Senin, 18 April 2011

Menggigil post RA

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Menggigil paska anestesi regional sekitar 40-60% . Ciri khas menggigil
berupa tremor ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal terhadap
hipotermia selama anestesi regional dan pembedahan. Gerakan mirip menggigil yang
berasal dari non termoregulator dan bersifat involunter juga bisa muncul pada periode
pasca pembedahan. Menggigil non termoregulator dapat berhubungan dengan
pengendalian nyeri yang tidak adekuat pada saat pulih sadar atau berhubungan dengan
etiologi lain. Kontraksi otot tonik pada waktu pulih sadar dari agen halogen dapat
terlihat seperti mengigil demikian juga gerakan klonik spontan yang menyerupai
menggigil juga dapat terlihat.6
2.1. FISIOLOGI
Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5‐37,5 0C pada suhu
lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik, sistem
termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas
fisiologis dan metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme
adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi.8
Kombinasi antara gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi
dan eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya hipotermia pada
pasien yang mengalami pembedahan. Menggigil merupakan salah satu konsekuensi
terjadinya hipotermia perioperatif yang dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele,
yaitu peningkatan konsumsi oksigen dan potensi produksi karbon dioksida, pelepasan
katekolamin, peningkatan cardiac output, takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan
intraokuler. Definisi hipotermia adalah temperatur inti 10C lebih rendah di bawah standar
deviasi rata‐rata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu lingkungan
yang normal (28‐350C). Kerugian paska operasi yang disebabkan oleh gangguan fungsi
termoregulasi adalah infeksi pada luka operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi jantung
yang juga berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif.8
Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari
termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon
Universitas Sumatera Utara
6
eferen. Input temal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di
perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan
termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada peningkatan produksi panas.8
Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai satu‐satunya jalur
termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus. Seluruh jalur serabut saraf
asendens ini terpusat pada formatio retikularis dan neuron termosensitif berada pada
daerah di luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial hipotalamus midbrain,
medula oblongata, dan korda spinalis. Input multiple yang berasal dari berbagai
termosensitif, diintegrasikan pada beberapa tingkat di korda spinalis dan otak untuk
koordinasi bentuk respon pertahanan tubuh.8
Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen : termosensor dan jalur
saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom.8
2.1.1. Termosensor dan Jalur Saraf Aferen
Banyak pengetahuan mengenai struktur sistem termoregulasi yang diperoleh dari
penelitian pada hewan. Input termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer. Reseptor
termal terdapat pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal dan
memberikan kontribusi terhadap refleks termoregulasi. Reseptor spesifik dingin
mengeluarkan impuls pada suhu 25‐300C. Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A‐δ.
Reseptor panas mengeluarkan impuls pada suhu 45‐500C dan berjalan pada serabut saraf
tipe C.8
Reseptor dingin berespon terhadap perubahan sementara temperatur lingkungan
dalm waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur
lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan
temperatur lingkungan biasanya diikuti respon temperatur kulit. Hal ini dibuktikan pada
penelitian terhadap sistem termoregulasi manusia secara kimia. Pada penelitian tersebut,
disebutkan bahwa produksi panas tubuh selalu diukur melalui kebutuhan oksigen tubuh.
Termoregulasi terhadap dingin dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat
oleh pusat reseptor panas. Reseptor dingin kulit merupakan sistem pertahanan tubuh
terhadap temperatur dingin dan input aferen yang berasal dari reseptor dingin
ditransmisikan langsung ke hipotalamus.8
Universitas Sumatera Utara
7
Berbeda dengan reseptor dingin perifer, lokasi reseptor dingin sentral tidak begitu
jelas secara anatomis. Produksi panas pada temperatur kulit yang hangat meningkat bila
temperatur inti tubuh menurun kurang dari 360C. Pusat termoreseptor dingin kurang begitu
penting bila dibandingkan input sensoris dingin perifer, akan tetapi suatu penelitian
terhadap transeksi korda spinalis, menyimpulkan bahwa proses di pusat termoregulasi akan
aktif bila temperatur inti tubuh di bawah titik ambang batas set‐point dan kurang sensitif
terhadap termoreseptor perifer.8
Gambar 2.1. Alur Kontrol Termoregulasi6
2.1.2. Hipotalamus Pusat Integrasi
Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi temperatur yang
berada di hipotalamus. Hipotalamus anterior menerima informasi termal aferen secara
integral dan hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area preoptik
hipotalamus berisi saraf sensitif dan insensitif terhadap temperatur temperatur. Beberapa
ahli membaginya dalam saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon
Universitas Sumatera Utara
8
peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh.
Saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal
yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap dingin
sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin tubuh pada area preoptik hipotalamus.
Saraf yang sensitif tehadap stimulasi termal lokal dikontrol oleh hipotalamus posterior,
formatio retikularis, dan medula spinalis.8
Hipotalamus posterior menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer
dengan stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan mengaktifkan
respon efektor. Deteksi dingin dibedakan dengan panas berdasarkan impuls aferen yang
berasal dari reseptor dingin. Bila temperatur inti tubuh turun 0,50C dibawah nilai normal,
neuron preoptik akan menjadi tidak aktif. Kulit mengandung reseptor dingin dan panas,
dimana reseptor dingin 10 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas.8
Suatu penelitian terhadap manusia menyimpulkan bahwa termoregulasi otonom
bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu : deteksi panas sentral, deteksi dingin perifer,
pusat inhibisi panas sebagai respon metabolik terhadap dingin, dan inhibisi termoregulasi
keringat terhadap kulit yang dingin.8
Temperatur set‐point didefinisikan sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,7‐
37,10C. Set‐point ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range dan
pada manusia sangat unik. Pada manusia set‐point ini bervariasi, selama tidur suhu tubuh
sekitar 36,20C sampai menjelang pagi, meningkat lebih dari 10C menjelang malam. Wanita
memiliki nilai set‐point yang lebih tinggi 10C selama siklus menstruasi pada fase luteal. Pada
tumor intrakranial seperti space‐occupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat
menyebabkan peningkatan temperatur set‐point dengan mekanisme yang belum jelas.8
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 2.2. Hubungan hipotermia dan hipotalamus.6
2.1.3. Respon Efektor
Respon termoregulasi ditandai dengan : pertama, perubahan tingkah laku yang
secara kuantitatif mekanisme ini lebih efektif, kedua, respon vasomotor yang ditandai
dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan
vasodilatasi dan berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga, menggigil dan
peningkatan rata‐rata metabolisme.8
Pada keadaan sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan
dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila hipotalamic termostat
mengindikasikan adanya temperatur tubuh terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks
serebri tanpa melalui hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini
menimbulkan perubahan tingkah laku seperti peningkatan aktivitas motorik, berusaha
mencari penghangat atau memakai penghangat tambahan . Kontrol respon tingkah laku
terhadap dingin didasari oleh besarnya signal panas yang diterima kulit.8
Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan suhu tubuh bertujuan untuk
mempertahankan suhu tubuh inti pada batas normal dengan mekanisme seperti gambar
dibawah ini.8
Universitas Sumatera Utara
10
Gambar 2.3. Mekanisme kontrol termoregulasi.6
2.2. PATOFISIOLOGI
Fungsi termoregulasi mengalami perubahan selama dilakukan tindakan anestesi dan
mekanisme kontrol terhadap temperatur setelah dilakukan tindakan anestesi baik umum
maupun regional akan hilang. Seorang anestesiologist harus mengetahui management
kontrol termoregulasi pasien. Tindakan anestesi menyebabkan gangguan fungsi
termoregulator yang ditandai dengan peningkatan ambang respon terhadap panas dan
penurunan ambang respon terhadap dingin.6
Hampir semua obat‐obat anestesi mengganggu respon termoregulasi. Temperatur
inti pada anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,0‐1,50C selama satu jam
pertama anestesi yang diukur pada membran timpani. Sedangkan pada anestesi spinal dan
epidural menurunkan ambang vasokonstriksi dan menggigil pada tingkatan yang berbeda,
akan tetapi ukurannya kurang dari 0,60C dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran
dilakukan di atas ketinggian blok.6
Universitas Sumatera Utara
11
Gambar 2.4. Hubungan anestesi dengan penurunan core temperatur.6
Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung berinteraksi
dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal anestesi intravena pada
dosis ekuivalen plasma level setelah anestesi regional tidak berpengaruh terhadap
termoregulasi. Mekanisme gangguan pada termoregulasi selama anestesi regional tidak
diketahui dengan jelas, tapi diduga perubahan sistem termoregulasi ini disebabkan
pengaruh blokade regional pada jalur informasi termal aferen.6
Gambar 2.5. Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi).6
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.6. Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi.6
Pada anestesi spinal akan menurunkan ambang menggigil sampai dan pada inti
hipotermi pada jam pertama atau setelah dilakukan anestesi spinal akan menurun sekitar 1–
2 0C, hal ini berhubungan dengan redistribusi panas tubuh dari kompartermen inti ke perifer
dimana spinal menyebabkan vasodilatasi.6
Pada anestesi spinal terjadi menggigil di atas blokade dari lokal anestesi disebabkan
karena ketidakmampuan kompensasi otot di bawah ketinggian blokade untuk terjadinya
menggigil. Sama seperti pada anestesi umum, hipotermia terjadi pada jam pertama anestesi,
atau setelah dilakukan tindakan anestesi spinal. Hal ini terjadi karena proses redistribusi
panas inti tubuh ke perifer oleh vasodilatasi yang disebabkan blokade anestesi spinal.6
Terjadinya hipotermia tidak hanya murni karena faktor blokade spinal itu sendiri tapi
juga karena faktor lain seperti cairan infus atau cairan irigasi yang dingin, temperatur
ruangan operasi dan tindakan pembedahan. Pasien akan mengalami penurunan temperatur
tubuh oleh karena terjadi redistribusi panas di bawah ketinggian blok ditambah pemberian
cairan dengan suhu yang rendah akan memberikan implikasi yang tidak baik pada pasien
yang menjalani pembedahan terutama pasien dengan usia tua karena kemampuan untuk
mempertahankan temperatur tubuh pada keadaan stress sudah menurun.6
Pemberian obat lokal anestesi yang dingin seperti es, akan meningkatkan kejadian
menggigil dibandingkan bila obat dihangatkan sebelumnya pada suhu 300C, tetapi
penghangatan ini tidak berlaku pada pasien yang tidak hamil karena tidak ada perbedaan
jika diberikan dalam keadaan dingin atau hangat. Menggigil selama anestesi regional
anestesi dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruangan yang optimal, pemberian
selimut dan lampu penghangat atau dengan pemberian obat yang efektifitasnya sama untuk
mengatasi menggigil paska anestesi umum.6
Universitas Sumatera Utara
13
Terjadinya hipotermia selama regional anestesi tidak dipicu oleh sensasi terhadap
dingin. Hal ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa persepsi dingin secara subjektif
tergantung pada input aferen suhu pada kulit dan vasodilatasi perifer yang disebabkan oleh
regional anestesi. Setelah terjadi redistribusi panas tubuh ke perifer pada induksi anestesi
umum dan regional, hipotermia selanjutnya tergantung pada keseimbangan antara
pelepasan panas pada kulit dan metabolisme panas yang akan melepas panas tubuh. Selama
anestesi spinal terdapat dua faktor yang akan mempercepat pelepasan panas dan mencegah
timbulnya perubahan temperatur inti yang terlihat setelah anestesi : pertama, dengan
menurunkan ambang vasokonstriksi yang digabungkan dengan vasodilatasi pada tungkai
bawah selama blok terjadi. Oleh karena itu kehilangan panas terus berlangsung selama
anestesi spinal meskipun mekanisme aktivitas efektor berlangsung di atas ketinggian blok.
Hal ini terlihat khususnya pada kombinasi antara anestesi umum dan epidural. Kedua,
anestesi spinal menurunkan ambang vasokonstriksi selama tindakan anestesi dan
meningkatkan rata‐rata sensasi dingin bila dibandingkan hanya dengan anestesi umum saja
karena vasokonstriksi yang secara kuantitatif terpenting pada ekstremitas bawah dihambat
oleh blokade itu sendiri.6
Menggigil merupakan mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila mekanisme
kompensasi yang lain tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.
Rangsangan dingin akan diterima afektor diteruskan ke hipothalamus anterior dan
memerintahkan bagian efektor untuk merespon berupa kontraksi otot tonik dan klonik
secara teratur dan bersifat involunter serta dapat menghasilkan panas sampai dengan 600%
diatas basal. Mekanisme ini akan dihambat oleh tindakan anestesia dan pemaparan pada
lingkungan yang dingin dan dapat meningkat pada saat penghentian anestesia.6
Penurunan laju metabolisme yang disebabkan oleh hipotermia dapat
memperpanjang efek anestesi sedangkan menggigil yang menyertainya akan meningkatkan
konsumsi oksigen 100% ‐ 600%2,4 , dan meningkatkan resiko angina dan aritmia pada pasien
dengan penyakit kardiovaskuler.2 Morbiditas yang mungkin terjadi dan telah dilaporkan
cukup bermakna adalah peningkatan kebutuhan metabolik (hal ini dapat membahayakan
pada pasien dengan cadangan hidup yang terbatas dan yang berada pada resiko kejadian
koroner), menimbulkan nyeri pada luka, meningkatkan produksi CO2, denyut jantung,
memicu vasokonstriksi dan dengan demikian meningkatkan resistensi vaskular, tekanan
darah, dan volume jantung sekuncup sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan
intrakranial. Sebagai tambahan, resiko perdarahan dan infeksi luka bedah akan meningkat
Universitas Sumatera Utara
14
pada pasien hipotermik. Karena alasan‐alasan itulah, mempertahankan pasien pada suhu
normal merupakan baku perawatan.6
2.3 ETIOLOGI
Etiologi menggigil masih belum jelas, tetapi, diperkirakan bahwa hipotermia selama
pembedahan dan gangguan pada pusat termoregulator merupakan faktor penyebab yang
utama. Penelitian elektromiografi menunjukkan bahwa menggigil paska tindakan anestesi
berbeda dengan menggigil yang disebabkan oleh flu. Faktor lain yang diperkirakan sebagai
modulator menggigil meliputi penggunaan obat anestesi, dan respon febril. Menggigil
merupakan respon terhadap hipotermia selama pembedahan dengan anestesi regional dan
general yang terjadi karena perbedaan antara suhu darah dan kulit dengan suhu inti tubuh.
Setiap pasien yang menjalani pembedahan berada dalam resiko untuk mengalami
hipotermia1. Ahli anestesi menempatkan menggigil pada posisi ke‐8 sebagai yang sering
terjadi dan ke‐21 sebagai komplikasi yang perlu dicegah.9 Pada manusia suhu inti tubuh
dipertahankan dalam batas 36.5 ‐ 37.5°C. 10,11 Walaupun literatur yang ada saat ini tidak
memberikan definisi yang jelas tentang normotermia ataupun hipotermia tetapi para ahli
menyatakan bahwa normotermia berada pada temperatur inti yang berkisar antara 36ºC‐
38ºC (96.8ºF‐100.4ºF). Hipotermia terjadi bila temperatur inti kurang dari 36ºC (96.8ºF).
Hipotermia dapat terjadi diluar temperatur tersebut jika pasien mengeluh merasa
kedinginan atau menampilkan gejala hipotermia seperti menggigil, vasokonstriksi perifer,
dan piloereksi. 1
Hipotermia sering terjadi sebagai efek samping dari anestesi.2 Yang mana anestesi
spinal menyebabkan vasodilatasi dan hambatan pada pusat pengaturan suhu dan
transfer panas antar kompartemen. Faktor yang mendukung kejadian hipotermia
bervariasi, meliputi berikut ini :1
• Usia ekstrim (Anak‐anak dan orangtua)
• Kehamilan
• Suhu ruangan
• Lama dan jenis prosedur bedah
• Kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll)
• Status hidrasi
• Penggunaan cairan dan irigasi yang dingin
Universitas Sumatera Utara
15
• Pemberian anestesia umum
• Pemberian anestesia regional
2.4 Mekanisme Pertukaran Panas
Pertukaran panas antara tubuh dan lingkungan sekitar dicapai dengan berbagai cara seperti
yang dijelaskan berikut ini :
a. Radiasi
Radiasi mengarah kepada hilangnya panas via sinar infrared (sebuah tipe gelombang
elektromagnetis) yang keluar dari kulit. Gelombang ini berasal dari semua benda yang
ada dengan suhu diatas nol mutlak (absolute zero temperature), dan intensitas radiasi
meningkat sebanding dengan peningkatan suhu benda. Dalam kondisi normal, radiasi
meliputi sekitar 60 % dari panas yang hilang dari tubuh manusia.
b. Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas dari benda dengan suhu yang lebih tinggi ke benda
dengan suhu yang lebih rendah. Ini dikarenakan sifat panas yang merupakan energi
kinetik. Perpindahan panas dengan cara konduksi menyebabkan hilangnya panas dari
tubuh sebesar 15%.
c. Konveksi
Ketika panas hilang dari kulit, ia akan menghangatkan udara tepat di atas permukaan
kulit. Peningkatan suhu permukaan ini membatasi kehilangan panas tubuh yang berlebih
akibat konduksi. Akan tetapi ketika aliran udara dari kipas (atau hembusan angin)
melewati kulit, ia akan menggantikan lapisan hangat dari udara di atas permukaan kulit
dan menggantinya dengan udara yang lebih dingin, hal ini menyebabkan hilangnya
panas tubuh terus menerus akibat konduksi. Efek yang sama dihasilkan dengan
peningkatan aliran darah tepat di bawah permukaan kulit. Aksi dari aliran (darah dan
udara) menyebabkan hilangnya panas yang dikenal dengan konveksi.
d. Evaporasi
Perubahan air dari fase zat cair mejadi gas memerlukan panas, dan ketika air atau
keringat berevaporasi dari permukaan tubuh, panas yang digunakan adalah panas
tubuh. Normalnya, evaporasi meliputi 20% dari hilangnya panas tubuh (kebanyakan
merupakan akibat dari insensible fluid loss dari paru). Evaporasi memainkan peran
penting dalam adaptasi stress thermal.
Universitas Sumatera Utara
16
2.5 MONITOR SUHU
Efek fisiologik dari perubahan suhu tubuh adalah alasan utama untuk
memonitor suhu tubuh sewaktu tindakan anestesi. Sebagai proteksi supaya tidak
terkadi iskemik jaringan direkomendasikan suhu inti intraoperatif harus dijaga diatas
360C.
Pengukuran suhu harus akurat dan konsisten. Merupakan kewajiban dari
praktisi untuk menentukan metode terbaik mengawasi suhu inti pasien dan untuk
menggunakan perangkat pengawasan suhu secara benar sekaligus memperkirakan
bagian mana yang akan diukur, kenyamanan pasien, dan keamanan.
Selama periode perioperatif ketika suhu inti berubah dengan cepat, hubungan
antara suhu yang terukur pada berbagai bagian tubuh dapat berbeda. Suhu inti diukur
pada arteri pulmonal, distal esofagus, nasofaring dan membran timpani. Distal
esofagus (25% dari bagian bawah esofagus) memberikan gambaran suhu darah dan
serebral. Suhu membran timpani dan aural kanal memberikan estimasi suhu
hipotalamus dan berkorelasi dengan suhu esofagus. Suhu inti juga dapat diperkirakan
dengan menggunakan bagian oral, aksiler, ataupun kandung kencing. Suhu kulit dan
rektal yang disesuaikan dapat menggambarkan suhu inti dengan cukup baik, tetapi
menjadi tidak dapat diandalkan ketika terjadi Krisis Hipertermia Maligna.
Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa pengukuran suhu membrana
timpani menggunakan infra merah merupakan metode pengukuran suhu selama dan
pasca pembedahan yang lebih disukai. Perlu diingat bahwa ketepatan pembacaan suhu
bergantung pada operator, anatomi pasien, dan alat ukurnya.7
2.6 OBAT‐OBATAN
Hampir semua anestetis akan berusaha mengobati kejadian menggigil pada
periode durante dan pasca pembedahan. Mekanisme kerja dan lokasi kerja serta dosis
optimal obat-obat yang memiliki kemampuan menghilangkan menggigil masih belum
jelas. Sebagian besar diduga dengan cara menurunkan ambang menggigil. Banyak
sediaan obat digunakan untuk tujuan ini, walaupun masih dalam tahap uji klinis
seperti clonidine, doxapram, ketanserin, alfentanil, dexametason dosis rendah,
Universitas Sumatera Utara
17
magnesium sulfat, ketamin,tramadol dll. Salah satu obat yang paling efektif adalah
Pethidin.8
Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan
ambang rangsang menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi.
Mekanisme pethidin sebagai antishivering mungkin bisa dijelaskan oleh kerja
pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic monoamine, antagonis reseptor
NMDA(N-methyl d-aspartate) atau stimulasi dari reseptor-α2.
8
Pethidin merupakan sintetis opioid agonist yang bekerja pada reseptor-μ dan
reseptor-k dan merupakan derivate dari phenylepiperidine. Sesuai rumus bangunnya,
pethidin hampir sama dengan atropine, dan memiliki kerja mild atropine.16
Petidin intratekal akan berikatan dengan reseptor-μ dan reseptor-k di mana
reseptor-reseptor ini akan menurunkan ambang rangsang menggigil. Petidin intratekal
juga akan menstimuli reseptor-α2 dimana jika reseptor ini distimuli akan
meningkatkan pelepasan norepinefrin. Petidin intratekal juga akan mengantagonis
reseptor NMDA (N-methyl d aspatartate).8
Mekanisme menggigil diatur oleh keseimbangan antara serotonin dan
norepinefrin pada hypothalamus, dimana peningkatan serotonin akan mennyebabkan
terjadinya menggigil dan vasokonstriksi sedangkan norepinefrin akan menurunkan
ambang suhu untuk terjadinya menggigil. Pada prinsipnya pemberian petidin
intratekal ini untuk meningkatkan jumlah norepinefrin pada medulla spinalis dimana
hal ini akan memodulasi ambang suhu yang datang dari perifer menuju
hypothalamus.8
Gambar 2.7 struktur kimiawi dari pethidin
Universitas Sumatera Utara
18
2.6.1 FARMAKOKINETIK
Morfin kurang lebih 10 kali lebih poten dari pethidine. Dimana 80-100mg IM
dari pethidin memiliki efek yang sama dengan 10 mg morfin IM. Durasi dari pethidin
2-4 jam, sedikit lebih pendek dibandingkan morfin. Pada rentang dosis analgetik,
pethidin menghasilkan efek sedasi, euphoria, mual,muntah dan depresi pernafasan
sama seperti morfin. Tidak seperti morfin, pethidin baik diabsorpsi di saluran
cerna,tetapi jika dibandingkan dengan IM hanya ½ kali efektiviatasnya.17 Waktu
paruh penggunaan pethidin intrathecal pada manusia pendek; 6 jam setelah
penyuntikan pethidin intrathecal hanya 0,4 % dari dosis awal yang terdeteksi pada
CSF di lumbal. Konsentrasi pethidin pada C7-T1 turun dengan cepat,hal ini
meminimalisir kemungkinan terjadinya delayed depresi respirasi. Efek sistemik lama
timbul pada pemberian pethidin intrathecal karena sifat pethidin yang lebih cepat larut
dalam lemak yang menyebabkan cepatnya efflux pethidin kedalam sistem vena dan
limphatik. 20
2.6.2 METABOLISME
Metabolism pethidine terjadi di hepar, dimana hampir 90% bentuk asal
pethidin mengalami demetilisasi menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi
meperidinic acid. Kemudian diekskresi melalui urin, tetapi tergantung dari nilai pH
dari urin. Sebagai contoh pH urin<5 sebanyak 25% dari bentuk asli pethidin
dikeluarkan. Jadi penambahan keasaman dari pH urin bisa dipertimbangkan untuk
mempercepat eliminasi dari pethidin. Menurunnya fungsi ginjal akan menyebabkan
terakumulasi bentuk normeperidine. Normeperidine memiliki waktu paruh 15
jam(<35 jam pada pasien dengan gagal ginjal) dan dapat dideteksi selama 3 hari
setelah pemberian. Normeperidine dapat menyebabkan stimulasi dari CNS. Toksisitas
dari normeperidine dapat menyebabkan terjadinya myoklonus dan kejang.16
2.6.3 EFEK SAMPING
A. Kardiovaskuler
Pethidin menyebabkan peningkatan heart rate (struktur kimia pethidin mirip
dengan atropine). Dosis tinggi dari morfin, fentanyl, sulfentanil, remifentanyl
dan alfentanyl berhubungan dengan bradikardia yang dimediasi oleh nervus
vagus. Morfin dan pethidin menyebabkan pelepasan dari histamine pada
Universitas Sumatera Utara
19
beberapa individu dan dapat menyebabkan menurunnya tahanan perifer
sistemik arterial blood pressure.18
B. Respirasi
Opioid dapat mendepressi ventilasi. Hal ini disebabkan ambang rangsang
apneu ditingkatkannya dimana PaCO2 meningkat selama periode apneu dan
menurunnya hypoxic drive. Morfin dan pethidin juga dapat menginduced
bronchospasme.18
C. Cerebral
Opioid dapat mereduksi cerebral oxygen consumption, cerebral blood flow
dan tekanan intracranial, tetapi efek ini masih lebih rendah dibandingkan
barbiturate atau benzodiazepine. Pethidin merupakan opioid yang unik,
dimana bila diberikan secara intrathecal memiliki struktur yang sama dengan
sameridin yang memiliki efek local anestetik.18
D. Gastrointestinal
Opioid dapat memperlambat waktu pengosongan lambung dengan
menurunkan peristaltik. Nyeri bilier disebabkan karena kontraksi dari spincter
Oddi. Pasien yang mendapat opioid dalam waktu lama seperti pada pasien
kanker menjadi toleran terhadap efek samping kecuali efek konstipasi yang
disebabkan menurunnya motilitas gastrointestinal.18
E. Endokrin
Stress respon terhadap tindakan pembedahan seperti sekresi hormone
katekolamin, antidiuretik hormone dan kortisol. Opioid memblok pelepasan
hormone-hormon ini. 18
Secara umum efek samping dari penggunaan opioid tergantung pada besarnya
dosis yang digunakan. Ada empat efek samping yang sering timbul pada penggunaan
neuraxial opioid,seperti pruritus, mual dan muntah, retensi urin dan depresi
pernafasan.17
a. Pruritus
Pruritus adalah efek samping yang paling sering timbul pada penggunaan
neuraxial opioids. Sering timbul didaerah wajah,leher dan thorak atas. Pruritus
sering timbul pada pasien obstetri,mungkin disebabkan interaksi antara estrogen
dengan reseptor opioid. Pruritus yang disebabkan pada penggunaan neuraksial
Universitas Sumatera Utara
20
opioid disebabkan oleh migrasi opioid ke cephalad pada CSF dan berinteraksi
dengan reseptor opioid di nucleus trigeminal. Antagonist dari opioid seperti
naloxone efektive untuk mengurangi pruritus yang terjadi. Antihistamine juga
efektive untuk mengatasi pruritus yang disebabkan oleh opioid.17
b. Retensi Urine
Retensi urin sering terjadi pada laki-laki dewasa muda. Retensi urin pada
penggunaan neuraxial opioid sering terjadi dibandingkan pada penggunaan secara
IV dan IM. Terjadinya retensi urin tidak tergantung pada besarnya dosis yang
digunakan atau besarnya absorbsi sistemik dari opioid. Retensi urin disebabkan
karena interaksi antara opioid dengan reseptor opioid yang berlokasi pada spinal
cord di sacral. Interaksi ini menyebabkan inhibisi dari nervus parasimpatik di
sacral yang menyebabkan relaksasi otot detrusor dan meningkatkan maksimum
dari volume kandung kemih.17
c. Depresi pernafasan
Efek samping yang paling serius dari penggunaan opioid adalah depresi
pernafasan,yang bisa timbul beberapa menit atau beberapa jam setelah pemakaian
opioid. Insiden terjadinya depresi pernafasan setelah pemakaian neuraxial opioid
pada dosis konvensional sekitar 1%, sama dengan pemakaian opioid IV dan IM
dengan dosis konvensional. Depresi pernafasan yang cepat terjadi dalam waktu 2
jam setelah injeksi opioid pada neuraxial,dan yang lambat terjadi lebih dari 2 jam
setelah penyuntikan. Depresi pernafasan terjadi karena absorbsi kesistemik dari
opioid yang lipid soluble,walaupun perpindahan opioid di CSF ke cephalad dan
berinteraksi dengan reseptor opioid di daerah ventral medulla. Pasien obstetric
sedikit yang mengalami depresi pernafasan,mungkin disebabkan oleh
meningkatnya stimulasi dari pernafasan oleh progesterone.17
d. Sedasi
Sedasi setelah pemberian neuraxial opioid berhubungan dengan dosis dan bisa
timbul pada semua opioid, tapi paling sering pada penggunaan sulfentanyl. Pada
waktu timbul sedasi pada penggunaan neuraxial opioid,pertimbangkan akan
timbulnya depresi pernafasan pada pasien tersebut. Pengguanaan naloxone
0,25μg/kgBB/jam IV efektive untuk penanganan mual dan muntah,
pruritus,depresi nafas dan perubahan status mental seperti paranoidpsychosis,
catatonia dan halusinasi yang disebabkan oleh pemakaian neuraxial
opioid.17
Universitas Sumatera Utara
21
2.7 KERANGKA KONSEP
Keterangan :
X 􀃆 menghambat
Vasodilatasi
ANESTESI
Redistribusi
panas tubuh
dari inti ke
perifer
Petidin
0,1mg/kgBB
Petidin
0,2mg/kgBB
Hipotalamus dan
medulla spinalis
inhibisi terhadap re-uptake biogenic monoamine,antagonis
reseptor NMDA dan stimulasi dari reseptor-α2.
Tekanan darah
Menggigil
efek
sampingg
Universitas Sumatera Utara 
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22687/4/Chapter%20II.pdf