Kamis, 26 Februari 2009

Komplikasi Transfusi Darah dan Pengobatannya

 

Transfusi darah masif jarang dilakukan, lebih-lebih sebab permintaan darah hampir selalu tersendat-sendat. Kalau terjadi perdarahan banyak dan persediaan darah kurang, yang diberikan ialah cairan pengganti darah.

Kadang-kadang transfusi darah masif dapat dilakukan sebab persediaan darah cukup dan kadang-kadang donor juga cukup banyak. Seandainya persediaan darah cukup, maka pemberian suatu transfusi masif bukan tanpa risiko untuk terjadinya macam-macam komplikasi, sehingga diperlakukan alat tambahan untuk memudahkan kita memantau selama pemberian transfusi masif tersebut. Alat tambahan tersebut antara lain ialah EKG, analisis gas darah, dan CVP.

Selain risiko, penyediaan alat-alat dan pemeriksaan analisis gas darah yang berulang merupakan beban biaya tambahan bagi penderita.

DEFINISI

Transfusi darah masif adalah pemberian darah dengan kecepatan lebih dari 30 ml/kg BB/jam ( 2 ), atau dapat juga dikatakan pemberian darah secara mendadak lebih dari 1,50 kali perkiraan jumlah darah penderita (5, 8).

KEGUNAAN

Transfusi darah disini digunakan untuk :

1. Memperbaiki kapasitas pengangkutan oksigen.

2. Mempertahankan volume darah (1, 8).

KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH

Pada umumnya komplikasi transfusi ini dibagi menjadi :

I. Reaksi imunologi

II. Reaksi non imunologi

III. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah masif.

I. REAKSI IMUNOLOGI

A. REAKSI TRANSFUSI HEMOLITIK

Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi yang jarang terjadi tetapi serius dan terdapat pada satu diantara dua puluh ribu penderita yang mendapat transfusi (8).

1. Lisis sel darah donor oleh antibodi resipien.

Hal ini bisa terjadi dengan cara :

a. Reaksi transfusi hemolitik segera

b. Reaksi transfusi hemolitik lambat.

2. Lisis sel resipien oleh antibodi darah transfusi secara masif.

Reaksi ini sering terjadi akibat kesalahan manusia sebagai pelaksana, misalnya salah memasang label atau membaca label pada botol darah.

Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah menggigil, panas, kemerahan pada muka, bendungan vena leher , nyeri kepala, nyeri dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal, takhikardi, hipotensi, hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan asalnya, dan ikterus. Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar untuk dideteksi dan memerlukan perhatian khusus dari ahli anestesi, ahli bedah dan lain-lain.

Tanda-tanda yang dapat dikenal ialah takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang tiba-tiba meningkat, selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya hemoglobinemi dan hemoglobinuri. Urine menjadi coklat kehitaman sampai hitam dan mungkin berisi hemoglobin dan butir darah merah. (8).

Terapi reaksi transfusi hemolitik : pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan digunakan untuk mempertahankan jumlah urine yang keluar. Diuretika yang digunakan ialah :

a. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian diikuti pemberian 40 mEq Natrium bikarbonat.

b. Furosemid

Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat, albumin dan darah yang cocok. Bila volume darah sudah mencapai normal penderita dapat diberi vasopressor. Selain itu penderita perlu diberi oksigen.

Bila terjadi anuria yang menetap perlu tindakan dialisis (8).

Cara menghindari reaksi transfusi :

Untuk mengerjakan ini perlu dilakukan :

a. Tes darah, untuk melihat cocok tidaknya darah donor dan resipien.

b. Memilih tips dan saringan yang tepat.

c. Pada transfusi darurat :

Banyak situasi terjadi dimana kebutuhan darah sangat mendesak sebelum dilakukan pemeriksaan cocok tidaknya darah secara lengkap. Dalam situasi demikian tidak perlu dilakukan pemeriksaan secara lengkap, dan jalan singkat untuk melakukan tes bisa dikerjakan sebagai berikut :

1. Type-Specific, Partially Crossmatched Blood

Bila kita menggunakan darah “un-crossmatched”, maka paling sedikit harus diperoleh tipe ABO-Rh dan sebagian “crossmatched”.

2. Tipe-Specific, Uncrossmatched Blood.

Untuk penggunaan tipe darah yang tepat maka tipe ABO-Rh harus sudah ditentukan selama penderita dalam perjalanan ke rumah sakit.

3. O Rh-Negatif (Universal donor) Uncrossmatched Blood

Golongan darah O kekurangan antigen A dan B, akibatnya tidak dapat dihemolisis baik oleh anti A ataupun anti B yang ada pada resipien. Oleh sebab itu golongan darah O kita sebut sebagai donor universal dan dapat digunakan pada situasi yang gawat bila tidak memungkinkan untuk melakukan penggolongan darah atau “crossmatched”. Tetapi bagaimanapun juga pemberian darah golongan inipun bukan tanpa resiko ( 1).

B. REAKSI TRANSFUSI NON HEMILITIK

1. Reaksi transfusi “febrile”

Tanda-tandanya adalah sebagai berikut :

Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri otot, mual, batuk yang tidak produktif.

2. Reaksi alergi

a. “Anaphylactoid”

Keadaan ini terjadi bila terdapat protein asing pada darah transfusi.

b. Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-gatal. Biasanya muka penderita sembab.

Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi harus disetop.

Alergi yang berat jarang terjadi dan ini kita sebut reaksi anafilaksis, dengan tanda-tanda sebagai berikut : sesak nafas, hipotensi, edema larings, nyeri dada, dan shok. Reaksi anafilaksis ini disebabkan karena transfusi IgA kepada penderita yang kekurangan IgA dan telah terbentuk anti IgA. Tipe reaksi ini tidak termasuk tipe kerusakan sel darah merah, kejadiannya sangat cepat dan biasanya terjadi sesudah mendapat transfusi darah atau plasma hanya beberapa ml. Penderita yang menunjukkan tanda-tanda reaksi anafilaksis bila perlu mendapat darah, harus diberi sel darah merah yang telah dibersihkan dari semua sisa donor IgA, atau dengan darah yang sedikit mengandung protein IgA (1).

II. REAKASI NON IMUNOLOGI

A. Reaksi transfusi “Pseudohemolytic”

Termasuk disini ialah lisis terhadap sel darah merah tanpa reaksi antigen-antibodi. Hemolisis ini dapat terjadi akibat obat, macam-macam keadaan penyakit, trauma mekanik, penggunaan cairan dextrosa hipotonis, panas yang berlebihan dan kontaminasi bakteri.

B. Reaksi yang disebabkan oleh volume yang berlebihan.

C. Reaksi karena darah transfusi terkontaminasi

D. Virus hepatitis.

Risiko terkena hepatitis sesudah transfusi merupakan keadaan klinik yang penting. Tes untuk HBV (Hepatitis B Virus), penyaringan untuk Non-A dan Non-B juga bisa mengurangi risiko terkena transmisi penyakit tersebut (5,8,9).

E. Lain-lain penyakit yang terlibat pada terapi transfusi misalnya malaria, sifilis, virus CMG dan virus Epstein-Barr parasit serta bakteri.

F. AIDS.

III. KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN TRANSFUSI DARAH MASIF

1. “DILUTIONAL COAGULOPATHY”

Darah simpan yang diberikan secara masif sering kekurangan faktor V dan VIII (1,2,8). Mutu atau derajat faktor V pada darah simpan sampai 21 hari sekitar 30% atau lebih, sedangkan derajat yang dibutuhkan untuk hemostasis antara 15-50%. Derajat faktor VIII pada darah simpan 21 hari berkisar antara 15-50%.

Jadi terdapat sedikit dasar kebenarannya untuk menyamakan penggunaan FFP pada transfusi masif. Kenyataannya darah simpan kurang dari 10 hari masih bisa memberikan faktor koagulasi yang cukup pada penderita.

Satu yang harus diingat ialah bahwa penggunaan FFP yang berlebihan menambah transmisi penyakit pada penderita, misalnya hepatitis dan AIDS (2).

Kecenderungan terjadinya perdarahan biasanya sesudah penderita mendapat transfusi banyak dan cepat dengan menggunakan campuran ACD. Ini terjadi bila kita memberikan darah 20-30 unit, dan untuk penderita debil dan anak kecil lebih berkurang lagi (6). Manifestasi kliniknya yaitu terdapatnya “oozing” pada daerah operasi, perdarahan pada gusi, “petechiae” dan “echymosis”. Untuk mengatasi ini biasanya penderita mendapat darah ACD lagi. Selama pemberian darah masif tetap dengan bahan-bahan yang kekurangan faktor-faktor pembeku, maka selama itu pula perdarahan akan timbul, dan demikian selanjutnya hingga merupakan lingkaran setan.

Etiologi kecenderungan perdarahan ini kemungkinan adalah terjadinya “dilutional thrombocytopenia”, kekurangan faktor-faktor labil, dan DIC (5).

Tujuan terapi disini ialah untuk mempertahankan faktor-faktor V dan VIII mendekati 30%, sebab 20% faktor V dan 30% faktor VIII diperlukan untuk hemostasis penderita yang dioperasi (5). Untuk mempertahankan faktor V dan VIII pada derajat 30% maka kepada penderita diberikan 2-3 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk tiap 10 unit “packed cells” dan transfusi “plasma protein fracyion” (1,6). Setiap pemberian 5 unit darah perlu diperiksa jumlah platelet (6). Trombositopenia.

Pada penderita yang mendapat transfusi darah 10 unit atau lebih sering terjadi trombositopenia dan penderita perlu mendapat platelet (6).

a. Perdarahan selama operasi sering terjadi pada penderita dengan kadar platelet kurang dari 100.000/ cumm (4,6,8). Untuk mempertahankan jumlah platelet antara 50.000-100.000/cumm, maka penderita diberikan platelet konsentrat sebanyak 6-8 unit tiap pemberian 20 unit darah, kalau tidak bisa, penderita dapat diberi darah segar yang umurnya kurang dari 6 jam.

b. Tiap unit platelet konsentrat menambah jumlah platelet sebanyak 10-12 ribu/cumm pada penderita muda dengan berat badan 70 kg.

c. Darah segar dapat mempertahankan kadar platelet pasca operasi di atas 90 ribu/cumm.

Perdarahan yang hebat akibat trombositopenia pada transfusi masif mulai terjadi sesudah transfusi 10 unit darah atau lebih. Jadi tidak rasional bila kita memberi darah lama pada penderita yang mendapat transfusi sebanyak 10-15 unit.

2. DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION (DIC)

a. DIC sukar diidentifikasi pada penderita yang mendapat transfusi masif. DIC merupakan kombinasi antara perdarahan dan trombosis, suatu hal dua kejadian yang bertentangan. Untuk membantu keadaan yang bertentangan ini, kecenderungan perdarahan diterapi dengan antikoagulan, yaitu heparin. Pada jaringan hipoksia yang asidotik dengan bendungan aliran darah, baik langsung ataupun lewat pelepasan beberapa toksin akan terjadi pelepasan tromboplastin jaringan. Picu ini akan mempengaruhi proses koagulasi, menghasilkan faktor I, II, VII, VIII dan platelet.

Seandainya trombus dan fibrin mengendap pada mikrosirkulasi organ-organ vital, maka akan terganggu aliran darahnya.

Sesudah terjadi aktivasi sistem koagulasi yang tidak normal maka trombus dan fibrin akan mengendap pada mikrosirkulasi (5). Untuk mengatasikeadaan hiperkoagulasi, maka sistem fibrinolitik diaktifkan sehingga melarutkan fibrin yang berlebihan. Keadaan ini disebut fibrinolisis sekunder. Fibrinolisis primer dapat juga terjadi pada waktu transfusi masif dengan tujuan untuk mengaktifkan sistem fibrinolitik tanpa terjadi DIC. Pada fibrinolisis primer sejumlah besar plasmin atau aktivator fibrinolitik dilepaskan, yang menyebabkan larutnya penjendalan dan fibrin (5).

Diagnosis didasarkan atas analisis laboratorium terhadap faktor koagulasi, platelet, dan hasil fibrinolisis.

b. Tujuan utama terapi ialah untuk :

- menghilangkan penyebabnya

- mempertahankan volume normal

- mengganti faktor-faktor pembekuan yang cukup, dengan demikian penderita dapat melanjutkan proses koagulasi.

Jangan memberikan terapi berlebih karena akan menyebabkan pembekuan yang meluas.

Terapi adalah berupa :

- Fresh Frozen Plasma dan platelet concentrate

- Heparin : Penggunaannya pada DIC masih kontroversial tetapi dapat mencegah terjadinya mikrotrombi.

- EACA : Penggunaannya sangat jarang, terutama pada fibrinolisis primer.

3. INTOKSIKASI SITRAT (KOMPLIKASI YANG JARANG TERJADI)

Sitrat mengikat kalsium dengan akibat terjadinya hipokalsemi, dan hipokalsemi ini jarang terjadi.

Pemberian kalsium sebaiknya dibatasi sampai didapatkan bukti adanya depresi miokard dan pada EKG terdapat tanda-tanda hipokalsemi, yaitu terjadinya pemanjangan interval QT (1,7).

Konsentrasi ionisasi kalsium serum akan tetap normal bilamana kecepatan infus tidak lebih dari 30 ml/kg BB/jam (2,3).

Hipokalsemi dapat terjadi pada penderita dengan penyakit hati berat atau syok, karena kemampuan memetabolisme natrium sitrat berkurang (8).

4. KEADAAN ASAM BASA

Bila larutan ACD diberikan pada darah, maka pH-nya akan menurun sampai 7.0, hal ini disebabkan terutama karena keasaman larutan ACD. pH darah akan terus turun sampai kira-kira 6.5 sesudah sampai 21 hari disimpan, karena adanya glikolisis yang terus menerus dan pembentukan asam laktat dan peruvat oleh metabolisme sel. Lagi pula karena botol atau kantong plastik darah tidak memungkinkan terjadinya mekanisme pelepasan CO2, maka PaCO akan naik dari 150 sampai 210 torr.

Howland dan Schweizer menganjurkan untuk tiap 5 unit darah ACD yang ditransfusikan perlu diberikan 44.6 mEq natrium bikarbonat (5,6). Keasaman darah ACD hanya mempengaruhi penderita yang dalam keadaan syok atau penderita dengan respirasi tidak normal, atau adanya kompensasi dari ginjal. Miler berkesimpulan bahwa pemberian natrium bikarbonat secara empirik tidak perlu dan bukan merupakan indikasi, sehingga tidak logis bila pemberian natrium bikarbonat digunakan sebagai profilaksi untuk penderita yang tidak dapat kita perkirakan keasamannya. Tiap pemberian natrium bikarbonat harus didasarkan atas hasil analisis gas darah dan ini bisa dikerjakan setiap pemberian darah 5 unit (1,2,8).

Asidosis terjadi sebagai akibat hipoksia sel darah merah selama penyimpanan. Sesudah transfusi ion hidrogen dikembalikan ke sel darah merah atau sebagai buffer oleh plasma resipien (8).

5. HIPERKALEMI

Darah dari bank darah berisi ion K antara 17-24 mEq/L pada penyimpanan 21-33 hari (1). Hiperkalemia merupakan problem yang jarang terjadi. Pada darah simpan akan terjadi pengurangan isi kalium pada eritrosit dan kenaikkan dalam plasma.

6. HIPOTERMI

Transfusi masif yang menggunakan darah dingin dapat meningkatkan pelepasan energi untuk menaikkan temperatur tubuh, menaikkan pemakaian O2, afinitas hemoglobin dan O2, kebocoran ion K dari sel darah merah dan kerusakan metabolisme sitrat.

Umumnya telah diketahui bahwa pemberian beberapa unit darah dingin akan menurunkan temperatur resipien. Dengan cara memanaskan darah dari bank darah sesuai dengan panas tubuh sebelum diberikan pada penderita, maka secara bermakna akan mengurangi angka kejadian aritmi dan “cardiac arrest” selama transfusi masif. Walaupun Bayan menekan bahwa pemanasan darah hanya untuk transfusi masif, banyak yang percaya bahwa “whole blood” yang diberikan beberapa unit juga perlu dipanaskan bila diberikan selama operasi.

Suatu penurunan temperatur pada esofagus sebanyak 0.5 –1 C dapat mengakibatkan penderita menggigil sesudah operasi, sehingga menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen dan “cardiac out put”. Pemberian darah hangat sesuai dengan panas tubuh juga dapat menghindari menurunnya kecepatan metabolisme sitrat sehingga dapat mengurangi intoksikasi sitrat (6).

Transfusi dengan darah dingin sebanyak 5 unit dalam waktu 30 menit akan dapat menurunkan temperatur 4 C. pada 33 C, hipotermi dapat menyebabkan asidosis metabolik dan depressi “cardiac out put”. Perubahan posisi tubuh atau respirasi dapat menyebabkan “cardiac arrest”. Darah harus dihangatkan terlebih dahulu sebelum diberikan pada penderita dengan kecepatan tinggi dan dalam jumlah besar (8).

7. Post transfusion hepatitis (PTH)

Penemuan yang penting yaitu adanya Australian Antigen (HAA) dan hubungannya yang positif dengan hepatitis serum merupakan harapan baru untuk mengurangi PTH.

Kebanyakan darah yang diberikan adalah darah yang dibeli dari setiap orang sehingga penularan hepatitis bisa saja terjadi.

Semua Palang Merah perlu mengetes dan meniadakan donor positifnya HAA. Virus cytomegalo dapat menular lewat transfusi darah dan merupakan salah satu bagian yang bertanggung jawab untuk terjadinya PTH. Bila bukti-bukti tampak meyakinkan, dimana dapat dideteksi bahwa darah mengandung virus tersebut, maka transfusi dengan darah tersebut harus dihindari.

Cara lain untuk mengatasi PTH ialah dengan memberikan modifikasi gamma globulin intravena sebelum pemberian darah (6).

DIAGNOSIS DAN TERAPI PERDARAHAN

Keberhasilan pengobatan tergantung pada kemampuan menentukan diagnosis penyebab problem perdarahan. Penderita yang menerima transfusi masif dengan darah ACD akan mendapat berbagai kelainan hasil laboratorium dan ini membuat kita mendapatkan kesukaran untuk menentukan sebab-sebab yang jelas. Sebagai contoh trombositopeni mungkin merupakan akibat “dilutional coagulopathy” yang akan terjadi selama transfusi masif, atau akibat dari DIC, atau karena keduanya.

Perdarahan pada penderita dengan trombositopenia mungkin disebabkan oleh “dilutional coagulopathy” dengan fibrinolisis primer.

Untuk membedakan ini perlu dideteksi derajad fibrinogen. Walaupun hal ini mudah dikerjakan dikebanyakan rumah sakit; namun tidak dapat segera memberikan hasil, terutama pada malam hari. Untuk menghadapi keadaan semacam ini, sesudah mendapatkan contoh darah untuk menentukan jumlah platelet, derajat fibrinogen plasma, dan “partial thromboplastin time (PTT)”, kemudian kita periksa bekuan darah dalam hal ukuran dan stabilitasnya. Bila PTT naik secara tidak normal dan tes yang lain normal maka perdarahan mungkin disebabkan oleh sangat rendahnya faktor V dan VIII, dan ini bisa diterapi dengan FPP yang berisi semua faktor koagulasi kecuali platelet.

Bila bekuan darah pada “test tube” mengalami lisis didalam waktu 1 atau 2 jam, maka terjadi fibrinolisis berlebihan. Untuk menghambat pembentukan plasmin dan mengurangi fibrinolisis perlu pemberian Epsilon-aminocaproic acid (EACA). Penderita yang mendapat transfusi dianjurkan diberikan EACA. Tetapi bila fibrinolisis merupakan akibat sekunder, karena kita ingin mencegah terjadinya trombosis yang luas pada DIC, pemberian EACA justru akan memperberat DIC.

Karena tes untuk membedakan fibronolisis primer atau sekunder biasa tidak siap pakai, maka EACA hanya diberikan setelah heparinisasi dan setelah konsultasi dengan ahli-ahli yang bersangkutan. Fibrinolisis biasanya terjadinya akibat sekunder DIC, setelah kita mengalami keraguan yang lama dalam menetapkan pemberian EACA tanpa terlebih dahulu memberikan heparin pada penderita.

Bila terdapat keadaan tiga serangkai, ialah trombositopenia, hipofibrinogenemi, dan lisis suatu bekuan darah yang terjadi dalam waktu 2 jam, maka dipikirkan terjadinya suatu DIC. Bahkan tanpa lisis bekuan, fibrinogen (<100 mg/100 ml) yang bukan akibat “dilutional coagulopathy” sudah dianggap sebagai DIC.

Heparin dapat cepat memperbaiki jumlah platelet dan derajat fibrinogen serta dapat mengurangi perdarahan. Pemberian heparin biasanya dimulai dengan dosis 30 unit/kg BB, dan diberikan intravena.

Penentuan yang kedua terhadap platelet dan derajat fibrinogen dalam waktu 3 dan 4 jam mungkin merupakan suatu indikasi pemberian heparin. Bila hasil-hasil pemeriksaan laboratorium kembali normal dan intensitas perdarahan berkurang, pemberian heparin dapat disetop atau dikurangi. Setelah pemberian heparin sering terjadi kehilangan faktor pembekuan seperti platelet dan fibrinogen, sehingga perlu diganti dalam bentuk plasma, konsentrat platelet, atau darah segar.

DIC yang baru saja terjadi dapat diterapi tanpa heparin, yaitu dengan cara menghilangkan penyebab yang mempercepat terjadinya DIC. Heparin perlu diberikan pada syok dan DIC yang berat dan lama. Jadi heparin hanya dipertimbangkan sebagai terapi tambahan dan bukan terapi yang mujarab untuk penderita syok hipovolemi yang membutuhkan transfusi masif.

Menurut “American Association of Blood Banks” penderita hanya boleh mendapat komponen-komponen darah yang diperlukan. Contoh : bila penderita hanya membutuhkan platelet maka sisa unit darah lainnya, misalnya eritrosit, plasma dan albumin dapat disimpan untuk penderita lain (5).

Darah segar (kurang dari 6 jam penyimpanan) akan memberikan platelet paling banyak setiap donor. 90% platelet didapat dari plasma yang merupakan setengah dari jumlah tiap unit darah. Konsentrat platelet dapat disimpan dalam tempat sebesar 25 ml dan dapat memberikan 70-80% yang terdapat pada setiap unit darah. Bila yang diperlukan hanya platelet dan bukan lisis maka konsentrat platelet ini merupakan indikasi untuk diberikan pada penderita. Bila penderita dengan hipovolemi juga memerlukan penggantian eritrosit, albumin, beberapa faktor koagulasi dan platelet, maka secara praktis ialah dengan memberikan darah segar. Platelet yang disimpan pada 4 C harus dengan diberikan dalam waktu 6 jam setelah penyimpanan untuk dapat memberikan kegunaan yang maksimal.

Pada transfusi sel darah merah diperlukan kecocokan antara donor dan resipien. Kita menggunakan tipe dan saringan infus tertentu, sebab makin meningkatnya jumlah operasi elektif yang biasanya tidak menggunakan darah. Pada operasi-operasi elektif darah hanya digunakan pada keadaan tertentu saja. Ini memberikan beberapa keuntungan, ialah :

1. Mengurangi jumalh sel darah setiap harinya.

2. Mengurangi petugas Bank Darah.

3. Ongkos yang dibebankan pada penderita menjadi lebih rendah.

Untuk memantau penderita dengan transfusi masif diperlukan :

1. EKG untuk mengetahui perusahaan kalsium dalam darah.

2. CVP dan kateter urine untuk mengetahui keluarnya urine setiap jam.

3. Analisis gas darah untuk mengetahui PaO2, PaCO2, pH. Ketiga hal tersebut perlu dipantau setiap pemberian 5 unit darah, untuk menentukan secara tepat berapa natrium biakrbonat yang harus diberikan.

KESIMPULAN

I. Koagulasi

A. Pertimbangkan pemberian darah segar atau konsentrat platelet setelah pemberian darah 10 unit.

B. Memeriksa jumlah platelet dan bekuan untuk lisis sesudah tiap 5 unit darah ACD yang diberikan.

C. Bila mungkin memantau “partial thromboplastin time” dan derajat fibrinogen plasma setiap 10 unit darah.

II. Pemberian darah sesegar mungkin, untuk menghindari sisa-sisa darah yang lewat saringan, atau pertimbangkan penggunaan filter yang adekuat.

III. Hangatkan darah sebelum ditransfusikan.

IV. Analisis gas darah untuk menentukan PaO2, PaCO2, dan pH. Setiap pemberian 5 unit darah perlu dipantau ketiga hal di atas untuk menentukan pemberian natrium bikarbonat secara tepat.

V. Memantau EKG terus-menerus untuk mengetahui adanya perubahan kalium dan kalsium dalam darah, dan pengobatan hanya bila ada indikasi.

VI. Pemasangan CVP dan kateter urine untuk mengetahui jumlah urine yang keluar.

VII. Transfusi darah masif bisa juga terkena hepatitis, AIDS dan malaria.