dokter anestesi.


DISKUSI
Pada kasus ini seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Pasien direncanakan untuk operasi emergency. Anesthesia untuk pasien yang harus dibedah secara darurat mempunyai kekhususan karena keadaan umum pasiennya sangat bervariasi dari yang masih normal sehat sampai yang menderita penyakit dasar berat yang kemudian masih dibebani lagi dengan adanya kelainan bedahnya. Tidak hanya sampai disini saja karena pemakaian obat-obatan juga dapat berinteraksi dengan obat-obat anestesi.
Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus emergency adalah (1) keterbatasan waktu untuk menevaluasi pra anesthesia yang lengkap (2) pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah (3) lambung sering berisi cairan dan makanan (4) sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk (5) menderita cedera ganda (6) kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (7) riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui (8) komplikasi yang ada kadang-kadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bedah elektif.
Yang penting agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses adalah kesiapannya dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat.
Untuk persiapan pasiennya dengan mengurangi rasa takut dan gelisah sangat penting dan sering dilupakan pada situasi darurat. Walaupun hanya sebentar tapi penjelasan apa yang akan dilakukan akan banyak menolong untuk membuat pasien tenang. Pengobatan terhadap kelainan medis yang menyertai, kadang-kadang pada pasien bedah darurat menderita juga penyakit lain yang belum terkontrol baik seperti asma, hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes.
      Asma adalah penyakit saluran nafas dengan karakteristik reversible bronchospasme. Dengan gejala dyspnea, wheezing expiratory dan batuk. Sampai saat ini patogenisis  dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran nafas yang berlebihan. 

 Penerapan Anastesi pada Pasien Asma
Kunjungan  pra-anestesi dilakukan sekurang kurangnya dalam waktu 24 jam sebelum tindakan anestesi. Perkenalan dengan orangtua penderita sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesia yang dilakukan. Pada kunjungan tersebut kita mengadakan penilaian tentang keadaan umum, keaadaan fisik dan mental penderita. 
a.  Penilaian Prabedah / Pra Anastesi
     Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya : alergi, mual muntah, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan baik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keaadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien. Pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada sistem kardiopulmonal merupakan pemeriksaan klinis utama yang banyak membantu dalam penilaian penderia asma. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui frekuensi nafas, pola pernafasan, adanya wheezing/ronkhi. 
Pemeriksaan EKG
Selain untuk mengetahui tentang keadaan / penyakit jantung terutama gambaran EKG dapat pula mengetahhui adanya pengaruh fungsi paru.
Pemeriksaan Radiologis
Meliputi foto thorax dan CT-scan (bila perlu). Pemeriksaan ini bukan untuk menilai gangguan fungsi paru tetapi penting untuk penunjang diagnosa penyakit paru, tanda-tanda hiperinflasi paru dan penyakit jantung kongestif, juga untuk membantu menetukan kelainan dirongga mediastinum(CT-scan).
Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan darah rutin, gula darah analisa gas darah.
Tes Faal Paru
· Tanpa alat : walaupun sederhana tapi dapat memberikan informasi   mengenai fungsi pernafasan dan berguna sebagai penilaian “fronss for operation” seperti kemampuan naik tangga sambil bicara tanpa sesak nafas. Snider match test : kemampuan menahan nafas selama 30 detik.
· Memakai spirometer. 
Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari  The American Society of Anaesteshesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan rasio anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik,psikiatrik, biokimia.
Kelas II       : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III      : Pasien dengan penyakit sistemik berat , sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV    : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V       : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

Persiapan Pre Operatif
Puasa
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan resiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan resiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.

Manajemen Perioperatif
Untuk anestesi dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat asma, maka asma harus sudah terkontrol dan pasien tidak sedang menderita infeksi atau serangan mengi berat. Jika pasien memakan obat secara teratur, maka obat jangan dihentikan. Perhatian khusus harus diberikan pad pasien yang menggunakan steroid, secara sistemik atau dengan inhaler. 5
Bronchospasme dapat dirangsang oleh rasa cemas, nyeri, obat-obatan, intubasi endotrakeal, benda asing atau iritasi. Obat-obatan yang dikontraindikasin adalah:tubocurarrine dan anticolinesterase, pentotal, morphin, papaverin, trimethapan dan beta bloker. 
Banyak obat-obatan yang bisa digunakan sebagai premidikasi seperti diazepam,petidin, prometazin dan atropine, diperkirakan bebas dari bronchospatik activity. Terapi bronchodilator dan steroid diteruskan.

Teknik Anestesi
Bila memungkinkan, pilih regional anestesi dengan blok rendah dengan continous epidural dengan lidocaine 1% (hanya analgesia) sehingga otot pernapasan tidak terganggu.
Jika diperlukan anestesi umum maka diberikan premedikasi dengan antihistamin seperti prometazin bersama dengan hidrokortison 100 mg. Yang penting hindari laringoskopi dan intubasi dengan anestesi yang dangkal, karena dapat menyebabkan bronkospasme. Ketamin cukup baik untuk induksi intravena, karena bersifat bronkodilator. Untuk tindakan singkat, sebaiknya gunakan teknik masker wajah setelah induksi dan hindarilah intubasi. Gunakan oksigen dengan konsentrasi 30% atau lebih untuk udara inspirasi. Jika dibutuhkan intubasi, maka perdalam anestesi dengan inhalasi, kemudian lakukan intubasi tanpa relaksan otot.  Pada pasien yang dianestesi dalam dapat dilakukan laringoskopi tanpa menyebabkan bronkospasme bila diintubasi. Vecuronium mungkin diberikan sebagai relaksan otot yang baik karena tidak melepaskan histamin. Eter dan hallotan merupakan broncodilator yang baik, tetapi eter mempunyai kelebihan, yaitu bila terjadi bronkospasme, epinefrin(0,5 mg subkutan) bisa diberikan dengan aman (tapi hal ini berbahaya bila diberikan bersamaan dengan hallotan atau trikloretilen, karena dapat menyebabkan gangguan irama jantung akibat efek katekolamin). Sebagai alternatif pengganti epinefrin, dapat diberikan aminofilin 250 mg intravena secara pelan-pelan untuk dewasa ; obat ini cocok dengan semua obat inhalasi.
Pada akhir tindakan bila memakai intubasi, lakukan ekstubasi dalam posisi miring dan dengan anestesi dalam, karena stimulasi laring dapat mengakibatkan bronkospasme.

d.  Perawatan Post Operatif
Pemberian analgesia yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya obat anti asma masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa steroid intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan brokodilator nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat bernafas dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif (ICU). 

KESIMPULAN
Pada kasus ini seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Pasien direncanakan untuk operasi emergency. Agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses dibutuhkan kesiapan dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat.
Pada pasien asma pemberian ketorolac sebagai analgesik yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya obat dexamethason masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa dexamethason intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan brokodilator nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat bernafas dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif (ICU). 

REFERENSI
1. Muhiman,  M., Thaib, R., Sunatrio, S., Dahlan, R. (1989). Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Sudoyo, Aru W.. (2006), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, R., 2007, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Akademi Keperawatan Anestesi Surabaya, 1998, Materi Kursus Penyegar Ilmu Anestesi.
5. Dobson, Michael B., 1994, Penuntun Praktis Anestesi, EGC, Jakarta. 
6. Dr Michael Mercer. Anaesthesia For The Patient With Respiratory Disease, http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u12/u1212_01.htm

PENULIS
Eron Dowana Patria N, Program profesi Pendidikan Dokter. Bagian Ilmu Anestesi & Reanimasi. RSUD Wirosaban, 2010.
Sumber berita