Senin, 16 Mei 2011

Penatalaksanaan pasien di RR

Pada prinsipnya dalam penatalaksananaan anestesi pada suatu operasi, terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksana ananestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasa dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room, yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca bedah atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi dan anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola dikamar pulih atau Unit Perawatan Pasca Anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anestesia Care Unit). Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijjumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesi yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang pendarahan.
Recovery room atau ruang pemulihan adalah sebuah ruangan di rumah sakit, dimana pasien dirawat setelah mereka telah menjalani operasi bedah dan pulih dari efek anestesi. Pasien yang baru saja di operasi atau prosedur diagnostik yang menuntut anestesi atau obat penenang dipindahkan ke ruang pemulihan, dimana keadaan vital sign pasien (nadi, tekanan darah, suhu badan dan saturasi oksigen) diawasi ketat setelah efek dari obat anestesi menghilang.

Pasien biasanya akan mengalami disorientasi setelah mereka sadar kembali, dan di ruang pemulihan ini pasien ditenangkan apabila menjadi anxietas dan dipastikan kalau fisik dan emosional mereka terkendali.
Ruangan dan Fasilitas
Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat dengan kamar bedah, supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak akan banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan anestesi dihentikan pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesi dan perlu diawasi dengan ketat seperti masih berada di kamar bedah.
Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi ruangan yang membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna kulit dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnose dari adanya kegawatan nafas dan sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar bedah akan mempercepat atau memudahkan bila diperlukan tindakan bedah kembali. Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan jalan nafas harus tersedia, misalnya jalan nafas orofaring, jalan nafas orotrakeal, laringoskop, alat trakeostomi, dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FiO2 25% – 100%.
Pengelolaan Pasien di Ruang Pulih Sadar
Pengawasan ketat di ruang pemulihan atau UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oxymeter), EKG,peralatan resusitasi jantung-paru dan obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari kamar bedah.
Personil dalam UPPA sebaiknya sudah terlatih dalam penanganan pasien gawat, mahir menjaga jalan napas tetap paten, tanggap terhadap perubahan dini tanda vital yang membahayakan pasien.
Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar. Pasien yang dikelola adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan sirkulasinya sudah baik atau tidak. Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau spasme laring, pasca bedah dini kemungkinan terjadi mual-muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi.
Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanul nasal atau masker sampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari pengaruh obat anestesi akan sadar kembali. Kartu observasi selama di ruang pulih sadar harus ditulis dengan jelas, sehingga dapat dibaca bila pasien sudah kembali ke bangsal. Bila keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.
Tingkat perawatan pasca anestesi pada setiap pasien tidak selalu sama, bergantung pada kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi, monitoring lebih ketat dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi seperti:
Kelainan organ
Syok yang lama
Dehidrasi berat
Sepsis
Trauma multiple
Trauma kapitis
Gangguan organ penting, misalnya : otak
Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan lebih mudah dapat dilakukan ³monitoring B6´, yaitu :
Breath (nafas) : sistem respirasi
Pasien belum sadar dilakukan evaluasi :
Pola nafas
Tanda-tanda obstruksi
Pernafasan cuping hidung
Frekuensi nafas
Pergerakan rongga dada : simetris/tidak
Suara nafas tambahan : tidak ada pada obstruksi total
Udara nafas yang keluar dari hidung
Sianosis pada ekstremitas
Auskultasi : wheezing, ronki
Pasien sadar : tanyakan adakah keluhan pernafasan.
Jika tidak ada keluhan : cukup berikan O2
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi : terapi sesuai kondisi (aminofilin,kortikosteroid, tindakan tri ple manuver airway).
Blood (darah) : sistem kardiovaskuler
Tekanan darah
Nadi
Perfusi perifer
Status hidrasi (hipotermi ± syok)
Kadar Hb
Brain (otak) : sistem SSP
Menilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
Perhatikan gejala kenaikan TIK 4.
Bladder (kandung kencing) : sistem urogenitalis
Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urine
Untuk menilai : Apakah pasien masih dehidrasi, Apakah ada kerusakan ginjal saat operasi, acute renal failure
Bowel (usus) : sistem gastrointestinalis
Periksa :
Dilatasi lambung
Tanda-tanda cairan bebas
Distensi abdomen
Perdarahan lambung post operasi
Obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain, misal: hepar,lien, pancreas
Dilatasi usus halus,
Hati-hati, pasien operasi mayor sering mengalami kembung yang mengganggu pernafasan, karena ia bernafas dengan diafragma.
Bone (tulang) : sistem musculoskeletal
Periksa :
Tanda-tanda sianosis
Warna kuku
Perdarahan post operasi
Gangguan neurologis : gerakan ekstremitas
Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik,seperti skor Aldrete (lihat tabel). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar ruang pemulihan.
Namun bila pasien tersebut anak-anak kriteria pemulihan yang digunakan adalah skor Steward, yang dinilai antara lain pergerakan, pernafasan dan kesadaran. Bila skor total di atas 5, pasien boleh keluar dari ruang pemulihan.
Untuk pasien dengan spinal anestesi digunakan kriteria skor Bromage, yang dinilai adalah pergerakan kaki, lutut dan tungkai, apabila total skor di atas 2, pasien boleh di pindahkan ke ruang rawat.
Tabel Skor pemulihan pasca anestesi
Aldrete Score (dewasa)
Penilaian
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang 50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
Tabel Skor pemulihan pasca anestesi
Steward Score (anak-anak)
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
Tabel. Skor pemulihan pasca anestesi
Bromage Score (spinal anestesi)
Kriteria Nilai
Gerakan penuh dari tungkai, 0
Tak mampu ekstensi tungkai, 1
Tak mampu fleksi lutut, 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki, 3
Jika Bromage Score 2 dapat pindah ke ruangan.
Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya
Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalahdengan menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan mekanik dan bronkospasme harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih seringterjadi, dan mungkin dapat menjadi total, dimana wheezing akibat dapat terdengar tanpa atau dengan stetoskop.
Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi dengan meluruskan pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke dalam trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama jika kadar tinggi oksigen yang dipakai,sampai terjadi tanda-tanda hipoksia, hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi nyata.
Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah dipasang dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi dada, sementara secara manual paru-paru dikembangkan, jika suara pernafasan tidak terdengar atau pengembangan pada satu sisi dada telah didiagnosis, maka harus secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar memasuki kedua sisi toraks secara seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.
Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan mekanik yang tidak dapat dijelaskan, segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik adalah pipa ditarik keluar dan dilakukan re-intubasi.
Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi, apakah dapat bernafas dengan spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara anestetik peroral atau nasal.
Sumbatan mekanik pada penderita yang di intubasi mungkin bersifat samar-samar. Paling penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung dapat terhalang pada dinding trakea, atau dapat terlalu menjorok jauh dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul keluar menutupi bagian ujung.
Bronkospasme
Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara anatomis,akibat lidah yang terjatuh ke belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg, atau 30 mg intramuscular, sehingga dapat menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan tekanan darah. Secara bergantian, suntikan lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.
Hipoventilasi
Pada hipoventilasi, rangsang hipoksia dan hiperkarbia mempertahankan penderita tetap bernafas. Pada hipoventilasi berat, pC02 naik > 90 mmHg, sehingga menimbulkan koma, dengan pemberian O2 hipoksia berkurang (p02 naik) tetapi pCO2 tetap atau naik pada hipoventilasi ringan. Sedangkan pada hipoventilasi berat jusrtu mengakibatkan paradoksikal apnea, yaitu penderita justru jadi apnea setelah diberi oksigen. Terapi yang benar pada hipoventilasi adalah :
Membebaskan jalan nafas
Memberikan oksigen
Menyiapkan nafas buatan
Terapi sesuai penyebabnya
Hiperventilasi
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraselular mengalir ke intraselular, hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa bradikardia relatif dapat terjadi pada hipokalemia.
Komplikasi Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnea dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 ± 1,0 µg/kg/ menit.
Hipotensi yang terjadi karena isian balik vena (venous return) menurun disebabkan pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis,hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.
Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika. Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik seperti propanolol atau obat vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi hipertensi pada waktu laringoskopi dapat dicegah antara lain dengan terlabih dahulu memberi semprotan lidokain topical kedalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.
Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati dengaan analgetika narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V dengan memperhatikan pernafasan (depresi).
Aritmia jantung pada anestesia, terjadi kira-kira 15-30 %. Etiologi aritmia selama anestesia :
Tindakan bedah : Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium, dilatasi anus.
Pengaruh metabolisme : hipertiroid, hiperkalemi
Penyakit tertentu : penyakit jantung bawaan, penyakit hiperkapnia,hipokelmia, jantung koroner
Pengaruh obat tertentu : atropine, halotan, adrenalin dll.
Komplikasi Lain-lain
Mengigil
Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang timbul mengigil di seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin terjadi karena hipotermia atau efek obat anestesi, Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Faktor lain yang menjadi pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi aliran gas diberikan terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi meningkat.
Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion warmer, lampu penghangat untuk menghangatkan suhu tubuh.
Gelisah setelah anestesi
Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis,hipotensi, kesakitan. Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif tanpa anelgetika, hingga pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini sering didapatkan pada anak dan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut di atas, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1mg/kgBB atau terapi dengan analgetika narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).
Kenaikan Suhu
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat Celcius dan masih dapat diturunkan dengan pemberian salisilat. Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40 derajat Celcius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah:
Puasa terlalu lama
Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)
Penutup kain operasi yang terlalu tebal
Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar
Infeksi
Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasihipertermia maligna)
Hipertermia maligna merupakan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari 2 derajat Celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1: 50.000, pada penderita dewasa dan 1: 25.000 pada anak-anak, tetapi jika terjadi, angka kematiannya cukup tinggi yaitu 60%. Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah banyak dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat pada ikatan kalsium dalam reticulum sarkoplasma otot atau jantung.
Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk kedalam sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat,penumpukan asam laktat dan karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen,asidosis metabolik, dan pembentukan panas. Kebanyakan obat anestetika akan menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering dilaporkan sebagai pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat lain aman terhadap komplikasi ini. Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani, mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung.
Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:
Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%
Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas dengan larutan NaCl fisiologis dingin
Pemeriksaan gas darah segera dilakukan
Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat
Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin
Oradekson dosis tinggi diberikan i.v.
Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini merupakan satu-satunya obat spesifik untuk hipertermia maligna.
Reaksi Hipersensitif
Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karenaterbentuknya mediator kimia endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya.Reaksi dapat saja terjadi pada tiap pemberian obat termasuk obat yang digunakandalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada pemberian induksi intravena danobat pelumpuh otot.
Gejala klinis hipersensitif :
Kulit kemerahan dan timbul urtikaria
Muka menjadi sembab
Vasodilatasi, tetapi nadi kecil sering tak teraba, sampai henti jantung.
Bronkospasme
Sakit perut, mual dan muntah, kadang diare
Pengobatan:
Hentikan pemberian obat anestetika
Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi hentijantung
Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakeal
Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan tertentu
Percepat cairan infus kristaloid
Operasi dihentikan dulu sampai gejala-gejala hilang.
Nyeri
Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan.Untuk meredam nyeri pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa,sering ditambahkan morfin 0.05-0.10 mg saat memasukkan anestesi lokal ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat baiknyamanfaat karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10-16 jam. Setelahitu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID (anti inflamasi non steroid) misalnya ketorolac 10-30 mg IV atau IM.
Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau epidural, karena efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal atau epidural ialah gatal di daerah muka. Pada manula dapat terjadi depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi napas dapat dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan pada manula kecuali dengan pengawasan ketat.
Kalau terjadi nyeri pasca bedah di UPPA diberikan obat golongan opioid secara bolus dan selanjutnya dengan titrasi perinfus.
Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umumterutama pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada peri anesthesia ialah :
Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v
Cyclizine 25-50 mg.
Sumber : http://smart-pustaka.blogspot.com