Senin, 23 Januari 2012

Izrail Ada Di Sampingku

Tik.tik.gemeretak jarum jam tangan mengalun malam ini. Bercampur dengan suara bip-bip-bip monitor jantung bagaikan simfoni kacau malam itu. Simfoni yang diperparah dengan suara serak dan sesak tubuh yang terbujur lemah dalam kamar luas berisi belasan tubuh dalam kondisi yang setali tiga uang.Entahlah, suara apalagi yang bakal muncul.
            Malam ini menjadi hari terakhirku jaga malam di bangsal ICCU. Tak ada firasat apapun, tak ada pertanda apapun. Malam ini semua terasa sama seperti biasanya. Baru dua jam setelah aku operan jaga dengan teman sekelompokku tapi malam ini terasa lama sekali. Sepi. Bolak-balik kutengok jam tangan hitam kecilku dan berharap segera selesai tugas jagaku. Namun, seakan jarum detik ini hanya berputar-putar tanpa diikuti putaran jarum menit apalagi jam.
            Waktu coba kupercepat dengan membolak-balik status rekam medis yang tergeletak rapi dibawah kolong meja perawat. Mencoba mengikuti kata senior-seniorku untuk belajar dari pasien, ku baca-baca status itu.Satu demi satu kubuka dan coba menulis template untuk follow up pasien besok. Duh kok jelek semua, pikirku. Jelek kuartikan sebagai pasien yang prognosis membaiknya minimal atau bahkan tidak ada. Mendekati ajal lah mudahnya. Kucoba untuk berharap semoga besok semua pasien dalam keadaan baik sehingga tidak merepotkanku waktu followup dan laporan esok paginya.
            Kulihat kembali jam tanganku, dan masih sama. Lama. Semua status  telah selesai aku tulis. Kucoba pelajari kembali status satu demi satu. Jedug, aww. Kepalaku terbentur meja. Tak sadar berat mata ini untuk tetap terjaga. Kucoba berjalan supaya saraf simpatisku terangsang sehingga bisa melek lagi. Berhasil, tapi hanya bertahan beberapa menit. Owh tidak, perawat semua juga sudah tidur,kalo aku tidur siapa yang jaga, pasien jelek begini,bisikku. Keterbatasan orang dalam kelompokku membuat kami harus berjaga sendirian saja supaya bisa istirahat esok paginya. Ah, coba aku keliling lihat pasien.
            Pasien bed 1, Bapak Hendrawan namanya. Beliau adalah seorang manajer di sebuah bank ternama. Sekarang terbujur tak tersadar di bed ini. Tadi siang sempat terjadi VT kata temanku saat operan tadi. Duh, jantung. Padahal kemarin sudah membaik dan bahkan bisa mengobrol denganku kemarin. Semoga membaik, doaku.
            Bed 2, Ibu Jamilah, penghuni lama. Punya penyakit jantung juga. Baik beliau orangnya, sampai kadang tak habis pikir kenapa orang sebaik beliau bisa terkena penyakit ini. Sesak kulihat nafasnya, dan benar, “ronkhi basah basal positif,duh edema paru. Sudah siberi ekstra diuretik tapi lambat progresnya”.
            Kulanjutkan langkahku ke bed 3 dan seterusnya sampai bed 15 sudah aku sambangi semuanya. Jelek, kesimpulanku berdasarkan data objektif yang aku punya. Huft, semoga semuanya besok membaik. Kembali aku berjalan menuju nurse station yang juga merupakan tempat tidurku nanti.
            Kurapikan kembali buku-buku tebalku. Kukembalikan rekam medis pasien di rak-rak tua dekat meja. Sambil memastikan semua aman, kulepas jas putih kumalku, kulipat rapi dan kutaruh dimeja. Kuletakkan dengan nyaman kepalaku dilipatan jas putihku. Merapal doa sebelum tidur dan kutambah doa agar pasienku sehat semua. Mataku pun mulai terpejam. Ups,lupa, set alarm untuk besok pagi. Jangan sampai keduluan perawat bangunnya. Sambil duduk dan berbantalkan jas, kucoba menutup kembali kelopak mataku. Dan tertidur.
            Beep..beep..beep..Ya Alloh suara darimana itu. Terhentak dari tidurku kupakai kembali jasku dan kucari arah suara itu.Bapak Hendrawn, batinku. Kulihat monitor, VT! Kudekati badan lemah di bed 1, “apnea dan no pulses!” Segera aku lari menuju ruang residen, ku ketuk pintu kamar tersebut. Bodo lah, mau dimarahi atau apa, berkali-kali ku ketuk pintu kamar itu. Dok, Apnea-VT bed 1, teriakku. Terbuka pintu dan tampak  dr.Andi, dokter jaga malam itu, langsung menyambar jas putihnya, kemudian bergegas. “Dek bangunkan perawat juga”,pintanya. Okelah.
            Lanjut ku lari ke kamar perawat yang masih agak gelap. “Mas, bangun mas. Apnea!, “teriakku. Kudengar suara mengiyakan dari balik pintu. Langsung bergegas ku ambil NRM dari lemari dan lari ke arah dr.Andi yang dengan cekatannya meng-RJP pasien. “Dek, gantian. Aku mau siapkan injeksinya !”, langsung kegantikan beliau melanjutkan RJP-nya.
            Ayolah, nafas pak. Terlihat wajah Pak Hendrawan, pucat, belum menunjukkan adanya perbaikan. Kulanjutkan RJP-ku, sambil melihat semua yang disana sibuk untuk memberitahu keluarga, menyiapkan macem-macemnya. Kulihat dr.Andi masukin ini dan itu lewat jalur IV pak hendrawan. Bodo lah apa itu, lupa nanya, yang penting kuteruskan pijat jantungku. Kulihat monitor, masih saja VT. Ya Alloh, beri kemudahan. Kulafadzkan dzikir sambil terus tangan ini bekerja.
            Di ambang kematian, pikirku. Mungkin saat ini Izrail tepat ada disampingku sambil menunggu waktu yang telah ditentukan. Mungkin saja, saat itu bukan pak hendrawan yang akan diambil ruhnya melainkan aku.Oh, aku belum siap. Kulanjutkan pekerjaanku sampai tak terasa sudah pegal semua badan ini. Kulihat wajah dr.Andi, tampaknya dia mengerti keadaanku.Sudah cukup lama kami bergantian memijat jantung pak Hendrawan. DC shock, alat yang kami butuhkan saat itu sedang rusak. Ironi memang, di dalam rumah sakit yang cukup besar ini alat penting seperti itu tidak bisa digunakan. Huft, apakah rumah sakit daerah selalu seperti ini?,bisikku. Lelah sudah aku, begitupun beliau. Dan yaps, sudah. Malaikat Izrail telah melakukan tugasnya. Cek pupil, midriasi penuh. Innalillahi wainna ilaihi raji’uun.
To be continued...