Kamis, 14 Oktober 2010

Senyum Bumi Kembali

taken from Teguh Afandi's notes on facebook..^^
Setelah dua tahun menikah. Akhirnya ada juga yang memanggilku ayah. Kalau orang bilang keluarga tidak sempurna tanpa ada si kecil. Sejak awal menikah dengan Malika istriku, sudah ku bilang. “Jangan pakai KB ya..?? Sudah rindu aku suara bayi dan bau ompolnya.” Dan untung saja istriku yang penyabarnya nomor satu itu, mengangguk manis setuju. Luar dalam aku mencoba menyiapkan semuanya. Setelah dua desember sejak akad aku sampaikan, Allah melahirkan Bumi. Anakku.

Aku sepakat dengan -meski sedikit memaksa- istriku memberi nama Bumi. Aku kadung suka dengan nama itu. susah payah aku yakinkan Malika menyingkirkan nama-nama islami, jawa, indonesia, atau bahkan barat. Dan hanya ku pilih Bumi. Aku ingin mencintai Bumi seperti aku mencitai bumi. Bumi yang menumbuhkan bulir rizki bagi petani, bagi Bapakku. Bumilah yang menyemai biji padi untuk siap dikebiri menjadi nasi kami. Kami- kedelapan anak bapakku- makan dan besar dari buahnya bumi. Mulai dari jagung, yang sesekali menjadi pengganti nasi saat musim kemarau panjang. Ubi, singkong dan jenis umbi lainnya kerap ibuku jadikan camilan pengganti krip- krip atau snack toko, yang hingga ngiler kami kepingin. Bumilah yang mengantarkan delapan anak bumi, menjadi ayah kembali. Seperti aku kini menjadi ayah Bumi.

Malika, istriku kesakitan menahan keluarnya jabang bayi yang sembilan bulan diperutnya. Bunyi sms ibuku membuatku langsung mengemasi kertas koreksi di kelas. Aku pulang sebelum bel pulang selesai. –Istrimu mau melahirkan. Ibu bawa ke rumah sakit- aku sepertinya lebih khawatir dari pada istriku. Ku naik motor dengan campuran semua perasaan, sedih, bahagia dan gelisah. Menjadi bubur tercampur satu. Ku genggam tangannya erat seperti saat pertama ku pinta ia menjadi istri. Setiap kali ia mengejan, ngilu menyatu dalam kedua belah pahaku. Ibuku dengan tegar meski sesekali mengusap air mata, mencoba menabahkan Malika. Dua jam bergumul dengan pesakitan, istriku lega setelah sebuah nyawa baru saja ia lahirkan. Nyawa yang akan menyumbang gas pemanas bumi dan menambah sesak kota tentunya.Terbata adzan dan iqomat, bergantian dari kuping kanan dan kiri. Mengawali kakinya melangkah mengaji. Mengubah nasib ayahnya yang buta akan akasara para nabi.

Malika bersikeras memberinya susu hingga Bumi, minimal enam bulan. “Mas, ini ASI ekslusif. Malika mau jadi ibu yang 100%”. Sejak itu Malika dengan teliti menjelaskan manfaat ASI bagi Bumi. Lelaki sepertiku pun seharusnya tahu, begitu Malika bilang. Teman- teman guruku sering berkelekar bertanya. Dengan bangga ku jawab:

“Malika menjaganya dengan sempurna. Malika memberinya ASI eksklusif”, seolah aku sudah paham betul. Aku ceramahi mereka dengan jengkalnya pengetahuanku dari Malika. Hingga aku oleh kawan- kawanku dijuluki duta ASI….. itu semua untukmu Bumi. Bumiku sayang, Ayah tak ingin kau malang seperti bumi sekarang.

Setiap malam, selepas aku menyujudkan kening. Bumi dan Malika, mengaji mentadaburi ayat suci. Aku membaca beberapa lembar juz amma yang lebih sering kubaca adalah huruf latinnya. Hatiku kagum dan bahagia, Bumi kecilku yang masih belia sudah fasih melafadzkan alif, ba, ta hingga ya dalam ayat quran. Malika dengan baju kurung lengkap dan alquran maharku, melantunkan gending paling mendamaikan itu. Suara Malika, yang selalu ku dengar dari lorong kelas kuliah. Membayangkan suara itu yang kelak akan menutup doaku dengan amiin merdunya.

Hanya Malika-gadis manis berbalut jilbab warna biru telur bebek- membuatku ingin segera bersanding suami istri. Wanita yang kucari tak perlu secantik selebriti, tak perlu semanis pelayan hotel, namun cukup mampu mengajari anakku membaca alquran. Sejak kecil aku tidak pernah belajar mengaji dari bapak dan ibuku. Anakku harus yang pertama mendapatkan ilmu dari ibunya. Ya Malika yang kupinang.
Malika istrikulah yang mengajari Bumi sembahyang. Menggajarinya membasuh kaki saat berwudhu. Menuntun telunjuknya mengacungkan esanya Tuhan kami. Bukan aku Ayahnya. Ayahnya hanya bisa manggut- manggut saat Bumi kecilku pamer doa barunya. Aku hanya sesekali mengajarinya membaca arti doanya. Sedalam apa doa itu masuk dalam dadanya.

“Ayah coba dengar Bumi berdoa Allahuma firli waliwalidayya warhamhuma kama robbayani shogiro”,
“Ya Allah, ampunilah dosaku dan doa Ayah Ibuku. Sayangilah mereka seperti mereka meyayangiku sewaktu kecil”, aku hanya bisa menimpalinya dengan arti yang ku tahu dari Malika. Bumi akan selalu mendoakan aku dan Malika, agar disayang Allah.

Bumi yang masih tiga tahun itu memohonkan ampun ayah dan ibunya. Aku dan semua anak Bapak minim sekali dengan doa- doa. Biarpun masjid tak terlalu jauh, dan madrasah diniyah ramai setiap sore hingga menjelang maghrib. Bapak tidak mau anaknya berlama- lama di sana. Lima sore seminggu kami mendapatkan les. Maklum kalau bertiga-kelima kakakku sudah keluar kota merantau kerja- les bersama akan lebih murah. Aku dan dua adik bungsuku les bahasa inggris, dan les macam- macam. Terlebih kalau masa ujian datang, dari pagi sampai petang kami didudukkan di ruang tengah menghadap soal dan buku dekstat. Ngaji kami hanya dua kali seminggu. Akibatnya kami ketinggalan dengan kawan sebayaku. Nilai mengajiku tak jauh- jauh dari enam. Aku tak ingin Bumi seperti aku, ayahnya.

Semua cintaku dan Malika, bertumpu pada Bumi. Saat ada training guru ke luar kota. Bumi kuajak bersama. Meski lebih sering Malika pun ada. Semarang dan indahnya kota lama. Salatiga hingga yang paling jauh adalah ke Jakarta. Saat ayahnya memenangkan lomba sastra guru. Malika dan Bumi bersama melihat bagaimana itu kota Jakarta. Kota yang menjadi primadona Indonesia. Banyak warga kompleksku yang mengadu nasib di Jakarta, mencari peluang mendapatkan rejeki. Semua kakakku dulu sering sekali merantau ke Batavia ini. Bumi dan Malika tidur di hotel. Meski kata peserta lain ini hanya hotel biasa, bukan istimewa. Bagi kami, terlebih aku yang seumur- umur baru sekali lewat lobi hotel. Ini adalah hal yang hebat. Bumi kecilku yang berumur 4 tahun, tak akan minder kelak waktu besar. “Kami sekeluarga pernah tidur di hotel”.

Kini Bumi sudah enam tahun. Masih taman kanak- kanak memang. Namun sudah banyak yang ia bisa. Mengajinya sudah lancar. Bahkan Malika mengajarinya menghafal alquran. Surat- surat pendek ia kuasai. Membaca beberapa buku anak- anak. Aku sering membelikannya majalah anak- anak, cerita dongeng dan beberapa kisah Nabi. Bumi suka membacanya sendiri. Aku dan Malika beberapa kali mendongengkannya untuk Bumi.

“Mas, gimana?”, Malika bertanya. Sejak seminggu lalu Bumi membuat kami bingung.
“Malika, jangan dituruti Bumi kali ini”. Bumi minta dibelikan tut-tut… Bumi menyebut hape dengan tut..tut.. Dia ingin seperti teman sebayanya yang asyik memainkan kamera dan game di hape.
“Tapi, Mas… Bumi kan belum paham alasan kita”

Aku sendiri tidak ingin Bumi sedih, karena merasa tersisih dari kawan- kawan berhapenya. Ayahnya yang sejak kecil menjadi orang terakhir sejak kecil. Untuk beli jam tangan saja harus nunggu setahun, dan model itu sudah tak layak pakai kembali. Pengen kaos ska, yang trend masa itu harus menelan ludah saat semua sebaya sudah mulai beralih ke model selanjutnya. Aku tak ingin Bumi menjadi orang yang kesekian. Bumi harus mendapat hak kebahagiannya, agar semua selesai dengan bahagia.

Hatiku tak boleh berbohong. Matahari beriringan bulan setiap hari. Detik berimpit menjadi menit. Menit berkawan jam. Jam-jam kantor tak mau kendor. Semua berjalan seyogyanya. Dan aku, ayah Bumi, istri Malika, seorang guru SMA saja tak mau kotoran masuk dalam pikiran anakku. Kalau Malika kata “Kita harus melindungi keluarga dan diri kita dari api neraka”.

Aku tak apa dengan harga hape. Gajiku sebulan sudah cukup makan, belanja, beli baju, dan investasi. Sejak aturan tentang guru berubah beberapa tahun lalu, gajiku bertambah sekian rupiah. Belum lagi Malika, yang menjadi teller bank. Kami cukup. Untuk sekedar membeli hape untuk Bumi yang ada musik, kamera dan game. Itu mudah sekali. Selesai dari sekolah, aku mampir di toko hape, kupilih, ku berikan uangnya dan Bumi kembali tersenyum.

Bukan itu!!!

Takut Bumi menjadi korban teknologi. Aku takut Bumi korban pornografi yang marak lewat hape. Usia dan agamanya tak cukup menjadi pembela. Dia masih belia, balighpun belum sampai. Aku tak mau Bumiku hancur sebelum ia dewasa berfikirnya. Bumiku tak boleh kena kotornya teknologi. Biarlah bumi yang kuinjak setiap hari yang kotor, namun Bumi anakku dari Malika harus steril dari itu semua. Aku yang akan menjaganya hingga dirinya sendiri mampu berdiri di atas bumi. Malika setuju dengan itu, dasar agama dan moral menjadi hal yang utama bagi kami berdua. Dan Bumi kecilku, harus tetap tersenyum seperti sinar mentari ke bumi saban hari.

Mendung menggantung diatas taman kota. Ada kejutan untuk Bumi. Semua akan selesai hari ini. Bumi harus segera tersenyum. Malika sudah protes. “Belikan saja Mas. Bumi ngambek nggak mau belajar”.

“Bumi, bahagialah kau dengan ini”, Bumi hanya kubelikan game watch. Pengganti hape yang ia ingini.
Derit pintu dibuka bersuara. Malika dengan jilbab biru melilit disanggul kepalanya, mengucap salam. Bumi menghampiri Malika, “Mama, Bumi sudah punya tut-tut untuk main game”

“Mama lihat sini”, Malika lega setelah kode kedipan dan anggukan aku lempar ke Malika.
“Wah hebat… “

Bumi kembali tersenyum gembira. Maafkan ayah Bumi. Kelak kau akan paham semua ini. Bumi ayah ingiin kau tetap tersenyum. Senyum bersih tanpa dosa.

“Mas Fajar, sudah mau hujan. Lihat Langit tidak??”, Malika gadis yang belum sama sekali menjadi istriku mengagetkan lamunanku menulis cerita ini.
Ku tengak tengok kanan- kiri dan Langit-adik Malika- sibuk memainkan tut-tutnya untuk main game sumo. Aku tetap sayang bumi.
Gunung Batin, Oktober 2010
***
Terinspirasi dari note : Fajar Sofyantoro “Iseng tentang nama” di FB.