Senin, 04 Maret 2013

Dr. dr. Basuki Supartono, SpOT, MARS

Dr. Basuki Supartono
Sederhana, luwes, bersahaja. Itu kesan banyak orang saat bertemu Dr. dr. Basuki Supartono, SpOT, MARS, di rumah sakitnya di Kramatjati, Jakarta Timur. Sesekali,  kelahiran Jakarta 22 Oktober 1961 ini bercerita tentang masa mudanya yang sedikit “nakal”. “Saya dulu aktivis tahun 1980-an. Sempat di cari-cari, sampai akhirnya kabur dari UI, kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya,” ujarnya. Ia tidak pernah menyangka akan menjadi dokter. “Hidup saya dinamis, apa yang ada saya jalani saja.”
Sejak kuliah di FK, kehidupannya berubah 180 derajat. Iia menjadi relijius dan gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. “Batin saya terpanggil untuk membantu sesama. Itu yang menggerakkan saya dan teman-teman mendirikan organisasi Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).”
Ia menjadi relawan Tim Kemanusiaan BSMI, dari 2003 hingga sekarang. Beberapa negara konflik seperti Irak, Libanon, Palestina, Gaza pernah ia sambangi  untuk memberi bantuan medis. Tak heran jika ia sering mendapat penghargaan, seperti Satya Lencana Kebaktian Sosial, dan Satya Lencana Karya Satya XX dari Presiden Republik Indonesia, dan beberapa penghargaan lain.
Jangan salah. Di balik prestasinya, ayah 5 anak ini punya hobi main futsal. “Saya berani diadu soal mengencoh bola. Tendangan kaki kiri saya mematikan loh,” ia tertawa. Ia biasa bermain futsal dengan sesama dokter, perawat, atau office boy. Ini merupakan upaya, untuk mendekatkan diri kepada karyawan. “Sudah bukan jamannya dokter dilayani dan disanjung. Seharusnya, dokter yang melayani,” imbuhnya.
Disertasi S3-nya mengenai stem sell, hasilnya sangat menggembirakan. Ia sudah mengaplikasikan pada seorang penderita diabetes, yang sudah divonis untuk melakukan amputasi. “Pasien itu, seorang ibu, orang tidak mampu; penjual nasi uduk,” jelasnya. Setelah menjalani terapi stem sell selama sekitar 2 bulan, ia sembuh dan tidak harus diamputasi. Berapa sebenarnya biaya untuk terapi stem sell di Indonesia? “Umumnya dokter membandrol Rp. 35-100 juta,” ujarnya. Di laboratorium limiknya, stem sell bisa didapat dengan harga Rp. 3 juta-an. “Kemarin itu saya dibayar dengan sebungkus nasi uduk. Dan saya senang.” (ant)