Selasa, 05 Juni 2012

Tentukan Jalan Hidupmu



Masih membekas jelas dikepalaku kejadian beberapa tahun yang lalu, disaat itu aku dan teman-teman seangkatan SMA berdiri gelisah di depan gerbang sekolah pada suatu siang. Kami harap-harap cemas menunggu pengumuman kelulusan yang akan diumumkan oleh pihak sekolah pada pukul 9 pagi.

Alangkah bahagianya kami saat itu, karena kepala sekolah kami menyatakan bahwa seluruh siswa angkatan tahun itu dinyatakan lulus 100%. Para siswa meluapkan kegembiraannya dengan berbagai hal, ada yang langsung lari-lari mengitari lapangan basket di sekolah, dan ada yang melakukan ritual khas anak SMA yang baru lulus, yakni mencoret-coret baju.

Aku yang notabene tidak begitu tertarik untuk meluapkan kegembiraan secara berlebihan memilih duduk di bangku depan kantin sambil melihat pemandangan gembira di wajah teman-temanku. Entah mengapa, aku sangat menyukai ketika melihat orang yang tersenyum dan tertawa lepas, meskipun senyuman itu bukan ditujukkan untukku, tapi menurutku ada aura positif yang dipancarkan dari senyum seseorang. Secara tidak langsung mereka yang tersenyum ikhlas akan membagikan aura positifnya ke orang lain disekelilingnya.

"Sendirian aja nih di kantin? Gak ikutan yang lain pada coret-coret baju gitu?" Tanya Jaya teman sekelasku yang tiba-tiba datang menghampiri.

"Enggak ah, lagi males aja. Hehehe." Jawabku sekenanya.

"Oh..." Sejenak Jaya menghela nafas panjang "Kamu udah mikirin bakal lanjut kuliah dimana?"

"Kayanya sih aku mau lanjut kuliah kedokteran, tapi belum tau dimana. Klo kamu?"

"Wah, sama dong! Aku juga rencananya mau ngelanjutin di kedokteran. Tapi..." Mendadak Jaya tampak murung. "Sebenernya aku gak begitu pengen sih masuk kedokteran. Pengennya sih lanjut kuliah di arsitek, cuman gara-gara disuruh orang tua ya jadinya gitu deh."

Ayah Jaya adalah seorang dokter spesialis, dan sudah menjadi kebiasaan seorang anak dokter biasanya akan meneruskan profesi yang ditekuni oleh orang tua-nya. Bisa dibilang dokter itu ada faktor genetiknya juga, hampir lebih dari 50% jika salah satu dari orang tua ada yang berprofesi sebagai dokter, maka anaknya akan menjadi dokter pula.

"Iya aku tau ko, kamu kan emang jago banget dalam urusan menggambar." Jawabku berusaha untuk menghiburnya. Jaya memang senang dan memiliki bakat dalam menggambar. Suatu ketika kami mendapat tugas kesenian untuk menggambar bebas, disaat itu aku sedang sangat malas untuk mengerjakannya, kemudian aku meminta tolong Jaya untuk mengerjakan gambaranku. Dan hasilnya? Untuk pertama kalinya aku mendapat nilai 90 setelah sebelumnya selalu mendapat nilai 60.

"Tapi ya mau gimana lagi, aku gak enak sama orang tua-ku. Well, semoga kita diterima aja ya di Fakultas Kedokteran." Jawab Jaya dan ia langsung bergegas pergi.

***

Sudah setengah tahun berlalu sejak pengumuman kelulusan SMA. Aku sekarang berstatus sebagai mahasiswa FK di universitas negeri. Hari itu kebetulan kegiatan perkuliahan sedang diliburkan karena tanggal merah. Dan jadwal kegiatanku hari itu adalah menghadiri reuni bersama teman SMA di suatu cafe.

Ketika menghadiri reuni tersebut aku melihat Jaya. Kami sama-sama berhasil berkuliah di Fakultas Kedokteran meskipun berbeda universitas.

"Eh, gimana kabarnya nih? Lama hilang gak ada kabar. Kuliah kamu gimana?" Tanyaku setelah sekian lama tidak berkomunikasi dengannya.

"Baik dong. Ya gitu deh, gak nyangka ternyata kuliah di kedokteran ada disuruh ngegambar sediaan histologi, jadinya aku masih tetap bisa menyalurkan bakat aku deh hahaha."

"Jadi udah mantep kan sekarang buat jadi dokter? Gak pengen jadi arsitek lagi?" Tanyaku iseng.

"Jujur.." Muka Jaya tampak serius. "Awalnya sih aku ngerasa serba tertekan kuliah di FK, seolah-olah ini bukan duniaku. Otak ini seperti membenci semua ilmu yang diajarkan oleh para dosen. Aku sempet adu mulut dengan orang tua-ku, karena aku dulu berpikir bahwa semua ini gara-gara orang tua-ku yang memaksakan aku untuk kuliah di FK."

"Lah terus gimana?"

"Awalnya sempat kepikiran untuk pindah fakultas sih, tapi aku coba jalanin aja terus. Dan ternyata sampai sekarang ternyata aku bisa nikmatin kuliah disini. Ternyata kuliah di kedokteran itu gak seburuk apa yang aku bayangkan sebelumnya."

Aku-pun hanya tersenyum mendengar ucapan Jaya. Aku sangat sering mendengar cerita baik dari temanku di sekolah ataupun teman seangkatan di kampus, mereka bercerita bahwa alasan ia masuk FK adalah karena dipaksa oleh orang tua. Apakah salah jika kita masuk FK karena disuruh orang tua? Jawabannya ada pada diri individu masing-masing.

Tak ada salahnya ketika orang tua kita menyuruh kita masuk FK kita mencari tau terlebih dahulu seperti apa kuliah di FK. Apabila ternyata kita cocok dan tertarik tentu tidak akan ada masalah. Namun, yang menjadi permasalahan adalah apabila ternyata kita tidak cocok dengan sistem perkuliahan di FK. Orang tua pasti ingin yang terbaik bagi anaknya, bila kita bisa memberi tau keinginan kita dengan baik, mereka pasti akan mendengarkan kita.

Sering juga aku temukkan tipe orang seperti Jaya, yaitu tipe orang yang pasrah dengan keputusan orang tua, mereka masuk FK hanya semata-mata karena disuruh oleh orang tua. Syukur-syukur apabila ternyata mereka betah kuliah di FK, tapi jika nyatanya tidak cocok sehingga seseorang tersebut tidak belajar dengan sungguh-sungguh tentunya akan merugikan kedua orang tua.

Itulah mengapa alangkah baiknya jika kita memilih jalan hidup sebagai seorang dokter didasari atas niat diri sendiri. Lagipula kita sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Orang tua hanya memberikan pilihan yang menurutnya terbaik untuk anaknya, akan tetapi keputusan tetaplah ditangan kita.

"Hidup hanya 1 kali, jadi buatlah skenario yang indah dalam hidupmu."