Rabu, 24 Juni 2009

Notulen Workshop Pemetaan Kebutuhan Peraturan RKE

Menuju terbentuknya dasar hukum RKE: hasil diskusi RKE di UC UGM
By Anis Fuad Sun at 3:18am

Sabtu (13 Juni 2009), saya mengikuti diskusi di UC (University Club) UGM tentang rekam kesehatan elektronik (RKE). Diskusi ini sebenarnya merupakan sambuangan dari seminar RKE yang paginya diselenggarakan oleh D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan FMIPA UGM (bener ya…tahun ini berubah jadi bagian sekolah vokasi UGM?). Diskusi ini dipandu oleh dr. Tridjoko Hadianto (FK UGM) yang menyampaikan tujuan utama diskusi ini adalah untuk menerima masukan, saran, pandangan, pendapat dan pengalaman tentang RKE agar dapat dijadikan sebagai masukan pemerintah (Depkes) untuk merumuskan peraturan mengenai RKE. Diskusi dimulai dengan cetusan dari Prof Budi Sampurna (Ka. Biro Hukum dan Organisasi Depkes) tentang bermunculannya pertanyaan dari beberapa rumah sakit mengenai keabsahan rekam kesehatan elektronik. Bahkan ada rumah sakit yang mengajukan surat tertulis ke Menteri Kesehatan karena mereka berencana mengembangkan RKE.

Menurut Prof. Budi, Depkes memerlukan masukan tentang norma apa saja yang perlu dielaborasi lebih rinci menjadi dasar untuk membuat peraturan mengenai rekam kesehatan elektronik. Diharapkan setelah pertemuan tersebut, Depkes akan mencoba membuat norma dan kemudian akan mengundang para peserta untuk pertemuan tahap berikutnya. Selanjutnya akan dibuat norma (bukan norma penyanyi itu ya…) rekam kesehatan elektronik yang selama ini belum ada dasar regulasinya secara khusus meskipun Permenkes 269/2008 tentang rekam medis menyebutkan bahwa rekam medis pun dapat berupa rekam medis elektronik.

Selanjut Dr. Gemala Hatta menekankan pentingnya penguatan kondisi di lapangan selain aspek legal mengenai RKE. Contohnya adalah peran SDM sebagai syarat implementasi RKE. SDM (tidak hanya tenaga rekam medis dan TI, tetapi juga dokter, dokter gigi, perawat, bidan maupun tenaga medis lainnya yang berkepentingan RKE) harus memiliki kompetensi untuk mengelola RKE. Kompetensi mereka tentu saja tidak lepas dari peran lembaga pendidikan untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang dapat melaksanakan RKE (mestinya, termasuk kurikulumnya ya, Bu…). Selain itu, Bu Gemala menekankan pentingnya untuk siapa peraturan ini dibuat? Tentu saja, peraturan tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian kepada masyarakat, pelaku di lapangan (berarti dapat menyentuh ahli TI serta vendor yang berkecimpung dalam produk RKE) serta organisasi kesehatan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan (biasanya, kalo saya lagi sharing tentang RKE saya selipkan slide yang menampilkan 3 jenis ‘aliran rekam medis’: time oriented, source oriented dan problem oriented. kemudian saya pancing diskusi tentang persamaan dan perbedaan ketiganya. dalam persamaan saya tambahkan…kesamaannya adalah sama-sama paperless, alias tidak diisi).

Tidak lupa, beliau juga berkisah mengenai perjuangan AS yang cukup panjang untuk memperjuangkan RKE di seluruh saryankes (iki istilah standar Depkes ya…sarana pelayanan kesehatan) yang sampai sekarang pun belum semuanya menerapkan RKE. Pak Obama konon memberikan stimulus finansial cukup besar untuk menerapkan RKE. Disana proses yang panjang di AS tidak lepas dari aspek teknis, standar yang dipergunakan (salah satunya misalnya standar pertukaran HL 7), kemanan dan privacynya sampai dengan aspek interoperabilitas RKE. Pada intinya, bu Gemala menekankan pentingnya aspek pembenahan di lapangan selain membuat peraturan RKE (bisa juga dilihat dari sudut pandang sebaliknya ya…ketersediaan peraturan untuk mendorong pembenahan di lapangan ya?).

Tanggapan selanjutnya dari mas Jason, perawat pionir dokumentasi asuhan keperawatan elektronik di RSUD Banyumas yang berbagi pengalaman.Secara nekat (mas Jason menyebutnya demikian) penggunaan teknologi informasi sudah berjalan untuk pencatatan asuhan keperawatan (lihat catatan saya tentang belajar informatika keperawatan di RSUD Banyumas) , tetapi untuk aspek medis meskipun sudah revisi ke-4 tetapi sampai sekarang belum diimplementasikan. Senada dengan pendapat bu Gemala, yang penting jalan dulu standar teknis RKE juga belum menjadi perhatian utama, meskipun dari segi kemanan sudah cukup yakin.

Kepala bagian rekam medis Di RSUP Dr. Sardjito (dr. Endang) bercerita tentang kondisi rekam medis di Sardjito yang menurutnya mungkin belum bisa dikategorikan sebagai RKE tetapi sudah menggunakan database elektronik untuk memasukkan dan menyimpan data demografis dan morbiditas pasien, untuk tujuan pelaporan rutin dan non rutin, penelitian (yang ini nanti tetap harus membuka data rekam medis manual) serta klaim asuransi. Pihak manajemen melakukan KSO (kerjasama operasional) dengan pihak eksternal karena tenaga internal TI baru 10 orang. Saat ini baru merencanakan membuat pilot proyek di Obsgin dan Kulit Kelamin, karena kedua bagian tersebut memiliki keinginan kuat membangun RKE. Direksi akan memfasilitasi karena masih belum adanya kepahaman pandangan antara dokter dengan pihak pengembang. Dokter juga masih khawatir terhadap aspek kerahasiaan dan keamanan data. Selain itu juga masih mempertanyakan tentang tentang pemilik hak paten (tepatnya mungkin HAKInya ya Bu?) mengenai model aplikasi RKE tersebut jika dibuat bersama-sama dengan mitra vendor. Bulan Oktober 2009 diharapkan dapat diimplementasikan pada kedua bagian tersebut. Pada tahun 2011 diharapkan sudah bisa jalan untuk (semoga) semua rawat inap.

Peserta diskusi lainnya adalah wakil dari Puskesmas Purworejo (dokter siapa ya Bu…wah kemarin kok tidak kenalan satu persatu ya…) Beliau menjelaskan dari awal tentang kondisi di kabupaten Purworejo terdapat 27 puskesmas dan 20 diantaranya sudah menjalankan RKE dengan kondisi adopsi yang bervariasi. Mereka menggunakan SIK yang didukung dengan jaringan real time dari puskesmas ke dinas kesehatan. Rata-rata setiap puskesmas memiliki 4 komputer yang tersambung dalam LAN, di puskesmas tersebut malah terdapat 7 komputer yang tergabung dalam jaringan LAN. Setiap puskesmas tidak memiliki petugas khusus TI karena prinsipnya setiap puskesmas harus bisa menggunakan aplikasi tersebut. Di puskesmas tersebut dengan kunjungan 2400 per bulan, jika satu hari saja SIK error akan merepotkan karena beban tugas hari berikutnya untuk entry data bertambah banyak. Mereka mencoba berusaha untuk meninggalkan kertas sama sekali, tetapi masih khawatir karena pasokan listrik. Kalau sedang lancar2 saja kita sudah paperless, sehingga kalau ke apotik data obat sudah tersedia di sana. Memang yang enak adalah di pendaftaran juga memudahkan daripada mencari di family folder. Tetapi, karena sudah telanjur enak, jika ada gangguan listrik memang menjadi kelimpungan.

Saat ini di setiap ruang pengobatan, pelayanan paling tidak memerlukan bantuan 2 orang, yang pertama adalah dokter yang memeriksa pasien dan membuat terapi. Satu lagi adalah perawat yang selain membantu proses alur pasien, asuhan keperawatan juga bertugas sebagai operator. Keuntungan yang lain ada menghindari salah baca. Dulu orang nulis seenaknya, sekarang data tertulis dengan baik. Selain itu juga ada masalah yang berkaitan dengan daftar obat yang tertulis di aplikasi (generiknya) sedangkan petugas asisten apoteker kesulitan jika aplikasinya berbeda (ini berkaitan dengan persoalan human computer interface, ya….).

Dari Yogya, wakil dari Dinkes Provinsi DIY menyampaikan pengalaman implementasi proyek IHIS (Integrated Health Information System, bantuan loan Bank Dunia) yang telah membuat aplikasi berbasis komputer untuk puskesmas dan rumah sakit. Beberapa puskesmas telah menggunakan selain rumah sakit (RSUD Sleman, RSUD Kota, RSUD Wonosari dan PKU). Sebenarnya hampir sama dengan Sardjito karena baru mencatat data demografis, morbiditas umum serta transaksi yang sebenarnya untuk tujuan billing system. Di PKU pada awalnya lancar kemudian akhirnya lelet. Di Wonosari, karena pada waktu pelatihan awal pesertanya masih non PNS, setelah diangkat PNS pindah akibatnya implementasi macet. Dinas kesehatan provinsi menerima laporan dari 30-an rumah sakit yang mengirimkan data laporan rutin rumah sakit setiap tiga bulan sekali. Data RL 1-6 tersebut diterima secara manual dan diolah di Dinkesprov ke dalam database elektronik. Saat ini sedang dikaji tentang isi database tersebut untuk didiskusikan lagi lebih lanjut mekanisme yang lebih baik untuk memperbaiki kualitas pelaporan rutin rumah sakit.

Berbagai masukan tersebut dipetakan oleh dr. Rano dengan diagram mindmapping tentang kondisi RKE saat ini. Banyak cabang diagram yang sudah dituliskan oleh mas Rano (wis mas…pake diagram ini…pedoman RKEnya udah jadi he..he..he..) yang meliputi fitur dasar (OS, smart internal check, downtime, idle time, hak akses), fitur penunjang (pengisian lengkap dan akurat, Clinical reminder & alert.
Clinical management & DSS, Related data & knowledge based), terminologi dan kodefikasi (ada kepmenkes 844/2006), format data (terkait dengan berbagai bentuk data medis serta format data yang bermacam-macam maupun medianya), komunikasi data (dari komunikasi internal berbasis LAN sampai dengan luar organisasi pake Internet, SMS, MMS), medikolegal (anonimitas keamanan, privacy, confidentiality), prinsip pengembangan (outsourcing, inhouse development atau beli paket, perjanjian dan kewenangan dalam kemitraan dengan pihak ketiga), perekaman dan penyimpanan data (retensi dan pemusnahan bagaimana), penyajian, sistem keamanan data (backup, orginalitas, rekam jejak sampai dengan penanggung jawab jika sistem bermasalah).

Sehingga berdasarkan kajian tersebut di atas, definisi rekam kesehatan elektronik juga harus jelas apa batasannya, apakah baru rekam medis terotomasi, rekam medis terkomputerisasi (biasanya discan digital), rekam medis elektronik, rekam pasien elektronik atau sudah sampai kasta tertinggi rekam kesehatan elektronik (RKE). Hal ini menyangkut aspek internal organisasi dan keterkaitan dengan pengguna. Selain itu, juga kemampuan dan kondisi pengguna di lapangan. Pengertian klasifikasi tadi memang bersumber dari referensi di luar negeri. Di Indonesia kita tercinta, pengalaman lapangan menunjukkan variasi yang di tingkat paling bawah pun sangat beragam. Ada yang sudah menggunakan komputer, standalone utk menyimpan data pasien dengan isian data juga bervariasi. Ada yang sudah realtime multi user dengan LAN. Puskesmas, rumah sakit, klinik dan balai pengobatan pun juga dapat memiliki RKE dengan kondisi yang berbeda-beda.

Jika rumah sakit pendidikan, mestinya keinginan pengembangan lebih kuat daripada rumah sakit non pendidikan. Beberapa pengalaman di luar negeri menunjukkan bahwa keberhasilan RKE diantaranya karena sistem kesehatan memang sangat berbeda, dokter digaji tinggi, kalau tidak mengisi discharge summary tidak digaji, infrastruktur tidak bermasalah, pasien mungkin lebih sedikit. Sementara di tempat kita secara umum pasien banyak, waktu kerja sedikit, tenaga kesehatan terbatas, pasokan listrik tidak menentu, vendornya juga belum tahu. Jika disediakan aplikasi yang canggih, beban entrynya banyak, malah tidak terisi. Memang, tentu saja ada sebagian rumah sakit kita sudah seperti di luar negeri bahkan ada rumah sakit swasta yang vendornya pun juga dari luar negeri.

Sifat kontemporer TI juga perlu diperhatikan. Data medis pun sekarang banyak didukung oleh foto fisik selain foto yang berasal dari alat medis. Nah, fitur teknis tersebut wewenang siapa? Depkes atau Kominfo? Apakah Permenkes sampai detail seperti itu? Permenkes perlu sampai cukup detil seperti itu?

dr. Kinik dari RSUD Sragen menyampaikan pengalaman menarik tentang rumah sakitnya yang masih ragu-ragu menerapkan RKE tetapi malah sudah implementasi telemedicine. Menurut beliau, yang penting rumah sakit berharap agar tersedia peraturan untuk mendorong penggunaan RKE, termasuk yang tahap awal sekalipun. Kalau perlu dijelaskan proses pengembangan dan tahapannya. Sehingga rumah sakit dapat menyesuaikan dengan kemampuan mereka (SDM, finansial, infrastruktur) untuk mengikuti tahapan tersebut. Peraturan tersebut juga diharapkan dapat memicu praktek pribadi tentang sejauh mana RKE bisa diterapkan untuk praktek pribadi. Secara teknis, jika pemerintah memiliki model aplikasi juga menarik untuk dijadikan acuan. Juga diusulkan tentang sistem keamanan yang saat ini masih berorientasi kepada provider sebaiknya dilengkapi dengan sistem autentikasi dari kedua belah pihak (bagaimana jika pasien meninggal, ya gak usah diautentikasi, gampang wae to…). Nanti bisa mencegah kenakalan dokter/pelayanan medis. Intinya, suara dari bawah menginginkan landasan hukum tentang pembolehan dan standarnya seperti apa, dan tidak menakut-nakuti (apalagi pake ancaman pidana ya mas…). Perkara yang ideal akan terwujud 10 tahun lagi itu isyu lain lagi. Jika perlu bisa RKE dapat diperbolehkan diakses secara remote dan mobile. Untuk kepentingan distrik, jika perlu data individual bisa diakses meskipun data individu sudah dihilangkan. Di Sragen, wacana KTP dengan smart card yang dapat menyimpan data historis rekam medis beberapa kunjungan terakhir sedang diwacanakan.

Tentang perundangan, berbagai aspek hukum yang perlu diperhatikan diantaranya adalah:
UU 23 2006: Administrasi Kependudukan
UU 11 2008: ITE
UU 14 2008: Keterbukaan Informasi Publik
UU 29 2004: Praktek Kedokteran
Kepmenkes 269/2008: Rekam medis
Kepmenkes 844/2006: Kodefikasi data
ada juga UU kesehatan, Kepmenkes tentang standar profesi rekam medis dan beberapa lagi lainnya…

Akhirnya prof Budi menyampaikan bahwa payung hukum tentang RKE perlu. Tentu saja yang diinginkan adalah peraturan yang tidak akan membuat hukuman, tetapi justru mendorong penggunaannya. Isu mengenai registrasi, sertifikasi dan akreditas mengenai RKE penting dan ini harus dieleborasi lebih rinci lagi agar bisa dibuat norma hukumnya.

(wah menarik diskusinya…..banyak lagi yang perlu di PR-kan…kurikulum, detil masing-masing komponen…diskusi lagi..pembahasan..diskusi lagi…implementasi…)

Tulisan yang sama juga dimuat disini