Melbourne, Kompas - Dokter spesialis umumnya terpusat di daerah banyak penduduk dengan banyak rumah sakit swasta. Akibatnya, banyak rumah sakit pemerintah di daerah kekurangan dokter spesialis dasar, yaitu dokter spesialis penyakit dalam, kebidanan dan kandungan, bedah, anak, serta dokter spesialis anestesi.
”Rumah sakit swasta di daerah berpenduduk banyak menawarkan kompensasi baik dan menarik bagi dokter,” kata peneliti Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM), Andreasta Meliala, seperti dilaporkan wartawan Kompas M Zaid Wahyudi dari Melbourne, Australia, Rabu (12/10), dalam lokakarya ”Peran Perhimpunan Profesi Kedokteran-Kesehatan dalam Memperkuat Sistem Kesehatan yang Berkeadilan” di Institut Nossal untuk Kesehatan Global, Universitas Melbourne.
Banyak daerah mencoba menarik dokter spesialis dasar dan anestesi dengan iming-iming gaji besar. Namun, banyak yang ditolak. Gaji besar bukan hal utama, tetapi seberapa banyak bisa praktik sampingan, kemudahan akses hiburan dan informasi, pendidikan bagi anak, dan kesempatan mengembangkan profesionalitas lebih baik.
”Sebanyak 87 persen dokter spesialis menghabiskan waktu praktik di rumah sakit swasta. Mengandalkan kerja di rumah sakit pemerintah, pendapatan sangat kecil,” kata Guru Besar Kesehatan Masyarakat FK UGM Laksono Trisnantoro. Sekitar 80 persen pendapatan dokter spesialis berasal dari swasta yang menawarkan kompensasi lebih.
Biaya pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan dokter membuat dokter spesialis berlomba mengembalikan investasi pendidikannya dengan banyak cara. Banyak dokter praktik lebih dari tiga tempat meski melanggar undang-undang. Jam kerja praktik dokter pun bisa 12-18 jam per hari.
Jika ada dokter spesialis bekerja di rumah sakit pemerintah di kabupaten, banyak yang tak betah meski bergaji tinggi. Ketiadaan alat dan tenaga kesehatan penunjang membuat kemampuan dokter banyak tak terpakai, yang mengancam keterampilan dan profesionalisme.
Untuk mengisi kebutuhan dokter spesialis di daerah, pemerintah mengadakan program pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi. Program itu dikritisi para dokter spesialis dari berbagai organisasi profesi.
Program itu untuk putra daerah. Namun, banyak yang enggan pulang ke daerah asal setelah selesai. Mereka memilih mengganti uang pendidikan hingga beberapa kali lipat.
Menurut Laksono, buruknya pengelolaan dokter akan memperburuk kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat
Sumber
”Rumah sakit swasta di daerah berpenduduk banyak menawarkan kompensasi baik dan menarik bagi dokter,” kata peneliti Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM), Andreasta Meliala, seperti dilaporkan wartawan Kompas M Zaid Wahyudi dari Melbourne, Australia, Rabu (12/10), dalam lokakarya ”Peran Perhimpunan Profesi Kedokteran-Kesehatan dalam Memperkuat Sistem Kesehatan yang Berkeadilan” di Institut Nossal untuk Kesehatan Global, Universitas Melbourne.
Banyak daerah mencoba menarik dokter spesialis dasar dan anestesi dengan iming-iming gaji besar. Namun, banyak yang ditolak. Gaji besar bukan hal utama, tetapi seberapa banyak bisa praktik sampingan, kemudahan akses hiburan dan informasi, pendidikan bagi anak, dan kesempatan mengembangkan profesionalitas lebih baik.
”Sebanyak 87 persen dokter spesialis menghabiskan waktu praktik di rumah sakit swasta. Mengandalkan kerja di rumah sakit pemerintah, pendapatan sangat kecil,” kata Guru Besar Kesehatan Masyarakat FK UGM Laksono Trisnantoro. Sekitar 80 persen pendapatan dokter spesialis berasal dari swasta yang menawarkan kompensasi lebih.
Biaya pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan dokter membuat dokter spesialis berlomba mengembalikan investasi pendidikannya dengan banyak cara. Banyak dokter praktik lebih dari tiga tempat meski melanggar undang-undang. Jam kerja praktik dokter pun bisa 12-18 jam per hari.
Jika ada dokter spesialis bekerja di rumah sakit pemerintah di kabupaten, banyak yang tak betah meski bergaji tinggi. Ketiadaan alat dan tenaga kesehatan penunjang membuat kemampuan dokter banyak tak terpakai, yang mengancam keterampilan dan profesionalisme.
Untuk mengisi kebutuhan dokter spesialis di daerah, pemerintah mengadakan program pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi. Program itu dikritisi para dokter spesialis dari berbagai organisasi profesi.
Program itu untuk putra daerah. Namun, banyak yang enggan pulang ke daerah asal setelah selesai. Mereka memilih mengganti uang pendidikan hingga beberapa kali lipat.
Menurut Laksono, buruknya pengelolaan dokter akan memperburuk kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat
Sumber