Writed by:
Dr. Arwansyah Wanri (2007)
Edited by:
Harry Wahyudhy Utama, S.Ked
Dedicated to:
Dr. H. Hanafi Zainuddin, SpTHT-KL
(Pembimbing kami, Pengajar kami, Bapak kami, dan Penguji kami. Terima kasih untuk bimbingannya selama 5 minggu di THT kemarin dan ujiannya yang begitu berkesan)
Nb: Buat kak Arwan, terima kasih untuk bantuan bahan tonsilektomi nya.
Pendahuluan
Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan seluruh tonsil, berasal dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu, serta dari bahasa yunani ektomi yang berarti eksisi. Tonsilektomi sudah sejak lama dikenal yaitu sekitar 2000 tahun yang lalu. Cornelius celcus seorang penulis dan peneliti Romawi yang pertama memperkenalkan cara melepaskan tonsil dengan menggunakan jari dan disarankan memakai alat yang tajam, jika dengan jari tidak berhasil.
Tahun 1867 dikatakan bahwa sejak tahun 1000 sebelum masehi orang Indian asiatik sudah terampil dalam melakukan tonsilektomi. Frekuensi tindakan ini mulai menurun sejak ditemukannya antibiotik untuk pengobatan penyakit infeksi.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan ketrampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika, tonsilektomi digolongkan operasi mayor karena kekhawatiran komplikasi, sedangkan di Indonesia tonsilektomi digolongkan operasi sedang karena durasi operasi pendek dan tidak sulit.
Di Indonesia data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1993-2003) menunjukan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 ( 152 kasus).
Beragam teknik terus berkembang mulai dari abad ke-21, diantara teknik tersebut adalah diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi dengan coblation. Keseluruhan teknik ini mempunyai keuntungan serta kerugian tersendiri dan masih terjadi perdebatan dalam pemilihan teknik yang terbaik.
Anatomi
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).
Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding atas esofagus. otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring.
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas kearah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga sering menyebabkan sering terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas. Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu:
1) jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf, dan limfa,
2) folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda dan
3) jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.
Perdarahan tonsil didapatkan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A palatina asenden,
2. A maksilaris interna dengan cabangnya A palatina desenden,
3. A lingualis dengan cabangnya A. Lingualis dorsalis,
4. A faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. Lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A tonsilaris, kutub atas tonsil diperdarahi oleh A faringeal asenden dan A palatina desenden.
3
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui vena disekitar kapsul tonsil,vena lidah dan pleksus faringeal serta akan menuju v jugularis interna.
Gb1. Perdarahan tonsil
Persarafan tonsil didapat dari serabut saraf trigeminus melalui ganglion sfenopalatina dibagian atas dan saraf glosofaringeus dibagian bawah. Aliran limfe dari dari tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior dibawah M sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Struktur histologi tonsil sesuai dengan fungsinya sebagai organ imunologi. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limposit yang sudah disentisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b) abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
3. Kontraindikasi
a) Riwayat penyakit perdarahan
b) Resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
c) Anemia
d) Infeksi akut
Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
5. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebutakan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang dilakukan dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Tehnik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
• Laringosspasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b) Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
c) Komplikasi lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10. 000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia
Daftar Pustaka
1. Adams GL,Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL,Boies buku ajar penyakit THT,Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC edisi 6, 1994 : 337-40
2. Hatmansyah, Tonsilektomi. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran no 89. 1993: 18-21
3. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from: http://www. medicalnewstoday. com/medic alnews. php?newsid=13677
4. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994: p321-7
5. Drake A. Tonsillectomy. avaible from: http://www. emedicine. com/ent/topic315. htm/emed tonsilektomi
6. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Paparella,Gluckman S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery. Philadelphia, WB Saunders 3rd edition,1991:2149-56
7. Tukel DE,Little JP. Pediatric head and neck emergency. In : Eiscle DW and McQuone SJ. Emergency of the head and neck. Mosby. USA. 2000:324-326
8. Brodsky L and Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Bailey. Head and neck surgery-otolaryngology. Philadelphia. 2001:980-91
9. Liston SI. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring,esophagus dan leher. Dalam : Adam,Boies dan Higler. Boies. EGC. Jakarta. 1997:263-71
10. HTA. Tonsilektomi pada anak dan dewasa. Unit Pengkajian Teknologi Kesehatan Direktorat Jenderal pelayanan Medik Depkes RI. 2004
11. hhtp:/www. etnet. org/Kids ENT/tonsil procedures. efm
12. Chowdhury K. et al. Post tonsillectomy and adenoidectomy hemorrhage. J Otolaryngology. 1998 Febr : 17 (1):46-9
13. Chang KW. Randomized controlled trial of coblation versus electrocautery tonsillectomy. Otolaryngology head and neck surgery 2005: 132(2):273-80
14. Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy and tympanostomy tubes. In Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT et all,eds Head and neck surgery otolaryngology. Philadelphia, Wolter kluwer company. 3rd edition,2001:993-6
15. Blomgren et all. A prospective Study on pros and Cros of Electrodissection Tonsillectomy. Laryngoscopy. March 2001:111(3):478-82
Sumber
Edited by:
Harry Wahyudhy Utama, S.Ked
Dedicated to:
Dr. H. Hanafi Zainuddin, SpTHT-KL
(Pembimbing kami, Pengajar kami, Bapak kami, dan Penguji kami. Terima kasih untuk bimbingannya selama 5 minggu di THT kemarin dan ujiannya yang begitu berkesan)
Nb: Buat kak Arwan, terima kasih untuk bantuan bahan tonsilektomi nya.
Pendahuluan
Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan seluruh tonsil, berasal dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu, serta dari bahasa yunani ektomi yang berarti eksisi. Tonsilektomi sudah sejak lama dikenal yaitu sekitar 2000 tahun yang lalu. Cornelius celcus seorang penulis dan peneliti Romawi yang pertama memperkenalkan cara melepaskan tonsil dengan menggunakan jari dan disarankan memakai alat yang tajam, jika dengan jari tidak berhasil.
Tahun 1867 dikatakan bahwa sejak tahun 1000 sebelum masehi orang Indian asiatik sudah terampil dalam melakukan tonsilektomi. Frekuensi tindakan ini mulai menurun sejak ditemukannya antibiotik untuk pengobatan penyakit infeksi.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan ketrampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika, tonsilektomi digolongkan operasi mayor karena kekhawatiran komplikasi, sedangkan di Indonesia tonsilektomi digolongkan operasi sedang karena durasi operasi pendek dan tidak sulit.
Di Indonesia data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1993-2003) menunjukan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 ( 152 kasus).
Beragam teknik terus berkembang mulai dari abad ke-21, diantara teknik tersebut adalah diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi dengan coblation. Keseluruhan teknik ini mempunyai keuntungan serta kerugian tersendiri dan masih terjadi perdebatan dalam pemilihan teknik yang terbaik.
Anatomi
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).
Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding atas esofagus. otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring.
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas kearah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga sering menyebabkan sering terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas. Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu:
1) jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf, dan limfa,
2) folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda dan
3) jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.
Perdarahan tonsil didapatkan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A palatina asenden,
2. A maksilaris interna dengan cabangnya A palatina desenden,
3. A lingualis dengan cabangnya A. Lingualis dorsalis,
4. A faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. Lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A tonsilaris, kutub atas tonsil diperdarahi oleh A faringeal asenden dan A palatina desenden.
3
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui vena disekitar kapsul tonsil,vena lidah dan pleksus faringeal serta akan menuju v jugularis interna.
Gb1. Perdarahan tonsil
Persarafan tonsil didapat dari serabut saraf trigeminus melalui ganglion sfenopalatina dibagian atas dan saraf glosofaringeus dibagian bawah. Aliran limfe dari dari tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior dibawah M sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Struktur histologi tonsil sesuai dengan fungsinya sebagai organ imunologi. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limposit yang sudah disentisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b) abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
3. Kontraindikasi
a) Riwayat penyakit perdarahan
b) Resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
c) Anemia
d) Infeksi akut
Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
5. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebutakan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang dilakukan dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Tehnik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
• Laringosspasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b) Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
c) Komplikasi lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10. 000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia
Daftar Pustaka
1. Adams GL,Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL,Boies buku ajar penyakit THT,Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC edisi 6, 1994 : 337-40
2. Hatmansyah, Tonsilektomi. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran no 89. 1993: 18-21
3. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from: http://www. medicalnewstoday. com/medic alnews. php?newsid=13677
4. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994: p321-7
5. Drake A. Tonsillectomy. avaible from: http://www. emedicine. com/ent/topic315. htm/emed tonsilektomi
6. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Paparella,Gluckman S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery. Philadelphia, WB Saunders 3rd edition,1991:2149-56
7. Tukel DE,Little JP. Pediatric head and neck emergency. In : Eiscle DW and McQuone SJ. Emergency of the head and neck. Mosby. USA. 2000:324-326
8. Brodsky L and Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Bailey. Head and neck surgery-otolaryngology. Philadelphia. 2001:980-91
9. Liston SI. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring,esophagus dan leher. Dalam : Adam,Boies dan Higler. Boies. EGC. Jakarta. 1997:263-71
10. HTA. Tonsilektomi pada anak dan dewasa. Unit Pengkajian Teknologi Kesehatan Direktorat Jenderal pelayanan Medik Depkes RI. 2004
11. hhtp:/www. etnet. org/Kids ENT/tonsil procedures. efm
12. Chowdhury K. et al. Post tonsillectomy and adenoidectomy hemorrhage. J Otolaryngology. 1998 Febr : 17 (1):46-9
13. Chang KW. Randomized controlled trial of coblation versus electrocautery tonsillectomy. Otolaryngology head and neck surgery 2005: 132(2):273-80
14. Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy and tympanostomy tubes. In Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT et all,eds Head and neck surgery otolaryngology. Philadelphia, Wolter kluwer company. 3rd edition,2001:993-6
15. Blomgren et all. A prospective Study on pros and Cros of Electrodissection Tonsillectomy. Laryngoscopy. March 2001:111(3):478-82
Sumber