Senin, 20 Februari 2012

Nyeri Kepala Paska Trauma

Latar Belakang
Statistik negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma kapitis mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang mengakibatkan seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut trauma kapitis. Di luar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kapitis terjadi karena kecelakaan lalu-lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan, 40%-50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dari mereka yang dimasukkan ke rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dunia dalam satu hari dan 35% meninggal dalam satu minggu perawatan.
Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat trauma kapitis, maka 50% ternyata disebabkan oleh trauma secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada trauma. Komplikasi ini berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral, perubahan-perubahan yang menyangkut sistem kardiopulmoner yang bisa menimbulkan gangguan pada tekanan darah, PO2 arterial atau keseimbangan asam-basa.
Trauma berarti luka atau jejas. Trauma bisa timbul akibat gaya mekanik, tetapi bisa juga karena gaya non-mekanik. Walaupun kebanyakan trauma bersifat mekanik, namun adalah penting juga untuk sekaligus dibahas efek trauma non-mekanik terhadap susunan saraf, oleh karena masih belum mendapat perhatian yang semestinya (Sidharta, 2000).
Salah satu akibat yang sering dikeluhkan oleh penderita paska trauma adalah adanya nyeri kepala. Namun karena seringnya didengar dan karena biasanya dikemukakan secara samar-samar, maka keluhan ini justru termasuk keluhan atau gejala yang pada umumnya masih dianggap ringan dan tidak ditanggapi secara tepat. Sebagaimana diketahui, kualitas dan intensitas rasa nyeri dipengaruhi oleh kepribadian penderita, ambang rasa nyeri, serta faktor-faktor psikologis. Sebenarnya masih banyak hal-hal yang belum jelas, baik patogenesis maupun pengobatannya. Sebagian penderita dapat ditolong dengan pemberian obat-obat golongan analgetik meskipun penyebabnya belum jelas diketahui, dan sebagian lagi ternyata benar-benar disebabkan oleh penyebab yang dapat mengancam kehidupan penderita. Berdasarkan kenyataan ini hendaknya setiap keluhan nyeri kepala dianggap mempunyai dasar organik, meskipun pada sebagian penderita terdapat juga faktor etiologi yang bersifat psikologik (Harsono, 1996).
Kontusio dan komosio serebri bahkan trauma kapitis ringan seringkali dihubungkan dengan ‘sakit kepala’, ‘pusing kepala’ dan keluhan-keluhan lainnya yang menyangkut kepala. Bila dari anamnesa diketahui benar bahwa keluhan-keluhan itu timbul setelah mengidap trauma kapitis, maka perhatian dan analisa harus diarahkan kepada kemungkinan adanya perdarahan subdural subakut, ‘shunt’ arteriovenosa post-traumatik,’whiplash injury’ dan kerusakan kulit kepala setempat. Apabila masih diragukan, bahkan terungkap bahwa sebelum kecelakaan memang ‘sakit kepala’ seringkali menjadi pendorong untuk mengunjungi dokter, maka ‘sakit kepala’ ini merupakan gejala bagian dari sindroma pasca trauma kapitis yang bersifat neurotik (Sidharta, 1999). Gejala neurosis pasca trauma adalah mudah tersinggung, insomnia, mudah marah, sulit untuk konsentrasi, kehilangan rasa percaya diri, kecemasan dan merasa cepat lelah. Patogenesis neurosis pasca trauma masih dipertanyakan apakah berdasar kelainan organik ataukah merupakan reaksi psikologis terhadap trauma. Berat ringan dan lamanya gejala tergantung pada beberapa faktor, antara lain kepribadian premorbid penderita (Sidharta, 1999).
 
Definisi
Nyeri kepala pasca trauma merupakan nyeri yang berlokasi di atas garis orbitomeatal yang timbul akibat sebelumnya terjadi suatu trauma pada kepala (Harsono, 1996). Literatur lain mendefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di dalam atau di sekitar tulang kepala termasuk nyeri di belakang mata dan pada sambungan antara tengkuk dengan bagian belakang kepala. Dalessio membagi nyeri kepala dalam dua kategori yakni: (1) nyeri kepala yang berkaitan dengan penyakit neurologi dan (2) nyeri kepala yang tidak disertai dengan perubahan struktur sistem saraf yang jelas.
Kategori pertama disebut nyeri kepala organik dan yang kedua disebut nyeri kepala fungsional (Wibowo, 2003). Ahli lain memakai istilah nyeri kepala yang digunakan untuk mencakup pelbagai penyebab nyeri fasial di samping nyeri kepala yang lebih lazim dirasakan (Mattingly, 1996).
 
Etiologi
Kepala dengan bangunan intrakranial (didalam rongga tengkorak), dapat mengalami jejas (injury) oleh tenaga percepatan/akselerasi (kepala mendadak bergerak linier), perlambatan/deselerasi (kecepatan linier menddak berkurang), rotasi (gerak berputar mendadak dari tengkorak dan isinya) dan penetrasi oleh suatu benda, misalnya peluru. Tenaga akselerasi dan deselerasi mengakibatkan jejas pada isi intrakranial, karena terdapat perbedaan gerakan pada tulang tengkorak dan otak.
Dasar lobus frontal dapat mengalami kerusakan oleh gesekan dengan permukaan yang kasar dari fossa anterior, dan puncak lobus temporalis dapat rusak oleh pinggiran tulang sfenoid. Korpus kalosum dapat rusak oleh pinggiran falks serebri. Kontak dengan tentorium serebeli dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dibagian seberang (countercoup).
Rotasi kepala dapat mengakibatkan tenaga merobek di dalam otak dengan robekan yang difus pada akson di substansia alba di pusat hemisfer. Pembuluh darah dan selaput otak dapat juga rusak melalui mekanisme ini.
Hantaman traumatik dapat mengakibatkan hemoragi intrakranial, seperti hematoma epidural, hematoma subdural, perdarahan subarakhnoid, hematoma intraserebral, hematoma intraserebellar, rhinore dan othore traumatik (Lumbantobing, 2003).
 
Klasifikasi
Masing-masing mekanisme trauma membentuk tipe cedera yang khas sehingga karenannya terdapaat banyak faktor yang patut dipertimbangkan untuk menduga cedera apa yang terjadi akibat adanya suatu beban mekanis tertentu. Dalam hal ini antara lain adalah sifat, derajat, lokasi, dan arah beban mekanis kiranya berperan penting, sedangkan respon kepala terhadap adanya beban tersebut cenderung menentukan struktur mana yang terlibat serta perluasan dari cedera itu sendiri. Cedera kepala secara keseluruhan bukan hanya tergantung dari kerusakan mekanis primer saja, melainkan juga ditentukan oleh kompleks interaksi berbagai peristiwa patofisiologi yang berlangsung kemudian.
Berdasarkan patologi cedera kepala dikelompokkan menjadi :
1. Cedera kepala primer
1. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, namun biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kecacatan neurologis. Cedera pada otak kebanyakan merupakan akibat trauma langsung pada vaskuler atau saraf, atau tidak langsung sebagai akibat dari efek massa.
2. Cedera fokal
Merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira separuh dari cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusio kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
3. Cedera otak difusa
Pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, dimana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak makroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedera ini juga dikenal dengan nama cedera aksonal difusa.
2. Kerusakan otak sekunder
1. Gangguan sistemik, akibat :
a. Hipoksia-hipotensi
b. Gangguan metabolisme energi
c. Kegagalan otoregulasi
2. Hematom traumatika
a. Hematom epidural
b. Hematom subdural (akut dan kronis)
c. Efusi subdural (akut dan kronis)
d. Hematom intraserebral
3. Edema serebral
a. Perifokal
b. Generalisata
4. Pergeseran batang otak (Brain shift)- Herniasi batang otak
Klasifikasi klinis cedera kepala dikelompokkan atas empat gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostik klinis penanganan dan prognosisnya, yaitu :
· Tingkat I
Bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma, dan kemdian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik. Dan tidak ada defisit neurologis.
· Tingkat II
Kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya defisit neurologis fokal.
· Tingkat III
Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana) sama sekali. Penderita masih bisa bersuara, namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi-deserebrasi.
· Tingkat IV
Tidak ada fungsi neurologis sama sekali.(Djoko Listiono, 1998)
Klasifikasi trauma kranio serebral berdasarkan manajemen non operatif cedera kranioserebral, yaitu :
1. Patofisiologii
  1. Komusio serebri
  2. Kontusio serebri
  3. Laserasi serebri
2. Lokasi lesi
a. Lesi difus
b. Lesi kerusakan vaskular otak
c. Lesi fokal
· Kontusio dan laserasi serebri
· Hematom intrakranial : - Hematom ekstradural (hematom epidural)/EDH
- Hematom subdural/SDH
· Hematom intradural : - Hematom subaraknoid/SAH
- Hematom intraserebral
(Lyna Soertidewi, 2003)
International Headache Society (IHS) tahun 1988 membuat klasifikasi nyeri kepala. Untuk pelayanan kesehatan primer nyeri kepala dapat dibagi menjadi dua kategori besar yakni ; (1) nyeri kepala primer, ini bersifat kekambuhan dan jinak yang menempati 90% nyeri kepala dan (2) nyeri kepala sekunder, merupakan simtom dari penyakit dasar yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut dan mungkin merupakan nyeri rujukan.
Klasifikasi nyeri kepala menurut IHS sebagai berikut :
1. Migren
a. Migren tanpa aura
b. Migren dengan aura
c. Migren oftalmoplegik
d. Migren retinal
e. Sindrom periodik masa kanak-kanak yang mungkin mendahului atau terkait migren
f. Komplikasi migren : - status migranosus
- infark migren
g. Kelainan migren yang tidak memenuhi kriteria tersebut diatas
2. Nyeri kepala tipe tegang (Tension-type Headache)
a. Nyeri kepala tipe teganng episodik
b. Nyeri kepala tipe tegang kronik
c. Nyeri kepala yang tidak memenuhi kriteria tersebut diatas
3. Nyeri kepala Cluster (Cluster headache) dan Hemikrania Paroksismal Kronik (Chronic Paroxismal Hemicrania)
4. Nyeri kepala lain
a. Nyeri kepala seperti tertikam idiopatik (Idiopatic stabbing headache)
b. Nyeri kepala kompresi eksternal
c. Nyeri kepala stimulasi dingin
d. Nyeri kepala bentuk benigna (Benign cough headache)
e. Nyeri kepala eksersional benigna (Benign exertional headache)
f. Nyeri kepala terkait aktivitas seksual
5. Nyeri kepala terkait dengan trauma kepala
a. Nyeri kepala pasca trauma akut
b. Nyeri kepala pasca trauma kronik
6. Nyeri kepala terkait dengan kelainan vaskkuler
a. Kelainan serebrovaskuler iskemik akut
b. Hematoma intrakranial
c. Hemoragi subarakhnoid
d. Malformasi vaskuler tidak ruptur
e. Arteritis
f. Nyeri karotis atau arteri vertebral
g. Trombosis vena
h. Hipertensi arterial
i. Nyeri kepala terkait dengan kelainan vaskuler lain
7. Nyeri kepala terkait dengan kelainan intrakranial non vaskuler
a. Tekanan cairan serebrospinal tinggi
b. Tekanan cairan serebrospinal rendah
c. Infeksi intrakranial
d. Sarkoidosis intrakranial atau penyakit inflamasi non-infeksi
e. Nyeri kepala behubungan dengan injeksi intratekal
f. Neoplasma intrakranial
g. Nyeri kepala terkait dengan kelainan intrakranial lain
8. Nyeri kepala terkait dengan bahan kimia atau putusnya penggunaan
a. Nyeri kepala akibat penggunaan atau paparan bahan kimia akut
b. Nyeri kepala akibat penggunaan atau paparan bahan kimia kronik
c. Nyeri kepala akibat putus obat (bahan kimia), setelah penggunaan akut
d. Nyeri kepala akibat putus obat (bahan kimia), setelah penggunaan kronis
9. Nyeri kepala terkait infeksi nonsefalik
a. Infeksi virus
b. Infeksi bakterial
c. Nyeri kepala terkait infeksi lain
10. Nyeri kepala terkait kelainan metabolik
a. Hipoksia
b. Hiperkapnia
c. Campuran hipoksia dan hiperkapnia
d. Hipoglikemia
e. Dialisis
11. Nyeri kepala atau nyeri wajah terkait dengan kelainan kranium, leher, mata, telinga, hidung, sinus, mulut, gigi, atau struktur wajah dan kranial lain
a. Tulang kepala
b. Leher
c. Mata
d. Telinga
e. Hidung dan sinis-sinus
f. Gigi, rahang, dan struktur yang berhubungan
g. Penyakit sendi temporomandibuler
12. Neuralgia kranial, nyeri serabut saraf, dan nyeri deaferentasi
a. Nyeri menetap bersumber saraf kranial
b. Neuralgia terminal
c. Neuralgia glosofaringeal
d. Neuralgia nervus intermedius
e. Neuralgia laringeal superior
f. Neuralgia oksipital
g. Penyebab sentral nyeri kepala dan wajah selain tic douloureux
h. Nyeri wajah yang tidak memenuhi kriteria grup 11 dan 12
13. Nyeri kepala tidak terklasifikasi (MOH Clinical Practise Guidelines 5/2000). Annegers et al membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia pasca trauma, yang dapat dibagi menjadi :
1. Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung kurang dari 30 menit.
2. Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.
3. Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.
Marion et al membagi cedera kepala untuk kepentingan uji klinik berdasarkan data objektif yaitu dengan penilaian skala koma glasgow.
 
Patofisiologi
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit. Pada garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban dinamik. Beban statik timbul berlahan-lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan diterapkan pada kepala secara bertahap. Walaupun sebenarnya mekanisme ini tidak lazim, namun hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Bila kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat mengakibatkan terjadinya keretakkan tulang (egg-shell fracture), fraktur multipel atau kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak. Biasanya koma atau defisit neurologis yang khas masih belum tampil, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme trauma yang lebih umum terjadi adalah akibat beban dinamik, di mana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (kurang dari 200 mili detik). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi. Beban dinamik ini dibagi menjadi dua jenis: yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact loading).
Beban guncangan terjadi bila kepala diguncang secara mendadak atau sebaliknya, bila kepala yang sedang bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan atau impak. Peristiwa ini bukanlah suatu hal yang jarang terjadi, mengingat bahwa pukulan pada dada atau muka kerap mengakibatkan goncangan kepala yang hebat, di mana hal ini tidak ada benturan pada tengkorak ataupun kontak tenaga sama sekali.
Beban benturan merupakan jenis beban dinamik yang lebih sering terjadi dan biasanya merupakan kombinasi kekuatan beban kontak (contact forces) dan kekuatan beban lanjut (inertial forces). Respon kepala terhadap beban-beban ini tergantung dari obyek yang membentur kepala. Efek awal dapat sangat minimal pada beban tertentu, terutama bila kepala dijaga sedemikian lupa sehingga ia tidak bergerak waktu kena benturan. Sebaliknya, akibat yang paling hebat dapat terjadi bila energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar tenaga kontak dean selanjutnya menimbulkan efek gabungan yang dikenal sebagai fenomena kontak.
Fenomena kontak adalah suatu kelompok peristiwa mekanis yang timbul di dekat (namun terpisah) dari titik benturan. Fenomena ini tergantung dari ukuran alat pembentur dan arah tenaga pada titik benturan (dalam hal ini ditentukan oleh massa, permukaan, kecepatan dan kekerasan obyek). Dengan demikian selanjutnya akan menimbulkan suatu corak hantaran energi benturan tertentu pada kepala. Obyek-obyek yang lebih besar dari lima sentimeter kuadrat akan mengakibatkan deformitas lokal tengkorak yang cenderung melekuk ke dalam tepat pada daerah benturan dan mencuat keluar pada daerah perifernya. Bila derajat deformitas lokal tersebut melebihi toleransi tengkorak, akan terjadi fraktur. Penetrasi, perforasi atau fraktur depres lokal kebanyakan disebabkan oleh obyek-obyek dengan permukaan yang luasnya kurang dari lima centimeter kuadrat. Di samping hal-hal tersebut diatas, sebagai tambahan peristiwa mekanisme rudapaksa, juga terdapat suatu gelombang hantaman yang berasal dari titik benturan dalam kecepatan benturan dalam kecepatan gelombang suara yang menembus langsung ke dalam substansi otak. Gelombang ini menyebabkan kerusakan jaringan lokal, yang kemudian pada akhirnya dapat mengakibatkan distorsi jaringan dan kerusakan intraparenkim otak serta biasanya tampil dalam bentuk perdarahan kecil-kecil.
Trauma (strain) merupakan penyebab utama jejas jaringan, baik yang diakibatkan oleh beban goncangan maupun beban benturan. Ada tiga jenis cedera yang dapat timbul, yaitu: kompresi (compression), regangan (tension), dan robekan (shear). Jenis jejas yang terjadi ditentukan oleh tipe dan lokasi cedera dan kemampuan jaringan untuk menahannya. Cedera dapat diartikan juga sebagai jumlah deformitas jaringan yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis. Cedera dinamik terjadi pada keadaan-keadaan di mana beban hanya berlangsung singkat saja dan mekanisme peristiwa ini lebih rumit sehubungan dengan adanya sifat biologis jaringan yang disebut viscoelastisitas, dalam hal ini jaringan biologis yang proses deformasinya berlangsung lebih lambat akan dapat menahan cedera lebih baik. Adapun jaringan-jaringan utama yang terlibat dalam peristiwa cedera kepala adalah tulang, jaringan vaskular dan jaringan otak di mana masing-masing mempunyai toleransi terhadap deformitas yang berbeda-beda. Dalam hal ini tulang dianggap sebagai jaringan yang terkuat dibandingkan dengan vaskular atau otak, sehingga untuknya diperlukan kekuatan cedera yang lebih besar untuk melukainya (Satyanegara, 1998).
Trauma kepala dapat langsung, misalnya kepala terbentur tembok, atau tidak langsung, misalnya bila pengemudi mobil yang lari kencang tiba-tiba berhenti mendadak atau menabrak. Dengan kata lain cedera otak dapat terjadi karena benturan atau guncangan. Pada suatu benturan dapat diidentifikasikan beberapa macam kekuatan: (1) Konmpresi, sebagai contoh bila kepala dalam keadaan diam, bersandar pada tembok, mendapat gaya; (2) Akselerasi, contohnya bola kepala yang bebas bergerak menerima gaya, dapat pada kepala atau badan; (3) Deselerasi, terjadi bila kepala yang bergerak cepat, mendadak berhenti; (4) Gelombang kejut (shock wave), dipancarkan dari tempat benturan kesegala arah, baik lewat jaringan otak maupun lewat tulang kepala.
Dalam suatu benturan sulit dibedakan mana yang paling berperan. Ini tergantung pada kejadian benturan itu sendiri, besarnya permukaan benturan serta kecepatan gaya yang bekerja (Kasan, 1991).
Lesi yang dapat timbul setelah terjadinya trauma kepala adalah :
  1. Kulit kepala robek atau mengalami perdarahan subkutan
  2. Otot-otot dan tendo pada kepala mengalami kontusio
  3. Perdarahan terjadi di bawah galea aponeurotika
  4. Tulang tengkorak patah
  5. Gegar otak (komosio serebri)
  6. Edema serebri traumatik
  7. Kontusio serebri
  8. Perdarahan subarakhnoidal
  9. Perdarahan epidural
  10. Perdarahan subdural (Harsono, 1996).
Keluhan nyeri kepala mengharuskan orang mengetahui struktur peka nyeri yang ada di dalam kepala. Bangunan-bangunan yang peka nyeri ialah sebagai berikut : (1) semua struktur ekstrakranial terutama arteri, (2) sinus-sinus vena besar dan percabangan dari permukaan otak, (3) bagian duramater pada dasar otak, (4) arteri meningeal dan arteri serebral besar pada dasar otak dan (5) saraf kranial V, IX, X dan 3 saraf servikal atas. Sementara kranium, parenkim otak, sebagian duramater, hampir semua piaarakhnoid, dan ependimal yang melapisi ventrikel dan pleksus khoroideus tidak sensitif terhadap stimuli mekanis, termal, elektrikal, atau kimiawi. Delessio membuat tabel sebagai berikut;
1. Jaringan kranial peka nyeri :
Intrakranial :
  1. Sinus kranial dan vena aferen
  2. Arteri-arteri duramater
  3. Arteri dasar otak dan cabang-cabang besarnya
  4. Bagian-bagian duramater (sekitar pembuluh darah besar)
Ekstrakranial :
  1. Kulit, kulit kepala, fasia, otot-otot
  2. Mukosa
  3. Arteri (vena: kurang sensitif)
Saraf :
  1. Trigeminal, fasial, glossofaringeal, vagal
  2. Saraf servikal II dan III
2. Bangunan tidak peka nyeri :
  1. Parenkim otak
  2. Ependimal, pleksus khoroideus
  3. Piamater, membran arakhnoid, bagian-bagian lain duramater
  4. Tulang kepala (periosteum: sedikit peka)
Stimulasi struktur peka nyeri pada atau diatas permukaan superior tentorium serebeli menimbulkan nyeri pada bagian kepala sebelah depan garis yang ditarik dari telinga menyilang puncak kepala, sedangkan stimulasi struktur pada atau dibawah permukaan inferior tentorium serebeli biasanya menimbulkan nyeri dibelakang garis tersebut diatas, tetapi lokasi tertentu dapat berproyeksi pada kening atau belakang mata. Telah diketahui bahwa nosisepsi dari struktur supratentorial diperantarai oleh saraf trigeminus, sementara impuls nosiseptif dari stimulasi struktur infra tentorial dihantarkan oleh serabut aferen saraf kranial V, IX, X dan tiga saraf servikal atas (Wibowo, 2003).
Pada gegar otak, kehilangan kesadaran dan riwayat cedera mendominasi gambaran klinik. Kebanyakan orang yang menderita cedera kepala akan merasakan nyeri setempat atau nyeri tekan setempat pada lokasi benturan selama beberapa jam atau bahkan beberapa hari setelah kejadian tersebut. Nyeri kepala pasca trauma ini sering disebabkan oleh cedera jaringan setempat ekstrakranial dan kontraksi terus menerus otot kulit kepala serta leher. Keadaan ini bisa terjadi akibat torsi vetebra servikalis serta otot-otot yang melekat pada tulang vertebra tersebut, dan lazim ditemukan setelah seseorang menderita ‘whiplash injury’. Peristiwa terakhir ini sering terkadi pada kecelakaan lalu-lintas dimana gaya dorong ke muka dan tubuh yang tertahan pada kursi mobil dapat mengakibatkan regangan ligamentum atau persendian intervertebralis servikal, cedera memar pada cabang oksipitalis mayor dari nervus servikalis kedua, fraktur pada tulang vertebra atau protrusio diskus intervertebralis. Nyeri kepala hebat yang mulai timbul beberapa jam atau beberapa hari setelah gegar otak, harus dipikirkan pula sebagai suatu pertanda penting adanya perdarahan epidural (Mattingly, 1996).
Kebanyakan orang menderita nyeri kepala sekali waktu. Rasa nyeri di dalam kepala, seperti halnya nyeri di bagian lain, akan dihantarkan ke korteks serebri oleh serabut-serabut saraf sensorik: nyeri kepala dapat mempunyai distribusi permukaan yang terlokalisasi atau terasa menyeluruh (difus) di dalam kepala sebagai suatu kesatuan. Nervus yang terutama terlibat adalah:
  1. Nervus trigeminus atau vervus kranialis ke lima yang mempersarafi wajah dan bangunan di bawahnya, bagian dua per tiga anterior kulit kepala dan periosteum di bawahnya di luar tulang tengkorak. Di dalam tengkorak, nervus ini mempersarafi duramater dan pembuluh darah pada fosa anterior dan media di depan tentorium serebeli.
  2. Tiga nervus servikalis pertama yang mempersarafi bagian sepertiga posterior kulit kepala serta periosteum dan muskulus trapezeus di luar tengkorak. Di dalam tengkorak, ketiga saraf ini mempersarafi duramater di sebelah posterior tentorium dan pembuluh-pembuluh darah pada fosa posterior (Mattingly, 1996).
Penatalaksanaan
Tipe sakit kepala yang sering dijumpai pada pasien post-trauma biasanya meliputi: (1) sakit kepala tipe migraine yang biasanya lebih berat, dan (2) sakit kepala tipe tegang (tension-type headache) yang dapt timbul sepanjang hari maupun hilang timbul. Pada beberapa pasien dapat juga terjadi sakit kepala tipe campuran. Sakit pada bagian oksipital, dapat juga timbul yang sering berhubungan dengan sakit pada leher yang disebabkan oleh kelainan pada otot leher. Sehingga pada nyeri oksipital biasanya memberikan respon yang baik pada pengobatan untuk nyeri leher, maupun pengobatan untuk tension headache.
Terdapat banyak gejala yang sering timbul menyertai sakit kepala post-trauma yang meliputi: gangguan konsentrasi, mudah marah, sensitif terhadap suara bising maupun cahaya, depresi, pusing atau vertigo, tinitus, gangguan ingatan, kelemahan, insomnia, tidak bersemangat, penurunan libido, cemas, mudah frustasi, dan penurunan kemampuan berpikir komprehensif. (David C. Haas, 2002)
Sakit kepala yang timbul, nyeri leher, dan gejala-gejala yang timbul seperti yang disebutkan di atas seringkali dianggap oleh dokter dan keluarga sebagai sesuatu yang dilebih-lebihkan oleh pasien, padahal pada sebagian besar pasien apa yang dikeluhkan tersebut adalah nyata. Sifat nyeri kepala yang timbul dapat ringan saja hingga sangat berat, kecemasan, insomnia, dan sulit berkonsentrasi, sehingga sangat mengganggu aktifitas pasien. Keadaan ini menjadi semacam lingkaran setan, yang lebih menyebabkan stres psikologis bagi pasien sehingga memperberat penderitaan pasien.
Penatalaksanaan pada keadaan ini sebenarnya meliputi beberapa aspek yaitu: penggunaan obat-obatan, fisoterapi, konseling psikologis, dan latihan relaksasi. Tetapi, kebanyakan pasien tidak memerlukan kesemua aspek terapi tersebut, karena sifat penatalksanaan pada kasus ini bersifat individual. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan seorang dokter adalah menenangkan atau meyakinkan penderita bahwa keadaan yang dideritanya akan dapat membaik, seperti juga yang dialami oleh sebagian besar penderita, dan sakit yang dideritanya akan secara progresif menghilang seiring dengan waktu. (Lawrence Robin, 2003)
Terapi obat merupakan dasar atau landasan terapi dari penatalaksanaan yang efektif dari nyeri kepala post-trauma. Terdapat dua sifat dari terapi obat yaitu yang bersifat menghilangkan (abortive) dan yang bersifat mencegah (preventif). Pada 3 (tiga) minggu pertama nyeri kepala, terapi yang digunakan bersifat menghilangkan, sedangkan jika nyeri kepala tetap ada setelah tiga minggu maupun semakin memberat, terapi yang bersifat prefentif dapat diberikan.
Terapi yang bersifat menghilangkan (Abortive Therapi)
Terapi yang bersifat menghilangkan yang kita pilih tergantung dari tipe sakit kepala yang akan kita obati (migraine atau tension headache).
Prinsip pengobatan (abortive) untuk sakit kepala post-trauma tipe migraine adalah:
A. obat-abatan pilihan pertama
    1. Golongan Triptan
Sumatriptan: merupakan gold standard dan obat yang paling efektif untuk menghilangkan migraine. Tersedia dalam bentuk semprot hidung dengan dosis 5 mg (setara dengan dosis tablet 50 mg) tiap 3-4 jam tetapi dosis yang sering digunakan adalah 2 kali perhari, atau dosis makan 50 mg 2-3 kali perhari, yang tersering digunakan adalah 4 kali perhari.
    1. Golongan non-Triptan
a. Excedrin (Excedrin Migraine): sangat berguna untuk meredakan migraine yang terdiri dari kombinasi 250 mg. aspirin, 65 mg. kafein, dan 250 mg. asetaminofen. Dosis 1-2 tablet tiap 3 jam sangat efektif pada migraine ringan sampai sedang.
b. Naproxen (Anaprox, Naprelan, Aleve): sangat berguna bagi pasien muda. Naprelan merypakan bentuk naproxen kerja lama tersedia dalam dosis 375 mg dan 500 mg tiap 3-4 jam. Aleve dalam sediaan 220 mg dengan dosis 3 kali per hari.
c. Ibuprofen: memang tidak seefektif naproxen. Dosis yang sering digunakan adalah 400-800 mg tiap 3 jam dengan dosis maksimal 2400 mg per hari
d. Midrin: mengandung vasokonstriktor, sedatif yang non-addiksi, dan asetaminofen. Tetapi efeknya tidak sebaik triptan. Dengan dosis 5-6 kapsul perhari.
B. obat-obatan pilihan kedua
1. Ergots: merupakan vasokonstriktor dengan efek samping yang banyak. Hati-hati pada penggunaan pada pasien usia di atas 40 tahun terhadap resiko kelainan jantung.
2. Ketorolac (toradol): dalam bentuk injeksi lebih efektif dibandingkan bentuk tablet, dengan dosis 60 mg per 2 cc. ketorolac tidak bersifat addiksi, dan tidak menyebabkan sedasi
3. Kortikosteroid: kortison sering digunakan sebagai terapi yang efektif bagi migraine lama yang memberat. Deksametason 4 mg atau prednison 20 mg biasa digunakan dalam bentuk oral dengan dosis ½ atau 1 tablet tiap 4-6 jam
4. Narkotik: kodein, hydrocodone, dan propoxyphene, penggunaannya harus sangat dibatasi dan merupakan pilihan terakhir, karena dapat menyebabkan addiksi dan efek balik
5. pendekatan pengobatan yang lain termasuk muscle relaksan (valium) atau tranquilizer (xanax) terkadang bermanfaat terutama untuk membantu gangguan tidur. Anti psikotik (zyprexa) juga terkadang dapat digunakan. (Lawrence Robin, 2003)
Selain obat-obat di atas, terkadang anti emetik dapat juga membantu pada banyak pasien. Namun secara umum obat-obat utama yang dapat digunakan dalam terapi (abortive) migraine meliputi: excredin, aspirin, naproxen, ibuprofen, ketorolac, norgesic forte, butalbital, ergots, triptan, kortikosteroid, narkotik, dan sedativa.
Prinsip pengobatan (abortive) untuk sakit kepala post-trauma tipe tension headache adalah:
A. obat-obat pilihan pertama
    1. Asetaminofen, aspirin: merupakan analgesik utama, meskipun kurang efektif untuk sakit kepala, tetapi lebih dapat ditoleransi oleh tubuh. Tetapi penggunaannya harus dibatasi, untuk mencegah efek membalik.
    2. Ibuprofen: sangat membantu untuk tension headache maupun migrain. Lebih efektif dibandingkan dengan asetaminofen. Penambahan kafein dapat meningkatkan efeknya.
    3. Kafein: dapat digunakan baik untuk tension headache maupun migraine, baik dalam bentuk sendiri maupun sebagai penambah pada analgesik lainnya (contohnya Excedin Migraine: 65 mg kafein, 250 mg aspirin, dan 250 mg asetaminofen), dan menurunkan efek ngantuk. Penggunannya harus dibatasi untuk mencegah efek balik dari sakit kepala. Dosisnya 150-200 mg perhari.
    4. Naproxen: berguna pada pasien muda, non-sedasi, dosisnya 500 mg maksimal 3 kali sehari
    5. Cox-2 inhibitor (Vioxx, Celebrex, Bextra): dosisnya 12,5-25 mg 1-2 kali perhari.
    6. Midrin: efektif, aman, dan dapat digunakan sama baik pada anak dan dewasa.
    7. Tramadol: 50 mg tiap 1-2 tablet tiap empat jam, efek samping yang dapat timbul seperti sedasi, nausea, dan pusing.
    8. Ketoprofen: merupakan golongan NSAID
B. Obat-obat pilihan kedua:
    1. Butalbital: efektif tetapi kadang menyebabkan kebiasaan. Efek sedasi dan euforia sering timbul.
    2. Narkotik: kodein, hydrocodone, dan propoxyphene, penggunaannya harus sangat dibatasi dan merupakan pilihan terakhir, karena dapat menyebabkan addiksi dan efek balik.
    3. Sedativa: yang tersering digunakan adalah benzodiazepin, seperti halnya diazepam dan klonazepam. Efek utamanya adalah sedasi. Karena efek “kebiasaan” dari obat ini maka penggunaannya harus dibatasi, dan bukan merupakan pilihan utama.
    4. Triptans: saat ini triptan secara umum sudah digunakan untuk tension headache sama baiknya seperti digunakan untuk migraine dan cluster headache
    5. muscle relaksan: obat ini kadang sangat berguna untuk penggunaan sewaktu-waktu, tidak memyebabkan ketagihan. Termasuk dalam golongan obat ini adalah orphenadin, tizanidine, cyclobenzapine, dan skelaxin. Obat ini dapat dikombinasikan dengan kafein maupun NSAID. Tizanidine ¼, ½, atau 1 tablet 4 mg dapat digunakan.
Sering pula digunakan anti inflamasi pada keadaan ini, seperti termasuk aspirin, ibuprofen, dan naproxen yang digunakan dalam pengobatan nyeri leher maupun nyeri pinggang. Pelemas otot (muscle relaxant) seperti flexeril atau robaxin sangat menolong pada tension headache yang rutin, karena spasme otot-otot leher. (Lawrence Robin, 2003)
Sebagian besar pasien dengan migraine dan tension headache, cukup hanya membutuhkan obat-obatan yang bersifat menghilangkan saja, selama 2-3 minggu pertama post trauma sudah dapat menghilangkan sakit kepala. Namun demikian, jika keluhan sakit kepala post trauma tersebut yang berupa migraine yang semakin sering maupun tension headache yang menetap atau semakin memberat, kita perlu memberikan terapi prefentif setiap hari. Keputusan untuk memberikan obat preventif tiap hari ini memang cukup sulit, tetapi mengingat penderitaan pasien post trauma yang setiap hari mengalami keluhan sakit kepala, pemberian pengobatan preventif ini sangat menguntungkan. (David C Haas, 2002)
Hal-hal yang perlu diketahui pasien dalam memulai penggunaan pengobatan preventif pada sakit kepala post trauma adalah:
1. Tujuan terapi yang diharapkan pada pengobatan ini adalah menurunkan tingkat keparahan tension headache mencapai 70 %, bukan secara sempurna menghilangkan sakit kepala. Sangat menggembirakan jika sakit kepala berkurang hingga 90-100%, tetapi prinsip pengobatan preventif ini adalah dengan penggunaan obat yang seminimal mungkin.
2. Pasien harus memepunyai kesadaran untuk mengubah pengobatan jika diperlukan. Mereka harus tahu bahwa pengobatan yang efektif untuk orang lain belum tentu sesuai untuk dirinya. Pengobatan yang bersifat coba-coba (trial and error) dibutuhkan untuk mendapatkan pendekatan pengobatan yang terbaik bagi pasien.
3. Pengobatan preventif ini mungkin memakan waktu hingga beberapa minggu untuk bekerja efektif. Dosis obat sering butuh perubahan tergantung dengan kondisi kebutuhan pasien. Dan pasien diharuskan rajin berkonsultasi mengenai penyakitnya secara terus-menerus.
4. Pengobatan preventif tertentu digunakan untuk diambil sisi lain dari manfaat obat tersebut seperti, penggunaan anti depresan, bukan berarti pasien tersebut dalam keadaan depresi.
5. Efek samping mungkin dapat timbul pada pengobatan ini, dan pasien harus menyiapkan diri untuk mengurangi efek samping ringan dari obat untuk mengambil hasil yang lebih pada pengobatan. Kita tidak bisa secara gampang menghentikan pengobatan dan berganti ke obat yang lain hanya karena efek samping yang ringan ini.
6. Pada penggunaan pengobatan yang sangat lama, pengobatan preventif ini hanya efektif pada sekitar 50% pasien. (Lawrence Robin, 2003)

 

Obat-obat preventif untuk sakit kepala post-trauma

Obat-obat yang secara umum digunakan untuk mencegah sakit kepala post-trauma biasanya adalah berupa antidepresan, seperti amitriptylin atau nortriptylin dan beta blocker. Obat-obat anti-inflamasi sering juga diberikan baik untuk terapi abortive maupun prefentif. Anti-depresan yang bersifat sedasi seperti amitriptylin, sering menurunkan terjadinya sakit kepala tiap hari, migraine, dan insomnia. Pada kasus yang berat kita membutuhkan gabungan antara beta blocker dan anti-depresan. Tetapi, pemilihan pengobatan prefentif ini sangat tergantung dari gejala-gejala yang menyertai seperti insomnia, keluhan saluran pencernaan, dan lain-lain. (David C. Haas, 2002)
Prinsip pengobatan (preventif) untuk sakit kepala post-trauma tipe migraine adalah:
Pasien-pasien migraine dengan lebih dari 3 kali serangan tiap bulan, yang migrainenya tidak terkontrol dengan baik, merupakan pasien-pasien yang terindikasikan membutuhkan pengobatn preventif.

A. Obat-obat pilihan pertama

  1. Valproate: obat anti kejang ini menjadi sangat populer sebagai pengobatan preventif terhadap migraine. Biasanya dapat ditoleransi secara baik pada dosis rendah. Fungsi hati harus di awasi pada permulaan pengobatan. Efek samping yang perlu diperhatikan termasuk letargi, keluhan gastrointestinal, depresi, gangguan mengingat, penambahan berat badan, dan alopesia. Dosisnya berkisar 250-1500 mg tiap hari pada dosis terbagi. Dosis rata-rata yang sering digunakan berkisar 500-1000 mg per hari. Hati-hati keracunan pada dosis tinggi. Valproate juga merupakan obat utama yang menstabilkan emosi (manik-depresi) dan baru efektif setelah penggunaan 4-6 minggu.
  2. Beta blocker. Kapsul kerja lama digunakan 1 kali sehari. Terkadang efektif untuk sakit kepala yang timbul tiap hari. Sedasi, diare, gangguan saluran gastrointestinal bagian bawah dan berat badan yang meningkat sering timbul. Sangat bermanfaat bila dikombinasikan dengan amitriptylin. Dosis kerja lama berkisar 60-160 mg per hari. Beta blocker lain yang efektif seperti metoprolol dan atenolol.
  3. Naproxen: bermanfaat bagi pasien muda dengan dosis 1 kali per hari. Terkadang dapat sangat menolong sakit kepala. Tidak menyebabkan sedasi tetapi sering mengganggu saluran pencernaan. Sangat efektif sebaik penggunaannya dalam pengobatan abortive, dan dapat dikombinasikan dengan obat-obatan prefentif pilihan pertama lainnya. Dosis yang biasa digunakan adalah 500-550 mg 1 kali per hari, tetapi dapat juga jika terpaksa 2 kali per hari. Anti inflamasi lainnya seperti Oruvail, Voltaren, atau COX-2 inhibitor dapat digunakan dalam pengobatan prefentif migraine. Seperti pada anti inflamasi lainnya, efek samping pada saluran pencernaan meningkat terutama pada pasien tua, sehingga kita lebih banyak menggunakan obat ini pada pasien-pasien muda. COX-2 inhibitor (Vioxx, Celebrex, Bextra) sangat berguna untuk menghilangkan (abortive) sakit, dan sama baiknya dalam mencegah (prefentif)timbulnya sakit kepala. Obat ini dapat menurunkan efek samping pada saluran pencernaan. Dosis yang biasa digunakan adalah 25 mg 1 kali per hari untuk Vioxx, Celebrex 20 mg 1 kali per hari, dan Bextra 20 mg 1 kali per hari.
  4. Verapamil: sangat beralasan sebagai obat yang efekatif untuk migraine, dengan dosis tunggal lepas lambat. Biasanya tidak bersifat sedasi, dan jarang menyebabkan kegemukan. Terkadang dapat menolong sakit kepala yang timbul tiap hari. Dapat dikombinasikan dengan dengan obat pilihan pertama linnya seperti amitriptylin maupun naproxen. Konstipasi jarang terjadi. Dosis awal biasanya ½ tablet 250 mg lepas lambat per hari, dan dapat ditingkatkan menjadi 1 tablet per hari. Dapat dimaksimalkan menjadi 2 kali 240 mg per hari jika terpaksa. Atau bahkan dapat diturunkan menjadi 120 sampai180 mg per hari.
  5. Amitriptylin: efektif, murah, dan juga sangat berguna untuk sakit kepala tiap hari dan insomnia. Digunakan dalam dosis rendah pada malam hari. Sedasi, kegemukan, mulut kering, dan konstipasi sering timbul. Dosis awal adalah 10 mg, dapat ditingkatkan menjadi 25-50 mg. Dapat di maksimalkan menjadi 150 mg, atau diturunkan menjadi 5 mg. Anti depresan trisiklik lainnya sepereti doxepin dan protritylin efektif juga terhadap migraine. Nortriptyline serupa dengan amitriptylin, dengan efek samping yang minimal. Obat ini secara umum lebih digunakan untuk sakit kepala tiap hari tipe tension headache. Protriptylin adalah satu-satunya anti depresan lama yang tidak menyebabkan kegemukan tetapi, efek samping anti kolinergiknya meningkat.
6. Neurontin (gabapentin): adalah obat anti kejang yang telah diketahui bermanfaat terhadap pencegahan migrain dan tension headache. Dosis yang digunakan untuk pencegahan adalah 600-2400 mg per hari. Pada penelitian lebih lanjut terhadap migrain, dosis yang sering digunakan adalah sekitar 2300 mg per hari. Sedasi, pusing dapat menjadi masalah, tetapi neurontin tidak menyebabkan kerusakan end-organ, dan kegemukan jarang terjadi. Nerontin dapat juga digunakan sebagai terapi adjuvant bagi pengobatan pilihan pertama lainnya, dengan dosis yang sangat minimal sekitar 200-300 mg per hari. Neurontin juga memiliki efek anti cemas dan menstabilkan emosi pada gangguan bipolar.
7. Topamax (topiramate): obat anti kejang ini telah digunakan untuk anti migraine, sakit kepa tiap hari yang kronis, dan cluster headache. Seperti neurontin, obat ini tidak merusak hati. Efek samping sedasi dan gangguan kognitif (binging, atau gangguan mengingat) dapat timbul. Obat ini sering menurunkan nafsu makan, yang menyebabkan penurunan berat badan, sehingga jarang digunakan untuk terapi prefentif. Dosis yang biasa digunakan adalah 25 mg 1-2 kali per hari, dan dapat dimaksimalkan sampai 100 mg 1-2 kali per hari. Glaucoma kaut dapat timbul tetapi jarang, gangguan pencernaan sering timbul, dan resiko pembentukan batu ginjal dapat meningkat seiring dengan penggunaan obat ini.
B. Obat-obat pilihan kedua
  1. polifarmasi (kombinasi obat): gabungan dua obat pilihan pertama dapat digunakan dan lebih efektif dibandingkan penggunaan 1 obat saja. Valproate sering dikombinasikan dengan anti depresan. Amitriptylin sering dikombinasikan dengan propanolol, terutama jika takikardi yang ditimbulkan amitriptylin dapat diturunkan oleh beta blocker. Kombinasi ini secara umum digunakan pada sakit kepala ripe campuran (migraine ditambah denga sakit kepala tiap hari yang khronis/CDH). NSAID dapat juga dikombinasikan dengan obat-obat pilihan pertama lainnya. Seperti, naproxen dapat dikombinasikan dengan amtriptylin, propanolol, atau verapamil. Naproxen atau NSAID lainnya dapat digunakan secara terus-menerus sebagai obat pencegah maupun penghilang (abortive). Polifarmasi ini sering juga digunakan jika terdapat keluhan-keluhan lain yang menyertai sakit kepala seperti cemas, depresi, dan lainnya.
  2. Zanaflex (tizanidine): merupakan pelemas otot yang aman dan tidak menyebabkan ketagihan. Zanaflex berguna untuk migraine dan CDH. Dosis yang digunakan 1-2 tablet 4mg qhs, tetapi dapat di awali dengan ¼ atau ½ tablet. Sedasi dan mulut kering sering timbul. Zanaflex dapat digunakan sewaktu-waktu (seperlunya) untuk sakit kepala yang ringan, sakit leher, maupun sakit pinggang.
C. obat-obat pilihan ketiga (untuk pasien yang sulit/tidak sembuh-sembuh)
  1. Opioid kerja lama (methadone, Oxycontin, Kadian, MS-contin): pada sebagian kecil pasien dengan sakit kepala berat khususnya sangat berat, sulit sembuh, CDH dan migraine, opioid kerja lama menunjukkan kegunaannya. Methadone bekerja karena efek antagonisnya terhadap NMDA. Methadone relatif lebih dapat ditoleransi, tetapi efek sedasi dan konstipasi menyebabkan penggunaannya yang terbatas. Dosis harus dijaga agar tetap rendah, dari 5-20 mg per hari. Morfin yang tersedia seperti MS-Contin atau dalam dosis 1 kali per hari seperti Kadian. Dosis kadian yang digunakan adalah 20 mg 1-2 kali per hari. Opiod dapat juga dikombinasikan (dalam dosis rendah) dengan stimulan. Stimulan dapat mengurangi sakit dan juga mencegah kelelahan. Pasien harus menerima resiko dari penggunaan obat-obat ini.
  2. Terapi IV DHE yang diulang: dapat diberikan hanya pada pasien rawat inap. Dosis awal 1/3 mg, jika dapat ditoleransi secara baik dosis dapat ditingkatkan menjadi ½-1 mg.
  3. Stimulan: (dekstroamfetamin, methylfenidat, Phentermin, adderall): digunakan sebagai terapi pilihan terakhir, mencegah kelelahan, menurunkan nafsu makan, menurunkan sedasi pada pasien kelelahan kronis. Kelelahan merupakan masalah yang umum pada pasien dengan sakit kepala.
  4. Phenelzine (Nardil): MAO inhibitor ini merupakan obat yang sangat kuat sebagai terapi prefentif sakit kepala tiap hari. Sangat membantu mengatasi depresi, kecemasan dan serangan panik. Kecil timbul resiko krisis hipertensi, tetapi obat ini merupakan MAOI terlemah. Efek samping insomnia, kegemukan, merupakan masalah utama. Mulut kering, kelelahan, konstipasi, dan gangguan kognitif dapat juga muncul. Pasien harus berhati-hati terhadap gejala-gejala reaksi hipertensi. Dosis yang biasa digunakan adalah 45 mg tiap malam (3 tablet 15 mg). Variasi dosisnya dapat berkisar antara 1-5 tablet per hari. Kelemahan utama lainnya adalah MAOI ini tidak dapat dikombinasikan dengan triptan.
  5. Penggunaan Triptan tiap hari: pada beberapa pasien dengan CDH dan migraine yang sering, atau migraine kronik, satu-satunya pengobatan yang sangat berguna adalah dosis kecil triptan tiap hari. Efek samping penggunaan jangka panjang triptan belum diketahui.
  6. Injeksi Toksin Botilinum: penelitian Toksin Botulinum A (Botox) terhadap migraine sudah secara luas dilakukan. Sekitar 50-60 % pasien memperoleh hasil yang signifikan, dosis rendah injeksi pada frontal dan temporal sering digunakan (50-100 unit per pasien dalam 8-12 kali injeksi). Kecuali mahal, Botox relatif aman dan hanya membutuhkan beberapa menit untuk penyuntikan. 1 set penyuntikan dapat menurunkan sakit kepala untuk jangka waktu 1-3 bulan. (Lawrence Robin, 2003)
Prinsip pengobatan (preventif) untuk sakit kepala post-trauma tipe tension headache adalah:
Prinsip pengobatan preventif untuk tension headache/CDH secara umum serupa dengan prinsip pengobatan prefentif pada migraine. Sehingga prinsip penanganannya dapat dilihat pada penjelasan pengobatan preventif migraine di atas.
Meskipun pilihan utama terapi pencegahan pada situasi post-trauma adalah antidepresan dan atau beta blocker, pengobatan alternatif lainnya dapat digunakan. Penghambat kalsium (verapamil) dapat digunakan pada migraine sebagai terapi pilihan pertama. Valproate (depakote), methysergid dan MAOI (phenelzine) dapat digunakan jika terapi lainnya gagal. Injeksi IV DHE, yang digunakan secara berulang di rumah sakit, sangat berguna bagi sakit kepala post trauma yang berat. Penggunaan injeksi ini biasanya dilakukan pada pasien setelah 1-2 bulan pengobatan tetapi sakit kepala masih sangat berat. (Lawrence Robin, 2003)
 
Komplikasi
Komplikasi nyeri kepala yang terjadi dengan penyerta lain baik sebelum atau sesudah cedera kranioserebral yang dapat terjadi, yaitu :
  1. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early apilepsy, dan yang etrjadi setelah minggu pertamma disebut late epilepsy. Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada orang yang beresiko tinggi untuk terjadinya kejanng pasca cedera kranioserebral yaitu :
· SKG < 10, kontusio kortkal, fraktur impresi tulang tengkorak, SDH< EDH
· ICH, luka tembus dengan kejang yang terjadi dalam kurun waktu < 24 jam pasca cedera.
Dengan profilaksis ini, kejadian early epilepsy dikurangi. Penelitian yang sedang berjalan adalah evaluasi efek pemberian sodium valproat untuk revensi kejang pasca cedera kranioserebral. (Brain Trauma Fondation, guidelines for the management of severe head injury, 1995)
Pengobatan :
· Kejang pertama : saat kejang, diberikan diazepam 10 mg iv, dilanjutkan dengan fenitoin 200 mg per oral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100 mg/hari
· Profilaksis : diberikan fenitoin 3-4 x 100 mg/hari atau karbamazepin 3x200 mg/hari selama 7-10 hari.
2. Infeksi
Komplikasi infeksi akut setelah cedera otak adalah meningitis dengan insidensi 0,2-17,8% (rata-rata 6%). Faktor resiko utama meningitis pasca cedera kranioserebral, adalah rinorea dan otorea (rembesan cairan serebrospinal) yang terjadi akibat fraktur basis kranii. Diagnosis ditegakkan dengan analisa cairan otak dan biakan mikrobiologi. Diagnosis cepat dapat ditegakkan dengan tes CIE (Countercurrent immuno electrophoresis) dan LA (latex agglutination) untuk deteksi H. influenza tipe B, S. pneumoniae, group B streptococcus dan N. meningitides group A, C, Y dan W 135.
Profilaksis antibiotik pada fraktur basis kranii dengan atau tanpa rembesan cairan serebrospinal masih kontroversial, meskipun ada penelitian yang menyatakan, profilaksis ini hanya efektif untuk 7 hari pertama. Profilaksis ini diberikan bila ada resiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii.
Pilihan antibiotik yang diberikan banyak antara lain bisa ampisilin dengan dosis 3x1 gram/hari intravena selama 10 hari. bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberkan antibiotik dengan dosis meningitis, misalnya ampisilin 4x3 gram iv dan kloramfenikol 4x1,5-2 gram iv selama 10 hari. untuk gram negatif meningitis, terapi diberikan selama 21 hari atau 10 hari setelah kultur cairan serebrospinal negatif.
3. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicapai dan diatasi penyebabnya. Selain itu dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin pada kepala, ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendinginan. Dapat ditambahkan obat antipiretik.
4. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, dengan 10-14% diantaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh trauma kranio-serebral. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas atau akibat hiperfungsi kel.korteks adrenal yang ditandai oleh hiperkolesterolemia. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 reseptor blocker yaitu simetidine, ranitidine atau famotidine yang diberikan 3x1 ampul iv selama 5 hari.
5. Gelisah
kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kencing atau usus-usus yang penuh, patah tulang yang nyeri, tekanan intrakranial yang meningkat dan dapat pula terjadi emboli paru. bila ada retensi urin, dapat dilakukan pengosongan kandung kemih dengan pemasangan kateter. Untuk terapi medikomentosa, bila perlu diberikan penenangan dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat per oral dan tidak menimbulkan depresi pernafasan.
6. Sesak nafas akut
Sesak nafas akut dapat terjadi akibat aspirasi, edema pulmonum, tromboemboli atau emboli lemak kedalam arteria pulmonalis. Tromboemboli pulmonal berasal dari trombosis vena-vena dalam tungkai atau lainnya. Sedangkan emboli lemak umumnya terjadi karena patah tulang. Gejala-gejalanya ialah dispnea, hipoksia, hipotensi, dan syok. Bila didapati kondisi ini, pemberian antikoagulan (heparin/LMWH) perlu dipertimbangkan.
7. Aspirasi
Aspirasi dicagah dengan cara posisi kepala dimiringkan dan sedikit ekstensi agar jalan nafas mudah dibersihkan dengan cara dihisap. Selain itu juga diberikan oksigen.
8. Tromboemboli, emboli lemak
Meskipun jarang, pada keadaan ini dapat terjadi daerah-daerah infark, alveoli paru tertutup, edema dan perdarahan di dalam jaringan paru. dalam hal ini mungkin perlu dilakukan operasi untuk memasang saringan di dalam vena kava atau menutupnya sama sekali. Bila emboli besar dapat dipertimbanngkan embolektomi. Kemudian diberikan terapi antikoagulasi.
9. Edema pulmonum
Edema pulmonum dapat terjadi gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan penguncupan vena-vena paru. semua tindakan untuk menghambat menghebatnya edema dapat dilakukan termasuk pemberian infus dengan hiperosmotik dan pemberian diuretika. Oksigen (O2) diberikan, bila perlu dengan tehnik tekanan ekspirasio akhir positif. Tindakan yang juga harus dilakukan ialah mengurangi tekanan intrakranial yang tinggi. (Lina Soertidewi, 2003)
10. Higroma subdural
Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan likuor yang terbungkud oleh kapsul dibawah durameter. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arakhmoid sehingga likuor mengalir dan berkumpul membentuk kolam. Terapinya mirip dengan penanganan hematom subdural (kronis)
11. Pneumatokel traumatika
Berdasarkan lokasinya dibedakan atas : pneumatokel ekstrakranial yaitu pengumpulan udara dibawah periosteum akibat adannya fraktur tulang tengkorak. Jaringan sekitarnya kadang membentuk jaringan granulasi. Biasanya pneumatokel ini akan tererorpsi secara spontan dan pneumatokel intrakranial yaitu udara berada di rongga subdural atau subarakhnoid.
12. Meningokel traumatika spuriosa
istilah yang tampaknya lebih tepat adalah higroma epikranial. Keadaan ini ditimbulkan oleh fraktur tengkorak dan robeknya duramater sehingga likuor bebas mengalir keluar serta berkumpul di jaringan lemak ekstrakranial. Pada palpasi akan teraba adanya fluktuasi, disamping itu juga bila ada peninggian tekanan intrakranial, benjolan ini akan membesar serta sebaliknya bila ditekan akan mengecil kembali. Umumnya kasus-kasus ini akan sembuh spontan sewaktu fraktur dan robekan dura tertutup kembali. Sebagai tndakan sementara, dapat dilakukan punksi dan memasang balut elastik.
13. Prolaps serebri
Prolaps serebri terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak yang terbuka sehingga korteks serebri keluar dari tengkorak. Adanya tekanan intrakranial yang meninggi akan mendorong jaringan otak lebih ke luar. Tindakan penanganannya ditujukan untuk prevensi terhadap infeksi dengan terapi debridemen serta obat-obat yang menurunkan tekanan intrakranial.
14. Sindrom pascakonkusi
Sindrom pascakonkusi merupakan kumpulan gejala yang timbul setelah 2-3 minggu pascatrauma kapitis. Mengingat tidak adanya kelainan organik yang tampak pada kasus-kasusnya maka sindrom ini sering dikenal dengan istilah neurosa pascatrauma atau neurosa renten. K. Sano (Jepang) mengelompokkannya menjadi 6 tipe, yaitu :
a. Tipe basal (psikoneurologi) yang terdiri dari keluhan-keluhan nyeri kepala, vertigo, tinitus, nausea, sulit tidur, dan penurunan nafsu makan.
b. Gangguan metabolisme : berupa penurunan berat badan, anemia, dehidrasi, hipotensi intrakranial.
c. Anemia : dengan manifestasi klinisnya berupa vertigo, palpitasi, dan anemia.
d. Gangguan endokrin : dalam tipe sindrom Simmond atau sindrom Addison.
e. Tipe simpati : berupa neurosa kardiak, ditangani dengan pemberian penenang dan digitalis.
f. Neurosis : dikenal dengan neurosa renten (Djoko Listiono, 1998).
 
Prognosis
Prognosis pasien dengan trauma kepala tergantung dari lokasi dan beratnya kejadian trauma. Rata-rata kematian nol pada pasien dengan keluhan yang ringan dan kurang dari 2% jika terjadi edeme serebral dan kongesti. Angka mortalits akan meningkat tajam jika terjadi kontusio korteks serebri (5%) atau laserasi (41%). Kematian dapat terjadi dengan cepat mengikuti suatu trauma atau terjadi dalam beberapa minggu kemudian. Kematian mungkin sebagai suatu efek langsung oleh suatu trauma atau komplikasi.