Senin, 06 Oktober 2008

apakah tiap anak perlu dipeluasang?


dikutip dari:suryadistira
ilustrasi : foto rudi 39 tahun yang lalu
Keyakinan adanya penjelmaan kembali menjadikan umat Hindu khususnya yang berkembang di Bali untuk berusaha ingin tahu, siapa yang sebenarnya yang menjelma atau numadi pada diri seseorang yang baru dilahirkan. Maka muncullah trasisi yang sepertinya menjadi kebiasaan (bukan keharusan) untuk “mepeluasang/meluasang”. Prakteknya, pihak keluarga yang mempunyai kelahiran bayi akan mendatangi seorang balian (dukun) yang kemudian dengan “kemampuannya” bisa “menghubungi” sang pitara sehingga tercipta semacam dialog atau Tanya jawab. Inti dialog itu berkisar pada pertanyaan tentang siapa gerangan yang menjelma (numadi) pada diri si bayi dan apa pula permintaannya. Biasanya akan disebutlah salah seorang leluhurnya yang sudah meninggal. Misalnya, “pernah” kakeknya yang bernama si A atau “pernah” neneknya yang bernama si C yang turun menjelma (numadi) pada diri si bayi.Perlu di pahami bahwa yang dimaksud menjelma disinitidak dalam pengertian secara genital. Artinya karena dikatakan pernah kakeknya yang menjelma maka bayi itu kelamin laki-laki. Tidak selalu begitu. Bisa jadi meski yang dikatakan turun menjelma adalah “pernah” neneknya tetapi kenyataannya yang lahir adalah bayi laki-laki.Dalam pemahaman Sradha Punarbhawa, yang turun menjelma adalah sifat-sifat roh sang numadi yang penjelmaan diharapkan dapat memperbaiki dan atau menyempurnakan karmanya dari asubhakarma menjadi subhakarma. Jadi, dalam proses penjelmaan, bukan jenis kelaminnya yang penting tetapi sifat-sifat sang dumadi itu yang melalui penumadiannya kini akan terus berikhtiar menyempurnakan karmanya. Dengan mengetahui bagaimana sifat-sifat sang Pitara yang yang numadi, maka diharapkan sang bayi yang kelak tumbuh menjadi besar dapat menyadari tentang siapa dan bagaimana sebenarnya jati dirinya. Kesadaran akan jati dirinya itulah yang diharapkan dapat mendorong dirinya untuk menjadi anak yang “saputra”. Karena hakikat “putra” adalah penyelamat leluhur dadi penderitaan.Tentang umur berapa biasanya si bayi dipeluasang, umumnya dilakukan setelah usai memperingati hari yang ke-12 dari kelahirannya. Tetapi ada pula yang langsung meluasang begitu si bayi dilahirkan. Dan dalam proses meluasang itu selain diketahui siapa yang numadi juga didapat keterangan perihal permintaan sang dumadi. Terhadap permintaan ini bisa ditunda pemenuhannya, tetapi karena umumnya permintaan sangat sederhana misalnya minta busana kuning atau agar dipertunjukkan wayang saat ngotonin nanti, maka sungguh tidak baik kalau sampai tidak dipenuhi.