Sabtu, 12 September 2009

arti shaum

SHAUM DAN PENEGUHAN KESALEHAN SOSIAL
Oleh : Hendar Riyadi

Agama pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk melakukan komunikasi dengan Tuhannya. Lebih dari itu, agama merupakan upaya manusia untuk meneladani sifat atau akhlak Tuhan sesuai dengan kapasitas kemanusiaannya (takhalaq bi akhlaq Allah ‘ala taqath al-basyariyah). Konsep agama ini mengandung implikasi ajaran yang lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Ajaran bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi raison d’etré (alasan keberadaan) atau fitrah manusia (QS. Al-Dariyat [51]: 56).
Tetapi kemudian konsep agama ini memiliki arus balik kepada manusia. Agama tidak hanya berdimensi ritual-vertikal (hablun min Allah), melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablun min al-nas). Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan spiritualitas dan kesalehan individual (private morality), namun yang terpenting dari itu adalah perwujudan iman tersebut dalam pembentukan kesalehan sosial (social morality). Sebab, kesalehan individual tidak akan memiliki makna, jika tidak dapat menciptakan kesalehan dalam level sosialnya. Itulah makna hakiki dari kehidupan beragama. Karena itu, sikap keberagamaan yang tidak melahirkan kesalehan dalam dimensi sosialnya, maka akan kehilangan maknanya yang hakiki.
Shaum pada bulan Ramadhan adalah salah satu ajaran agama terpenting dalam pembentukan kesalehan individu sekaligus kesalehan sosial. Ketaqwaan sebagai puncak kualitas keagamaan yang menjadi cita-cita shaum, digambarkan Al-Quran sebagai, disamping memiliki kesadaran religius (keimanan), juga memiliki komitmen sosial untuk membangun masyarakat yang saleh (good society) secara sosial, ekonomi, politik, dan kulturalnya (QS. Al-Baqarah [2]: 1-5, 177). Dengan demikian, shaum di bulan Ramadhan, bukan sekedar menjadi ritual tahunan, melainkan menjadi sarana pembinaan dan pendidikan kesalehan individual (dimensi ruhiyah), sekaligus menjadi sarana pembinaan dan peneguhan humanitas serta kesalehan sosial (dimensi ijtima'iyah). Allahu a'lam.


SHAUM SEBAGAI AJARAN KEPASRAHAN
Oleh : Hendar Riyadi

Ramadhan adalah bulan penempaan baik yang bersifat ruhani-spiritual, psikologi-kejiwaan, fisik-jasmani, maupun sosial-kemasyarakatan. Secara ruhani-spiritual, pada bulan Ramadhan kita ditempa untuk lebih memberikan arti, nilai dan makna dalam hidup, bahwa hidup yang berarti, bernilai dan bermakna adalah hidup yang selalu diorientasikan semata untuk pengabdian kepada Allah SWT. Suatu pengabdian dalam pelaksanaan perintah shaum dengan penuh keimanan dan kepasrahan, tanpa tawar-menawar. Bukan hidup yang diorientasikan untuk memanjakan tubuh, apalagi sekedar memberhalakan kekayaan, kekuasaan atau sesuatu yang bersifat duniawi.
Secara psikologi-kejiwaan kita ditempa untuk mensucikan jiwa dan membersihkan batin dari sifat kedengkian, kebohongan, keangkuhan, prasangka yang tidak baik, serta kerakusan, amarah dan keserakahan. Di bulan suci Ramadhan kita ditempa untuk bersikap jujur, tulus, bijaksana, rendah hati, serta menghimpun energi-energi positif melalui amalan-amalan yang akan menggerakkan perubahan pada mentalitas kejiwaan.
Secara fisik-jasmani kita dilatih untuk memperbaiki pola konsumsi yang akan merusak kesehatan tubuh. Selama ramadhan kita ditempa untuk memilih dan memilah makanan yang baik, menyehatkan, serta menghindari pola hidup konsumtif yang berlebihan.
Sementara secara sosial-kemasyarakatan, kita ditempa untuk bersikap empati terhadap mereka yang kekurangan, kaum miskin, fuqara dan mustadh’afin. Shaum sebulan penuh dengan menahan lapar dan haus adalah tempaan untuk ikut merasakan penderitaan orang lain sehingga terbangun sikap solidaritas, kepekaan dan tanggung jawab sosialnya.
Semua tempaan atau gemblengan itu akan menjadi bekal kita semua dalam memasuki kehidupan baru pasca ramadhan. Kehidupan baru ini kita mulai dengan takbir mengagungkan Allah SWT., dengan mengikrarkan kebesaran-Nya: Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilhamd. Suatu kesadaran akan ketundukan dan kepasrahan secara total kepada Allah, bahwa tidak ada yang lebih agung dari Allah. Karena itu, tidak ada yang harus kita sombongkan dan berhalakan.
Selanjutnya, kita memasuki iedul fitri yang merefleksikan kesucian dan kebersihan jiwa. Tidak ada kedengkian, kebohongan, keangkuhan, prasangka yang tidak baik, kerakusan, amarah dan keserakahan, sehingga kita memasuki iedul fitri ini dengan penuh kedamaian jiwa. Kepasrahan dan kesucian jiwa inilah yang akan membawa dan menuntun kita memasuki tahap-tahap berikutnya, yakni hidup sederhana dan bersahaya, menghindari pola hidup konsumtif dan konsumeristik, serta memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


SHAUM DAN PEMBINAAN KARAKTER
Oleh : Hendar Riyadi

Dewasa ini, kita telah jauh masuk ke dalam kehidupan yang bercirikan budaya penghargaan yang luar biasa terhadap tubuh. Tubuh telah menjadi pusat perhatian dalam hidup. Tiada hari tanpa memanjakan tubuh. Pemeliharaan kesucian jiwa terkadang lebih bersifat kamuflase (pengelabuan), hanya sekedar untuk memanjakan dan memperindah penampilan tubuh. Hampir seluruh aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, sedemikian keras didorong bergerak untuk memanjakan tubuh, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Dalam aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya, tubuh kita dimanjakan dengan temuan-temuan modern untuk perawatan tubuh, seperti teknologi untuk memelihara rambut, kulit kepala, alis mata, mata, muka, hidung, mulut, bibir, gigi, payu dara, perut, alat kelamin, hingga teknologi pemeliharaan kaki dan kuku. Dalam aspek hukum, penghargaan terhadap tubuh juga jauh lebih manusiawi. Misalnya, bentuk penanganan penyiksaan atau kekerasan fisik terhadap narapidana telah digantikan dengan bentuk pengendalian berdasarkan aturan penjara.
Penghargaan yang kuat terhadap tubuh juga mengalami perkembangan dalam bidang kehidupan politik dan ekonomi. Dalam bidang politik misalnya, berkembang norma demokrasi yang membuka ruang kebebasan untuk mengekpresikan tubuh, terutama di dunia hiburan dan fashion (mode pakaian). Sedang dalam bidang ekonomi, penghargaan terhadap tubuh banyak diwujudkan dalam seluruh bentuk aktivitas ekonomi (industri) yang banyak memproduk alat-alat, makanan-makanan serta obat-obatan untuk kebugaran, kecantikan dan komolekan penampilan tubuh.
Dalam konteks budaya yang lebih menghargai tubuh inilah, maka ajaran shaum menjadi sangat penting. Shaum mengajarkan manusia untuk hidup sederhana, zuhud, qana’ah, keikhlasan dan kesabaran. Ajaran shaum ini memberikan penyadaran bahwa mengkonsumsi makanan, berpakaian dan bertempat tinggal itu pada dasarnya hanyalah sekedar bekal ibadah. Sehingga, secara moralitas ajaran shaum, orang akan merasa bersalah kalau ia melakukan konsumsi dengan rakus, berpakaian yang gemerlapan dan bertempat tinggal yang megah, sementara sekitarnya orang hidup dalam keterbatasan yang luar biasa.
Memang tubuh membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Tetapi, shaum mengajarkan bukan menjadikan hidup untuk makan, berpakaian dan bertempat tinggal, melainkan menjadikan makan, berpakaian dan bertempat tinggal untuk hidup. Lebih dari itu, shaum mengarahkan hidup pada pendisiplinan akhlaqul karimah. Hal ini sejalan dengan semangat profetik, bahwa nabi tidak diutus untuk memberikan kesejahteraan materi, kenikmatan makanan, kepuasan seks, kemolekan berpakaian dan kemegahan tempat tinggal, tetapi nabi diutus hanyalah untuk menyempurnakan karakter dan akhlak manusia. Allahu a’lam.



CITA-CITA KETAQWAAN
Oleh : Hendar Riyadi

Shaum di bulan Ramadhan bukanlah dimaksudkan untuk berpayah-payah atau menyakiti secara fisik (la’allakum tata`allamûn). Bukan pula dimaksudkan untuk berlapar-lapar ria (la’allakum tajû’ûn). Tetapi, cita-cita shaum di bulan Ramadhan adalah semata untuk mencapai derajat ketaqwaan. Dalam surat Ali Imran ayat 134 disebutkan ciri dari ketaqwaan tersebut adalah pertama, suka berderma, mengeluarkan sebagian harta pada saat lapang atau sempit, senang maupun susah (alladzina yungfiquna fi al-sarra'I wa al-dharra'i).
Ciri ketaqwaan ini menunjukkan sikap dan kesadaran akan tanggung jawab sosial yang penting dalam ajaran agama, termasuk menjadi cita-cita dari shaum itu sendiri. Shaum harus melahirkan kesalehan sosial yang jauh dari akhlaq telenges, egoisme sempit dan keserakahan. Dari perspektif ini, budaya konsumtivisme dan konsumerisme adalah tidak sejalan dengan cita-cita shaum itu.
Kedua, ciri dari ketaqwaan itu adalah menahan amarah sekalipun dalam kondisi marah yang sangat memuncak (wa al-kadzimina al-ghaidz). Marah adalah pangkal kekerasan, dan kekerasan adalah pangkal kerusakan. Karena itu agama mengajarkan kesabaran, dan shaum itu adalah setengah dari kesabaran itu (al-shaum nisf al-shabr). Kesabaran sebagai cita-cita shaum ini mengajarkan kita untuk dapat mengendalikan diri dari segala keingingan dan hasrat duniawi yang bersifat konsumtif, konsumeristik dan hedonistik.
Ketiga, ciri ketaqwaan yang disebut Al-Quran surat Ali Imran ayat 134 itu adalah pemaaf (wa al-'afina 'an al-nas). Kita menyadari bahwa setiap orang pasti akan melakukan kesalahan. Kecil atau besar, disengaja atau tidak disengaja. Karena itu, pada tempatnyalah bila kita dapat berbagi maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah kita sama-sama lakukan.
Dengan demikian, ketaqwaan sebagai cita-cita shaum ini seharusnya dapat meciptakan suasana yang damai, saling menyapa, tidak ada amarah dan dipenuhi asmosfir maaf yang menyejukkan. Perbedaan tidak harus melahirkan caci-maki, kebencian, hasad, apalagi tindak kekerasan. Perbedaan seharusnya dapat melahirkan rahmat, ukhuwah serta keindahan hidup dalam perbedaan dan keragaman. Dalam perspektif ini, shaum mengajarkan kita untuk saling menyapa, menebar maaf dan cinta kasih diantara kita.