Sabtu, 20 April 2013

Aku Akan Menikahimu, Dinda.


Ini bukan hanya tentang aku, begitupun bukan hanya tentang dirimu. Ini tentang kita. Ya, setiap kita yang sedang bertumbuh, menuju penyempurnaan agamanya. Satu per satu rekan-rekan, kerabat, senior, adik kelas, kenalan menyampaikan kabar gembiranya silih berganti dan berbagi kebahagiaan melalui undangan pernikahannya di tahun ini. Membaca tulisan ini, beberapa kita mungkin menganggapnya galau. Galau kini seolah menjadi terminologi untuk segala pembicaraan terkait konsepsi hubungan, miris. Beberapa lainnya mungkin antusias, seolah mewakili gejolak yang ada di dalam hatinya. Selebihnya, mungkin tak peduli.

Menjadi hal yang wajar, di rentang usia sepertiku, konsepsi terkait hubungan terutama dalam konteks pernikahan sedang ramai dibicarakan. Tulisan ini hadir bukan untuk membangun kegelisahan yang merisaukan, namun mencoba menjadi salah satu sarana kecil membangun persiapan dan sedikit refleksi untuk ku, kamu, dan setiap kita yang sedang , akan, atau telah membangun pernikahan.

Ingin mengawali bahasan dari fenomena yang cukup menarik perhatianku. Beberapa orang yang aku kenal memilih menikah di usia sangat muda, ketika duduk di bangku perkuliahan tingkat 1, 2, 3, 4 hingga masa-masa koas. Sebaliknya, beberapa orang lain yang aku kenal memilih menikah di usia yang cukup matang, selaras dengan pencapaian dan kemapanan kariernya. Fenomena tersebut menjadi sebuah kondisi yang wajar memang. Hal yang kemudian menjadi tak wajar adalah ketika satu sama lain saling membanggakan dan memengaruhi orang lain terkait usia pernikahan mereka. Bahwa menikah muda itulah yang terbaik. Atau justru sebaliknya, kalangan yang menikah di usia matang mencibir mereka yang menikah muda seolah gegabah, terlalu tergesa-gesa. Lantas, manakah yang lebih baik?

Terlalu dangkal menurutku jika kebaikan sebuah pernikahan sekadar dilihat dari segi usia kapan mereka melangsungkan pernikahan. Bagiku, keputusan menikah muda maupun menikah di usia matang keduanya sama-sama baik, sama-sama hebat, tergantung konteksnya.

Menikah muda dengan alasan telah siap lahir batin, menyambung tali kasih sayang, menjaga kesucian dan menjaga kehormatan diri, menghasilkan banyak anak-anak hebat di kondisi orangtua yang masih produktif dan sehat tentu alasan yang tepat. Menikah nanti dengan alasan merasa belum mampu untuk menambah tanggung jawab dan merasa masih mampu menahan gejolak hasratnya sehingga memilih untuk terus mengisi dan memperbaiki diri terlebih dahulu, itu pun baik, sama-sama hebat.

Pernikahan itu bukanlah sebuah perlombaan. Jadi tidak tepat sebenarnya jika masih ada terminologi 'terlambat menikah' ataupun 'terlalu cepat menikah'. Seharusnya semua orang paham bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan. Sayangnya, tetap saja banyak yang masih punya definisi tentang ‘terlambat menikah’, atau sebaliknya ‘terlalu cepat menikah'. Tidak ada standar kapan harus menikah, karena semua orang khas. Jika tiba masanya, maka pasti akan terjadi, begitu pikirku.

Mungkin kita sadar, banyak sekali buku di pasaran yang bertujuan mengajak pembacanya menikah muda. Begitu pula acara-acara seperti seminar, talkshow, yang tema nya tak jauh dari menikah muda pun ramai di datangi. Marketnya siapa lagi kalo bukan anak muda. Karena banyak peminatnya, maka menjadi logis buku dan acara-acara ber genre menikah muda ramai kini kita temukan.

Tak ada yang salah sebenarnya dengan buku atau acara terkait dengan ajakan menikah muda. Hal ini pun aku pikir muncul sebagai solusi atas keprihatinan akan kondisi anak muda masa kini. Daripada terpaut dengan hubungan yang aneh-aneh dan tidak jelas, alangkah lebih baiknya diarahkan untuk menuju hubungan pernikahan. Begitu mungkin simpulan yang aku dapat.

Kalau kita lihat positifnya, para anak muda mungkin akan termotivasi untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir batin untuk bersanding dengan sang pujaan hati. Yang tadinya malas belajar jadi semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan, jadi semangat dalam bekerja.

Nah, lalu kalau dilihat negatifnya? Aku khawatir semangat menikah begitu menggelora di dada. Hanya terpesona pada kenikmatan yang di dapat dalam pernikahan, namun belum ada persiapan apa-apa. Jangan sampai kita lupa bahwa menikah dikatakan menyempurnakan setengah agama dikarenakan berat perjalanan yang akan dilaluinya. Memiliki persiapan yang cukup, mutlak menjadi keharusan. Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan?

Tidaklah cukup menikah dengan hanya beralasan keinginan untuk melindungi dan dilindungi, keinginan untuk disayang dan menyayangi, diperhatikan dan memperhatikan, ditemani dan menemani atau sejenisnya. Menikah bukan perkara sesederhana itu. Menikah adalah perkara tanggungjawab. Siapkah kita menjalani tanggungjawab itu?

Disegerakan, namun bukan tergesa-gesa. Mari kita alihkan energi cinta kita bukan untuk sekadar melihat, bukan hanya untuk memikirkan tentang dirinya yang terbaik bagi kita. Namun untuk mempersiapkan. Meningkatkan kualitas diri. Bukankah memperbaiki diri berarti memperbaiki jodoh? Hal ini berlaku tak hanya untuk laki-laki yang akan menjemput takdir jodohnya. Begitupun dengan perempuan,jangan sampai menunggu hanya digunakan untuk menutupi ketidaksiapan dan membebankan seluruhnya kepada para lelaki.

Lalu bagaimana mengenai perkara seseorang yang senantiasa berusaha meningkatkan kualitas diri, namun masih saja mendapat penolakan dalam menemukan pasangan? Jika benar sudah meningkatkan kualitas diri, menurutku ia tak merugi. Justru yang merugi adalah yang menolak, karena ia kehilangan orang yang serius membangun titik temu dengannya, untuk menggenapkan agama dengan cara yang baik, sedangkan orang yang ditolak hanya kehilangan orang yang memang tidak serius membangun titik temu dengan dirinya.

Jangan risau tentang masa depan, termasuk konteks menemukan pasangan, semuanya ada dalam genggaman Allah. Risaulah jika saat ini kita tidak serius mendekatinya. Sertakan Allah dalam perjuanganmu, karena jodoh itu bukan perkara ada yang suka pada kita atau ingin menikah dengan kita. Ternyata jodoh ialah saat Allah mengerakkan hati dua manusia untuk kemudian berkata ‘Ya Kami siap menikah.' Jangan terlalu khawatir, kekhawatiran tak menjadikan bahayanya membesar. Hanya dirimu yang semakin mengerdil. Tenanglah, semata karena Allah bersamamu. Maka, tugasmu hanya berikhtiar! Kelak waktu yang menjadi jawaban atas takdir masa depan kita. Bicara tentang waktu, waktu nampaknya akan terasa lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu panjang bagi mereka yang gelisah, dan terlalu singkat bagi mereka yang bahagia, namun waktu akan terasa abadi bagi mereka yang mampu bersyukur. Untuk itu bersyukurlah. Syukur bukan hanya perkara terima kasih atas apa-apa yang sudah Allah berikan, melainkan juga tentang berbaik sangka pada Nya. Berbaik sangkalah!

Lalu untuk kita yang sudah menemukan pasangan, atau 'calon' pasangannya. Tanggung jawab tak sekadar mencari nafkah bagi lelaki dan mengurus rumah tangga bagi perempuan. Hal seperti itu tentulah lumrah dibicarakan. Hal lain yang perlu juga mendapat perhatian ialah tentang bagaimana menerima pasangan kita dengan sempurnaSadarilah, bahwa kita tidak pernah bisa menuntut siapapun sempurna, karena sejatinya kesempurnaan adalah kekurangan yang senantiasa diperbaiki, perbedaan yg senantiasa disatukan, perasaan saling yang membuat segalanya tergenapi.Belajarlah untuk senantiasa memahami pasangan kita. Semakin tinggi tingkat pengenalan seseorang kepada sesuatu yg dicintainya maka sesuatu yang harusnya pahit bisa menjadi manis. Engkau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya dan mencoba menjalani hidup dengan caranya. Kelak ketika kau menemukan kekurangannya, cintailah itu. Karena ketika engkau sudah bisa mencintai kekurangannya, kelak ketika kau menemukan kelebihannya, engkau akan semakin mencintainya. Dan cinta, itu akan menguatkan jiwa yang lemah, bukan melemahkan jiwa yang kuat. Ia bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan, bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan, bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. Karena itu, untuk ia yang memutuskan untuk mencintai, ia harusnya tak lagi berjanji, melainkan membuat rencana untuk memberi.

Ah bicara tentang cinta dalam konsepsi hubungan nampaknya jadi hal biasa. Lalu bagaimana dengan cemburu? Suatu hal di jaman kita sekarang yang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain? Cemburu bagiku terdefinisi sebagai ketidaksenangan seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu termasuk sifat yang baik menurutku, bagi laki-laki maupun perempuan.

Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarga dan kehormatannya, itu menjadi keharusan. Karena dengan adanya kecemburuan, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Ambil lah contoh kecemburuan dia pada istri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau mereka terbuka hijabnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.

Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-sifat yang jelek, yaitu ‘Dayyuuts’. Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir r.a, serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dari Abdullah bin Amr r.a, dari Nabi Saw bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman. Begitulah sisi lain cemburu dalam konsepsi sebuah hubungan.

Hal lain yang mendasari konsepsi hubungan, terutama bagi yang sudah menemukan pasangannya, ialah perkara komitmen. Berperasaanlah dengan komitmen, atau berkomitmenlah dengan perasaanmu.Komitmen adalah kunci pembuka pintu mimpi agar hadir menjadi kenyataan. Komitmen adalah sesuatu yang akan membuat seseorang memikul resiko dan konsekuensi dari keputusannya tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan penuh rasa syukur sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses. Komitmen yang membuat segalanya mengalir seperti kemauan kita, karena melalui komitmen kita mampu mengendalikan semua hal menjadi lebih baik. Karena komitmen adalah totalitas sebuah perjuangan.

Sungguh terhormat setiap kita yang memegang teguh komitmennya, menjaga kesetiannya. Senantiasa berhati-hati menjaga hatinya. Mata dan telinga merupakan pintu, dan hati merupakan rumahnya. Untuk itu, senantiasa kawal apa saja yang masuk melalui pintu agar rumah kita selamat, agar hati kita selamat, bersetia pada hati. Ingat bahwa Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. Untuk itu, jaga mata, jaga hati, jaga sikap. Ada yang bilang, katanya suci perempuan karena menjaga diri, gagah laki - laki sebab menepati janji. Itupun manifes dari komitmen, begitu pikirku.

Lalu bicara tentang konsepsi hubungan dalam konteks pernikahan, tentulah erat kaitannya dengan bahasan menjadi orang tua. Bagiku, cara kita mengajari anak-anak kita tentang keshalihan, bahkan jauh sebelum mereka dilahirkan adalah dengan cara memilih ibu yang baik untuk mereka. Itu titik tolaknya, itulah mengapa kemudian proses memilih pasangan menjadi hal penting yang begitu diperhatikan, untuk kemudian sama-sama bertumbuh menjadi orang tua paripurna, yang memberikan pendidikan bagi anak-anaknya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda, di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.

Aku masih ingat dulu tentang masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi di jaman Rasul tentang peran orang tua, terutama ayah. Dulu kalau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq. Begitupun aku, ingin rasanya seperti itu, bisa memberikan kebaikan pada anak-anak ku dengan integritas kebaikan yang melekat pada ayahnya. Itulah mengapa bagi setiap laki-laki, menjadi ayah yang baik menjadi hal mutlak yang perlu diperjuangkan, peran nya begitu besar dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan anak-anak nya. Lalu bagaimana dengan perempuan? Jangan sampai engaku lupa, dibalik suami yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendampinginya, ia adalah istri. Dan dibalik anak yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendo’akanya, ia adalah ibu.

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR. Thabrani)


Dinda, ingin rasanya aku raih pertolongan Allah dengan menjadi ketiganya. Menikahimu, adalah keberanian menentukan sikap, bukan menunggu waktu hingga datang kedewasaan bersikap, menuju Mitsaqan Ghaliza, perjanjian yang kokoh yang dalam Al Qur'an kata mitsaqan ghaliza hanya dipakai 3 kali saja, yakni ketika Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Al Ahzab 73:7), ketika Allah SWT mengangkat bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia pada Allah (An Nissa 4:154) dan ketika Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan (An Nissa 4:21).

Kupilih dirimu, karena aku yakin engkau mampu menggenapi kekuranganku menjadi kelebihan. Karena aku tahu, tak sempurna agamaku, kecuali engkau menggenapinya. Kupilih dirimu, karena engkau memiliki satu sayap yang bisa melengkapi sayapku yang hanya satu. Maka berdua kita mengepakkan sepasang sayap menuju surga; impian kita bersama.

Dinda, ketika kini pada akhirnya kita bertemu, yakinlah bahwa itu bukan kebetulan. Sebab bagaimanapun, langkah kita akan saling tertuju, langkahku ke arahmu, langkahmu ke arahku. 



*tulisan yang juga menjadi kado, untuk yang sedang rindu, merencanakan, akan melangsungkan, atau baru saja menjalankan pernikahan. Celoteh kecil dari pribadi yang sedang belajar, untuk menasihati setidaknya dirinya sendiri.*