Sabtu, 30 Agustus 2008

IVF

OLEH: DR. KT SUARDANA
PENDAHULUAN

Sulit hamil atau mendapat keturunan yang dikenal dalam istilah kedokteran sebagai infertilitas memang menjadi problem pasangan suami istri yang serius. Tidak hanya itu, bahkan dalam sistem masyarakat Indonesia dimana suami-istri merupakan bagian dari keluarga besar, hingga problem ini seolah – olah menjadi masalah bersama. Tekanan dari pihak luar ini, seringkali yang malah menjadi pokok persoalan dalam hubungan suami istri.
Apabila banyaknya pasangan infertil di Indonesia dapat diperhitungkan dari banyaknya wanita yang pernah kawin dan tidak mempunyai anak yang masih hidup, maka menurut Sensus Penduduk terdapat 12 % baik di desa maupun di kota, atau kira – kira 3 juta pasangan infertil di seluruh Indonesia.
Ilmu kedokteran masa kini baru berhasil menolong 50 % pasangan infertil memperoleh anak yang diinginkannya. Itu berarti separuhnya lagi terpaksa menempuh hidup tanpa anak, mengangkat anak (adopsi), poligami atau bercerai. Berkat kemajuan teknologi kedokteran, beberapa pasangan telah dimungkinkan memperoleh anak dengan jalan inseminasi buatan donor, “bayi tabung”, atau membesarkan janin di rahim wanita lain. (1,2)
Suatu penelitian terhadap sejumlah pasangan mengungkapkan, bahwa kurang lebih 10 % dari pasangan yang menikah, belum hamil dalam waktu 1 tahun. Walaupun mereka telah melakukan senggama secara teratur tanpa menggunakan kontrasepsi. Para pakar sependapat menamakan kelompok ini adalah infertil. Pada tahun 2000, penduduk Indonesia sekitar 220 juta, 30 juta diantaranya adalah pasangan usia subur. Di antara pasangan usia subur tersebut, sekitar 10 – 15 % atau 3 – 4,5 juta pasangan memiliki problem kesuburan (infertilitas). Mereka ini adalah pasangan yang mendapat kesulitan untuk hamil dan harus mendapat pertolongan medik. (3)
Fertlisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu teknik hilir pada penanganan infertilitas. Teknik ini diadakan untuk memperbesar kemungkinan kehamilan pada pasangan infertil yang telah menjalani pengobatan fertilitas lainnya tetapi tidak berhasil atau tidak memungkinkan. Artinya, FIV merupakan muara dari penanganan infertilitas. Teknik FIV pada manusia pertama kali dikembangkan oleh deKretzer pada tahun 1973, kemudian disusul oleh Edwards (ahli embriologi) dan Steptoe (ahli ginekologi) pada tahun 1976, yang sukses dengan bayi tabung pertama Louise Brown pada tanggal 25 Juli 1978 di Brisbol-Inggris. (4,5,6) Keberhasilan ini diikuti oleh peneliti – peneliti lain di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, FIV mulai dilakukan pada tahun 1985, dan bayi tabung pertama lahir tahun 1988 di RS Harapan Kita Jakarta. (7)
Sejak itu teknik ini terus berkembang mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi rekayasa reproduksi, sehingga keberhasilan bayi tabung dan masalah medis yang dihadapi telah dapat dikuasai. Dasar – dasar fertilisasi in vitro dan pembiakannya masih tetap sama, yaitu membuat dan memelihara secara cermat lingkungan steril yang terkendali dengan baik. Dalam hal ini fisiologi normal dan perkembangan awal dari pembuahan dapat dilakukan relatif tanpa terganggu, guna menyediakan embrio yang sehat bagi tandur alih ke dalam tubuh, yaitu uterus. Terdapat kemajuan besar dalam perkembangan medium biakan yang lebih layak agar embrio dapat tumbuh dalam kurun waktu yang lebih lama. Berkat kemajuan itu, sekarang kelebihan sel telur dan embrio telah dimungkinkan untuk disimpan beku dalam nitrogen cair untuk dipakai pada siklus berikutnya.
Kemajuan dan temuan baru dalam obat – obatan perangsang pertumbuhan folikel juga telah memungkinkan pemicuan ovarium secara terkendali untuk memperoleh sel telur matang. Perolehannya bervariasi antara 1 – 30 sel telur tergantung pada seberapa jauh reaksi ovarium terhadap gonadotropin yang digunakan untuk memicunya. Sementara itu, bahan sperma yang berisi spermatozoa untuk menginseminasi seltelur, dikumpulkan dan diproses dengan teknik pemisahan sel agar diperoleh spermatozoa sebersih dan seaktif mungkin. Laboratorium FIV yang baik akan menjadi jaminan diperolehnya spermatozoa yang baik untuk sel telur yang baik pula. Akhirnya, setelah beberapa jam dalam medium biakan, spermatozoa dan sel telur dibiarkan mengalami fertilisasi dengan cara yang relatif alami untuk menghasilkan embrio yang selanjutnya ditanamkan ke dalam uterus melalui tandur alih embrio / transfer embrio. (3)
BAB 2
FERTILISASI IN VITRO

2.1. Indikasi.
Semula FIV itu diusahakan untuk isteri yang mengalami kerusakan kedua tuba. Setelah ternyata tingkat keberhasilannya meningkat sampai 20 % per transfer embrio, maka sekarang ini indikasinya telah diperluas mencakup :
1. Kerusakan kedua tuba
2. Faktor suami (oligospermia)
3. Faktor servik abnormal
4. Faktor imunologik
5. Infertilitas tak diketahui sebabnya
6. Infertilitas karena endometriosis

2.2. Tahap – Tahap Pelaksanaan Fertilisasi In Vitro
2.2.1. Seleksi Pasien
Teknik fertilisasi in vitro (FIV) saat ini merupakan alternatif terakhir setelah cara – cara lain tidak membuahkan hasil. Untuk sampai pada tahap pelaksanaan program, pasangan suami – istri harus memenuhi beberapa persyaratan umum dan medik. Ada tujuh persyaratan umum yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Pasangan suami – istri terikat perkawinan yang sah
2. Sudah menikah lebih dari 12 bulan
3. Usia istri sebaiknya kurang dari 38 tahun
4. Sudah memperoleh konseling khusus mengenai program FIV, prosedur, biaya, kemungkinan keberhasilan atau kegagalan, serta komplikasinya
5. Sudah menandatangani informed consent
6. Siap membiayai program ini sepenuhnya
7. Siap untuk hamil, melahirkan, dan memelihara bayinya kelak

Selain persyaratan umum, ada 9 ketentuan medik yang harus dipenuhi oleh pasangan suami – istri yang ingin mengikuti program ini, yaitu :
1. Tidak ada kontra indikasi untuk hamil
2. Jika pada pemeriksaan imunologi terhadap virus rubella sebelum program menunjukkan adanya antibodi terhadap virus rubella, maka pasien harus diimunisasi 3 bulan sebelum memulai program
3. Pasien harus bebas dari infeksi hepatitis B atau C, sifilis, toksoplasma, dan HIV
4. Siklus haid berovulasi atau bisa ovulasi sebagai respon terhadap obat – obatan induksi ovulasi
5. Pemeriksaan infertilitas dasar sudah lengkap
6. Ada indikasi yang jelas untuk menjalani program FIV
7. Sudah dilakukan upaya – upaya lain sebelumnya sesuai dengan prosedur penanganan infertilitas dasar, tetapi belum berhasil hamil
8. Harus dilakukan pemeriksaan analisa sperma 2 kali selama 3 bulan terakhir
9. Istri tidak boleh merokok
Setelah semua persyaratan awal terpenuhi, pasangan suami istri memulai tahapan persiapan. Pada tahap persiapan atau pra penanganan FIV, dilakukan 8 jenis pemeriksaan atau tindakan pada pasien, meliputi anamnesis lengkap, pemeriksaan ginekologi, USG, pemeriksaan hormonal, analisa sperma, pemeriksaan serologis, pemeriksaan laparoskopi, dan konseling.
2.2.1.1. Anamnesis
Sebelum pasien mengikuti program FIV, yang pertama kali dilakukan adalah anamnesis khususnya mengenai keadaan kesehatan secara umum, riwayat perkawinan atau kehamilan, dan riwayat haid termasuk siklus haid 6 bulan terakhir. Riwayat pemakaian obat pemicu ovulasi sebelumnya termasuk mengenai jenis obat, dosis, lama pemakaian dan hasil-hasil pendahuluan yang sudah dilakukan juga harus dievaluasi (3)

2.2.1.2. Pemeriksaan ginekologik
Pemeriksaan ginekologik harus dilakukan secara teliti sebelum program FIV untuk mengetahui keadaan vagina, uterus, arah uterus, keadaan adneksa, dan kelainan-kelainan lain dalam genitalia interna.

2.2.1.3. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG transvaginal dilakukan pada hari ke3-5 dari siklus haid sebelum program untuk menilai besar, bentuk, dan arah atau posisi uterus, serta kelainan uterus. Ukuran dan letak ovarium serta kemungkinan adanya penyakit ovarium polikistik.

2.2.1.4. Pemeriksaan hormonal
Pemeriksaan hormonl basal untuk FSH, LH, E2 dan Prolaktin dilakukan pada hari ke2-5 dari siklus haid dengan maksud untuk mengetahui fungsi ovarium, adanya penyakit ovarium polikistik, kemungkinan respon ovarium terhadap obat pemicu ovulasi pada program FIV.

2.2.1.5. Analisa sperma
Sebelum memulai program FIV, harus dilakukan sedikitnya2 kali analisa sperma dengan selang waktu 3 minggu dalam 3 bulan terakhir. Harus dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui kemungkinan adanya antibodi antisperma. Pemeriksaan mikrobiologi semen juga perlu dilakukan.

2.2.1.6. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan tidak hanya pada istri namun juga pada suami. Namun tindakan medik lebih banyak difokuskan pada istri.
a. Pada istri :
Secara rutin dilakukan penapisan terhadap sifilis, toksoplasma, rubella, hepatitis B/C, dan HIV sebelum masuk dalam siklus pengobatan. Hepatitis B/C harus diperiksa karena infeksi hepatitis B/C dapat mempengaruhi media kultur yang dalam persiapannya juga memakai serum ibu, atau dapat menginfeksi petugas. Pemeriksaan HIV perlu dipertimbangkan secara selektif karena risiko pasien-pasien yang yang mengikuti program FIV termasuk kelompok risiko rendah.
b. Pada suami :
Perlu dilakukan pemeriksaan rutin untuk hepatitis B/C atau HIV secara selektif.


2.2.1.7. Pemeriksaan laparoskopi
Sebelum mengikuti program FIV, idealnya semua pasien perlu menjalani pemeriksaan laparoskopi. Tetapi karena biaya yang mahal, maka pemeriksaan laparoskopi dilakukan secara selektif pada pasien-pasien dengan dugaan endometriosis berat atau kista endometriosis, adanya kista ovarium, dugaan hidrosalping, atau posisi ovarium yang tidak menguntungkan untuk aspirasi transvaginal.

2.2.1.8. Konseling
Sebelum masuk ke siklus pengobatan, semua pasangan suami-istri harus mendapat konseling khusus dari tim bayi tabung. Hal yang dijelaskan terutama mengenai prosedur atau teknik FIV, cara-cara memakai obat untuk down regulation maupun pemicu ovulasi, kemungkinan komplikasi, kemungkinan keberhasilan atau kegagalan, komplikasi kehamilan, kemungkinan kelainan pada janin dan biaya seluruh siklus pengobatan secara rinci, kemudian suami-istri harus menandatangani formulir informed consent.


2.2.2. Tahap penekanan atau penyamarataan folikel
Sekitar 7 hari setelah lonjakan LH (sekitar hari ke-21 dari siklus haid 28 hari), pasien akan memulai jadwal suntikan agonis GnRH secara subkutan. Suntikan ini akan diteruskan selama 14 hari (long protocol) atau selama 7 hari mulai hari ke-2 siklus haid (short protocol), bahkan mungkin lebih lama jika diperlukan. GnRH agonis (aGnRH) berfungsi melakukan desensitisasi sel gonadotrop di hipotalamus dan menurunkan jumlah reseptor GnRH. Pemberian aGnRH akan meningkatkan kekuatan ikatan kimia dan lama waktu ikatan tersebut dengan reseptor sehingga lebih tahan terhadap proses pelepasan melalui proses enzimatik. Dengan kemajuan teknologi akhirnya berhasil dirancang GnRH sintesis yang lebih stabil dan mempunyai potensi afinitas untuk berikatan dengan reseptor GnRH lebih dari 200 kali dibandingkan dengan molekul GnRH asli (5).
Kokohnya ikatan terhadap reseptor ini menimbulkan pengaruh pada keseimbangan hormon steroid dan gonadotropin yang lazim disebut sebagai up regulation yaitu, terjadi pembebasan sejumlah besar LH dan FSH dari hipofise dan meningkatnya jumlah reseptor GnRH di hipofise. Pengaruh ini dibuktikan dalam suatu uji klinis yang menunjukkan bahwa 12 jam setelah pemberian GnRH terjadi peningkatan FSH sebesar 5 kali, LH sebesar 10 kali, dan estradiol sebesar 4 kali. Namun pemberian aGnRH secara konstan dalam waktu lama (14-21 hari) menimbulkan desensitisasi total sehingga sel gonadotrop tidak mampu memberikan reaksi terhadap rangsangan GnRH. Akibatnya terjadi penurunan kadar LH, FSH, hormon steroid, dan atresia folikel. Fenomena ini melandasi pemikiran untuk menggunakan aGnRH dalam induksi ovulasi (5).

2.2.3. Induksi Ovulasi
Perkembangan teknologi reproduksi bantuan memasuki era baru ketika pada tanggal 25 Juli 1978 dilaporkan kelahiran seorang bayi bernama Louise Brown di Inggris melalui proses fertilisasi in vitro. Sukses tersebut merupakan hasil dari teknik fertilisasi in vitro (FIV) dengan memanfaatkan oosit yang diperoleh melalui ovulasi spontan, tanpa induksi. Pengambilan oosit melalui ovulasi spontan memerlukan pemeriksaan urin dan darah untuk memantau kadar luteinizing hormone (LH). Pemantauan tersebut berguna untuk mengamati peningkatan kadar LH sehingga laparoskopi untuk aspirasi folikel dapat dilakukan sesaat sebelum ovulasi terjadi (5,8). Namun pengambilan oosit melaui ovulasi spontan kurang efisien dalam perolehan jumlah oosit, yaitu rata-rata hanya 1,7 oosit persiklus dan tingginya angka kegagalan untuk menghasilkan kehamilan dan kelahiran. Sampai dengan tahun 1987, angka kelahiran yang berhasil dicapai baru berkisar antara 9-10% per transfer oosit (6).
Adanya kekecewaan tersebut mendorong para pengelola program fertilisasi in vitro untuk meninggalkan pendekatan ovulasi spontan dan beralih ke program fertilisasi in vitro dengan menggunakan induksi ovulasi (5). Tujuan utama induksi ovulasi adalah untuk meningkatkan jumlah dan pematangan folikel secara bersamaan sehingga dapat diperoleh lebih dari satu embrio, sebab sukses fertilisasi in fitro juga tergantung pada berapa banyak embrio yang diletakkan ke dalam rahim.(6,8) Selama dekade pertama (1980-1990), dikemukakan berbagai protokol induksi yang umumnya masih didominasi oleh kombinasi Clomiphene Citrate (CC), Folikel Stimulating Hormone (FSH), terutama FSH yang bukan produk rekombinan (berasal dari urin yang dimurnikan) dan Human Menopousal Gonadotropin (hMG), serta Human Chorionic Gonadotropin (hCG). Pada dekade berikutnya (1990-1999), arah pengembangan induksi ovulasi dengan menggunakan produk-produk rekombinan termasuk penggunaan GnRH dan progesteron (5).

2.2.3.1. Pengaruh Induksi Ovulasi
a. Pengaruh Induksi Ovulasi Terhadap Sel Oosit
Pada induksi ovulasi terjadi pematangan sekelompok oosit dengan derajat yang berbeda. Oosit dengan tingkat kematangan terbaik adalah pada stadium metafase II dengan tanda ditemukannya polar body, yang tentunya mampu memberikan kemungkinan hasil terbaik untuk fertilisasi. Oosit yang diambil pada stadium metafase I membutuhkan waktu inkubasi antara 5-15 jam untuk mampu melanjutkan proses meiosis secara mandiri. Oosit yang diambil pada stadium profase I membutuhkan masa inkubasi yang lebih lama yakni 24 jam untuk menjadi matang. Derajat pematangan oosit ini memberikan dampak pada fertilisasi. Oosit pada stadium metafase I memberikan tingkat keberhasilan fertilisasi yang lebih rendah.
Induksi ovulasi dapat memproduksi oosit dengan berbagai tingkatan kualitas, mulai tingkat imatur, sedang, dan matur sesuai dengan tipe induksi ovualsi yang digunakan. Kapasitas oosit untuk melakukan fertilisasi tidak sepenuhnya mempunyai korelasi dengan tingkat kematangan oosit itu sendiri. Oosit yang kualitasnya kurang baik, misalnya pada kualitas imatur, ternyata berhasil mencapai fertilisasi walaupun tidak terjadi kehamilan secara klinis. Sebaliknya laporan lain menunjukkan bahwa sekalipun oosit dengan kualitas terbaik, yakni pada stadium metafase II dengan masa inkubasi < 5 jam dan oosit pada stadium metafase I dengan masa inkubasi yang lebih lama, ternyata masih sering ditemukan terjadinya fertilisasi yang abnormal (6,8).
Kualitas oosit juga banyak dipengaruhi oleh tipe protokol induksi ovulasi disamping oleh faktor umur penderita. Dikemukakan bahwa pemberian hMG dengan dosis rendah berhubungan dengan sedikitnya jumlah oosit yang atretik, dan terdapat kecendrungan peningkatan angka kehamilan klinik. Tujuaan pemberian induksi ovulasi adalah untuk merekrut lebih banyak folikel dengan kualitas oosit yang lebih baik. Penilaian kualitas oosit secara morfologis dengan menggunakan mikroskop tidak mudah dilakukan untuk meramalkan derajat kematangan dan potensi fertilisasi. Oleh karena itu ditambahkan parameter lain yaitu menilai kadar lingkungan endokrin oosit dengan cara mengukur berbagai substansi molekul termasuk kadar hormon steroid dalam cairan folikel. (5,6,8)
Namun, berbagai hormon immunoassay yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang kontroversial. Misalnya upaya untuk menghubungkan antara kadar angiotensin II, III, estradiol, dan progesteron dengan kualitas oosit tidak berhasil, karena tidak ditemukan perbedaan yang bermakna. Laporan lain menyatakan bahwa pada kelompok dengan oosit matur ditemukan kadar estradiol, progesteron, FSH, dan LH yang lebih tinggi, sedangkan konsentrasi testosteron lebih rendah disertai dengan angka fertilisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok oosit yang imatur. Laporan yang lain lagi menyatakan tidak terdapat hubungan antara kadar steroid dalam cairan folikel dengan derajat kualitas oosit dan angka kehamilan, tetapi terdapat hubungan erat antara kualitas oosit dengan tingginya konsentrasi beta endorpin. Satu-satunya kesepakatan tentang pengaruh cairan folikel terhadap oosit adalah tentang rasio estradiol:progesteron yang berhubungan erat dengan kualitas oosit, dan memberikan pengaruh pada angka implantasi dan angka kehamilan. (5)
Adanya perbedaan pendapat yang didasarkan pada hasil penelitian, baik secara biomolekuler maupun klinis menunjukkan bahwa mekanisme terjadinya perbedaan tingkat kualitas oosit pada program fertilisasi in vitro masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun yang jelas, apabila tidak dilakukan induksi ovulasi tidak akan terjadi perbedaan tingkat kualitas oosit.

b. Pengaruh Induksi Ovulasi Terhadap Folikel
Induksi ovulasi yang optimal merupakan faktor penting pada program fertilisasi in vitro mengingat induksi ovulasi akan menentukan kualitas oosit, fungsi korpus luteum, dan kesiapan endometrium untuk menerima embrio. Induksi ovulasi akan merubah keseimbangan optimal antara gonadotropin, hormon steroid, dan komponen non steroid di dalam dan di luar ovarium. Keadaan monofolikel berubah menjadi multifolikel yang mengakibatkan meningkatnya produksi estrogen dan inhibin (5,6,8).
Pemberian hCG diperlukan mengingat LH endogen tidak mampu menimbulkan ovulasi pada keadaan multifolikel tersebut. Saat yang tepat untuk pemberian hCG merupakan masalah yang juga mempengaruhi keberhasilan fertilisasi in vitro. Bila pemberian hCG terlalu awal, maka pertumbuhan folikel praovulasi akan terganggu sehingga berakibat kegagalan ovulasi. Sebaliknya bila terlambat akan menimbulkan penurunan angka fertilisasi dan peningkatan degenerasi oosit. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh lamanya oosit berada di dalam folikel yang sedang mengalami proses atresia atau luteinisasi Pada siklus normal, kadar puncak LH terjadi 24 jam sebelum ovulasi sedangkan pada induksi ovulasi kadar estrogen meningkat sampai 24 jam setelah pemberian hCG. Karena itu proses kematangan folikel mempunyai pola yang berbeda dibandingkan dengan siklus normal. Sementara peningkatan kadar puncak LH akan menghentikan pertumbuhan folikel sehingga memungkinkan terjadinya ovulasi (5).

c. Pengaruh Induksi Ovulasi Terhadap Hormon Steroid
Salah satu parameter yang digunakan sebagai refleksi dari kualitas induksi ovulasi adalah steroidogenesis di folikel. Umumnya induksi ovulasi akan meningkatkan produksi dan sekresi hormon steroid (estradiol dan progesteron), sebagai refleksi dari pertumbuhan multifolikel. Semua induksi ovulasi akan merubah pola dan komposisi rasio kadar hormon steroid, khususnya estradiol dan progesteron, baik di sirkulasi maupun di cairan folikel (5).
Sampai kini telah dicapai kesepakatan bahwa kadar estradiol plasma merupakan parameter yang dapat dipakai untuk memantau pertumbuhan folikel. Tetapi untuk mengevaluasi/mengidentifikasi spektrum kadar estradiol yang dianggap sesuai bagi suksesnya suatu kehamilan pada program fertilisasi in vitro, masih belum dicapai kesepakatan. Peningkatan kadar estradiol plasma secara bertahap/stabil yang dipantau secara berkala, dan diikuti dengan pertumbuhan diameter folikel yang konsisten (dipantau dengan sonografi transvagina) akan memberikan korelasi terhadap oosit dengan kualitas yang lebih baik. Lagi pula penurunan atau tidak adanya peningkatan kadar estradiol di awal induksi ovulasi merupakan parameter utama untuk membatalkan/menunda program fertilisasi in vitro sehingga dapat menghemat biaya dan waktu (8).
Selain estradiol, pemantauan kadar progesteron juga mulai mendapat perhatian. Pemeriksaan kadar progesteron plasma pada 20 sampai 34 jam setelah pemberian hCG pada induksi ovulasi dengan FSH/hMG menunjukkan peningkatan progesteron plasma 3 kali lebih besar pada kelompok penderita yang hamil dibandingkan dengan kelompok yang tidak hamil. Hasil ini menunjukkan adanya suatu tanda awal dari periode transisi antara kapasitas folikel yang matang dan mulai berfungsinya korpus luteum, mengingat pada keadaan fisiologis luteinisasi di folikel Graaf sudah mulai terjadi 20 jam sebelum ovulasi. Dapat pula diinterpretasikan sebagai waktu yang tepat untuk pemberian hCG dan dimulainya fase luteinisasi atau sebagai salah satu kriteria untuk meramalkan kematangan oosit di dalam folikel yang matang tersebut. Sebab aspirasi folikel baru dilakukan antara 34-36 jam setelah pemberian hCG (5,6,8).

d. Pengaruh Induksi Ovulasi Terhadap Prolaktin
Kadar prolaktin umumnya akan meningkat pada induksi ovulasi, yang juga diikuti dengan peningkatan kadar estradiol. Mengingat estradiol mempunyai potensi untuk menginduksi produksi prolaktin, maka terdapat kemungkinan bahwa peningkatan kadar prolaktin ini disebabkan karena peningkatan estradiol. Karena itu tingginya kadar estradiol serum dapat dipakai untuk meramalkan peningkatan kadar prolaktin di dalam cairan folikel. Sekalipun pengaruh prolaktin in vivo terhadap sel granulosa tidak diketahui dengan jelas, ternyata terjadi penurunan kadar progesteron setelah pada kultur sel granulosa ditambahkan prolaktin. Diduga kadar prolaktin di dalam cairan folikel yang mencapai > 100 ng/ml merupakan salah satu penyebab turunnya kemampuan korpus luteum untuk memproduksi hormon steroid (5).

e. Sindroma Hiperstimulasi Ovarium
Sindroma Hiperstimulasi Ovarium lebih sering terjadi pada induksi ovulasi dengan gonadotropin terutama terhadap penderita yang peka terhadap pemberian hCG. Kepekaan ini disebabkan oleh karena meningkatnya permeabilitas kapiler pembuluh darah penderita sebagai akibat induksi ovulasi yang berlebihan. Pada suatu penelitian in vitro ditemukan adanya hubungan antara meningkatnya kadar hCG dengan aktifitas DNA yang memproduksi Vascular Permeability Factor (VPF), sehingga dikemukakan suatu teori bahwa terjadinya Sindrom Hiperstimulasi Ovarium pada induksi ovulasi dengan gonadotropin dan hCG disebabkan oleh meningkatnya VPF dan dikenal sebagai penyebab terjadinya Vascular Leak Syndrome (VLS) (5).
Diagnosis biasanya ditegakkan atas dasar keparahan sindrom yang ditentukan dari gabungan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, USG, dan data laboratorium. Sebagian besar kasus terjadi pada kadar estradiol serum pra hCG lebih besar dari 3000 pg/ml, tetapi kadar estradiol yang lebih rendah tidak meniadakan timbulnya sindrom ini Gejala umumnya terjadi 3-10 hari setelah pemberian hCG. Nyeri abdomen, distensi, dan mual selalu ditemukan pada semua kasus, kecuali kasus yang paling ringan. Terapi dengan hCG disarankan ditunda jika kadar estradiol serum mencapai 2000 pg/ml. Hiperstimulasi ovarium yang parah jarang terjadi pada kadar estradiol di bawah 2000 pg/ml (6,8).
Hiperstimulasi Ovarium diklasifikasikan sebagai ringan, sedang, atau parah berdasarkan ukuran ovarium, yang ditentukan dari pemeriksaan pelvis dan USG. Tetapi penatalaksanaan pasien didasarkan pada derajat pembesaran ovarium dan ada atau tidak adanya masalah penyerta, seperti ascites, efusi pleura, hipotensi postural, muntah, sesak nafas, hemokonsentrasi, hiperkalemia, dan fungsi ginjal yang abnormal. Hiperstimulasi ovarium ringan didefinisikan sebagai pembesaran ovarium kurang dari 7 cm. Hiperstimulasi sedang dengan pembesaran ovarium 7 sampai 12 cm, sering kali disertai dengan gangguan lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, tetapi tanpa adanya ascites, efusi pleura, hipovolemia, muntah, sesak nafas, hemokonsentrasi, atau gangguan elektrolit/ginjal. Pasien-pasien dengan hiperstimulasi ovarium yang parah biasanya memiliki masalah penyerta dan mengalami pembesaran ovarium yang nyata, dan semua wanita tersebut tanpa memandang gejalanya harus dirawat di rumah sakit (3,6,8).
Akhir alami dari hiperstimulasi ovarium adalah resolusi spontan. Resolusi klinis biasanya terjadi dalam 7 sampai 14 hari pada wanita yang tidak hamil, tetapi mungkin memerlukan waktu 30 hari jika terjadi kehamilan dan hCG endogen menimbulkan stimulasi ovarium tambahan (5).




2.2.4. Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel
Monitoring pertumbuhan folikel dengan ultrasonografi merupakan investigasi yang sangat diperlukan saat ini dalam teknologi reproduksi bantuan. Pada kondisi optimal, sebuah folikel dengan diameter 2-3 mm dapat divisualisasi dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal atau diameter 3-4 mm bila menggunakan pendekatan transabdominal. Ditemukan adanya hubungan yang baik antara diameter folikel dan konsentrasi estradiol plasma pada wanita-wanita dengan siklus normal Pemeriksaan USG transvaginal biasanya dimulai setelah kadar estradiol diukur dan dilanjutkan beberapa kali sampai tahap petik ovum. Pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel dilakukan pada hari ke-5, 8, 9, 10 dari saat pemberian gonadotropin. Jika pada pemeriksaan USG transvaginal dijumpai sedikitnya 2 folikel dengan diameter ³ 18 mm dan pada saat yang sama kadar estradiol sudah mencapai 200-250 pg/ml/folikel, maka dianggap pasien sudah siap untuk tahap petik ovum. Selanjutnya pasien akan diberikan suntikan hCG pada malam hari ± 36 jam sebelum tahap petik ovum (3).

2.2.5. Tahap Petik Ovum
Tahap petik ovum dilakukan 34-36 jam setelah penyuntikan hCG. Teknik pengambilan ovum kini dapat dilakukan secara transvaginal (transvaginal oocyte retrieval). Dengan teknik ini petik ovum dilakukan dengan alat penghisap ovum dengan tuntunan tranduser USG melalui vagina. Terlebih dahulu vagina dibersihkan untuk meminimalkan risiko infeksi. Jarum vaginal (berbentuk pipa tipis dan lentur) dimasukkan menembus fornoks vagina ke dalam ovarium dengan tuntunan USG untuk menentukan letak setiap folikel. Cairan folikel diisap keluar melalui pipa plastik halus yang khusus dialirkan ke dalam tabung untuk memperoleh ovum. Cairan folikel segera dibawa ke laboratorium terdekat untuk mencari ovum, menilai, dan mempersiapkan inseminasi. Cairan folikel diperiksa dibawah mikroskop untuk menemukan ovum kemudian memindahkan ovum dari cairan yang mengelilinginya ke dalam cawan biakan. Cawan tersebut dibiakkan pada kondisi yang sama seperti tubuh seorang wanita sampai siap untuk diinseminasikan dengan spermatozoa. Spermatozoa diperoleh melalui masturbasi pada hari yang sama dengan petik ovum minimal 2 jam sebelum tahap petik ovum setelah sebelumnya abstinensia selama 2-5 hari sebelum prosedur petik ovum (3).
Pada pasangan dengan jumlah spermatozoa normal, inseminasi dilakukan dengan cara inseminasi ke dalam cawan biakan. Dari sperma yang telah dicuci, diambil yang motil saja, kemudian bersama ovum disatukan di dalam cawan yang berisi medium biakan. Hanya 1/10 dari 1000 spermatozoa yang dibutuhkan untuk membuahi ovum, dan mulailah berkembang tahapan pertama kehidupan, yaitu embrio. Perkembangannya diperiksa dibawah mikroskop setiap 12-24 jam. Sekitar 30 jam setelah inseminasi ovum yang telah dibuahi membelah diri menjadi 2 sel, setelah 40 jam menjadi embrio 4 sel, dan setelah 60 jam menjadi embrio 8 sel. Embrio tetap berada dalam cawan biakan laboratorium dalam campuran nutrisi yang berperan sebagai pengganti lingkungna yang seharusnya disediakan oleh tuba falopi sampai siap untuk ditandur-alihkan. Biasanya embrio ditandur-alihkan pada tahap 8 sel dan hanya yang pertumbuhannya simetris ke segala arah saja yang ditandur-alihkan (3).

2.2.6. Tandur Alih Embrio atau Transfer Embrio
Tandur alih/transfer beberapa embrio dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan fertilisasi in vitro. Jumlah embrio yang ditransferkan bergantung pada keadaan individual pasangan dan keputusan dibuat oleh pasangan suami-istri dan dokter. Biasanya 2-4 embrio dapat ditransferkan pada 1 siklus penanganan. Peluang kehamilan akan berkurang bila transfer embrio tidak dijalankan oleh pasien pada waktu yang ditentukan. Transfer embrio lebih dari satu juga meningkatkan risiko kehamilan kembar. Transfer embrio dilakukan pada masa yang pada keadaan normal embrio itu telah mencapai cavum uteri (2-3 hari setelah petik ovum) (3).

2.2.7. Penanganan Lanjutan
Pada hari ke-5, 8, dan ke-11 dari saat petik ovum, pasien akan mendapatkan suntikan hormon hCG untuk mempertahankan korpus luteum sebagai penghasil progesteron yang menyiapkan lapisan endometrium untuk menerima embrio yang ditransferkan. Pada hari ke-15 setelah petik ovum dilakukan pemeriksaan b-hCG dan estradiol. Sesuai dengan kesepakatan bahwa paien yang menjalani program FIV dinyatakan hamil secara kimiawi bila didapatkan kadar b-hCG ≥ 50 mIU/mL dan kadar estradiol > 3000 pg/mL. Apabila berhasil hamil, pada minggu ke-6 setelah transfer embrio dilakukan USG untuk meyakinkan adanya kantong kehamilan. USG awal ini penting untuk menilai kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, dan kehamilan kembar. Selanjutnya pemeriksaan dilakukan sebagaimana kehamilan biasa (3).

2.3. Protokol Induksi Ovulasi Pada Program Fertilisasi In Vitro
Induksi ovulasi pada program fertilisasi in vitro umumnya menggunakan obat-obatan sebagai suatu kombinasi, jarang digunakan secara tersendiri. Sampai saat ini produk yang sering digunakan adalah Gonadotropin Releasing Hormone agonis (aGnRH), seperti halnya program bayi tabung Poliklinik Bayi Tabung RS Sanglah Denpasar, dalam kombinasi dengan Gonadotropin dan hCG. Dalam pelaksanaannya, kombinasi obat-obatan induksi ovulasi tersebut digunakan dengan dua cara, yang dikenal sebagai short protocol dan long protocol.

2.3.1. Short Protocol
Secara umum, induksi ovulasi akan berhasil dengan baik bila digunakan pada pasien-pasien dengan respon ovarium yang baik. Keadaan ini dapat diketahui melalui pemeriksaan kadar hormonal basal, yaitu pada hari ke-2 atau ke-3 haid. Bila didapatkan kadar FSH > 12 IU/mL, lebih-lebih sampai diatas 20 IU/mL berhubungan dengan respon yang jelek untuk induksi ovulasi pada program fertilisasi in vitro. Tingginya kadar FSH ini berhubungan pula dengan meningkatnya usia penderita, dimana peningkatan usia menyebabkan penurunan jumlah oosit dan kualitas oosit. Tingginya kadar estradiol pada hari ke-2 atau ke-3 haid (lebih dari 80 pg/mL) juga dapat memprediksi sulitnya terjadi proses kehamilan. Peningkatan kadar estradiol yang prematur berhubungan dengan recruitment folikel sebagai respon meningkatnya sekresi FSH. Bila kadar basal hormon FSH dan estradiol tinggi pada hari ke-2 atau hari-3 haid menunjukkan respon ovarium terhadap induksi ovulasi yang jelek (Hornstein MD, Schust DJ, 1999; Speroff dkk, 1999; Allahbadia G, Gandhi G, 2001; Hansotia MD, Tank JD, 2001). Bila hanya didasarkan pada kadar estradiol basal, short protocol digunakan bila kadar estradiol basal < 50 pg/mL (7).
Protokol induksi ovulasi short protocol menekankan cara pemberian GnRH dan gonadotropin secara bersamaan yaitu pada saat awal fase proliferasi (hari ke-2 haid) sampai saat pemberian hCG. Di Poliklinik Bayi Tabung RS Sanglah Denpasar, pelaksanaan program bayi tabung dengan menggunakan short protocol sebagai berikut (3,7) :
· Hari ke-1 ditentukan sebagai hari pertama haid.
· Hari ke-2 dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap, status hormonal basal dan sonografi transvaginal. Mulai dilakukan pemberian GnRH 0,2 mg (0,2cc) sampai hari ke-9.
· Hari ke-3 mulai dilakukan pemberian gonadotropin 75-225 mg (1-4 ampul) sampai hari ke-9
· Hari ke-9 dilakukan pemeriksaan sonografi transvaginal untuk memonitor perkembangan folikel dan pemeriksaan kadar estradiol. Pada tahapan ini dapat diputuskan untuk membatalkan siklus pengobatan atau melanjutkan ke tahapan berikutnya. Bila pada saat ini didapatkan perkembangan folikel dan kadar estradiol adekuat (diameter folikel > 18 mm dan kadar estradiol > 300 pg/mL), dilakukan pemberian hCG 5000-10.000 IU pada malam hari.
· Hari ke-10 ada kemungkinan pemantauan diteruskan atau dibatalkan. Jika siklus dibatalkan maka perlu diatur konsultasi medik selanjutnya. Namun jika diputuskan untuk meneruskan pemantauan, akan dilakukan sonografi transvaginal ulang 1 – 3 hari kemudian.
· Hari petik ovum ditentukan 34 – 36 jam setelah pemberian hCG. Petik ovum dilakukan di kamar operasi dengan cara transvaginal oocyte retrieval dengan bantuan USG.
· Hari pertama pasca petik ovum (PO + 1) dapat dipastikan terjadinya fertilisasi. Dokter dapat memberitahukan hasilnya kepada pasien dan menentukan hari atau waktu transfer embrio.
· Hari ke-2 dan ke-3 pasca petik ovum (PO +2/3) merupakan waktu alternatif untuk transfer embrio.
· Hari ke-5, 8, dan 11 merupakan waktu untuk suport fase luteal dengan pemberian hCG 1500 IU.
· Hari ke-15 pasca petik ovum jika belum terjadi haid dilakukan pemeriksaan b-hCG. Kehamilan secara kimiawi ditentukan dengan kadar b-hCG > 50 mIU/mL dan kadar estradiol > 3000 pg/mL.

2.3.2. Long Protocol
Metode induksi ovulasi long protocol menekankan pemberian GnRH pada pertengahan siklus haid tahapan siklus sebelumnya atau seminggu sebelum tahap awal siklus berikutnya, sampai saat pemberian hCG. Induksi dengan gonadotropin diberikan sampai terdapat keyakinan bahwa fungsi hipofise dapat ditekan secara total. Dari penelitian – penelitian, diperoleh penggunaan long protocol memberikan angka kehamilan yang lebih baik, dibanding dengan short protocol. Walaupun long protocol menghasilkan angka kehamilan yang lebih baik, terdapat kekhawatiran timbulnya dampak negatif seperti blokade total hipofise sehingga mengakibatkan terjadinya desentisisasi total, dan biaya yang lebih mahal mengingat penggunaan obat – obatan dibutuhkan lebih banyak. Hal ini didukung dengan adanya penurunan aktifitas enzim aromatase, produksi progesteron, dan penurunan reseptor LH sebanyak 83 % (3,5,7)
Kini penggunaan GnRH sebagai pengobatan pendahuluan induksi ovulasi pada program fertilisasi in vitro sudah merupakan prosedur standar. GnRH sudah terbukti dapat meningkatkan sinkronisasi dan penurunan frekuensi terjadinya penundaan akibat peningkatan kadar puncak LH prematur yaitu sebesar 20 % penundaan menjadi hanya 2 % penundaan. Selain itu, juga tejadi peningkatan angka fertilisasi dan angka implantasi (5).
Metode long protocol merupakan cara desensitisasi panjang (long desensitization regim). Pada metode ini GnRH mulai diberikan pada fase luteal madya. Namun sebelum pemberian GnRH diperiksa dahulu kadar estradiol dan progesteron fase luteal madya untuk menentukan awal pemberian obat tersebut. Penetuan hari fase luteal madya tergantung siklus haid. Jika progesteron > 10 pg/mL dan estradiol > 80 pg/mL, makaGnRH mulai diberikan 3 hari setelah pengambilan darah untuk pemeriksaan hormonal. Ada kemungkinan juga obat ini diberikan keesokan harinya setelah pemeriksaan darah bila kadar progesteron 5 -–1- pg/mL, yang menunjukkan fase luteal akhir. Secara umum pada siklus haid 28 hari, pemberian GnRH mulai diberikan 7 hari sebelum hari I siklus haid berikutnya. GnRH diberikan dengan dosis 0,4 mg (0,4 cc). Seminggu setelah pemberian GnRH, kadar progesteron dan estradiol diperiksa lebih lanjut untuk menentukan down regulation, yaitu jika estradiol menunjukkan kadar < 50 pg/mL dan LH < 10 mIU/mL. Serta progesteron < 1 ng/mL. (3)
Jika tidak terjadi haid seminggu setelah pemberian GnRH, perlu dilakukan pemeriksaan b-hCG untuk mengetahui ada tidaknya kehamilan. Jika tidak ada tanda kehamilan, dilakukan pemeriksaan estradiol, progesteron dan USG untuk memastikannya Bila sudah terjadi down regulation atau adanya menstruasi atau USG menunjukkan adanya endometrium yang tipis, maka disepakati sebagai hari pertama untuk mulai dilakukan pemberian gonadotropin. Mulai hari pertama GnRH terus diberikan dengan dosis yang lebih rendah dari sebelumnya, yaitu 0,2 mg (0,2 cc) disertai pemberian gonadotropin, sampai saat pemberian hCG. Protokol selanjutnya sama seperti pada metode short protocol (3).


BAB 3
PENUTUP

Program fertilisasi in vitro yang ideal adalah yang tidak memerlukan biaya tinggi untuk induksi dan pemantauan, yang menghasilkan banyak oosit dengan kualitas baik dan yang mempunyai angka transfer serta angka kehamilan yang tinggi.
Induksi ovulasi merupakan rangkaian proses yang terdiri atas berbagai komponen dan melalui tahapan fundamental untuk program fertilisasi in vitro. Suksesnya induksi ovulasi sangat ditentukan oleh manipulasi terhadap fungsi endokrin dari sistem reproduksi, yang tentunya memerlukan pengertian mendasar tentang aspek biomolekul endokrinologi reproduksi.
Pada induksi ovulasi yang menggunakan komponen GnRH agonis, cara pemberiannya dibedakan menjadi metode short protocol dan long protocol
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumapraja S. 1985. Pemeriksaan Pasangan Infertil dalam Manual Infertilitas. Jakarta : 1 – 44.
2. Sumapraja S. 1997. Infertilitas dalam Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, eds. Ilmu Kandungan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 497 – 575.
3. Ikawati Y, Kasdu D. 1995. Bayi Tabung : Sebuah Harapan Baru. Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK) bekerja sama dengan RS Bunda –Jakarta. Jakarta : 61 – 112.
4. Sumapraja S, dkk.1999. Perkembangan Terakhir dalam Ilmu Kebidanan : Dasar – dasar Konsepsi Buatan dalam Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, eds. Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 937 – 946.
5. Sundoro T. 1999. Induksi Ovulasi. Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD?RS Sanglah Denpasar. Denpasar : 1 – 134.
6. Speroff L, Glass RH, Kase NG. 1999. Induction of Ovulation in Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 6th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia : 1133 – 1145.
7. Angsar I, dkk. 2002. Penanganan Infertilitas dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RS Sanglah Denpasar. Denpasar : 70 – 72.
8. Homstein MD, Schust DJ. 1999. Infertility in Berek JS, Adashi EY, Hillard PA, eds. Novaks Gynecology. 12th Williams and Wilkins. Philadelphia : 915 – 952.
Mini Referat