Kamis, 06 September 2007

Hidrocephalus

Hidrosefalus masih merupakan suatu masalah penting dalam dunia kedokteran terutama bila dikaitkan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak karena terjadinya gangguan pertumbuhan otak, sehingga otomatis bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang lebih parah lagi, bahkan menjadi kasus yang lebih berat dan dapat berakibat fatal. Secara statistik ditemukan bahwa dengan penanganan bedah dan penatalaksanaan medis yang baik sekalipun, didapatkan hanya sekitar 40% dari penderita hidrosefalus mempunyai kecerdasan yang normal dan sekitar 60% mengalami cacat kecerdasan dan fungsi motorik yang bermakna. Dari data statistik tersebut dapat dilihat bahwa walaupun dengan penanganan bedah saraf dan penatalaksanaan bedah saraf dan penatalaksanaan medis yang baik ternyata sekitar 60% penderita masih memiliki sekuel gangguan yang cukup bermakna.

Seorang anak dapat menderita hidrosefalus karena berbagai sebab, baik itu secara kongenital maupun akuisita. Di Indonesia sendiri kasus hidrosefalus mencapai kurang lebih dua kasus per seribu kelahiran (Harsono, 1996). Data ini menunjukan bahwa kasusu hidrosefalus termasuk kasus yang jarang terjadi di Indonesia. Walaupun demikian kasus hidrosefalus tetap merupakan masalah dalam dunia kedokteran, baik itu mengenai tumbuh kembang anak, keberhasilan di dalam terapi bedah, maupun masalah psikologis anak di masa yang akan datang. Melihat dari manifestasi klinis penyakit ini, masalah yang sering kali timbul adalah terutama mengenai progresivitas penyakit itu sendiri. Sebagian dari kasus hidrosefalus dapat berhenti sendiri, dalam arti lingkar kepala tidak bertambah besar, dan sebagian kasus lainnya mempunyai progresivitas yang tinggi, dimana lingkar kepala bertambah secara progresif karena terjadi sumbatan aliran cairan serebrospinal maupun produksinya sendiri yang bertambah. Gejala klinis anak hidrosefalus dapat bervariasi, mulai dari yang ringan sampai yang berat, tergantung dari penyebabnya. Gejala permulaan dari hidrosefalus seringkali tidak diketahui, sehingga seringkali penderita datang ke dokter sudah dalam keadaan terlambat. Selain itu faktor resiko hidrosefalus seringkali masih merupakan masalah yang awam bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia.
II.1. Definisi
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Hassan, 1983). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal (Huttenlocher, 1983). Hidrosefalus bukan suatu penyakit yang berdiri sendiri. Sebenarnya, hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (Wiknjosastro, 1994).

II.2. Epidemiologi
Thanman (1984) melaporkan insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Raveley (1973) cit Yasa (1983) di Inggris melaporkan bahwa insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada setiap 1000 kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Hidrosefalus dengan meningomielokel, yaitu antara 4 per 1000 kelahiran di beberapa negara bagian wales dan Irlandia Utara sampai sekitar 0,2 per 1000 kelahiran di Jepang. Sedangkan insidensi hidrosefalus bentuk lainnya sekitar 1 per 1000 kelahiran. Stenosis akuaduktus ditemukan pada sekitar sepertiga anak dengan hidrosefalus (Huttenlocher, 1983).
Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis.
Hidrosefalus infantil; 46% diantaranya adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Harsono, 1996).

II.3. Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Hassan et al, 1985). Tempat predileksi obstruksi adalah foramen Monroe, foramen Sylvi’s, foramen Luschka, foramen Magendie, sisterna magna dan sisterna basalis (Harsono, 1996). Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang normal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus koroidalis. Berkurangnya absorbsi CSS pernah dilaporkan dalam kepustakaan pada obstruksi kronik aliran vena otak pada trombosis sinus longitudinalis. Contoh lain ialah terjadinya hidrosefalus setelah operasi koreksi daripada spina bifida dengan meningokel akibat berkurangnya permukaan untuk absorbsi. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah :
1. Kelainan Bawaan (Kongenital)
a. Stenosis akuaduktus Sylvii
Merupakan penyebab yang terbanyak pada hidrosefalus bayi dan anak (60-90%). Insidensinya berkisar antara 0,5-1 kasus/1000 kelahiran. Stenosis ini bukan berasal dari tumor. Ada tiga tipe stenosis :
1. Gliosis akuaduktus: berupa pertumbuhan berlebihan dari glia fibriler yang menyebabkan konstriksi lumen.
2. Akuaduktus yang berbilah (seperti garpu) menjadi kanal-kanal yang kadang dapat tersumbat.
3. Obstruksi akuaduktus oleh septum ependim yang tipis (biasanya pada ujung kaudal).

Akuaduktus dapat merupakan saluran buntu sama sekali atau abnormal lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir. Stenosis ini bisa disebabkan karena kelainan metabolisme akibat ibu menggunakan isotretionin (Accutane) untuk pengobatan acne vulgaris. Oleh karena itu penggunaan derivat retinol (vitamin A) dilarang pada wanita hamil. Hidrosefalus iatrogenik ini jarang sekali terjadi, hal ini dapat disebabkan oleh hipervitaminosis A yang akut atau kronis, di mana keadaan tersebut dapat mengakibatkan sekresi likuor menjadi meningkat atau meningkatnya permeabilitas sawar darah otak. Stenosis ini biasanya dapat bersamaan dengan malformasi lain seperti: malformasi Arnold chiari, ensefalokel oksipital (Lott et al, 1984).

b. Spina bifida dan kranium bifida
Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya berhubungan dengan sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan serebelum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total. Anomali Arnold-chiari ini dapat timbul bersama dengan suatu meningokel atau suatu meningomielokel.

c. Sindrom Dandy-Walker
Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan hidrosefalus. Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini berupa ekspansi kistik ventrikel IV dan hipoplasi vermis serebelum. Kelainan berupa atresia kongenital foramen Luschka dan Magendie dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran sistem ventrikel terutama ventrikel IV yang dapat sedemikian besarnya hingga merupakan suatu kista yang besar di daerah fosa posterior. Hidrosefalus yang terjadi diakibatkan oleh hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan rongga subarakhnoid yang tidak adekuat, dan hal ini dapat tampil pada saat lahir, namun 80% kasusnya biasanya tampak dalam tiga bulan pertama. Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan dengan anomali lainnya seperti: agenesis korpus kalosum, labiopalatoskisis, anomali okuler, anomali jantung, dan sebagainya.

d. Kista araknoid
Dapat terjadi kongenital tetapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder suatu hematoma.

e. Anomali pembuluh darah
Dalam kepustakaan dilaporkan terjadinya hidrosefalus akibat aneurisma arterio-vena yang mengenai arteria serebralis posterior dengan vena Galeni atau sinus transversus dengan akibat obstruksi akuaduktus.

2. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi ruangan subaraknoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus Sylvii atau sisterna basalis. Lebih banyak hidrosefalus terdapat pasca meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpedunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta lokalisasinya lebih tersebar. Selain karena meningitis, penyebab lain infeksi pada sistem saraf pusat adalah karena toxoplasmosis (Ngoerah, 1991). Infeksi toxoplasmosis sering terjadi pada ibu yang hamil atau penderita dengan imunokompeten (Pohan, 1996). Penularan toxoplasmosis kepada neonatus didapat melalui penularan transplasenta dari ibu yang telah menderita infeksi asimtomatik. Dalam bentuk infeksi subakut, tetrade yang menyolok adalah perkapuran intraserebral, chorioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus, dan gangguan psikomotor dan kejang-kejang (Pribadi, 1983).

3. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pengobatan dalam hal ini ditujukan kepada penyebabnya dan apabila tumor tidak mungkin dioperasi, maka dapat dilakukan tindakan paliatif dengan mengalirkan CSS melalui saluran buatan atau pirau. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu kraniofaringioma.

4. Perdarahan
Telah banyak dibuktikan bahwa perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri. Hal tersebut juga dapat dipicu oleh karena adanya trauma kapitis (Hassan et al, 1985).

Selanjutnya hidrosefalus dengan penyebab pertama tersebut diatas dikelompokan sebagai hidrosefalus kongenitus, sedangkan penyebab kedua sampai ke empat dikelompokkan sebagai hidrosefalus akuisita. Sebab-sebab prenatal merupakan faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya hidrosefalus kongenital yang timbul in-utero dan kemudian bermanifestasi baik in-utero ataupun setelah lahir. Sebab-sebab ini mencakup malformasi (anomali perkembangan sporadis), infeksi atau kelainan vaskuler. Pada sebagian besar pasien banyak yang etiologinya tidak dapat diketahui, dan untuk ini diistilahkan sebagai hidrosefalus idiopatik. Dari bukti eksperimental pada beberapa spesies hewan mengisyaratkan infeksi virus pada janin terutama parotitis dapat sebagai faktor etiologi (Ngoerah, 1991).
Swaiman and Wright (1981) mengelompokkan etiologi hidrosefalus berdasarkan proses kejadiannya sebagai berikut :
1. Kongenital
Agenesis korpus kalosum, stenosis akuaduktus serebri, anensefali dan disgenesis serebral, genetis.
2. Degeneratif
Histiositosis, inkontinensia pugmenti, dan penyakit Krebbe.
3. Infeksi
Post meningitis, TORCH, kista-kista parasit, lues kongenital.
4. Kelainan metabolisme
Penggunaan isotretionin (Accutane) untuk pengobatan akne vulgaris, antara lain dapat menyebabkan stenosis akuaduktus, sehingga terjadi hidrosefalus pada anak yang dilahirkan. Oleh karena itu penggunaan derivat retinol (vit. A) dilarang pada wanita hamil (Lott et al, 1984).
5. Trauma
Seperti pada perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, disamping organisasi darah itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya sumbatan yang mengganggu aliran CSS.
6. Neoplasma
Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap aliran CSS, antara lain tumor ventrikel III, tumor fossa posterior, papilloma pleksus koroideus, leukemia, dan limfoma.
7. Gangguan vaskuler
Dilatasi sinus dural, trombosis sinus venosa, malformasi v. Galeni, malformasi arteriovenosa.
II.4. Patofisiologi dan Patogenesis
Ruangan CSS mulai terbentuk [ada minggu kelima masa embrio, terdiri dari sistem ventrikel, sisterna magna pada dasar otak dan ruang subarakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf. CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis ini terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari dua bagian yang berhubungan satu sama lainnya : (1) Sistem internal terdiri dari dua ventrikel lateralis, foramen-foramen interventrikularis (Monroe), ventrikel ke-3, akuaduktus Sylvii dan ventrikel ke-4. (2) Sistem eksternal terdiri dari ruang-ruang subaraknoid, terutama bagian-bagian yang melebar disebut sisterna. Hubungan antara sistem internal dan eksternal ialah melalui kedua apertura lateralis ventrikel ke-4 (foramen Luschka) dan foramen medialis ventrikel ke-4 (foramen Magendie).
Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan pada prematur kecil 10-20 ml (Harsono, 1996). Cairan yang tertimbun dalam ventrikel biasanya antara 500-1500 ml, akan tetapi kadang-kadang dapat mencapai 5 liter (Wiknjosastro, 1994).
Aliran CSS yang normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler.
Dalam keadaan normal tekanan likuor berkisar antara 50-200 mm, praktis sama dengan 50-200 mmH2O. Ruang tengkorak bersama dura yang tidak elastis merupakan suatu kotak tertutup yang berisikan jaringan otak dan medula spinalis sehingga volume otak total (kraniospinal) ditambah dengan volume darah dan likuor merupakan angka tetap (Hukum Monroe Kellie). Bila terdapat peningkatan volume likuor akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Keadaan ini terdapat pada perubahan volume likuor, pelebaran dura, perubahan volume pembuluh darah terutama volume vena, perubahan jaringan otak (bagian putih otak berkurang pada hidrosefalus obstruktif). Pada umumnya volume otak serta tekanan likuor berubah oleh berbagai pengaruh sehingga volume darah selalu akan menyesuaikan diri (Harsono, 1996).
Hidrosefalus secara teoritis hal ini terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu :
1. Produksi likuor yang berlebihan
2. Peningkatan resistensi aliran likuor
3. Peningkatan tekanan sinus venosa
Sebagai konsekuensi dari tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dapat dipahami secara terperinci, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :
1. Kompresi sistem serebrovaskuler
2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler atau keduanya di dalam sistem susunan saraf pusat
3. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak)
4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis (masih diperdebatkan)
5. Hilangnya jaringan otak
6. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya regangan abnormal pada sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh karena tumor pleksus khoroid (papiloma atau karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan akan menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam mempertahankan keseimbangan antara sekresi dan resorbsi likuor, sehingga akhirnya ventrikel akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi likuor yang berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat hipervitaminosis A.
Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi.
Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak. Bila sutura kranial sudah menutup, dilatasi ventrikel akan diimbangi dengan peningkatan volume vaskuler; dalam hal ini peningkatan tekanan vena akan diterjemahkan dalam bentuk klinis dari pseudotumor serebri. Sebaliknya, bila tengkorak masih dapat mengadaptasi, kepala akan membesar dan volume cairan akan bertambah.
Derajat peningkatan resistensi aliran cairan likuor dan kecepatan perkembangan gangguan hidrodinamik berpengaruh pada penampilan klinis.

II.5. Klasifikasi
Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya. Menurut Harsono (1996), klasifikasi hidrosefalus berdasarkan :



1. Gambaran klinis
Dikenal hidrosefalus yang manifes (overt hydrocephalus) dan hidrosefalus yang tersembunyi (occult hydrocephalus). Hidrosefalus yang tampak jelas dengan tanda-tanda klinis yang khas disebut hidrosefalus yang manifes. Sementara itu, hidrosefalus dengan ukuran kepala yang normal disebut sebagai hidrosefalus yang tersembunyi.

2. Waktu pembentukan
Dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita. Hidrosefalus yang terjadi pada neonatus atau yang berkembang selama intra uterin disebut hidrosefalus kongenital. Hidrosefalus yang terjadi karena cedera kepala selama proses kelahiran disebut hidrosefalus infantil. Hidrosefalus akuisita adalah hidrosefalus yang terjadi setelah masa neonatus atau disebabkan oleh faktor-faktor lain setelah masa neonatus (Harsono, 1996).

3. Proses terbentuknya hidrosefalus (waktu/onzet)
Dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik. Hidrosefalus akut adalah hidrosefalus yang terjadi secara mendadak sebagai akibat obstruksi atau gangguan absorbsi CSS (berlangsung dalam beberapa hari). Disebut hidrosefalus kronik apabila perkembangan hidrosefalus terjadi setelah aliran CSS mengalami obstruksi beberapa minggu (bulan-tahun). Dan diantara waktu tersebut disebut hidrosefalus subakut.

4. Sirkulasi CSS (cairan serebrospinal)
Dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans. Hidrosefalus non komunikans berarti CSS sistem ventrikulus tidak berhubungan dengan CSS ruang subaraknoid (adanya blok), misalnya terjadi pada:
a. Kelainan perkembangan akuaduktus Silvius kongenital (disebabkan oleh gen terangkai X resesif), infeksi virus, tertekannya akuaduktus dari luar karena hematoma atau aneurisma kongenital
b. Atresia foramen Luschka dan Magendie (sindroma Dandy-Walker)
c. Berhubungan dengan keadaan-keadaan meningokel, ensefalokel, hipoplastik serebelum.
Hidrosefalus komunikans adalah hidrosefalus yang memperlihatkan adanya hubungan antara CSS sistem ventrikulus dan CSS dari ruang subaraknoid otak dan spinal. Gangguan absorbsi CSS dapat disebabkan sumbatan sistem subaraknoid disekeliling batang otak ataupun obliterasi ruang subaraknoid disekeliling batang otak ataupun obliterasi ruang subaraknoid disekeliling konveksitas otak. Disini seluruh sitem ventrikuli terdistensi (Huttenlocher, 1983). Hal ini terjadi pada keadaan-keadaan:
a. Malformasi Arnold-Chiari dimana terjadi hambatan CSS di ruang subaraknoid sekitar batang otak akibat berpindahnya batang otak dan serebelum ke kanalis servikalis
b. Sekunder akibat infeksi piogenik dan meningitis sehingga terjadi fibrosis dan perlekatan
c. Fibrosis akibat perdarahan subaraknoid

5. Pseudohidrosefalus dan hidrosefalus tekanan normal (normal pressure hydrocephalus). Pseudohidrosefalus adalah disproporsi kepala dan badan bayi. Kepala bayi tumbuh cepat selama bulan kedua sampai bulan ke delapan.

Selain itu ada beberapa istilah lainnya yang dipakai dalam klasifikasi maupun sebutan diagnosis kasus hidrosefalus. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel; sedangkan hidrosefalus eksternal cenderung menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus obstruktif menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi pada aliran likuor; dan hal ini dijumpai pada sebagian besar kasus. Berdasarkan gejala yang ada dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik dan asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan di mana faktor-faktor yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif lagi.Hidrosefalus ex-vacuo adalah sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang diakibatkan oleh atrofi otak primer, yang biasanya terdapat pada orang tua.

II.6. Manifestasi Klinis
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Huttenlocher, 1983). Selain itu gambaran klinik hidrosefalus dipengaruhi oleh umur penderita, penyebab, dan lokasi obstruksi. Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial (Harsono, 1996). Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :

1. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus
Meliputi pembesaran kepala abnormal yang merupakan gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi. Pada kasus hidrosefalus kongenital yang berat dimana kepala bayi yang besar dapat mempersulit proses kelahiran, sedangkan pada bentuk yang lebih ringan, kepala berukuran normal saat lahir, tetapi kemudian tumbuh dengan laju berlebihan (Huttenlocher, 1983). Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Pada anak hidrosefalus, umur satu tahun lingkaran kepala itu menjadi 45 cm (Ngoerah, 1991). Pada masa neonatus, pengukuran lingkar kepala setiap harinya penting dalam menentukan proresivitas dari hidrosefalus. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal (Huttenlocher, 1983). Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. Sering terjadi retraksi kelopak mata yang terus-menerus (Sidharta, 1995). Pada hidrosefalus infantil yang berat, tampak suatu fenomena “matahari terbenam” (sunset phenomenon) pada bola mata. Fenomena ini timbul karena tekanan intrakranial yang tinggi dapat menekan tulang atap orbita yang sangat tipis. Tulang atap orbita ini lantas menekan pada bola mata sehingga bola-bola mata itu terputar ke bawah (Huttenlocher, 1983). Dengan kedudukan mata demikian, banyak putih sklera terlihat diantara limbus atas dari kornea dan tepi kelopak mata atas. Tanda tersebut bisa dikorelasikan dengan dilatasi ventrikel ke-3 atau akuaduktus Sylvii yang sekaligus melumpuhkan gerakan elevasi bola mata (Sidharta, 1995). Pada funduskopi dapat tampak suatu atrofi papil primer akibat kompresi saraf optikus dan kiasma, terjadi pada kasus kronik yang tidak diterapi. Disamping itu dapat terlihat adanya anosmi kanan dan kiri. Mungkin pula terdapat strabismus karena adanya paralise dari satu atau beberapa nervi kranialis. Penderita memperlihatkan pula adanya retardasi mental dan konvulsi. Sewaktu-waktu tampak nistagmus. Bila dilakukan perkusi sedikit di belakang tempat pertemuan os frontale dengan os temporale maka dapat timbul resonansi seperti bunyi kendi retak (“cracked pot resonance”). Tanda ini dinamai Macewen’s sign. Tidak jarang dijumpai tanda-tanda paraparesis spastik dengan reflek tendon lutut atau Achilles yang meningkat serta dengan Babinski yang positif kanan dan kiri.
Menurut Harsono (1996), pada neonatus gejala yang paling umum dijumpai adalah iritabilitas. Sering kali anak tidak mau makan dan minum, dan kadang-kadang kesadaran menurun ke arah letargi. Anak kadang-kadang muntah, jarang yang bersifat proyektil. Pada masa neonatus ini gejala-gejala lainnya belum tampak. Kecurigaan akan hidrosefalus bisa berdasarkan gejala-gejala tersebut di atas, sehingga dapat dilakukan pemantauan secara teratur dan sistemik.



2. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak
Jika hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak, maka pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi pada umumnya anak mengeluh nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas atau tidak menentu. Kadang-kadang anak muntah di pagi hari. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus.
Gangguan motorik dan koordinasi dikenali melalui perubahan cara berjalan. Hal demikian ini disebabkan oleh peregangan serabut kortikospinal korteks parietal sebagai akibat pelebaran ventrikulus lateral. Serabut-serabut yang lebih kecil yang melayani tungkai akan terlebih dahulu tertekan, sehingga menimbulkan pola berjalan yang khas (Harsono, 1996). Kombinasi spastisitas dan ataksia yang lebih mempengaruhi tungkai daripada lengan sering ditemukan, demikian pula inkontinensia urin (Huttenlocher, 1983).
Anak dapat mengalami gangguan dalam hal daya ingat dan proses belajar, terutama dalam tahun pertama sekolah. Apabila dilakukan pemeriksaan psikometrik maka akan terlihat adanya labilitas emosional dan kesulitan dalam hal konseptualisasi (Harsono, 1996). Fungsi bicara seringkali masih baik, sehingga bermanifestasi sebagai ocehan kosong yang agak karakteristik (Huttenlocher, 1983).

Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal, atau persentil 98 dari kelompok usianya. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:
1. Fontanel anterior yang sangat tegang. Biasanya fontanel anterior dalam keadaan normal tampak datar atau bahkan sedikit cekung ke dalam pada bayi dalam posisi berdiri (tidak menangis).
2. Sutura kranium tampak atau teraba melebar.
3. Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol. Perkusi kepala akan terasa seperti kendi yang rengat (cracked pot sign).
4. Fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon). Tampak kedua bola mata deviasi ke bawah dan kelopak mata atas tertarik. Fenomena ini seperti halnya tanda Perinaud, yang ada gangguan pada daerah tektam. Estropia akibat parese n. VI, dan kadang ada parese n. III, dapat menyebabkan pengelihatan ganda dan mempunyai resiko bayi menjadi ambliopia.
Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi).
Gejala lainnya yang dapat terjadi adalah; spastisitas yang biasanya melibatkan ekstremitas inferior (sebagai konsekuensi peregangan traktus piramidal sekitar ventrikel lateral yang dilatasi) dan berlanjut sebagai gangguan berjalan, gangguan endokrin (karena distraksi hipotalamus dan ‘pituitari stalk’ oleh dilatasi ventrikel III.

II.7. Diagnosis
Prosedur dari diagnosis suatu penyakit didasarkan atas suatu anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala hidrosefalus sebelum menunjukan manifestasi klinis adalah sangat bervariasi sehingga anamnesis memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang cukup luas dalam praktek, tetapi hal tersebut tidak selalu mudah dicapai. Dilain pihak, pemberi informasi (penderita dan atau keluarganya) juga sangat berperan dalam proses anamnesis. Apabila informasi tidak jelas atau tidak lengkap maka diagnosis akan sulit ditegakkan. Kekeliruan atau kesalahan dalam menegakkan diagnosis dapat terjadi di seluruh disiplin kedokteran, baik preklinik, paraklinik, maupun klinik. Kesalahan diagnosis secara umum dapat disebabkan oleh karena, (a) kurangnya pengetahuan dan atau pengertian tentang penyakit, (b) kurangnya pengalaman menangani kasus penyakit, (c) keterbatasan informasi dari penderita atau keluarganya, dan (d) belum berfungsinya sistem rujukan secara optimal sehingga belum menunjukan interaksi yang baik antara puskesmas atau rumah sakit umum kabupaten atau dokter praktek swasta (dokter umum) dengan RSUP rujukan atau dokter spesialis (Harsono, 1994).
Upaya penegakan diagnosis suatu kelainan dalam hal ini hidrosefalus dapat dilakukan dengan melakukan skrining atau deteksi dini gangguan tumbuh kembang anak. Skrining terdiri dari penemuan faktor resiko dan deteksi adanya kelainan. Faktor resiko adalah faktor-faktor atau keadaan yang mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu. Istilah mempengaruhi mengandung pengertian menimbulkan resiko lebih besar pada individu atau masyarakat untuk terjadinya status kesehatan atau kelainan tertentu (Pratiknya, 1986). Faktor resiko ini mungkin baru dalam tahap kecurigaan, perkiraan atau memang sudah terbuktikan kebenarannya.
Disamping dari pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar maupun yang khas seperti yang telah diterangkan di atas, maka kepastian diagnosis hidrosefalus dapat ditegakkan dengan menggunakan alat-alat radiologik yang canggih. USG adalah pemeriksaan penunjang yang mempunyai peranan penting dalam mendeteksi adanya hidrosefalus pada periode prenatal dan pascanatal selama fontanelnya tidak menutup. Pada neonatus, USG dapat cukup bermanfaat, untuk anak yang lebih besar, umumnya diperlukan CT scanning. CT scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat memastikan diagnosis hidrosefalus dalam waktu yang relatif singkat (Harsono, 1996). Pemeriksaan dengan CT scan ini dapat memperlihatkan susunan ventrikel yang membesar secara simetris (Ngoerah, 1991). Dengan CT scan ini sistem ventrikel dan seluruh isi intrakranial dapat tampak lebih terperinci, serta dalam memperkirakan prognosa kasus tersebut di masa depan. CT scan merupakan cara yang aman dan dapat diandalkan untuk membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga menyebabkan pembesaran kepala abnormal, serta untuk identifikasi tempat obstruksi aliran CSS. MRI sebenarnya juga merupakan pemeriksaan diagnostik terpilih untuk kasus-kasus yang efektif. Namun, mengingat waktu pemeriksaannya yang cukup lama sehingga pada bayi perlu dilakukan pembiusan. Untuk menentukan apakah seorang bayi dalam kandungan adalah hidrosefal atau tidak, adalah suatu tugas yang tidak mudah, namun pemeriksaan dengan USG sudah sangat dapat membantu (Ngoerah, 1991).

II.8. Diagnosis banding
Pembesaran kepala dapat terjadi pada hidrosefalus, makrosefali, tumor otak, abses otak, granuloma intrakranial, dan hematoma subdural perinatal, hidranensefali. Hal-hal tersebut dijumpai terutama pada bayi dan anak-anak berumur kurang dari 6 tahun (Harsono, 1996).

II.9. Terapi
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :
1. Mengurangi produksi CSS dengan merusak sebagian pleksus khoroidalis dengan tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi, akan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Obat-obatan yang berpengaruh disini antara lain ; diamox (asetazolamid), isosorbit, manitol, urea, kortikosteroid, diuretik dan fenobarbital,
2. Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi yakni menghubungkan ventrikel dengan ruang subaraknoid. Misalnya Torkildsen ventrikulosisternostomi pada stenosis akuaduktus Silvius. Pada anak hasilnya kurang baik karena sudah ada insufisisensi fungsi absorbsi
3. Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial dengan cara ; ventrikuloperitoneal drainage, ventrikulopleural drainage, lumboperitoneal drainage, ventrikuloretrostomi, mengalirkan kedalam antrum mastoid, mengalirkan CSS kedalam vena jugularis melalui kateter berventil (Hoten-velve) (Hassan, 1985).
Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :

1. Penanganan Sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid (asetazolamid 100 mg/kg BB/hari; furosemid 2 mg/kg BB/kali) atau upaya meningkatkan resorbsinya (isorbid). Terapi di atas hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi definitif diterapkan atau bila ada harapan kemungkinan pulihnya gangguan hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang mengingat adanya resiko terjadinya gangguan metabolik.
Drainase likuor eksternal dilakukan dengan memasang kateter ventrikuler yang kemudian dihubungkan dengan suatu kantong drain eksternal. Tindakan ini dilakukan untuk penderita yang berpotensi menjadi hidrosefalus (hidrosefalus transisi) atau yang sedang mengalami infeksi. Keterbatasan tindakan semacam ini adalah adanya ancaman kontaminasi likuor dan penderita harus selalu dipantau secara ketat. Cara lain yang mirip dengan metode ini adalah punksi ventrikel yang dilakukan berulang kali untuk mengatasi pembesaran ventrikel yang terjadi.
Cara-cara untuk mengatasi dilatasi ventrikel di atas dapat diterapkan pada beberapa situasi tertentu yang tentu pelaksanaannya perlu dipertimbangkan secara masak (seperti pada kasus stadium akut hidrosefalus pasca perdarahan).

2. Penanganan Alternatif (Selain Shunting)
Tindakan alternatif selain operasi “pintas” (shunting) diterapkan khususnya bagi kasus-kasus yang mengalami sumbatan di dalam sistem ventrikel termasuk juga saluran keluar ventrikel IV (misal: stenosis akuaduktus, tumor fossa posterior, kista arkhnoid). Dalam hal ini maka tindakan terapeutik semacam ini perlu dipikirkan lebih dahulu, walaupun kadang lebih rumit daripada memasang shunt, mengingat restorasi aliran likuor menuju keadaan atau mendekati normal selalu lebih baik daripada suatu drainase yang artifisial.
Terapi etiologik. Penanganan terhadap etiologi hidrosefalus merupakan strategi yang terbaik, seperti antara lain misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu malformasi. Memang pada sebagian kasus perlu menjalani terapi sementara dahulu sewaktu lesi kausalnya masih belu dapat dipastikan atau kadang juga masih memerlukan tindakan operasi pintas karena kasus yang mempunyai etiologi multifaktor atau mengalami gangguan aliran likuor sekunder.
Penetrasi membran. Penetrasi dasar ventrikel III merupakan suatu tindakan membuat jalan alternatif melalui rongga subarakhnoid bagi kasus-kasus stenosis akuaduktus atau (lebih umum) gangguan aliran pada fosa posterior (termasuk tumor fosa posterior). Selain memulihkan sirkulasi secara pseudo-fisiologis aliran likuor, ventrikulostomi III dapat menciptakan tekanan hidrostatik yang uniform pada seluruh sistem susunan saraf pusat sehingga mencegah terjadinya perbedaan tekanan pada struktur-struktur garis tengah yang rentan. Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III adalah dengan teknik bedah endoskopik, dimana suatu neuroendoskop (rigid atau fleksibel) dimasukkan melalui burrhole koronal (2-3 cm dari garis tengah) ke dalam ventrikel lateral, kemudian melalui foramen Monro (diidentifikasi berdasarkan pleksus khoroid dan vena septalis serta vena talamostriata) masuk ke dalam ventrikel III. Batas-batas ventrikel III dari posterior ke anterior adalah korpus mamilare, percabangan a. basilaris, dorsum sella dan resesus infundibularis. Lubang dibuat di depan percabangan arteri basilaris sehingga terbentuk saluran antara ventrikel III dengan sisterna interpedunkularis. Lubang ini dapat dibuat dengan memakai laser, monopolar koagulator, radiofrekuensi, dan kateter balon.

3. Operasi Pemasangan ‘Pintas’ (Shunting)
Sebagian besar pasien memerlukan tindakan operasi pintas, yang bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas drainase(seperti: peritoneum, atrium kanan, pleura). Pemilihan kavitas untuk drainase dari mana dan kemana, bervariasi untuk masing-masing kasus. Pada anak-anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum, mengingat ia mampu menampung kateter yang cukup panjang sehingga dapat menyesuaikan pertumbuhan anak serta resiko terjadinya infeksi berat relatif lebih kecil dibandingkan dengan rongga atrium jantung. Lokasi drainase lain seperti: pleura, kandung empedu dan sebagainya, dapat dipilih untuk situasi kasus-kasus tertentu. Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga subarakhnoid lumbar. Belakangan ini drainase lumbar jarang dilakukan mengingat ada laporan bahwa terjadi herniasi tonsil pada beberapa kasus anak.
Dalam melakukan tindakan operasi pintas, banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dan sifatnya sangat subyektif bagi dokter ahli bedahnya. Ada berbagai jenis dan merek alat shunt yang masing-masing berbeda bahan, jenis, mekanisme maupun harga serta profil bentuknya. Pada dasarnya alat shunt terdiri dari tiga komponen yaitu: kateter proksimal, katup (dengan/tanpa reservoir), dan kateter distal. Komponen bahan dasarnya adalah elastomer silikon. Pemilihan shunt mana yang akan dipakai dipengaruhi oleh pengalaman dokter yang memasangnya, tersedianya alat tersebut, pertimbangan finansial serta latar belakang prinsip-prinsip ilmiah. Ada beberapa bentuk profil shunt (tabung, bulat, lonjong, dan sebagainya) dan pemilihan pemakaiannya didasarkan atas pertimbangan mengenai penyembuhan kulit yang dalam hal ini sesuai dengan usia penderita, berat badannya, ketebalan kulit dan ukuran kepala. Sistem hidrodinamik shunt tetap berfungsi pada tekanan yang tinggi, sedang, dan rendah, dan pilihan ditetapkan sesuai dengan ukuran ventrikel, status pasien (vegetatif, normal), patogenesis hidrosefalus, dan proses evolusi penyakitnya.
Penempatan reservoir shunt umumnya dipasang di frontal atau di temporo-oksipital yang kemudian disalurkan dibawah kulit. Teknik operasi penempatan shunt didasarkan oleh pertimbangan anatomis dan potensi kontaminasi yang mungkin terjadi (misalnya: ada gastrostomi, trakheostomi, laparostomi, dan sebagainya). Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca operasi, yaitu: pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Secara umum tidak ada batasan untuk posisi baring dari penderita, namun biasanya penderita dibaringkn terlentang selama 1-2 hari pertama.
Komplikasi shunt dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu: infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional, yang disebabkan jumlah aliran yang tidak adekuat. Infeksi pada shunt meningatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan mekanis mencakup komplikasi-komplikasi seperti: oklusi aliran didalam shunt (proksimal, katup atau bagian distal), diskoneksi atau putusnya shunt, migrasi dari tempat semula, tempat pemasangan yang tidak tepat. Kegagalan fungsional dapat berupa drainase yang berlebihan atau malah kurang lancarnya drainase. Drainase yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi lanjutan seperti terjadinya efusi subdural, kraniosinostosis, lokulasi ventrikel, hipotensi ortostatik.

II.10. Prognosis
Prognosis hidrosefalus dipengaruhi oleh tindakan pencegahan yang diupayakan, faktor resiko, komplikasi, progresifitas dan tindakan operatif yang dikerjakan. Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya berhenti (arrested hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal (Thanman, 1984). Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan.
Prognosis ini juga tergantung pada penyebab dilatasi ventrikel dan bukan pada ukuran mantel korteks pada saat dilakukan operasi. Anak dengan hidrosefalus meningkat resikonya untuk berbagai ketidakmampuan perkembangan. Rata-rata quosien intelegensi berkurang dibandingkan dengan populasi umum, terutama untuk kemampuan tugas sebagai kebalikan dari kemampuan verbal. Kebanyakan anak menderita kelainan dalam fungsi memori. Masalah visual adalah lazim, termasuk strabismus, kelainan visuospasial, defek lapangan penglihatan, dan atrofi optik dengan pengurangan ketajaman akibat kenaikan tekanan intrakranial.Bangkitan visual yang kemungkinan tersembunyi tertunda dan memerlukan beberapa waktu untuk sembuh pasca koreksi hidrosefalus. Meskipun sebagian anak hidrosefalus menyenangkan dan bersikap tenang, ada anak yang mememperlihatkan perilaku agresif dan melanggar.Adalah penting sekali anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan kelompok multidisipliner.
DAFTAR PUSTAKA

Anatole, D.M. 1970 Neurology of Early Childhood, The William and Willins Co., Baltimore, pp: 202-6

Anonim, 1985 Hidrosefalus dalam Hassan, R., Alatas, H. (editor) Kumpulan Kuliah Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, cetakan ke IV, Jakarta. Hal : 874-8

Anonim, 1996, Kelainan Neurologi Hidrosefalus dalam Harsono (editor) Buku Ajar Neurologi Klinis dan Kapita Selekta, Gadjah Mada University Press, Bulaksumur, Yogyakarta. Hal 45-8

Ceddia A, Di Rocco C, Tanelli A, Lauretti L. 1992 Non Tumoral Neonatal Hydrocephalus, Result of Surgical Treatment in Firs Month of Live in Minerva-Pediatrics. 49(9) : 445-50

Fletcher J.M, Francis D.J, Thompson N.M, Davidson K.C, Miner M.E, 1992 Verbal and Non Verbal Skill Discrepancies in Hydrocephalus Children, in J Clin Exp Neuropsycho, 14(4) : 596-602

Harsono, 1994, Masalah Diagnosis Epilepsi, Lab. Ilmu Penyakit Sraf Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal : 8-11

Holtz, B.J. and Mancuso, 1985, The Infant and Family in Hayman, L.L., Sporing, E.M. (editor) Handbook of Pediatrics Nursing, Wiley Medical Publication, New York

Huttenlocher, P.R. 1983 Hydrocephalus in Behrman, R.E. and Vaughan, V.C. (editor) Nelson : Textbook of Pediatrics, 12th ed, W.B. Saunders, Philadelphia.

Ismail, D. 1986 Kebutuhan Anak Untuk Mencapai Tumbuh Kembang yang Optimal, Kumpulan Makalah Temu Wicara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal : 56-8

Lott, I. T., Bocian, M., and Leitner, M. 1984 Fetal Hydrocephalus and Ear Anomalies, J pediatrics. 11 (3) : 173-5

Ngoerah, I. Gst. Ng. Gd., 1991, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf, Airlangga University Press, Surabaya. Hal : 45-9
Swaiman, K.F., and Wright, F.S. 1975 Hydrocephalus, in Farmer, T.W. (editor) Practice of Pediatrics Neurology, vol II, C.V Mosby Co., Saint Louis, 11(2) : 111-4