Rabu, 05 September 2007

Emfisema

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (1). Penyakit bronchitis kronik dan emfisema di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya kemajuan industri (2)

Di negara-negara barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan mencolok tetapi telah pula menimbulkan pencemaraan lingkungan dan polusi. Ditambah lagi dengan masalah merokok yang dapat menyebabkan penyakit bronkitis kronik dan emfisema (2).
Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema.Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat menimbulkan gangguan aktifitas (3). Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 % wanita (2).
Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk melakukan penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta dan mendapatkan prevalensi PPOK sebanyak 26 %, kedua terbanyak setelah tuberkulosis paru (65 %). Di Indonesia belum ada data mengenai emfisema paru (2).
A.DEFINISI
Emfisema adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh pelebaran secara abnormal saluran napas bagian distal bronkus terminalis, disertai dengan kerusakan dinding alveolus yang ireversibel (2,4,5,6,,7,8,9)
Berdasarkan tempat terjadinya proses kerusakan, emfisema dapat dibagi menjadi tiga (2,6,7,8) ;
1.Sentri-asinar (sentrilobular/CLE)
Pelebaran dan kerusakan terjadi pada bagian bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan daerah sekitar asinus.
2.Pan-asinar (panlobular)
Kerusakan terjadi merata di seluruh asinus. Merupakan bentuk yang jarang, gambaran khas nya adalah tersebar merata di seluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. Tipe ini sering timbul pada orang dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin.
3.Iregular
Kerusakan pada parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus.
Emfisema dapat bersifat kompensatorik atau obstruktif (4).
1.Emfisema kompensatorik
Terjadi di bagian paru yang masih berfungsi, karena ada bagian paru lain yang tidak atau kurang berfungsi, misalnya karena pneumonia, atelektasis, pneumothoraks.
2.Emfisema obstruktif
Terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus yang tidak menyeluruh, hingga terjadi mekanisme ventil.


B.Patogenesis
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok, polusi, infeksi, faktor genetik, obstruksi jalan napas.
1.Rokok
Secara patologis rokok dapat menyebabkan gangguan pergerakkan silia pada jalan napas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mucus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah (2,3,7,9).
Disamping itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya (7,8).
2.Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Insidensi dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi. Polusi udara seperti halnya asap tembakau juga menyebabkan gangguan pada silia, menghambat fungsi makrofag alveolar (2,6,7,9,10,11).
3.Infeksi
Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema (2,4,6,7,8).
4.Faktor genetik
1.Defisiensi Alfa-1 anti tripsin
Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin dapat menimbulkan emfisema masih belum jelas.

5.Obstruksi jalan napas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi. Etiologinya ialah benda asing di dalam lumen dengan reaksi lokal, tumor intrabronkial di mediastinum, kongenital. Pada jenis yang terakhir, obstruksi dapat disebabkan oleh defek tulang rawan bronkus (4).
PATOFISIOLOGI
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru (12).
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus (12).
Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering terkena adalah belahan paru kiri atas.
Hal ini diperkirakan oleh mekanisme katup penghentian.
Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang berlebihan.
Selain itu dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari luar akibat pembuluh darah yang menyimpang.
Mekanisme katup penghentian : Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya  penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah di sebelah distal dari paru. (12)
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta pembentukanjaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli (2).

A.DIAGNOSIS
1.Anamnesa :
Riwayat menghirup rokok.
Riwayat terpajan zat kimia.
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan memburuk dalam beberapa tahun (1,2).
Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya (12).
2.Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi :
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup).
Dada berbentuk barrel-chest.
Sela iga melebar.
Sternum menonjol.
Retraksi intercostal saat inspirasi.
Penggunaan otot bantu pernapasan.
Palpasi : vokal fremitus melemah.
Perkusi : hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah.
Auskultasi :
Suara nafas vesikuler normal atau melemah.
Terdapat ronki samar-samar.
Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi.
Ekspirasi memanjang.
Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan terdengar suara P2 mengeras pada LSB II-III (1,2).
3.Pemeriksan Penunjang :
a.Faal Paru
Spinometri (VEP, KVP).
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV menurun, KRF dan VR meningkat.
VEP, merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya dan perjalanan penyakit.
Uji bronkodilator
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1 (1,2,6).
b.Darah Rutin
Hb, Ht, Leukosit (1).
c.Gambaran Radiologis
Pada emfisema terlihat gambaran :
Diafragma letak rendah dan datar.
Ruang retrosternal melebar.
Gambaran vaskuler berkurang.
Jantung tampak sempit memanjang.
Pembuluh darah perifer mengecil (1,2,5,6).
d.Pemeriksaan Analisis Gas Darah
Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli (6).
e.Pemeriksaan EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
f.Pemeriksaan Enzimatik
Kadar alfa-1-antitripsin rendah.

B.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi :
1.Penatalaksanaan umum.
2.Pemberian obat-obatan.
3.Terapi oksigen.
4.Latihan fisik.
5.Rehabilitasi.
6.Fisioterapi.


1.Penatalaksanaan umum
Yang termasuk di sini adalah :
a.Pendidikan terhadap keluarga dan penderita
Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit. Ini perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan (9).
b.Menghindari rokok dan zat inhalasi
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari. Karena zat itu menimbulkan ekserbasi / memperburuk perjalanan penyakit (1,2,3,4,5,6,7,8,9,11).
c.Menghindari infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit. (1,8,9)

2.Pemberian obat-obatan.
a.Bronkodilator
1.Derivat Xantin
Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat dipertahankan pada kadar yang tinggi ex : teofilin, aminofilin (1,2,4,5,6,11).
2.Gol Agonis 2
Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi.
Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2 agonis adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol.


3.Antikolinergik
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi terhambat ex : Ipratropium bromida diberikan dalam bentuk inhalasi (8).
4.Kortikosteroid
Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan napas pada emfisema masih diperdebatkan. Pada sejumlah penderita mungkin memberi perbaikan. Pengobatan dihentikan bila tidak ada respon. Obat yang termasuk di dalamnya adalah : dexametason, prednison dan prednisolon (1,2,4,5,6,9,11).
b.Ekspectoran dan Mucolitik
Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi.
Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran aspas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans (2,9).
c.Antibiotik
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk. Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat adalah golongan Penisilin, eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan selama 7-10 hari. Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme (1,2,4,5,9,11).


3.Terapi oksigen
Pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg. Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja (1,2,5,9).
4.Latihan fisik
Hal ini dianjurkan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kapasitas latihan pada pasien yang sesak nafas berat. Sedikit perbaikan dapat ditunjukan tetapi pengobatan jenis ini membutuhkan staf dan waktu yang hanya cocok untuk sebagian kecil pasien. Latihan pernapasan sendiri tidak menunjukkan manfaat (5).
Latihan fisik yang biasa dilakukan :
Secara perlahan memutar kepala ke kanan dan ke kiri
Memutar badan ke kiri dan ke kanan diteruskan membungkuk ke depan lalu ke belakang
Memutar bahu ke depan dan ke belakang
Mengayun tangan ke depan dan ke belakang dan membungkuk
Gerakan tangan melingkar dan gerakan menekuk tangan
Latihan dilakukan 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu
Dapat juga dilakukan olah raga ringan naik turun tangga
Walking – joging ringan. (9)
5.Rehabilitasi
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam melakukan pekerjaan harus lambat tapi teratur (2,8,9).
6.Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah :
Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.
Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.
Mengurangi spasme otot leher (10).
Penerapan fisioterapi :
1.Postural Drainase :
Salah satu tehnik membersihkan jalan napas akibat akumulasi sekresi dengan cara penderita diatur dalam berbagai posisi untuk mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravitasi.
Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul dalam lobus paru, mengatasi gangguan pernapasan dan meningkatkan efisiensi mekanisme batuk (10).
2.Breathing Exercises :
Dimulai dengan menarik napas melalui hidung dengan mulut tertutup kemudian menghembuskan napas melalui bibir dengan mulut mencucu. Posisi yang dapat digunakan adalah tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki ditinggikan, duduk di kursi atau di tempat tidur dan berdiri.
Tujuannya untuk memperbaiki ventilasi alveoli, menurunkan pekerjaan pernapasan, meningkatkan efisiensi batuk, mengatur kecepatan pernapasan, mendapatkan relaksasi otot-otot dada dan bahu dalam sikap normal dan memelihara pergerakan dada.
3.Latihan Batuk :
Merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea, bronkioli dari sekret dan benda asing.
4.Latihan Relaksasi :
Secara individual penderita sering tampak cemas, takut karena sesat napas dan kemungkinan mati lemas. Dalam keadaan tersebut, maka latihan relaksasi merupakan usaha yang paling penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan.
Metode yang biasa digunakan adalah Yacobson.
Contohnya :
Penderita di tempatkan dalam ruangan yang hangat, segar dan bersih, kemudian penderita ditidurkan terlentang dengan kepala diberi bantal, lutut ditekuk dengan memberi bantal sebagai penyangga (10).
C.PROGNOSIS
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat.
Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan :
Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.
Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan meninggal.
DAFTAR PUSTAKA



1.Mangunnegoro H, PPOK Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta, 2001 Hal 1-24.

2.Soemantri S, Bronkhilis Kronik dan Emfisema Paru dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1990; Hal 754-61.

3.Anonim, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 3, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985 Hal 1239-41.

4.Rubin E.H, Rubin M, Diffuse Obstructive Emphysema in Thoracic Disease Emphasizing Cardiopulmonary Disease, W.B Saunders Company, London, 1961, page 398-432.

5.Surya.DA, Bronkhitis Kronik dan Empisema dalam : Manual Ilmu Penyakit Paru, Binarupa Aksara, Jakarta, 1990, Hal 221-25.

6.Empisema Paru dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Paru, Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo, Surabaya, 1994, Hal 91-93.

7.Ganong W.F, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta, 1998, Hal 673.

8.Darmono, Penyakit Paru Obstruktif Menahun dalam : Patogenesis dan Pengelolaan Menyeluruh, Badan Penerbit UNDIP, 1990, Hal 83-89.

9.Yunus F, Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi, Cermin Dunia Kedokteran, No. 114, Jakarta, 1997, Hal 28-31.

10.Suharto, Fisioterapi Pada Empisema, Cermin Dunia Kedokteran No. 128, Jakarta, 2000, Hal 22-24.

11.Saputra L, Terapi Mutakhir Penyakit Saluran Pernapasan, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997, Hal 250-57.

12.Boat. T.F, Emfisema and Full Air Fluid, In : Behrman R.E, et.al. (ed), 1993, Nelson Textbook of pediatrics, fourteenth edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia , page 1013-16.