Minggu, 01 Februari 2009

TRAUMA LAHIR

Kelahiran seorang bayi merupakan saat yang membahagiakan orang tua, terutama bayi yang lahir sehat. Bayi yang nantinya tumbuh menjadi anak dewasa melalui proses yang panjang, dengan tidak mengesampingkan faktor lingkungan keluarga. Terpenuhinya kebutuhan dasar anak (asah-asih-asuh) oleh keluarga akan memberikan lingkungan yang terbaik bagi anak, sehingga tumbuh kembang anak menjadi seoptimal mungkin. Tetapi tidak semua bayi lahir dalam keadaan sehat. Beberapa bayi lahir dengan gangguan pada masa prenatal, natal dan pascanatal. Keadaan ini akan memberikan pengaruh bagi tumbuh kembang anak selanjutnya.(1,2)

Proses kelahiran sangat dipengaruhi oleh kehamilan. Dalam kehamilan yang tidak ada gangguan, diharapkan kelahiran bayi yang normal melalui proses persalinan yang normal,dimana bayi dilahirkan cukup bulan, pengeluaran dengan tenaga hejan ibu dan kontraksi kandung rahim tanpa mengalami asfiksi yang berat ataupun trauma lahir.(2)

Pada saat persalinan, perlukaan atau trauma kelahiran kadang-kadang tidak dapat dihindarkan dan lebih sering ditemukan pada persalinan yang terganggu oleh salah satu sebab. Penanganan persalinan secara sempurna dapat mengurangi frekuensi peristiwa tersebut. (3)

Insidensi trauma lahir diperkirakan sebesar 2-7 per 1000 kelahiran hidup. Walaupun insiden telah menurun pada tahun-tahun belakangan ini, sebagian karena kemajuan di bidang teknik dan penilaian obstetrik, trauma lahir masih merupakan permasalahan penting, karena walaupun hanya trauma yang bersifat sementara sering tampak nyata oleh orang tua dan menimbulkan cemas serta keraguan yang memerlukan pembicaraan bersifat suportif dan informatif. Beberapa trauma pada awalnya dapat bersifat laten, tetapi kemudian akan menimbulkan penyakit atau akibat sisa yang berat. Trauma lahir juga merupakan salah satu faktor penyebab utama dari kematian perinatal. Di Indonesia angka kematian perinatal adalah 44 per 1000 krlahiran hidup, dan 9,7 % diantaranya sebagai akibat dari trauma lahir. (6,9,11)

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Trauma lahir adalah trauma pada bayi yang diterima dalam atau karena proses kelahiran. (7) Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yang dapat dihindarkan maupun yang tidak dapat dihindarkan, yang didapat bayi pada masa persalinan dan kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian medik yang tidak pantas atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh. (6,11)

Pembatasan trauma lahir tidak meliputi trauma akibat amniosentesis, tranfusi intrauteri, pengambilan contoh darah vena kulit kepala atau resusitasi.(11)

II.2 Insidensi

Insidensi trauma lahir sekitar 2-7 per 1000 kelahiran hidup. Sebanyak 5-8 per 100.000 lahir meninggal akibat trauma mekanik dan 25 per 100.000 lahir meninggal akibat trauma anoksik. (6)

Faktor predisposisi terjadinya trauma lahir antara lain :(8,11,13)

1. makrosomia

2. prematuritas

3. disproporsi sefalopelvik

4. distosia

5. persalinan lama

6. persalinan yang diakhiri dengan alat (ekstraksi vakum dan forceps)

7. persalinan dengan sectio caesaria

8. kelahiran sungsang

9. presentasi bokong

10. presentasi muka

11. kelainan bayi letak lintang

II.3 Kelainan pada Bayi Baru Lahir Akibat Trauma Lahir

Beberapa kelainan pada bayi baru lahir akibat trauma lahir adalah sebagai berikut :

Perlukaan jaringan lunak

a. Perlukaan kulit

Kelainan ini mungkin timbul pada persalinan yang mempergunakan alat-alat seperti cunam atau vakum. Infeksi sekunder merupakan bahaya yang dapat timbul pada kejadian ini. Karena itu, kebersihan dan pengeringan kulit yang terluka perlu diperhatikan. Bila perlu dapat juga digunakan obat-obat antiseptik lokal. Biasanya diperlukan waktu 6-8 minggu untuk penyembuhan. (3,11,12)

b. eritema, ptekiae, abrasi, ekimosis dan nekrosis lemak subkutan

Jenis persalinan yang sering menyebabkan kelainan ini yaitu presentasi muka dan persalinan yang diselesaikan dengan ekstraksi cunam dan ekstraksi vakum. Kelainan ini memerlukan pengobatan khusus dan menghilang pada minggu pertama. (3,11,12)

c. Perdarahan subaponeurotik

Perdarahan ini terjadi di bawah aponeurosis akibat pecahnya vena-vena yang menghubungkan jaringan di luar dengan sinus-sinus di dalam tengkorak. Perdarahan dapat terjadi pada persalinan yang diakhiri dengan alat, dan biasanya tidak mempunyai batas tegas, sehingga kadang-kadang kepala berbentuk asimetris. Kelainan ini dapat menimbulkan anemia, syok, atau hiperbilirubinemia. Pemberian vitamin K dianjurkan pada perdarahan ringan,dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari selama tiga hari dan transfuse darah bila diperlukan. (3,8,10,11)

d. Trauma m. sternokleidomastoideus

Kelainan ini didapat pada persalinan sungsang karena usaha untuk melahirkan kepala bayi. Kepala serta leher bayi cenderung miring ke arah otot yang sakit dan jika keadaan dibiarkan, otot sembuh, tetapi dalam keadaan lebih pendek dari normal. Sebelum hal itu terjadi, perlu dilakukan fisioterapi dengan cara pengurutan setempat dan peregangan leher secara pasif ke sisi yang berlawanan. Jika setelah 6 bulan tidak berhasil maka harus dilakukan pembedahan korektif. (3,10,11,12)

e. Caput Succedaneum

Caput succedaneum merupakan edema subcutis akibat penekanan jalan lahir pada persalinan letak kepala, berbentuk benjolan yang segera tampak setelah bayi lahir, tak berbatas tegas dan melewati batas sutura. Kelainan ini biasanya ditemukan pada presentasi kepala, sesuai dengan posisi bagian yang bersangkutan. Pada bagian tersebut terjadi edema sebagai akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah. Caput Succedaneum tidak memerlukan pengobatan khusus dan biasanya menghilang setelah 2-5 hari. (3,10,11,12)

f . Cephal hematoma

Istilah cephal hematoma mengacu pada pengumpulan darah di atas tulang tengkorak yang disebabkan oleh perdarahan subperiosteal dan berbatas tegas pada tulang yang bersangkutan dan tidak melampaui sutura-sutura sekitarnya,sering ditemukan pada tulang temporal dan parietal. Kelainan dapat terjadi pada persalinan biasa, tetapi lebih sering paada persalinan lama atau persalinan yang diakhiri dengan alat, seperti ekstraksi cunam atau vakum. (3,8,10,11)

Gejala lanjut yang mungkin terjadi yaitu anemia dan hiperbilirubinemia. Kadang-kadang disertai dengan fraktur tulang tengkorak di bawahnya atau perdarahan intra kranial. (3)

Bila tidak ditemukan gejala lanjut, cephal hematoma tidak memerlukan perawatan khusus. Kelainan ini dapat menghilang dengan sendirinya setelah 2-12 minggu. Pada kelainan yang agak luas, penyembuhan kadang-kadang disertai kalsifikasi. (3,11)

g. Perdarahan subkonjungtiva

Keadaan ini sering ditemukan pada bayi, baik pada persalinan biasa maupun pada yang sulit. Darah yang tampak di bawah konjungtiva biasanya diabsorpsi lagi setelah 1-2 minggu tanpa diperlukan pengobatan apa-apa. (3,8,11)

Perdarahan intra kranial

a. Perdarahan subdural

Kelainan terjadi akibat tekanan mekanik pada tengkorak yang dapat menimbulkan robekan falks cerebri atau tentorium cerebelli, sehingga terjadi perdarahan. Hal ini biasanya ditemukan pada persalinan dengan disproporsi sefalopelvik dengan dipaksakan untuk lahir pervaginam dan lebih sering ditemukan pada bayi aterm dari pada bayi prematur. (3,8,11,12)

b. Perdarahan subependimal dan intraventrikuler

Kejadian ini lebih sering disebabkan oleh hipoksia dan biasanya terdapat pada bayi-bayi prematur. (3,11)

c. Perdarahan subarakhnoidal

Perdarahan ini juga ditemukan pada bayi-bayi premmatur dan mempunyai hubungan erat dengan hipoksia pada saat lahir. (3,11)

Bayi dengan perdarahan intra kranial menunjukkan gejala-gejala asfiksia yang sukar diatasi. Bayi setengah sadar, merintih, pucat, sesak nafas, muntah dan kadang-kadang kejang. Bayi dapat meninggal atau hidup terus tanpa gejala-gejala lanjut atau dengan gejala-gejala neurologik yang beraneka ragam, tergantung pada tempat dan luasnya kerusakan jaringan otak akibat perdarahan. (3,8,11,12)

Tindakan pada perdarahan intra kranial adalah sebagai berikut : (8)

- kelainan yang membawa trauma harus dihindari dan kalau ada disproporsi harus dilakukan sectio caesaria

- bayi dirawat dalam inkubator

- temperatur harus dikontrol

- kalau perlu diberikan tambahan oksigen

- sekret dalam tenggorokan diisap keluar

- bayi jangan terlampau banyak digerakkan dan dipegang

- kalau ada indikasinya, vitamin K dapat diberikan

- konvulsi dikendalikan dengan sedativ

- kepala jangan direndahkan, karena tindakan ini bisa menambah perdarahan

- jika pengumpulan darah subdural dicurigai, pungsi lumbal harus dikerjakan untuk mengurangi tekanan

- diberikan antibiotik sebagai profilaktik.

3. Patah tulang

a. Fraktur klavikula

Fraktur ini merupakan jenis yang tersering pada bayi baru lahir,yang mungkin terjadi apabila terdapat kesulitan mengeluarkan bahu pada persalinan. Hal ini dapat timbul pada kelahiran presentasi puncak kepala dan pada lengan yang telentang pada kelahiran sungsang. Gejala yang tampak pada keadaan ini adalah kelemahan lengan pada sisi yang terkena, krepitasi, ketidakteraturan tulang mungkin dapat diraba, perubahan warna kulit pada bagian atas yang terkena fraktur serta menghilangnya refleks Moro pada sisi tersebut. Diagnosis dapat ditegakkan dengan palpasi dan foto rontgent. Penyembuhan sempurna terjadi setelah 7-10 hari dengan imobilisasi dengan posisi abduksi 60 derajat dan fleksi 90 derajat dari siku yang terkena. (3,10,11,12)

b. Fraktur humeri

Kelainan ini terjadi pada kesalahan teknik dalam melahirkan lengan pada presentasi puncak kepala atau letak sungsang dengan lengan membumbung ke atas. Pada keadaan ini biasanya sisi yang terkena tidak dapat digerakkan dan refleks Moro pada sisi tersebut menghilang. Prognosis penderita sangat baik dengan dilakukannya imobilisasi lengan dengan mengikat lengan ke dada, dengan memasang bidai berbentuk segitiga dan bebat Valpeau atau dengan pemasangan gips. Dan akan membaik dalam waktu 2-4 minggu. (3,8,11,12)

c. Fraktur tulang tengkorak

Kebanyakan fraktur tulang tengkorak terjadi akibat kelahiran pervaginam sebagai akibat penggunaan cunam atau forceps yang salah, atau dari simpisis pubis, promontorium, atau spina ischiadica ibu pada persalinan dengan diproporsi sefalopelvik. Yang paling sering adalah fraktur linier yang tidak menimbulkan gejala dan tidak memerlukan pengobatan, serta fraktur depresi yang biasanya kelihatan sebagai lekukan pada kalvarium yang mirip lekukan pada bola pingpong. Semua fraktur ini harus direposisi untuk menghindari cedera korteks akibat tekanan yang terus-menerus dengan menggunakan anesthesi lokal dalam minggu pertama dan segera setelah kondisi bayinya stabil. (3,11,12,13)

d. Fraktur femoris

Kelainan ini jarang terjadi, dan bila ditemukan biasanya disebabkan oleh kesalahan teknik dalam pertolongan pada presentasi sungsang. Gejala yang tampak pada penderita adalah pembengkakan paha disertai rasa nyeri bila dilakukan gerakan pasif pada tungkai. Pengobatan dilakukan dengan melakukan traksi pada kedua tungkai, walaupun fraktur hanya terjadi unilateral. Penyembuhan sempurna didapat setelah 3-4 minggu pengobatan. (3,11,12)

e. Fraktur dan dislokasi tulang belakang

Kelainan ini jarang ditemukan dan biasanya terjadi jika dilakukan traksi kuat untuk melahirkan kepala janin pada presentasi sungsang atau untuk melahirkan bahu pada presentasi kepala. Fraktur atau dislokasi lebih sering pada tulang belakang servikal bagian bawah dan torakal bagian atas. Tipe lesinya berkisar dari perdarahan setempat hingga destruksi total medulla spinalis pada satu atau lebih aras (level) cerebral. Keadaan bayi mungkin buruk sejak kelahirannya, disertai depresi pernafasan, syok dan hipotermia. Kalau keadaannya parah dapat memburuk dengan cepat sampai menimbulkan kematian dalam beberapa jam. Pada bayi yang selamat, pengobatan yang dilakukan bersifat suportif dan sering terdapat cedera permanen. (3,4,5,11)

4. Perlukaan susunan saraf

a. Paralisis nervus facialis

Kelainan ini terjadi akibat tekanan perifer pada nervus facialis saat kelahiran. Hal ini sering tampak pada bayi yang lahir dengan ekstraksi cunam Kelumpuhan perifer ini bersifat flasid, dan bila kelumpuhan terjadi total, akan mengenai seluruh sisi wajah termasuk dahi. Kalau bayi menangis, hanya dapat dilihat adanya pergerakan pada sisi wajah yang tidak mengalami kelumpuhan dan mulut tertarik ke sisi itu. Pada sisi yang terkena gangguan, dahinya licin, mata tidak dapat ditutup, lipatan nasolabial tidak ada dan sudut mulut kelihatan jatuh. Kelainan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa tindakan-tindakan khusus.(3,8,11,12)

b. Paralisis nervus frenikus

Gangguan ini biasanya terjadi di sebelah kanan dan menyebabkan terjadinya paralisis diafragma. Kelainan sering ditemukan pada kelahiran sungsang. Kelainan ini biasanya menyertai paralisis Duchenne – Erb dan diafragma yang terkena biasanya diafragma kanan. Pada paralisis berat bayi dapat memperlihatkan sindroma gangguan pernafasan dengan dispneu dan sianosis. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan röntgen foto torak atau fluoroskopi dimana diafragma yang terganggu posisinya lebih tinggi. Pengobatan biasanya simptomatik. Bayi harus diletakkan pada sisi yang terkena gangguan dan kalau perlu diberi oksigen. Infeksi paru merupakan komplikasi yang berat. Penyembuhan biasnya terjadi spontan pada bulan ke-1 samapi ke-3. (3,11,12)

c. Paralisis plexus brachialis

Kelainan ini dibagi atas : (3,11,12)

- paralisis Duchenne – Erb, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh cabang-cabang C5 dan C6 dari plexus brachialis. Pada keadaan ini ditemukan kelemahan untuk fleksi, abduksi, serta memutar ke luar disertai hilangnya refleks biseps dan Moro.

- Paralisis Klumpke, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh cabang C8-Th 1 dari plexus brachialis. Disini terdapat kelemahan oto-otot fleksor pergelangan, sehingga bayi kehilangan refleks mengepal.

Kelainan ini timbul akibat tarikan yang kuat di daerah leher pada saat lahirnya bayi, sehingga terjadi kerusakan pada plexus brachialis. Hal ini ditemukan pada persalinan sungsang apabila dilakukan traksi yang kuat dalam usaha melahirkan kepala bayi. Pada persalinan presentasi kepala, kelainan dapat terjadi pada janin dengan bahu lebar. (3,11,12)

Penanggulangannya dengan jalan meletakkan lengan atas dalam posisi abduksi 90° dan putaran ke luar. Siku berada dalam fleksi 90° disertai supinasi lengan bawah dengan ekstensi pergelangan dan telapak tangan menghadap ke depan. Posisi ini dipertahankan untuk beberapa waktu. Penyembuhan biasanya setelah beberapa hari, kadang-kadang 3-6 bulan. (3,8,11)

d. Paralisis pita suara

Kelainan ini mungkin timbul pada setiap persalinan dengan traksi kuat di daerah leher. Trauma tersebut dapat mengenai cabang ke laring dari nervus vagus, sehingga terjadi gangguan pita suara (afonia), stridor pada inspirasi, atau sindroma gangguan pernafasan. Kelainan ini dapat menghilang dengan sendirinya dalam waktu 4-6 minggu dan kadang-kadang diperlukan tindakan trakeotomi pada kasus yang berat. (3)

e. Kerusakan medulla spinalis

Kelainan ini ditemukan pada kelahiran letak sungsang, presentasi muka atau presentasi dahi. Hal ini terjadi akibat regangan longitudinal tulang belakang karena tarikan, hiperfleksi, atau hiperekstensi pada kelahiran. Gejala yang ditemukan tergantung dari bagian medulla spinalis yang terkena dan dapat memperlihatkan sindroma gangguan pernafasan, paralisis kedua tungkai, retensio urine, dan lain-lain. Kerusakan yang ringan kadang-kadang tidak memerlukan tindakan apa-apa, tetapi pada beberapa keadaan perlu dilakukan tindakan bedah atau bedah saraf. (3,4,5,11,12)

5. Perlukaan lain

- Perdarahan intra abdominal

Kelainan ini dapat terjadi akibat teknik yang salah dalam memegang bayi pada ekstraksi persalinan sungsang. Gejala yang dapat dilihat ialah adanya tanda-tanda syok, pucat, anemia, dan kelainan abdomen tanpa tanda-tanda perdarahan yang jelas. Ruptur hepar, lien dan perdarahan adrenal merupakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan perdarahan ini. Operasi serta transfusi darah dini dapat memperbaiki prognosis bayi.(3,11,12)

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunatmadja I., Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Bayi Risiko Tinggi, dalam Temu Muka dan Konsultasi : Deteksi dan Stimulasi Dini Bayi Risiko Tinggi, Jakarta, 2000.

2. Maridin F., Kematian Perinatal di RSUP Sarjito th 1991-1995 & Analisis Faktor Resiko, Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM, Yogyakarta,1996 : 2-4

3. Wiknjosastro H., Perlukaan persalinan, dalam Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1997 : 716-722.

4. Nygaard D., Traumatic Birth Syndrom, http://www.yahoo.com., 2001

5. Plasker E., Traumatic Birth Syndrom, http://www.google.com., 2002

6. Monheit, Silverman, Fodera, Birth Injury Birth Trauma, http://www.google.com., 2002.

7. Rima M et all, Kamus Kedokteran Dorland, Ed.XXVI, EGC, Jakarta, 1996 : 1951.

8. Hasan R., Alatas H., Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta, 1985 : 1069-1071.

9. Pranoto I., Pertumbuhan dan Perkembangan Intrauterin, Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK UGM, Yogyakarta,1992.

10. Rachman M & Dardjad M.T., Segi-segi Praktis Ilmu Kesehatan Anak, Kelompok Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran,Jakarta,1987.

11. Behrman R., Vaughan V., Trauma lahir, dalam Nelson- Ilmu Kesehatan Anak, Ed. XII, EGC, Jakarta, 1994 : 608-614.

12. Oxorn H., Bayi Baru lahir, dalam Ilmu Kebidanan : Patologi & Fisiologi Persalinan, Yayasan Esentia Medika, 1996 : 660-681.

13. Bagian Obstetri dan Ginekologi, Obstetri Operatif, FK Unpad, Bandung, 1977 : 37-85