Senin, 31 Desember 2012

Sosok di Balik Jas Putih

"Kuliah saya tidak menarik ya?" suara dr. Faris yang nyaring tiba-tiba mengubah keadaan kelas yang awalnya ramai seperti di pasar menjadi sepi.

"Saya tanya sekali lagi, kuliah saya tidak menarik ya?" kali ini suara dr. Faris semakin keras hingga membangunkan Arif teman sejawatku yang sedang tertidur pulas di pojok belakang barisan. Sedangkan teman sejawatku yang sedang asyik lesehan di belakang kelas bermain poker langsung panik membubarkan diri seperti digrebek oleh satpol PP dan merangkak diam-diam menuju kursi kosong di daerah belakang.

Kami hanya terdiam saja, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan dari dr. Faris. Karena dalam keadaan seperti ini tentu jawaban apapun yang akan kami keluarkan hanya akan memperburuk keadaan. Well, terkadang diam itu lebih baik dibandingkan berbicara yang tidak bertujuan.

"Iya, saya tau materi yang saya beri ini membosankan. Tapi ini penting bagi kalian, jadi tolong hargai saya menjelaskan ke kalian." lanjut dr. Faris. Sesaat kemudian dr. Faris menarik nafas panjang yang terdengar jelas olehku dibelakang kelas karena  suasana kelas yang sangat sunyi. 

"Ya sudah begini saja, slide kuliahnya saya copy-kan. Kalian pelajari sendiri ya di rumah. Kuliah hari ini saya akhiri. Terima kasih."

Kami semua hanya dapat melongo dan bingung hendak berbuat apa ketika melihat dr. Faris mengemasi barangnya dan meninggalkan kelas. Selama ini kami mengenal dr. Faris sebagai sosok dosen yang sabar dan cenderung tidak peduli dengan mahasiswanya. Pemandangan mahasiswa mengejar mimpi (tidur) di kelas dan bermain FIFA 13 sering aku lihat ketika beliau mengajar.

"Aneh ya dokternya, gak kaya biasanya. Sensi banget." celetuk Nia yang duduk disebelahku.

"Eh, kuliahnya udah selesai ya? HOREEEEE PULANG CEPATT!!!" teriak Arif yang masih setengah sadar. Kami hanya bisa geleng-geleng kepala dan berniat menenggelamkannya di kolam formalin.

***

Minggu pagi, tidak seperti biasanya aku sudah terbangun di pagi hari. Aku ditugaskan untuk menghadiri acara sunatan massal yang diadakan oleh salah satu organisasi di kampusku. Acara tersebut digelar di kantor lurah daerah yang cukup jauh dari kota aku tinggal.

Anak-anak terlihat berlari riang gembira di sekitar halaman kantor lurah, sepertinya mereka belum tau bahwa titit-nya akan "dieksekusi" sebentar lagi. Mendadak aku teringat saat aku kelas 5 SD, aku dijanjikan akan dibelikan CD PS 1 Crash Bandicoot oleh ayahku jika menurut untuk disunat.

"Gak sakit ko. Serius!" kata ayah berusaha meyakinkanku.

Aku hanya terdiam dan ragu-ragu.

"Nanti ayah belikan kaset PS 1 deh. Gimana? Mau ya!"

"OKE DEAL!!!" jawabku dengan penuh semangat. Dan sekarang aku menyesal, harga sebongkah preputium-ku hanya seharga 1 buah kaset PS 1. Seharusnya aku menaruhnya seharga 5 kaset PS 1. Ah, masa lalu.

Kembali ke acara sunatan massal, para anak-anak sudah semakin terkumpul sehingga keadaan kantor lurah tersebut terlihat seperti acara ulang tahun dibanding acara sunat-menyunat. Dan dari kejauhan aku melihat ada dr. Faris turun dari motornya. Seperti biasa, beliau tetap terlihat sederhana walaupun beliau seorang dokter spesialis yang hebat, bahkan beliau tetap aktif di kegiatan-kegiatan bakti sosial. Sungguh sebuah cerminan sifat dokter yang baik.

Tak lama setelah sambutan-sambutan dan rentetan acara pembukaan, akhirnya saat yang dinanti tiba. Aku cukup bersemangat karena ini pertama kalinya aku akan melakukan sirkumsisi secara langsung ke manusia. Aku dan teman-temanku akan bertindak sebagai asisten dari dokter yang akan mensirkumsisi. Kami semua langsung bersiap-siap memasuki ruangan kerja yang disulap menjadi tempat sunat untuk menyiapkan perlengakapan yang dibutuhkan terlebih dahulu.

BRAK!!!!
Tiba-tiba terdengar suara keras berasal dari ranjang disebelahku. Rupanya suara tersebut dari temanku Arif yang menaruh setumpuk bukunya diatas meja.

"Rif, buat apa kamu bawa buku pelajaran banyak-banyak gitu? Mau nyunat apa mau mendongeng?" tanyaku meledek.

"Gini, aku baru pertama nyunat ke manusia langsung. Takutnya salah-salah atau ada komplikasi, jadi bawa buku deh."

Tidak terbayang olehku bagaimana ekspresi anak yang akan disunat oleh Arif. Bayangkan saja jika kalian akan disunat oleh dokter, dan dokter tersebut melakukan tekhnik sunat sambil membaca buku "Sunat for Dummies", terlebih jika tiba-tiba dokternya berteriak "Astaga! Checklist yang sebelumnya ketinggalan! AKU REMEDIALLL!!!".

"Tenang Rif, gak apa ko. Kan kita jadi asisten dokternya juga. Jadi nanti dibimbing sama dokternya." jawabku berusaha menenangkan.

"Oh, jadi asisten aja ya? Aku pikir kita sendiri yang berperang dengan tititnya langsung! Bagus deh." ucap Arif terlihat cengengesan.

Rombongan dokter-dokter memasuki ruangan kami dan menempati tempatnya masing-masing. Dan tidak disangka aku akan mengasisteni dr. Faris, seorang dokter yang memang aku kagumi sifatnya.Beliau terlihat begitu bersahaja dengan jas putih kebanggaannya yang sering ia pakai walaupun agak lecek, bahkan ketika mengajar kami di kelas, beliau tetap memakai jas putihnya.

"Kamu sudah belajar tekhnik sirkumsisi kan di kuliah?" tanya dr. Faris kepadaku.

"I....iya dok sudah." jawabku gugup.

"Bagus deh, nanti coba kamu lakukan langsung ya ke pasiennya. Saya mau melihat hasil pembelajaran kamu."

*DEG!* seketika jantungku terasa berhenti berdetak. Ingatanku yang sebelumnya sudah hapal dengan checklist tindakan sirkumsisi tiba-tiba saja menguap.

"Pertama anamnesis...... Lalu...." entah mengapa otakku tidak dapat diajak kompromi ketika berhadapan langsung dengan situasi seperti ini. Yang terlintas di kepalaku saat itu adalah brewok Rhoma Irama.

"Kenapa? Kamu lupa ya sama langkah-langkahnya?" tanya dr. Faris melihat ekspresiku yang bengong.

"Eh... iya dok maaf."

"Ya sudah, nanti biar saya contohkan dulu supaya kamu paham. Setelah itu baru kamu yang melakukan tindakan."

"Iya dok siap!" jawabku lega.

Setelah briefing sikat dengan dr. Faris, pasien pertama kami datang. Seorang anak laki-laki yang cukup gemuk dan pipinya terlihat seperti bakpau ditemani oleh ayahnya. Ia menangis sangat keras hingga memekakkan telinga semua orang yang ada di dalam ruangan.

"GAK MAUUUUUU!!! POKONYA GAK MAUUU!!! AAAAA$@$^&^%&#!!!" teriak anak itu seperti kesetanan. Aku hanya dapat mengelus dada dan berdzikir, karena ketika belajar skill sirkumsisi sebelumnya tidak ada dijelaskan cara menenangkan anak yang kesetanan arwah penyanyi metal.

"Halo adek." dr. Faris duduk sehingga posisinya sekarang sejajar dengan kepala anak itu. "Namanya siapa? Kenalin, nama om Faris."

"HEH  AMIN! DIEM TUH DIAJAKIN OM DOKTER NGOBROL!" bentak bapak itu ke anaknya.

"GAKKKK!!!! GAK PENGEN DISUNATT!!!!!!!"  teriak anak itu semakin keras berteriak.

"Adek, coba dengerin om dulu ya." ucap dr. Faris dengan tenang sambil mengusap kepala anak tersebut. "Adek nanti om kasih obat supaya gak sakit waktu disunat. Sakitnya cuman waktu diawal-awal aja ko. Itu juga cuman kaya dicubit."

Anak tersebut mulai tenang "Tapi om janji ya jangan sakit?"

"Iya dek beneran, sini kelingkingnya kita bikin janji."

Aku terkejut menyaksikan pemandangan itu. Seorang dr. Faris yang dimataku tipe orang cuek ternyata bisa berubah menjadi sosok teman bagi anak tersebut. Pendekatannya yang aneh tapi terbukti sangat ampuh untuk membujuk anak itu mau disirkumsisi.

Setelah proses anamnesis singkat dengan orang tua anak dan persiapan, dr. Faris menyuntikkan obat anastesi ke anak tersebut.

"ADAOOWWWWWW!!!! SAKITTT!!!!! INI SIH DICUBIT RATU LEBAH NAMANYA!!!" teriak anak itu kesakitan. Aku dan orang tua anak itu sibuk memegangi tubuhnya yang besar seperti Hulk agar tetap tenang.

"Sabar ya dek, habis ini gak sakit ko. Serius." jawab dr.Faris.

Anak tersebut yang awalnya sangat rewel akhirnya berhasil ditaklukkan agar tenang setelah obat tersebut bekerja, sehingga memudahkan proses sirkumsisi yang kami lakukan. Sepanjang prosedur sirkumsisi dr. Faris banyak memberikanku kesempatan untuk melakukan yang telah ia contohkan sambil tetap mengawasiku. Alhasil sunatan pertama yang aku kerjakan hasilnya cukup rapi untuk level seorang pemula. Ingin rasanya preputium anak tersebut aku simpan dan bingkai di kamar sebagai kenang-kenangan sirkumsisi pertamaku.

Setelah pasien demi pasien kami sunat, akhirnya daftar pasien yang disunat habis juga. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Agenda selanjutnya adalah makan siang, kebetulan para mahasiswa dan dokter yang bertugas makan bersama dalam 1 ruangan.

"Kamu mahasiswa angkatan yang kemarin saya ajar ya?" tanya dr. Faris memulai pembicaraan.

"Iya dok." jawabku

"Maaf ya, kemarin saya sempat marah."

*hening*

"Iya enggak apa dok. Lagipula kemarin kami juga salah dok, suasana kelasnya memang agak lebih ribut dari biasanya." jawabku seadanya.

"Padahal sebelumnya saya jarang marah, tapi kemarin banyak masalah yang menumpuk. Mulai dari anak saya yang sedang di opname, ditambah ada pasien saya yang keluarganya sangat rewel."

Aku terdiam mendengar ucapan dr. Faris. Tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya bahwa dokter juga manusia yang tidak luput dari masalah. Banyak orang yang menilai seorang dokter hanya dari jas putihnya saja, tanpa mengetahui keadaan "tubuh" dari dokter tsb dibalik jasnya. Terkadang kita sering menuntut kesempurnaan dari seorang dokter, tapi kita sering terlupa bahwa dokter juga manusia biasa. 

Tiba-tiba terbesit pertanyaan di kepalaku, apa yang membuat seorang dokter seperti dr. Faris bisa tetap bertahan dengan keadaan seperti ini. 

Setelah makan bersama, kami semua bergegas pulang, dan tanpa diduga di tempat parkir si Amin, anak pertama yang aku dan dr. Faris sirkumsisi menunggu dengan ayahnya.

"Min, tuh om dokter yang nyunat kamu tadi, bilang apa sama om?" ucap sang ayah dengan logatnya yang khas.

"Ini om dokter, ada hadiah." anak itu mengulurkan tangannya yang membawa kotak berukuran sedang berwarna merah.

"Makasih ya om dokter. Doain Amin klo besar juga bisa jadi dokter juga!"

Dr. Faris tersenyum, ia menerima hadiah dari anak itu dan bergegas pergi. Dan sepertinya pertanyaanku terjawab sudah, kebahagiaan seorang pasien yang ditangani adalah suntikkan semangat bagi seorang dokter.