Senin, 10 September 2007

Penatalaksanaan Pasien Anastesi

Seorang ahli anestesi, mempunyai tanggung jawab terhadap perawatan pasien pada saat pemulihan. Observasi dilakukan dengan mengukur nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal dan perdarahan yang berlanjut. Jam pertama setelah anestesi, merupakan saat yang paling berbahaya bagi pasien. Refleks perlindungan jalan nafas masih tertekan, walaupun pasien tampak sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi pernafasan (1).

Nyeri pada luka khususnya toraks dari abdomen bagian atas, akan menghambat pasien untuk mengambil nafas dalam atau batuk. Ini dapat menyebabkan berkembangnya infeksi di dada atau kolaps dasar paru dengan hipoksia lebih lanjut. Pasien yang masih belum sadar betul sebaiknya dibaringkan dalam posisi miring, tetapi pasien dengan insisi abdomen, bila sudah benar-benar sadar, biasanya pernafasannya lebih enak dalam keadaan duduk atau bersandar. Oksigen harus diberikan secara rutin pada pasien yang sakit dan pasien yang menjalani operasi yang lama. Cara yang paling ekonomis untuk memberikan oksigen selama masa pemulihan adalah melalui kateter nasofaring lunak 0,5-1 L/menit. Jika dibutuhkan analgetik kuat, misalnya opium, berikan dosis pertama secara intravena, sehinggaanda dapat menghitung dosis yang diperlukan untuk melawan rasa sakit dan juga bisa mengobservasi bila terjadi depresi pernafasan. Bila dibutuhkan, dosis intravena tersebut kemudian dapat diberikan secara Intramuskular (1).

II. PASCA ANESTESI PASCA BEDAH
Yang harus diperhatikan pada pasien pasca anestesi danpasca bedah, yaitu :
A. Pernafasan (2)
Gangguan sistem pernafasan cepat menyebabkan kematian karena hipoksia, sehingga harus diketahui sedini mungkin danharus segera diatasi. Penyebab yang paling sering dijumpai sebagai penyulit pernafasan adalah sisa obat anestetik (penderita tidak sadar kembali) dan sisa obat pelemas otot yang belum dimetabolisme dengan sempurna. Di samping itu lidah yang jatuh ke belakang menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih berat akan menyebabkan apnea. Penyebab lain gangguan pernafasan adalah regurgitasi sehingga isi lambung masuk ke faring, kemudian karena aspirasi masuk ke jalan nafas dan menyebabkan obstruksi serta kerusakan jaringan bronkoalveolar. Benda asing mudah sekali masuk ke jalan nafas dan paru-paru karena selama tidak sadar, refleks batuk untuk melindungi jalan nafas tidak lagi memadai, bahkan hilang. Diagnosis obstruksi jalan nafas ditegakkan dengan melihat gerak nafas, mendengarkan suara nafas dan meraba udara nafas ekspirasi. Walaupun ada gerak nafas, tetapi jika tidak terdengar suara nafas waktu penolong mendekatkan telinganya ke depan mulut dan hidung penderita atau tidak teraba udara nafas dengan telapak tangan penolong, maka penderita sebenarnya “tidak bernafas” karena sumbatan jalan nafas total. Jika terdengar suaranafas tetapi disertai suara tambahan, berarti ada obstruksi parsial. Tanda obstruksi parsial yang lebih berat adalah cekungan sela iga waktu inspirasi, pergerakan dari otot pernafasan tambahan dan perubahan daripola nafas menjadi tersengal-sengal, perut tampak bergerak ke atas tetapi dada bergerak turun pada waktu yang sama. Selain tindakan untuk membebaskan jalan nafas, juga perlu penambahan oksigen, melakukan nafas buatan serta tambahan obat anti dot pelemas otot sampai penderita dapatbernafas sendiri.

B. Sirkulasi (2)
Diagnosis penyulit sirkulasi juga hrus dilakukan secara dini. Penyulit yang sering dijumpai adalah hipotensi, syok dan aritmia. Penurunan tekanan darah sering disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdaharan yang tidak cukup diganti, kehilangan ciran yang tersembunyi seperti merembesnya darah dari luka pembedahan atau arteri yang lepas jahitannya. Sebab lain adalah sisa obat anestetik yang masih tertinggal di dlam sirkulasi, terutama jika tahapan anestetik masih dalam pada akhir pembedahan. Perubahan posisi dapat mengakibatkan hipotensi umpamanya jika penderita dengan mendadak diubah posisinya menjadi kepala lebih tinggi atau penderita dipindahkan dari meja operasi ke tempat tidur. Jika sirkulasi penderita masih stabil, refleks kompensasi vasokonstriksi belum bekerja sempurna. Karena itu darah berkumpul di daerah tungkai sehingga aliran balik darah vena serta curah jantung dan tekanan darah menurun. Selama masa pasca anestesi sampaipenderita sadar kembali, tekanan drah, nadi, irama jantung dan perfusi jaringan harus dipantau dengan teliti.

C. Regurgitasi (2)
Muntah dan regurgitasi disebabkan oleh hipoksia selama anestesi, anestesi terlalu dalam, rangsang anestetik, misalnya eter, langsung pada pusat muntah di otak, dn tekanan lambung yang tinggi karena lambung penuh atau karena tekanan dalam rongga perut yang tinggi, misalnya karena ileus. Pencegahan muntah ini penting karena dpat menyebabkan aspirasi. Muntah dapat dihindari dengan cara merendahkan serta memiringkan kepala, sehingga cairan mengalir keluar dari sudut mulut karena dibantu oleh gaya gravitasi. Lebih baik jika tubuh juga dapat dimiringkan menjadi sikap aman, kemudian rongga mulut dan hidung dibersihkan dengan menghisap muntahan.

D. Gangguan Faal Lain (2)
Gangguan kesadaran dapat dibagi menjdi dua kelompok yaitu pemanjangan masa pemulihankesadaran dan penurunan kesadaran yang disertai kenaikan teknan intrakranial. Penilaian kesadaran dapat menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
Pemanjangan masa pemulihan kesadaran dapat disebabkan oleh kerja anestetik atau obat premedikasi yang memanjang karena tekanan berlebih baik secara absolut atau relatif. Takaran berlebih relatif karena penderita syok, hipermia, metabolisme hati menurun, usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan anestetik lambat dikeluarkan dari dalam darah. Anestetik yang larut dalam lemak dan digunakan pada orang gemuk untuk pembedahan yang berlangsung lama, menyebabkan pemulihan kesadaran juga sangat lama karena eter yang diberikan sebagian besar masuk ke dalam jaringan lemak yang banyak ini. Kadar eter dalam darah seharusnya segera turun jika pemberian dihentikan, ternyata masih tetap tinggi karena pelepasan eter dari jaringan lemak. Gangguan metabolisme yang berpengaruh pada metabolisme otak seperti pada hipotermia, syok, gangguan faal hati, gangguan faal ginjal dan hiponatriemia.

E. Penanggulangan Nyeri (2)
Nyeri pasca bedah sangat bersifat individual, tindakan yang sama pada pasien yang kurang lebih sama keadaan umumnya tidak selalu mengakibatkan nyeri pasca bedah yang sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat nyeri dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Tempat pembedahan, yang ternyeri adalah pembedhan torakotomi.
2. Jenis kelamin, perempuan lebih epat merasakan nyeri.
3. Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi.
4. Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan dengan pasien dengan kepribadian normal.
5. Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat yang sama rasa nyeri tidak sehebat nyeri pembedahan sebelumnya.
6. Suku, ras, warna kulit.
7. Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumorjinak walaupun luasyang diangkat sama besar.
1. Opioid
a. Opioid Intra Muskular
Cara ini adalah cara yang paling sering dipakai, walaupun sering kurang berhasil mencapai efek anelgesia yang diinginkan karena pemberian intramuskular (im) absorpsinya tidak sempurna, terutama pada pasien dengan perfusi perifer yang buruk. Karena absorpsi melalui otot relatif lambat, makaharus diperhatikan kapan anelgesia dibutuhkan dankapan pemberian ulangan harus disuntikan.
b. Opioid Intravena Kontinyu
Walaupun pemberiannya kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemberian 1 M cara ini memiliki sejumlah keunggulan. Pada umumnya diberikan sejumlah dosis tertentu (infus dipercepat) untuk mendapatkan konsentrasi efektif analgesia, kemudian dilanjutkan dengan infus yang lambat dengan alat yang akurat seperti pompoa infus.
c. Pasien Mengontrol Pemberian Analgesia Opioid
Saat ini sudah dikembangkan cara/alat agar pasien dapat memberikan sendiri anelgesia opioid yang diinginkan melalui pompa infus yang sudah diatur terlebih dahulu dosisnya, yang aman untuk pasien.
d. Opioid Sublingual
Cara ini makin popular penggunaannya, karena mudah dan menyenangkan. Obat yang paling sering dipakai adalah biprenorfin yang bersifat agonis antagonis sehingga efek samping depresi nafas sangat jarang dijumpai, keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam).
e. Opioid Oral
Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat dapat memberikan analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.
F. Terapi Cairan
Terapi cairan bukan hanya diberikan post operatif, tapi dimulai dri pre-operatif durante operatif dan post operatif (4). Pemberian cairan diberikan seperti perhitungan-perhitungan pada masa pre operatif dengan lebih memperhitungkan perubahan-perubahan berat badan, suhu badan, suhu kamar, “external lesses” dan teap menilai keadaan klinis seperti kesadaran, selaput-selaput lendir, turgor, keadaan mata dan lain-lain (5).
Pengobatan cairan pada masa post operatif adalah pemberian cairan yang sesuai dengan cairan ekstraseluler saja telah mencukupi dan transfusi darah jarang sekali diperlukan. Cairan yang dipilih biasanya adalah larutan Ringer laktat (5).
Pertimbangan ini disebabkan karena hal-hal berikut (5) :
1. Edema/sequestrasi di daerah perlukaan adalah transudat ekstraseluler, dan dapat berlangsung hingga beberapa hari dengan jumlah kehilangan yang dapat menpai2-4 liter sehari. Kehilangan itu sangat meyolok pada trauma usus yang luas, diseksi yang luas, ileus. Aortic aneurismectomi, aviscerasi yang agak lama. Gagalnya penggantian ciran ini akan menyebabkan timbulnya oliguria, takikardi hipotensi dengan gejala-gejala lain sebagai akibat retensi air dan natrium.
2. MeskipunShires, 1967 mengemukakan adanya pengeluaran yang bersifat disporporsi dengan cairan ekstraseluler, pada binatang percobaan dengan haemorrogik shock, akan tetapi dia sendiri telah membuktikan pula bahwa dibandingkn dengan cara lain, pemberian larutan ringer laktat sebagai pengaruh darah yang keluar telah meningkatkan “survivalrate”. Dengan demikian telah timbul kesimpulan bahwa larutan ringer laktat tidak dapat menggantikan darah, akan tetapi dpat mengurngi kebutuhan transfusi darah.
Oleh karena trauma ringan, perubahan emosi dan lain-lain dapat dilihat dengan nyata adanya sekresi ADH danaldosteron. Sekresi ini lebih bayak disebabkan karena stimulasi ACTH mekanisme “Renin Angiotensin”. Meskipun hal ini disebabkan terjadinya peningkatan kadar K+, ternyata dengan menjaga keseimbangan cairan ekstraseluler saja faktor ini tidak banyak menimbulkan kesukaran. Keseimbangan larutan garam seperti ringer laktat lebih disukai dari pada NaCl- isotonis, karena tidak menyebabkan “dilutional acidosis” atau penimbunan klorida apabila timbul kehiangan-kehilangan yang isotonik.
Pengaruh hormonal yang masih menetap beberapa hari pasca bedah dn mempengaruhi keseimbangan air dan elektrolit harus diperhatikan dalam menentukan terapi cairan tersebut. Bila penderita sudah dapat minum secepatnya diberikan per oral. Apabila penderita tidak boleh per oral, maka pemberian secara parenteral diteruskan. Air diberikan sesuai dengan pengeluaran yang ada (urin + insensible loss). Masuknya kembali cairan dri ruangan ketiga dan interstitial ke dalam cairan ekstra sel yang berfungsi tejadi secara bertahap dalam 5-6 hari dan pada penderita tanpa gangguan fungsi jantung atau ginjal, hal ini tidak mempengaruhi keseimabngan airdan elektrolit. Demikian juga pengaruh SIADH (4).
Pemberian natrium pada hari pertama pasca bedah dalam jumlah yang lebih rendah dari kebutuhan pmeliharaan, cukup beralasan karena walaupun pengaruh hormonal menyebabkan terjadinya retensi natrium tetapi retensi air lebih banyak terjadi. Pasca bedah lebih sering dijumpai keadaan hiponatremia, yang akan kembali normal dengan hanya membatasi pemberian (“intake”) cairan saja (4). Kalium sebaiknya diberikan pada hari kedua pasca bedah (4,5). Setelah hari pertama biasanya timbul kehilangan kalium yang dapat menapai 90-100 mEq/uter urine apabila fungsi ginjal mencukupi. Dianjurkan untuk memberikan 50-80 mEq/hari, kecuali diduga adanya kehilangan yang berlebihan di urine (5).
Glukosa diberikan 100 gr/hari.
Cairan yang diberikan : pada orang dewasa.
- Hari I : Dekstrosa 5-10 % dalam 0,18 % NaCl
- Hari II : Dekstrosa 5-10 % dalam 0,18 % NaCl + K+ 1 mEq/KgBB/hari (6).
Pada bayi dan anak :
Kebutuhan pemeliharaan biasanya ditambah karena bertambahnya “insensible loss” yang dapat mencapai 3-4 ml/KgBB/jam. Ciran yang dibeikan : dekstrosa 5 % + ringer laktat dalam dekstrosa 5 % dengan perbandingan 4 : 1 atau 3 : 2 tergantung banyak atau sedikitnya insensible loss tadi (4).
Kesulitan-kesulitan sering timbul pada masa post opersi secara singkat adalah sebagai berikut (5) :
1. Penggantian cairan yang tidak mencukupi dibandingkan dengankehilangan dalam “sequestrasi inury”/manipulasi yang biasanya telah dimulai dari masa pre operatif dan berlangsung terus hingga beberap hari post operatif. Sering kali perhatian hanya ditujukan pada penjagaan sirkulasi saja pada waktu operasi (tekanan drah, nadi, urine out put), hingga pada masa post operatif terjadi defisit yang mengakibatkan “circulatory failure”, oliguri dan “renal failure”.
2. Adanya “access free water load” tadi sering dipertahankan penderita post operatif dan dapat menimbulkan “hypotonicity” dan intoksikasi air. Hal ini tergantung pada cepatnya penurunan kadar natrium dlamdarah. Apabila hal ini terjadi dapat dikoreksi dengan pemberian NaCl hipertonik atau Mannitol.
3. Penjagaan keseimbangan garam-garam secara fisiologis dan tanpa memperhitungkan kehilangan-kehilangan di “Third space” dan hanya mempertimbangkan diuretis dan mencegah retensi air dan hiponatremia, tidak ada gunanya sama sekali selain angka-angka “survival cate” yang sama saja tanpa pengobatan apa-apa.
4. Apabila mobilisasi dan diuresis pada cairan dri daerah sequestrasi terjadi, maka pemberian cairan harus dikurngi.
5. Hipernatremi meskipun tidak umum dpat terjadi pada pengobatan cairan yang berhubungan dengan diuresis osmotik “tube feeding”, “CNS lession” dan penyakit ginjal.
6. Ketidak seimbangan elektrolit yang terjadi dalam masa post operatif biasanya adalah defisiensi kalium, hipokloremik alkalosis, asidosis metabolik yang berhubungan dengan adanya “circulatory failure”, “excesif Na Loss, Cl Loss” dan insufisiensi ginjal.
7. Dalam massa post operatif, penggunaan diuretik yang menghambat reabsorpsi natrium di tubuli dapat merangsang timbulnya “hypotonicity”. Apabila diduga adanya kelebihan cairan, maka lebih disukai cara pembatasan pemberian cairan.
8. Adanya “Congestive heart failure”, penyakit hepar dan puasa yang terlalu lama sebelum terapi, sangat mempengaruhi respons penderita terhadap pengobatan.
9. Dalam masa post operatif harus selalu diingat bahwa “maintenance flurd therapy” (air untuk “insensible loss ditmbah air untuk diuresis ditambah extenal losses” ditambah “extracelluler” di usus ditambah sedikit larutan natrium untuk mencegah retensi air ditambahkan kaium). (air hasil metabolisme ditambah mobilisasi cairan dlam sequestrasi luka)

Kunjungan Pasca Bedah dan Pencatatan
Pasien pasca bedah yang sudah di ruang selama pemulihan harus selalu dipantau, karena untuk melihat perlu atau tidaknya terapi selanjutnya selama pemulihan terhadap efek obat-obat anestesi. Dan perlu dibuat pencatatan teknik yang digunakan dan setiap komplikasi yang terjadi. Hal ini berguna untuk pasien di masa mendatang.

III. KESIMPULAN
Perawatan pasca bedah sangat penting untuk dilakukan oleh seorang ahli anestesi karena pada jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya bagi pasien. Pada jam pertama reflek perlindungan jalan nafas masih tertekan, walaupun pasien tampak sudah bangun danefek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi pernafasan. Ini dapat menyebabkan kematian karena hipoksia.
Selain itu pasien pasca anestesi dan pasca bedah hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
1. Pernafasan.
2. Sirkulasi.
3. Regurgitasi.
4. Gangguan faal lain.
5. Penanggulangan nyeri.
6. Terapi cairan.
Semua yang tercantum perlu diperhatikan karena untuk melihat perlu atau tidaknya terapi selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA


1. Dobson. M.B. penuntun Prktis Anestesi. Alih Bahasa : Dharma A. EGC, Jakarta. 1994 : 109-110.

2. Lordjoseno. Gardjito. Anestesi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 1997 : 305-308.

3. Muhardi. Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. Dalam : Anestesilogi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FK UI. Jakarta. 1989 : 196-199.

4. Suntoro. A. Terapi Cairan Perioperatif. Dalam : Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FK UI. Jakarta. 1989 : 87-92.

5. Dardjat M.T, Cairan Maintenance dalam Pembedahan, Dalam : Kumpulan Kuliah Anestesiologi Edisi I. Aksara Medisina. Jakarta. 1986 : 351-357.