Senin, 18 April 2011

Penatalaksanaan Anestesi pada Penderita BPH (Benign Prostat Hipertrophy) dengan Penyakit Penyerta Asma Bronkial

PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari hal-hal yang menyangkut anestesi. Menurut asal katanya anesthesia berasal dari kata ‘an’ yang berarti tidak, dan ‘estesia’ yang berarti rasa. Dengan demikian kira-kira anesthesia berarti tidak berasa. Istilah anesthesia ini pertama kali dipergunakan oleh ‘Oliver Wendell Holmes’ tahun 1846. Analgesia ialah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.

Rasa nyeri merupakan masalah unik, disatu pihak bersifat melindungi badan kita dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut pra-operasi perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Kondisi optimal tercapai bila ‘trias anestesi’ sudah terpenuhi, yaitu meliputi hipnotik, analgetik, dan sedative.
Sebagian besar operasi dilakukan dengan anesthesia umum, lainnya dengan anesthesia regional atu local. Operasi sekitar kepala, leher, intra-torakal, intra-abdominal paling baik dilakukan dengan anesthesia umum endotrakea. Dengan cara terakhir ini jalan napas dapat bertahan bebas terus dan kalau perlu napas dapat dikendalikan (dikontrol). Pilihan cara anesthesia harus selalu terlebih dahulu mementingkan segi-segi keamanan dan kenyamanan pasien.
Pada penderita usia tua mempunyai risiko anesthesia dan pembedahan yang tinggi. Angka kematian pembedahan dan anesthesia pada usia tua sangat tinggi. Tingginya angka kematian ini disebabkan oleh adanya kelainan atau penyakit yang menyertai usia tua termasuk penyakit asma bronchial. Oleh karena itu penderita tua yang akan dioperasi atau tindakan anesthesia/ analgesia harus dievaluasi selama dan setelah pembedahan.


STATUS PASIEN ANESTESI
I. Resume
Seorang laki-laki, umur 63 tahun dengan riwayat susah buang air kecil, nyeri dan merasa kurang puas bila buang air kecil dengan suspect BPH dan mempunyai penyakit penyerta berupa asma bronchial yang menjalani operasi dengan anestesi umum.
II. Data Umum
Nama :  S.
Umur : 63 tahun.
Berat badan : 65 kg.
Pekerjaan : PNS.
. III. Pemeriksaan Pra-anestesi
Anamnesa
· Pasien mengeluh susah buang air kecil, nyeri dan menetes selama satu bulan yang lalu. Pasien juga merasa kurang puas bila buang air kecil, dan sering terbangun pada malam hari.
· Pasien mempunyai riwayat asma tapi tidak dalam serangan, akan tetapi setiap ada serangan pasien memeriksakan ke dokter dan diberi terapi aminofilin dan terasma.
· Pasien mempunyai riwayat alergi sehingga jika terkena debu atau asap, pasien mengeluh sering bersin-bersin.
· Pasien mempunyai riwayat anestesi sebelumnya. Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : kompos mentis
Keadaan umum : gizi cukup
Tekanan darah : 150/ 80 mmHg
Nadi : 84 x/ menit
Napas : 20 x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : konjuntiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, JVP tidak meningkat
Toraks : bentuk dan gerak simetris, dinding toraks tidak teraba massa atau tumor, sonor pada kedua lapangan paru, wheezing -/-, ronki -/-
Abdomen : dinding abdomen datar simetris dan lembut, hepar dan lien tidak teraba, timpani pada 4 regio abdomen, bising usus +
Ekstremitas : tidak ada edema dan kelainan
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hb : 13,3 gr/ dl
Leukosit : 7500/ mm3
Trombosit : 220.000/ mm3
Ht : 38,6%
Gula darah sewaktu : 88 mg/ dl
Ureum : 39 mg/ dl
Creatinin : 1,21 mg/ dl
SGOT : 34 μ/ lt
SGPT : 44 μ/ lt
Foto rontgen toraks tidak ada kelainan.
Konsul dari bagian penyakit dalam :
Diagnosis asma bronchial + insufisiensi hati ringan
Tindakan operasi dengan NU cukup baik
Instruksi : combivent 1 ampul
Nebulizer 15 menit pre op
Aminofilin 2 x 100
Histrin
Terasma 2 x ½
Konsul dengan anestesi :
Puasa 6 jam pre op.
Pre medikasi : valium tab 5 mg po 2 jam pre op diminum dengan air 2 sendok makan.
Evaluasi akhir di OK.
Kesimpulan
Pasien 63 tahun dengan diagnosis BPH dan asma bronchial dengan status ASA III elektif.
Prosedur Anestesi
· Metode : Narkose Umum
· Persiapan Anestesi
clip_image001 Persiapan Alat
S = scope : stetoskop dan laringoskop
T = tube : pipa trakea ukuran 34 spiral balon
A = airway : pipa mulut-faring (guedel, orotrakeal airway) atau mayo
T = tape : plester
I = introducer : mandrin/ stilet
C = conector : penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S = suction : penyedot lender, ludah dengan kanula suctionnya
Tensimeter dan monitor EKG
Tabung gas O2 dan NO2 terisi dan buka
Spuit kosong
clip_image001[1] Persiapan Obat
Sulfas Atropin 2-3 ampul
Propofol 1 ampul
Tracrium 1 ampul
Petidin 1 ampul
Tradosik 1 ampul
· Premedikasi : Sulfas Atropin (SA) 0,25 mg iv
· Induksi Anestesi
Obat yang digunakan : propofol 100 mg ( dosis 2-4 mg/ kgBB)
Tracrium 30 mg (dosis 0,5-0,6 mg/ kgBB)
Petidin 50 mg (dosis 1-2 mg/ kgBB)
Intubasi : dengan ETT no 34 spiral balon per oral
Rumatan : NO2 + O2 (1:1) + halotan 3 vol %
Tracrium 10 mg
Respirasi : controlled, tehnik closed, ventilasi volume controlled
Posisi : terlentang
Monitoring
Tekanan darah : 120/80 mmHg – 150/80 mmHg
Nadi : 84 – 100 x/ menit
Respirasi : 16 – 20 x/ menit
Pemberian cairan ringer laktat : 8 kolf (@ kolf = 500 cc)
Keadaan Pasca Operasi
Pasien diobservasi di ruang pemulihan masuk jam 17:45 WIB dalam keadaan belum sadar, nadi 80x/ menit, tekanan darah 140/80 mmHg, suhu 36ºC, pernapasan baik, kesan baik. Kemudian pasien dipindahkan ke ruang Topaz dalam keadaan kompos mentis untuk monitoring lebih lanjut dan terapi pemberian cairan serta terapi obat-obatan.
Instruksi dari dokter bedah. Post open prostatektomi ai retensio uri ec BPH, observasi tekanan darah, nadi, respirasi, suhu. Puasa sampai bising usus +, infuse RL:dextrose = 2:1 20 tetes/ menit, cek ulang laboratorium lengkap, kaltrofen 2×1.

Penatalaksanaan Anestesi pada Penderita BPH dengan Penyakit Penyerta
Asma Bronkial dan Usia Tua
I. Penatalaksanaan Anestesia pada Usia Tua
Usia tua menyebabkan beberapa organ mengalami banyak perubahan. Penurunan elastisitas dari pembuluh darah menyebabkan hipertensi sistolik. Aktivitas parasimpatik meningkat sedangkan aktivitas simpatik menurun. Penurunan ventilasi menyebabkan hiperkarbi dan hipoksia. Refleks saluran nafas kurang aktif. Penurunan filtrasi glomerolus dan reabsorpsi tubulus. Penurunan fungsi ginjal yang mengganggu keseimbangan air dan elektrolit. Penurunan fungsi hati dalam mengeliminasi obat. Penurunan basal metabolic rate 1% tiap tahunnya setelah umur 30 tahun. Penurunan kebutuhan untuk anestetik.
Evaluasi pre-operativ pada pasien usia lanjut antara lain harus diteliti disfungsi organ yang berhubungan dengan usia tua. Penyakit penyerta yang sering berhubungan dengan usia tua misalnya hipertensi, gagal jantung kongestif, penyakit paru obstruktif, diabetes mellitus, arthritis, spondilosis servikal. Terapi obat-obatan sebelumnya dan kemungkinan interaksinya juga harus dipikirkan. Selain hal-hal tersebut dilihat pula gigi yang copot ada berapa. Oleh karena itu evaluasi dan persiapan penderita sebelum pembedahan harus dilakukan secara hati-hati, terutama diarahkan pada pemeriksaan kardiologi, pulmonologi, nefrologi, neurology untuk mengetahui pengobatan apa yang pernah atau sedang diberikan pada penderita.
Campuran obat-obat diberikan untuk premedikasi dengan maksud mengurangi rasa sakit dan takut, memperlancar masa induksi, mengurangi sekresi jalan napas. Umumnya dosis yang diperlukan lebih kecil karena metabolismenya menurun dan kadang-kadang adanya depresi mental. Beberapa obat tertentu harus kita berikan secara lebih hati-hati karena ada yang menimbulkan reaksi idiosinkrasi sehingga terjadi kegelisahan dan delirium, kalau diazepam 5 mg sudah memberikan efek hipnotik yang lama.
Usia tua bukan merupakan kontraindikasi untuk anesthesia. Suatu kenyataan bahwa tindakan anesthesia sering memerlukan ventilasi mekanik, sirkulasi yang memanjang pada orang tua memerlukan obat intravena dosis kecil dan pengawasan perubahan faal yang lebih teliti. Sering pula efek spasme laring dan rangsangan endotrakeal memberikan efek hipotermi. Untuk mencegah pengaruh tersebut, anestesi harus dibatasi agar jangan terlalu lama mempengaruhi organ tubuh. Macam obat yang dipakai harus dipilih, obat mana yang tidak terlalu mengganggu faal organ tertentu sesuai dengan kelainan sistim yang didapat. Ketamin dipakai hati-hati karena memberi efek simpatomimetik, kurare dapat memberikan efek pelepasan histamine dan hipotensi berat karena blockade ganglion. Prostigmin dapat memberikan bradikardia yang berat. Oleh karena itu pada saat melakukan anestesi harus di monitoring sesering mungkin. Intubasi mungkin sulit dilakukan pada pasien dengan spondilosis servikal dan sudah kehilangan giginya.
Pasien usia tua yang mengalami anestesi, pada saat post operasi harus tetap dijaga oksigenasinya dan monitoring tetap terus dilanjutkan, terapi obat untuk penyakit penyerta juga harus dilanjutkan, demensia juga kadang terjadi jika berada di lingkungan yang kurang dikenalnya seperti misalnya di rumah sakit. Oleh karena itu pasca operasi juga harus dilakukan monitoring yang ketat.

II. Penatalaksanaan Anestesia pada Asma Bronkial
  1. Evaluasi pre-operatif
Terhadap penderita penyakit paru harus diteliti sejarah penyakitnya, obat-obat apa yang sudah diberikan, pemeriksaan fisik dan fungsi paru. Perlu diperhatikan apakah ada kebiasaan merokok, lingkungan kerja yang kotor. Pemeriksaan laboratorium, foto toraks, EKG dan kalau mungkin pemeriksaan analisa gas darah dilakukan secara rutin. Kesulitan anesthesia yang mungkin terdapat pada penyakit paru berupa:
- Reaksi hipersensitif berupa batuk, bronkospasme terhadap obat anestesi.
- Pernapasan control selama anesthesia akan sulit dilakukan tanpa mengganggu sirkulasi.
- Adanya tendensi obat-obat prostigmin/ neostigmin memberikan efek muskarinik yang nyata hingga terjadi bronkospasme.
Terapi steroid yang lama pada penderita asma bronchial dapatmenghambat pembentukan ACTH dan mengakibatkan atrofi kelenjar suprarenal. Sehingga produksi kortison tubuh terganggu dan tidak cukup untuk mengatasi stress anesthesia dan operasi ataupun trauma.
b. Persiapan pre-operatif
Persiapan pre-operatif bertujuan untuk memperbaiki faal paru, menghilangkan bronkospasme dan memberantas infeksi. Hal-hal yang dapat kita lakukan adalah:
- Kebiasaan merokok harus dihentikan walaupun belum ada gangguan faal paru.
- Sekret harus dikeluarkan dan latihan pernapasan.
- Terapi inhalasi harus dilakukan, yaitu berupa IPPB (intermittent positive pressure breathing) dimana kita memberikan tekanan positif sebesar 5-15 cmH2O selama inspirasi dan fase ekspirasi kembali kenilai atmosfir. Adapun maksud IPPB adalah memperbaiki ventilasi alveolar, memperlebar bronkus, memperbaiki distribusi udara, mengurangi resistensi jalan napas, mengurangi tenaga untuk bernapas, control faal paru dan analisa gas darah, pemberian bronkodilator steroid dan antibiotic.
c. Premedikasi
Golongan parasimpatolitik seperti atropine dan skopolamin baik sekali untuk mengurangi sekresi jalan napas. Golongan narkotika seperti petidin dapat diberikan dengan dosis yang kecil untuk mencegah depresi napas. Golongan antihistamin seperti fenergan mulai banyak dipakai karena mempunyai efek yang menguntungkan berupa sedative dan mencegah terjadi bronkospasme. Umumnya dipakai kombinasi dari beberapa obat untuk mencapai tujuan premedikasi.
e. Obat-obat anestetika dan tehnik anestetika
Perjalanan anesthesia harus lancar dan tenang karena eksitasi akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga mudah terjadi hipoksia. Induksi biasanya menggunakan ultra short acting barbiturate seperti:
- Thiopental
Thiopental sendiri tidak menyebabkan bronkospasme. Besar dosis rata-rata (4-7 mg/kg) dari thiopental dapat tergunakan, tergantung usia, stabilitas hemodinamik, efek sedative/ narkotik, untuk mendapatkan kedalaman anestesi yang adekwat untuk memanipulasi jalan napas.
- Eter
Eter menyebabkan hipersekresi jalan napas karena itu tidak baik untuk penderita dengan kelainan paru walaupun eter memberikan efek bronkodilatasi.
- Halotan
Halotan merupakan salah satu obat pilihan untuk induksi inhalasi karena tidak menyebabkan iritasi saluran pernapasan atas seperti yang disebabkan dengan isoflurane atau enfluran.
- Neurolept-analgesia
Neurolept-analgesia dengan mempergunakan kombinasi fentanil dan dehidrobenzoperidol jarang dipergunakan karena ada tendensi terjadi bronkospasme.
- Ketamin
ketamin dapat digunakan sebagai alternative obat induksi. Mempunyai efek bronkodilator dengan melepaskan katekolamin endogen. Akan tetapi, pada pasien dengan infeksi saluran pernapasan atas, ketamin dapat menyebabkan batuk paroksismal. Untuk mencegah pengeluaran salivasi pada pasien yang menggunakan ketamin, sebelumnya direkomendasikan untuk menggunakan atropine atau glikopirolate.
- Pilihan pelemas otot antara lain suksinilkolin, vecuronium, dan pancuronium. Atracuronium dan d-tubokurarin sebaiknya dihindari karena merangsang pelepasan histamine.
Tehnik anesthesia bervariasi antara ‘minimal interference tehnique’ dan ‘maximal interference tehnique’/ pada ‘minimal interference tehnique’ penderita bernapas spontan. Termasuk dalam tehnik ini analgesia local dan anesthesia umum yang ringan, dan umumnya tidak digunakan intubasi endotrakeal.
‘Maximal support tehnique’ mempergunakan intubasi endotrakeal, pernapasan control dan secret jalan napas diisap secara aktif. Ventilasi yang adekwat dapat dimonitor denan PaCO2 dan PaO2. keuntungan tehnik ini adalah fungsi paru dapat dipertahankan dengan baik kecuali dalam hal dimana tahanan jalan napas yang sangat ekstrim dan adanya kemungkinan abses paru yang pecah. Kerugian tehnik adalah kemungkinan kesulitan pemulihan pernapasan spontan, selain itu penderita sudah terbiasa dengan PaCO2 yang tinggi sedangkan ventilasi terkontrol dapat menurunkan PaCO2 kadang sampai dibawah normal.
e. Penanganan ventilasi
Selama anesthesia mengatur oksigenasi darah arteri relative lebih mudah daripada mengatur pengeluaran karbondioksida. Memperbaiki oksigenasi dapat dilakukan dengan menambah O2, tetapi penimbunan O2 harus diperbaiki dengan ventilasi yang adekwat. Ventilasi alveolar berkurang 10% saja sudah memberikan asidosis respiratorik yang sulit ditemukan dari pengamatan klinik saja. Sianosis bukan satu-satunya petunjuk yang penting. Efek kardiovaskuler dapat ditutupi oleh pengaruh anesthesia sendiri. Dalam hal ini pemeriksaan gas darah memberikan gambaran yang paling terarah.
IPPB dapat dilakukan dengan ‘assisted ventilation’ atau ‘controlled ventilation’ sesuai dengan pengalaman dan ketrampilan ahli anesthesia yang melakukannya.PEEP sudah mulai banyak pula dipergunakan karena dapat membuka alveoli yang kolaps, menghilangkan bronkospasme dan mencegah atelektasis. Tetapi harus dilakukan dengan hati-hati karena kalau terlalu kuat dapat mengakibatkan alveoli pecah, dan sirkulasi terganggu karena ‘venous return’ terganggu akibat hipotensi. Tekanan yang dianjurkan sekitar 3-5 cm H2O

DAFTAR PUSTAKA
  1. Attygalle Deepthi. Geriatric Anesthesia. In: Deepthi Attygalle. A Handbook of Anaesthesia. Sri Lanka: College of Anaesthesiologists of Sri Lanka; 1992. p 94-5.
  2. Dardjat M T, editor. Anestesi pada Penderita Usia Tua. Dalam: Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta: Aksara Medisina;1986. hal 209-14.
  3. Dardjat M T, editor. Anestesi Penderita dengan Kelainan Paru. Dalam: Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta: Aksara Medisina;1986. hal 234-37.
  4. Goelzer Susan L, Croy Steven, Coursin Douglas B. Pulmonary Disorders. In: Eugene Y Cheng, Jonathan Kay. Manual of Anesthesia and the Medically Compromised Patient. Philadelphia: JB Lippincot Company; 1990. p 159-67.
  5. Muhardi. Pilihan Cara Anestesia. Dalam: Basuki Gunawarman, Muhadi Muhiman, Latief Said, editor. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1989. hal 63
    http://fhastanti.wordpress.com/2010/09/01/penatalaksanaan-anestesi-pada-penderita-bph-benign-prostat-hipertrophy-dengan-penyakit-penyerta-asma-bronkial/