Sabtu, 12 September 2009

islam tentang kehidupan

KEARAH PEMAHAMAN ISLAM


A. Pengertian Islam
Kata islâm merupakan bentuk kata kerja dari aslama—islâman. Mengandung arti “tunduk” dan “pasrah-menyerah”. Ayat Al-Quran yang menunjuk kepada pengertian ini, diantaranya adalah seruan Allah kepada Ibrahim: “Tatkala Tuhannya berfirman kepadanya: “tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. Dalam ayat lain disebutkan bahwa “Jika mereka mendebat (tentang kebenaran al-Islâm), maka katakanlah: ”Aku menyerahkan diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku..”.
Kata islâm juga memiliki akar kata dari s-l-m yang mengandung arti “rekonsiliasi”, “damai”, “selamat”, “menyeluruh”, dan “terpadu”, “tidak terbelah”. Ibnu Taimiyah mengartikan kata islâm ini sebagai ketulusan, sikap tundup dan patuh. Sedang Muhammad Asad, dalam karyanya The Message of the Qur’an menafsirkan kata islâm ini sebagai “penyerahan diri kepada Tuhan”. Islâm dalam pengertian sikap tunduk patuh dan pasrah ini, secara eksplisit ditunjukan Al-Quran dalam dua bentuk, yaitu pertama, ketundukan dan kepasrahan (islâm)nya alam kepada kehendak Tuhan, sebagaimana fiman Tuhan, yang berbunyi:
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
Artinya: “Apakah mereka mencari agama selain dari agama Allah? [Padahal] kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik suka ataupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (QS. Ali Imran [3]: 83.

Kedua, islâm (ketundukan dan kepasrahan) yang menjadi prinsip ajaran para Nabi atau Rasul. Berikut beberapa ayat Al-Quran yang menunjukan ke-islâm-an para Nabi dan Rasul.

Nuh—“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari kamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (muslimûn)” (QS. Yunus [10]: 72.
Ibrahim—“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula Nashrani, akan tetapi dia adalah orang yang lurus (hanîf) lagi berserah diri (muslim) dan sekali-kali bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik” (QS. Ali Imran [3]: 67). “Tatkala Tuhannya berfirman kepadanya: “tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam” (QS. al-Baqarah [2]: 131).
Ya’kub—“Dan Ibrahim mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri (muslimûn)” (QS. Ali Imran [3]: 132).
Yusuf—“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan). Pencita langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan berserah diri (muslim) dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh” (QS. Yusuf [12]: 101.
Luth—“Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri (muslimîn)” (QS. al-Dzariyat [51]: 35-36).
Musa—“Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri (muslimîn)” (QS. Ynus [10]: 84).
Al-Hawariyyun (pengikut Nabi Isa)—“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslimûn)” (QS. Ali Imran [3]: 52). “Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. Mereka menjawab: “Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh, berserah diri (muslimûn)” (QS. al-Maidah [5]: 111).

Penjelasan di atas, menunjukan pengertian islam menurut etimologis (kebahasaan), yaitu sikap tunduk, patuh, pasrah-menyerah, rekonsiliasi, damai, selamat, menyeluruh, dan terpadu atau tidak terbelah. Sedang menurut istilah (terminologis), islam didefinisikan secara berbeda. Muhammadiyah misalnya, mendefinisikan agama islam sebagai berikut:
الّدِيْنُ هُوَ مَا شَرَعَهُ اللهُ عَلَى لِسَانِ أَنْبِيَائِهِ مِنَ الاَوَامِرِ وَالنَّوَاهِى وَالاِرْشَادَاتِ لِصَلاَحِ العِبَادِ دُنْيَاهُمْ وَأُخْرَاهُمْ.
“Agama adalah apa yang telah disyari'atkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”.

االدِّيْنُ (اَيْ الدِّيْنُ الاِسْلاَمِىّ) الَذِي جَاءَ بِهِ مُحَمَّدُ صلعمّ هُوَ مَا أَنْزَلَهُ اللهُ فِى القُرْاَنِ وَمَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ الصَّحِيْحَةُ مِنَ الاَوَامِرِ وَالنَّوَاهِى وَالاِرْشَادَاتِ لِصَلاَحِ العِبَادِ دُنْيَاهُمْ وَأُخْرَاهُمْ.
“Agama, yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Quran dan yang tersebut dalam sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat”.


B. Sumber Ajaran Islam
Sebagaimana dijelaskan pada definisi di atas, ada dua sumber ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah. Al-Quran adalah Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Sedang al-Sunnah adalah penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. Adapun metode untuk memahami ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan al-Sunnah tersebut adalah ijtihad. Secara umum, ijtihad diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam memahami atau menjelaskan Al-Quran dan al-Sunnah untuk memperoleh putusan (simpulan) hukum. Ijtihad sebagai metode terbagi kepada tiga bentuk, yaitu ijtihad bayâni, ijtihad qiyâsi dan ijtihad istishlâhi. Ijtihad bayâni adalah penjelasan Al-Quran dan al-Sunnah yang berhubungan dengan kebahasaan. Ijtihad qiyâsi adalah penyelesaian suatu sengketa (persoalan publik) yang tidak tertera ketentuan hukumnya dalam Al-Quran dan al-Sunnah. Ijtihad qiyâsi ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain: qiyas, istihsan, istishhab, ijma, al-‘urf, fath al-dzari’ah wa sadduha, qaul shahabat dan tarjih. Sementara ijtihad istishlahi adalah penjelasan Al-Quran dan al-Sunnah dengan pendekatan kemaslahatan.
Dalam tradisi Muhammadiyah sendiri, dikenal tiga bentuk pendekatan ijtihad dalam memahami Al-Quran dan al-Sunnah, yaitu pendekatan bayani, burhani dan irfani. Pendekatan bayani berkait dengan cara memahami Al-Quran dan al-Sunnah berdasarkan analisis kebahasaan. Pendekatan burhani berkait dengan analisis rasional. Pendekatan yang digunakan antara lain adalah sosiologi, antropologi, sejarah dan herrmeneutik. Sedang pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batini, zauq, qalb, basirah dan intuisi.

C. Esensi Ajaran Islam
1. Islam sebagai Agama Tauhid
“Wamâ arsalnâka min qablika min rasûlin illa nûhiya ilayhi anahu la ilâha illa anâ fa’budûni“ (Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyuka kepadanya: “bahwasannya tidak ada tuhan melainkan Aku”, maka sembahlah Aku) (QS. Al-Anbiya’ [21]: 25). Hud, Shalih, Syu’eb dan Nuh selalu menyerukan “Yâ qaumi ‘budu al- Allâha mâ lakum min ilâhin ghairuh” (wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya) (QS. al-A’raf [7]: 59, 65, 73 dan 85; Al-Mukminun [23]: 23; Hud [11]: 61, 84). Demikian pula para rasul setelah Nuh, Ibrahim sampai Muhammad selalu menyerukan pesan tauhid ini (QS. al-Mukminun [23]: 31-32). Nabi Muhammad sendiri mengajarkan “Fa ‘lam annahû lâ ilâha illa al-Allâh” (Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah) (QS. QS. Muhammad [47] : 19), dan “Qul innamâ anâ basyarun mitslukum yûha ilaya annamâ ilâhukum ilâhun wâhid” (Katakanlah: “sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesung-guhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa) (QS. Al-Kahfi [18]: 110; Fushilat [41]: 6).

2. Islam sebagai Agama Fitrah
Ayat Al-Quran yang secara langsung merujuk kepada penjelasan Islam sebagai agama fitrah ini adalah ayat 30 dari surat al-Rum [30], yang berbunyi:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada (Agama) Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

3. Islam sebagai Agama Keseimbangan, Kebajikan dan Kesejahteraan
Ayat Al-Quran yang secara langsung merujuk kepada penjelasan Islam sebagai agama keseimbangan, kebajikan dan kesejahteraan adalah ayat 77 dari surat al-Qashash [28], yang berbunyi:

وَابْتَغِ فِيْمَا اَتَاكَ اللهُ الدَّارَ الأَخِرَةِ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الفَسَادَ فِى الأَرْضِ إِنَ اللهَ لاَ يُحِبُ المُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

4. Islam sebagai Agama Kemanusiaan
Islam secara tegas memandang kedudukan penting kaum lemah sebagai pemimpin dan pewaris bumi.

وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ
“Dan Penulis hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)” (QS. al-Qashash [28]: 5).

وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Dan Penulis pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Penulis beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Penulis hancurkan apa yang telah dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka (QS. al-A’raf [7]: 137).

Islam juga memandang suatu kepentingan dan keharusan untuk berpihak, melakukan pembelaan, dan memperjuangkan kaum lemah yang tertindas. Pandangan ini digambarkan oleh Al-Quran dalam surat al-Nisa’ [4]: 75, yang berbunyi:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: “Tuhan penulis, keluarkanlah penulis dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah penulis pelindung dan penolong dari sisi Engkau (QS. al-Nisa’ [4]: 75).

Ayat di atas merupakan kritik terhadap orang yang hanya duduk berpangku tangan, sementara di sekitarnya terdapat masyarakat yang mengalami penindasan. Dalam arti lain, ayat tersebut memandang suatu kepentingan dan keharusan untuk berpihak, melakukan pembelaan, dan memperjuangkan kaum lemah yang tertindas. Pandangan terhadap kaum lemah ini semakin jelas dengan adanya perintah untuk melakukan pembelaan terhadap kaum lemah yang tertindas (nashr al-dha’îf wa ‘awn al-mazhlûm).

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ وَنَصْرِ الضَّعِيفِ وَعَوْنِ الْمَظْلُومِ وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ وَنَهَى عَنْ الشُّرْبِ فِي الْفِضَّةِ وَنَهَانَا عَنْ تَخَتُّمِ الذَّهَبِ وَعَنْ رُكُوبِ الْمَيَاثِرِ وَعَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَالْقَسِّيِّ وَالْإِسْتَبْرَقِ
Artinya: Rasulullah Saw memerintahkan penulis dengan tujuh hal: menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, membela kaum lemah dan tertindas (yang dizalimi), memberi salam, dan menunaikan sumpah dengan benar, serta Rasulullah Saw melarang penulis minum dengan gelas dari perak, memakai cincin emas, hamparan sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera halus, sutera buatan Qasiy, dan sutera tebal (HR. Bukhari).

Dalam hadits lain sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud, dan al-Nasa’i Rasulullah juga memerintahkan untuk mencari dan menolong kaum yang lemah (dhu’afa).

أَبْغُوْنِى ضُعَفَائَكُمْ فَإِنَمَا تُرْزَقُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ
“Cari dan tolonglah kaum dhu’afa-mu, sesungguhnya kamu sekalian ditolong dan diberi rizki karena (do’a dan berkah) kaum dhu’afa”.


Selain itu, Islam juga sejak awal melontarkan kritik sosial terhadap berbagai bentuk eksploitasi kaum miskin serta ketiadaan rasa tanggung jawab sosial (sense of social responsbility). Surat-surat awal Al-Quran sebagaimana telah dikemukakan, menunjukkan kecamannya terhadap praktek akumulasi kekayaan yang diperoleh melalui etika keserakahan, serta sikap eksploitasi sosial-ekonomi dalam bentuk ketidakpedulian terhadap penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

5. Islam sebagai Agama Ilmu dan Peradaban
Islam memberikan landasan yang kuat untuk konsep keilmuan ini. Al-Quran surat Al-Muzadilah [28]: 11 misalnya, menjelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Sementara dalam sejumlah riwayat dijelaskan tentang kedudukan ilmu, proses mencari ilmu dan ilmuwan dalam posisi yang sangat agung. Misalnya, dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa “Ilmu pengetahuan itu adalah milik orang mu’min yang hilang, di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dari yang lain”. “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat”. Dalam riwayat lainnya dinyatakan bahwa “barang siapa menempuh suatu jalan dalam mencari ilmu, maka Allah akan memberi jalan ke surga”; Malaikat akan mengepakan (melindungkan) penulispnya serta memintakan ampun kepada orang yang sedang mencari ilmu”; Ilmuwan itu adalah pewaris para Nabi”.
Bahkan tidak sampai disitu, wahyu pertama itu sendiri adalah perintah iqra’ (QS. Al-Alaq [96]: 1-5), yaitu perintah membaca, menelaah, mendalami, meneliti dan menggali ilmu pengetahuan. Jika Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan Brasil, berhasil melawan ketdakadilan dan kebodohon dari baca tulis melalui pendidikan kritis yang diperkenalkannya, maka jauh sebelum Freire lahir, Nabi Muhammad telah memperkenalkan falsafat iqra (membaca) ini untuk merubah kejahiliahan masyarakat Arab menjadi masyarakat yang berperadaban maju pada zamannya.

6. Islam sebagai Agama Spiritual
Dalam kaitannya dengan spiritualitas, Islam banyak memuat wawasan, konsep dan pokok-pokok ajaran etik-spiritual. Diantara konsep-konsep etik-spiritual yang penting adalah iman, islam, ihsan, taqwa, ikhlas (ketulusan), tawakal, syukur, sabar, silaturahmi, persaudaraan (ukhuwat), persamaan (musâwat), adil, baik sangka (husnu zhan), rendah hati (tawadhu’), tepat janji (al-wafâ’), lapang dada, toleran dan menghargai keragaman (insyirah), dapat dipercaya (amanat), hemat (qawamiyat), perwira (‘iffat, ta’affuf) dan pengabdian dan kedermawanan (al-munfiqûn).

7. Islam sebagai Agama Dakwah
Ayat Al-Quran yang populer berkait dengan penjelasn Islam sebagai dakwah ini adalah ayat 104 dari surat Ali Imran [3], yang berbunyi :

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Adakanlah dari kamu sekalian, golongan yang mengajak ke-Islaman, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah daripada keburukan. Mereka itulah golongan yang beruntung berbahagia”.


D. Kandungan Ajaran Islam
Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Secara umu kandungan ajaran Islam dapat dikelompokkan dapa empat bidang, yaitu aqidah, akhlak, ibadah, dan muamalah. Akidah adalah ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan. Akhlak adalah ajaran yang berhubungan dengan pembentukan sikap mental. Ibadah (mahdlah) adalah ajaran yang berhubungan dengan peraturan dan tatacara hubungan manusia dengan Tuhan. Adapun muamalah adalah ajaran yang berhubungan dengan pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat.


















Catatan Kaki