Kamis, 26 Februari 2009

Terapi Cairan Pasca Bedah

 

Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama pembedahan dan pascabedah. Terapi cairan meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan normal dan pulihnya perfusi ke jaringan, oksigenasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.1

Dalam pemberian cairan pada pasien perioperatif, kita harus memperhitungkan kebutuhan cairan basal, penyakit yang menyertai, medikasi, teknik dan obat anestetik serta kehilangan cairan akibat pembedahan.1

Penderita yang menjalani pembedahan mengalami perubahan fisiologi tubuh, baik karena penyakitnya sendiri atau akibat trauma pembedahan. Perubahan-perubahan tersebut antara lain : 2,3

a. Peningkatan rangsang simpatis yang menimbulkan sekresi katekolamin dan menyebabkan takikardi, konstriksi pembuluh darah, peningkatan kadar gula darah.

b. Rangsangan terhadap kelenjar hipofise

  • Bagian anterior : sekresi growth hormone yang mengakibatkan kenaikan kadar gula darah, dan sekresi ACTH.
  • Bagian posterior : sekresi ADH yang mengakibatkan retensi air (Syndrome Inappropriate of ADH secretion)

c. Peningkatan sekresi aldosteron akibat stimulasi ACTH dan berkurangnya volume ekstra sel.

d. Peningkatan kebutuhan oksigen dan kalori karena peningkatan metabolisme.

Pemberian infus kristaloid atau koloid, terutama ditujukan untuk mempertahankan volume intravaskular, tetapi juga akan mempengaruhi komposisi kompartemen cairan fisiologi. Untuk mengurangi penyulit akibat pemberian cairan yang kurang atau berlebihan, diperlukan pengetahuan tentang volume, komposisi kompartemen cairan dan tanda-tanda fisik dan laboratori kelebihan dan kekurangan cairan dan pemilihan jenis cairan.1

A. Fisiologi Cairan Tubuh

1. Komposisi cairan tubuh

Cairan tubuh didistribusikan ke dalam 2 kompartemen utama, yaitu kompartemen intraselular dan ekstraseluler serta 1 kompartemen tambahan yaitu kompartemen transelular. Cairan dapat berpindah-pindah secara bebas sampai terjadi keseimbangan sehingga konsentrasi zat-zat terlarut dalam nilai osomalaritas di kedua kompartemen utama dipertahankan sama.4

Jumlah cairan/air tubuh total atau Total Body Water (TWB) adalah 60% x berat badan, terdiri dari cairan intrasel (ICF) 40% dan cairan ekstrasel (ECF) 20%. Cairan ekstrasel terdiri dari cairan interstitial (ICF) 15% dan cairan intravaskular (IVF) 5% x berat badan. Cairan intravaskular (5%BB) adalah plasma sel darah merah 3%. Jadi terdapat darah 8% BB atau kira-kira sama dengan 65-70 ml/kg berat badan pada laki-laki dan 55-65 ml/kg pada wanita. Total cairan tubuh bervariasi menurut umur, berat badan dan jenis kelamin.2,4,5,6,7

Air tubuh total maksimal pada saat lahir, kemudian berkurang secara progresif dengan bertambahnya umur. Air tubuh total pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan pada orang kurus (650 ml/kg BB) lebih banyak daripada yang gemuk (300-400 ml/kg BB).7

Tabel 1 a :

Perubahan Air Tubuh Total

Tabel 1 b :

Perubahan kompartemen cairan berdasar umur dan jenis kelamin

Umur

Laki-laki

Perempuan

Kompartemen

Laki-laki

(ml/kg)

Perempuan

(ml/kg)

1 bulan

1-12 bulan

1-10 tahun

10-16 tahun

17-39 tahun

40-49 tahun

> 60 tahun

76

65

62

59

61

55

52

76

65

62

57

50

47

46

CIS

CES

Interstisial

   Darah

Neonatus

Dewasa

Plasma

Eritrosit

450

200

165

 

80

60-70

35-40

25-30

400

150

120

 

80

55-65

30-35

20-25

Distribusi cairan di dalam kompartemen diatur oleh osmosalitas, distribusi Natrium dan distribusi koloid terutama albumin. Osmosalitas dikontrol oleh intake cairan dan regulasi ekskresi air oleh ginjal.

Ada 2 jenis bahan yang terlarut didalam cairan tubuh, yaitu :

a. Elektrolit

Elektrolit ialah molekul yang pecah menjadi partikel bermuatan listrik yaitu kation dan anion, yang dinyatakan dalam mEq/I cairan. Tiap kompartemen mempunyai komposisi elektrolit tersendiri (tabel 2). Komposisi elektrolit plasma dan interstisial hampir sama, kecuali didalam interstisial tidak mengandung protein.

Tabel 2 :

Electrolyte Content of Various Body Fluids (mEq)

 

Na

K

Mg

Ca

Cl

HCO2

HPO2

SO4

Protein

Plasma darah

142

1

3

5

103

25

 

 

16

Cairan interstisial

145

1

2

3

115

30

 

1

 

Cairan intraselular

10

160

35

2

8

160

140

 

55

a. Non elektrolit

Non elektrolit ialah molekul yang tetap, tidak berubah menjadi partikel-partikel, terdiri dari dekstrosa, ureum dan kreatinin.

Tabel 3

Zat-zat yang menimbulkan Tekanan Osmotik di dalam

Cairan Ekstrasel dan Intrasel

 

Plasma

(mOsmol/L H2O)

Interstisial

(mOsmol/L H2O)

Intrasel

(mOsmol/L H2O)

Na+

K+

Ca+

Mg++

Cl

HCO3

HPO4, H2PO4

SO4

Fosfokreatin

Karnosin

Asam amino

Kreatin

Laktat

Adenosin tripospat

Heksosa monopospat

Glukosa

Protein

Ureum

Total mOsmol

Kegiatan osmol yang dikoreksi (mOSmol)

P Osmotik total pada t

37°C (mmHg)

144

5

2,5

1,5

107

27

2

0,5

 

 

2

0,2

1,2

 

 

5,6

1,2

4

303,7

282,6

 

5453

137

4,7

2,4

1,4

112,7

28,3

2

0,5

 

 

2

0,2

1,2

 

 

5,6

0,2

4

302,2

281,3

 

5430

10

141

0

31

4

10

11

1

45

14

8

9

1,5

5

3,7

 

4

4

302,2

281,3

 

5430

1. Mekanisme regulasi tubuh

Ada dua mekanisme utama yang mengatur air tubuh yaitu pengaturan osmoler dan pengaturan volume non osmoler.8

a. Pengaturan osmoler

  • Sistem osmoreseptor ADH

Pada saat volume CES berkurang, osmolaritas meningkat, mengakibatkan pelepasan impuls dari osmoreseptor di hipotalamus anterior yang merangsang pituitari posterior untuk melepas ADH. Penurunan volume CES juga merangsang pusat haus yang juga menstimulasi pelepasan ADH. ADH mengakibatkan reabsorbsi Na dan air pada tubulus distal dan tubulus kolektivus, sehingga menaikkan volume CES. Peningkatan volumen CES akan memberikan umpan balik ke hipotalamus dan pusat haus sehingga volume CES dipertahankan tetap.

  • Sistem renin aldosteron

Saat volume CES berkurang, makula densa akan melepaskan renin yang berperan dalam pembentukan angiotensin I. Dengan converting enzim angiotensi I diubah menjadi angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat, menstimulasi kortek adrenal untuk mengeluarkan aldosteron, yang mengakibatkan reabsorbsi air dan Na sehingga sirkulasi meningkat.

b. Pengaturan non osmoler

Semua respon hemodinamik akan mempengaruhi reflek kardiovaskuler, yang juga akan mengatur volume cairan dan pengeluaran urin. Jika terjadi hipovolemia, reflek intratorak, reflekreseptor presor ekstratorak dan respon iskemik pusat akan mengaktifkan mekanisme hipotalamik dan sistem nervus simpatis.


2. Kebutuhan air dan elektrolit

Pada orang dewasa kebutuhan air dan elektrolit setiap hari adalah sebagai berikut :2

  • 30-35 ml/kg. Kenaikan suhu 1°C ditambah 10-15%

Pada anak sesuai berat badan : 0-10 kg : 100 ml/kgBB

10-20 kg : 1000 ml + 50 ml/kg diatas 10 kg

< 20 kg : 1500 ml + 20 ml/kg diatas 20 kg (UI)

  • Elektrolit : Na+ : 1,5 – 2 mEq/kgBB (100 mEq/hari = 5,9 g)

K+ : 1 mEq/kb/BB (60 mEq/hari = 4,5 g)

Menurut Collins kebutuhan cairan perhari, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut :

Tabel 4 :

Fluid Balance – Daily Water Requitments

(Based on Caloric Consumption – After Darrow)

 

Caloric Needs

Water Needs

 

Cal/kg

Cal/Total

MI/100cal

MI/kg

Infants

Children

Adolecents

Adult

Bed rest

Non sweating

Sweating

Work

125

100

80

 

20-25

30

35

45

1000-1200

1500-2000

2200-3000

 

1600

2100

3500

3000-5000

120

100-150

125

 

90

90-125

144

125-150

125

150

100

 

25

30

40-5

60

Keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran air.2

Air masuk

Minuman : 800-1700 ml

Makanan : 500-1000 ml

Hasil oksidasi : 200-300 ml

Air keluar

Urine : 600-1600 ml

Tinja : 50-200 ml

IWL : 850-1200 ml

A. Macam cairan intravena

Berdasarkan fungsinya cairan dapat dikelompokkan menjadi :2

1. Cairan pemeliharaan : ditujukan untuk mengganti air yang hilang lewat urine, tinja, paru dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang diberikan adalah cairan hipotonik, seperti D5 NaCl 0,45 atau D5W.

2. Cairan pengganti : ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh akibat sekuestrasi atau proses patologi lain seperti fistula, efusi pleura asites, drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat isotonik, seperti RL, NaCl 0,9 %, D5RL, D5NaCl.

3. Cairan khusus : ditujukan untuk keadaan khusus misalnya asidosis. Cairan yang dipakai seperti Natrium bikarbonat, NaCl 3%.

Cairan juga dibagi menjadi :

1. Kristaloid

Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextroa, tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskuler 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine.3,7 Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.4

2. Kolloid

Kolloid mengandung molekul-molekul besar berfungsi seperti albumin dalam plasma tinggal dalam intravaskular cukup lama (waktu parah koloid intravaskuler 3-6 jam), sehingga volume yang diberikan sama dengan volume darah yang hilang. Contoh cairan koloid antara lain dekstran, haemacel, albumin, plasma dan darah.2,7

Secara umum koloid dipergunakan untuk :3

1. Resusitasi cairan pada penderita dengan defisit cairan berat (shock hemoragik) sebelum transfusi tersedia.

2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat, misalnya pada luka bakar.

Perbandingan kristaloid dan koloid :9

Tabel 5 :

 

Kristaloid

Koloid

Efek volume intravaskuler

 

Efek volume interstisial

DO2 sistemik

-

 

Lebih baik

-

Lebih baik (efisien, volume lebih kecil, menetap lebih lama

-

Lebih tinggi

Sembab paru

Keduanya sama-sama potensial menyebabkan sembab paru

Sembab perifer

Koagulopati

Aliran urine

Reaksi-reaksi

Harga

Sering

-

Lebih besar

Tidak ada

Murah

Jarang

Dekstran > kanji hidroksi etil

GFR menurun

Jarang

Albumin mahal, lainnya sedang

A. Penatalaksanaan

1. Cairan pra bedah

Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi anestesi untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut. Penilaian status cairan ini didapat dari :7

  • Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus. Kencing terakhir, jumlah dan warnya.
  • Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda obyektif dari status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit, abdomen, mata dan mukosa.
  • Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit, hemoglobin dan protein.

Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang terjadi.8

  • Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara serius. Dehidrasi pada fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air).
  • Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat dan lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.
  • Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock cardiosirkulasi, terjadi pada kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit biasanya menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih.

Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, ada dewasa 2 ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan lebih dari 20 kg.10 Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I, ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya.2,3,7

Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi urine 0,5-1 ml/kgBB.2

2. Cairan selama pembedahan

Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama operasi. Berdasarkan beratnya trauma pembedahan dikenal pemberian cairan pada trauma ringan, sedang dan berat. Pada pembedahan dengan trauma ringan diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kg BB/jam sebagai pengganti akibat trauma pembedahan. Cairan pengganti akibat trauma pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan pada trauma pembedahan berat 8 ml/kg BB/jam.2,3

Cairan pengganti akibat trauma pembedahan pada anak, untuk trauma pembedahan ringan 2 ml/kg BB/jam, sedang 4 ml/kgBB/jam dan berat 6 ml/kgBB/jam.2,3

Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan dan perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi selama pembedahan sering mengalami kesulitan., dikarenakan adanya perdarahan yang sulit diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi, kain kasa, kain operasi dan lain-lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan untuk memperkirakan jumlah perdarahan dengan mengukur jumlah darah di dalam botol suction ditambah perkiraan jumlah darah di kain kasa dan kain operasi. Satu lembar duk dapat menampung 100 – 150 ml darah, sedangkan untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah dipakai, dimana selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah. Perkiraan jumlah perdarahan dapat juga diukur dengan pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara serial.3

Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman, yaitu Hb 7 – 10 g/dl atau Hct 21 – 30%. 20 – 25% pada individu sehat atau anemia kronis.11

Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB, fullterm 85 ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 85 ml/kgBB.3

Untuk menentukan jumlah perdarahan yang diperlukan agar Hct menjadi 30% dapat dihitung sebagai berikut : 3

1. EBV

2. Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah (RBCV preop)

3. Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)

4. Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV preop – RBVC 30%)

5. Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3

Transfusi dilakukan jika perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3.

Selain cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai penggantian cairan akibat perdarahan adalah sebagai berikut :

A. Berdasar berat-ringannya perdarahan : 3,13

1. Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup diganti dengan cairan elektrolit.

2. Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat diganti dengan cairan kristaloid dan koloid.

3. Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti dengan transfusi darah.

B. Klasifikasi shok akibat berdarahan : 11

Intravenous fluid replacement in haemorrhagic shock

Class I

(haemorrhage 750 ml (15%))

 

Class II

(haemorrhage 800-1500 ml (15-30%))

 

Class III

(haemorrhage 1500-2000 ml (30-40%))

 

 

Class IV

(haemorrhage 2000 ml (48%))

2.5 l Ringer-lactate solution or 1.0 L polygelatin

 

1.0 l polygelatin plus 1.5 L Ringer-lactate solution

 

1.0. l Ringer-lactate solution plus 0.5 l whole blood or 0.1-1.5 l equal volumes of concentrated red cells and polygelatin

 

1.0 l Ringer-lactate solution plus 1.0 l polygelatin plus 2.0 l whole  blood or 2.0 l equal volumes of concentrated red cells and polygelatin or hestastarch

Cairan paska bedah

Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :

a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.

b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris).

c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.

d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.

Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori, protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace element. Pemberian kalori sampai 40 – 50 Kcal/kg dengan protein 0,2 – 0,24 N/kg. Nutrisi parenteral ini penting, karena pada penderita paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75 – 125 gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka operasi, terjadi penurunan enzym pencernaan yang menyulitkan proses realimentasi.6

KESIMPULAN

Terapi cairan peri operatif meliputi pemberian cairan pada masa prabedah, selama pembedahan dan pasca bedah. Perlu diketahui perubahan fisiologi akibat pembiusan dan pembedahan, fisiologi cairan tubuh, tanda-tanda fisik dan laboratorium kelebihan atau kekurangan cairan.

Penilaian status cairan dilakukan pada kunjungan pertama pra bedah dan mulai diberikan terapi cairan dan diusahakan status cairan seoptimal mungkin sebelum dilakukan induksi pembiusan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat pembiusan dan pembedahan.

Selama pembedahan harus selalu dijaga keseimbangan cairan dan elektrolit dengan mengganti kehilangan cairan akibat pembedahan, kebutuhan dasar dan trauma pembedahan. Selalu dipantau tanda-tanda fisik mengenai kelebihan atau kekurangan cairan.

Terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk mengoreksi pemberian cairan sebelumnya dan memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi untuk mempercepat penyembuhan.

Cairan yang diberikan tergantung dari trauma operasi yang didapat. Adanya berbagai macam cairan memberi keleluasaan untuk memilih cairan yang mendekati kebutuhan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sunatrio, 1997, Terapi Cairan untuk Resusitasi Pasien Traumatik, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.

2. Suntoro, A, Terapi Cairan Perioperatif, dalam Muhiman, M. dkk., Anestesiologi, CV. Infomedika, Jakarta.

3. Ngurah, N., 1999, Terapi Cairan Perioperatif, Workshop Cairan, FK UGM, RSUP Dr. Sardjito.

4. Mulyono, I., Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.

5. Setiabudi, M., 1986, Fisiologi Cairan Tubuh, dalam Simposium Terapi cairan pada Penderita Gawat.

6. Sutjahjo, RA., Sulistyono, H, Sunartomo, T., 1986, Terapi Cairan Paska Bedah, dalam Simposium Terapi Cairan pada Penderita Gawat.

7. Tonessen AS., 1990, Crystalloids and Colloid, in Miller, RD., Anesthesia, Ed 3rd, Vol. 2. Churchill Livingstone, p : 1439-1465.

8. Collins, VI., 1996, Fluids and Electrolytes, in Physicologic and Pharmachologic Bases of Anesthesia, Williams & Wilkins, USA, p : 165-187.

9. Sunatrio, 1998, Terapi Cairan Resusitasi, dalam Simposium dan Diskusi Panel Aspek Klinis Pengguna Koloid, IDSAI & IDI Cab. Sleman, Yogyakarta.

10. Lennon, P., 1993, Administration of General Anesthesia, in Davison, MD., et all, Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital, Ed 4th, Dept. of Anesthesia, Massachusetts Hospital, USA, p : 188-197.

11. Hansel, AC., 1993, Transfusion Therapy, in Davison, MD., et all, Clinical Anesthesia, Massachusetts Hospital, USA, p : 511-526.

12. Baskett, PJF., 1990, Management of Hypovolenic Shock, British Medical Journal (BMJ), Vol. 300 : 1453-1457.

13. Wirjo Atmadja, K., Megwae, HH., Rahardjo, E., 1986, Patofisiologi Cairan Tubuh pada Trauma dan Perdarahan, dalam Simposium Terapi Cairan pada Penderita Gawat.