Sabtu, 19 November 2011

Wawancara dengan KPS Ilmu Bedah FKUI Periode Mei 2003 – Mei 2011 (dr. Amir Thajeb, Sp.B, SpBA)


Wawancara dengan KPS Ilmu Bedah FKUI Periode Mei 2003 – Mei 2011
(dr. Amir Thajeb, Sp.B, SpBA)

Departemen Ilmu Bedah periode Mei 2003 sampai dengan Mei 2011 dikepalai oleh seorang dokter spesialis bedah anak. Sosok mungil yang ramah dan energik ini bernama Amir Thajeb. Terjun ke dunia kedokteran sejak tahun 1965 saat sedang maraknya pemberontakan G30S/PKI di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan menjadi dokter umum 6 tahun kemudian (1971 – alias ALTUS). Semenjak kuliah, beliau sudah aktif di bidang koordinator pendidikan (KODIK) dan direkrut sebagai staf di jajaran departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM sejak tahun 1973. Beliau sangat tertarik untuk memperbaiki sistem pendidikan di tempatnya bekerja.
            Suami dari seorang ibu rumah tangga dan ayah dari 2 orang putri dan 1 orang putra, menyelesaikan pendidikan spesialis bedahnya di fakultas yang sama pada tahun 1978 dan kemudian menjadi spesialis bedah anak pada tahun 1981 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sempat mengenyam pendidikan di Paris. Berbekal pengalamannya disanalah, beliau bertekad untuk menjadikan almamaternya tempat pendidikan dan pelayanan RS yang lebih baik.
            Perjalanan kariernya di bagian struktural di FKUI/RSCM bukan tanpa perjuangan. Berikut ini adalah sedikit wawancara kami dengan beliau di ruang kerjanya di Kantor Divisi Bedah Anak.

Siang dok, terima kasih sebelumnya atas kesempatan yang diberikan. Kami dari tim blog generalsurgeryfkui, hendak melakukan sedikit wacwancara tentang sepak terjang dokter saat menjabat sebagai KPS Ilmu Bedah FKUI/RSCM.

Apa pengalaman dokter yang paling berkesan saat jadi PPDS ?
Pengalaman yang berkesan adalah ketika mendapat giliran jaga selang sehari (jaga seperti papan catur). Dimana selain kita dituntut untuk tetang siap dan sigap, tetap harus melayani pasien dan tetap belajar, padalah kita saat itu sangat kurang istirahat. Dulu PPDS masih sedikit sehingga satu orang giliran jaganya cukup banyak.
Dulu sistemnya berdasarkan kelas I, II, dan III yang jaga di rumah sakit, sedangkan kelas IV (chief) jaga di rumah (sistem on call).

Pengalaman berkesan saat sudah menjadi dokter spesialis ?
Saat mengikuti pendidikan lanjutan bedah anak juga di Paris (tahun 1970an). Melihat begitu banyak perbedaan dengan yang ada di sini. Di sana semua pemeriksaan dan terapi bisa dilaksanakan sesuai dengan apa yang kita dapat di text book. Tidak seperti disini, banyak yang dimodifikasi. Banyak hal yang dipikirkan untuk meminta pemeriksaan pada pasien, salah satunya dalam hal bidang ekonomi.

Bagaimana awal terlibatnya dokter di bidang struktural ?
Yaitu saat kuliah, saya terlibat kegiatan di bagian KODIK, yang kemudian apa yang saya tekuni menjadi cikal bakal panduan modul bagi PPDS sekarang, walaupun untuk panduan modul yang ada saat ini sudah mengalami beberapa perubahan. Setelah lulus spesialis, saya langsung ditarik jadi bagian staf, dan dari situlah saya mendalami bidang pendidikan dan kurikulum PPDS. Dengan modul yang ada, maka outcome PPDS darimana pun akan sama dalam hal menindaki kasus tertentu dimanapun PPDS tersebut di tempatkan.

Mengapa tertarik menjadi KPS Ilmu Bedah ?
Setelah melihat keadaan di luar negeri, ingin juga melihat bagian bedah kita secara khusus dan rumah sakit kita secara umum menjadi yang lebih baik. Walaupun selama perjalanannya banyak menemukan hambatan terutama di bidang administrasi. Kadang apa yang kita ajukan untuk kebaikan departemen, kadang tidak ditanggapi oleh pihak atasan.




Apa visi dan misi dokter saat menjadi KPS ?
Saya sebenarnya hanya meneruskan apa yang telah dijalankan oleh pendahulu saya sebelumnya. Mereka orang-orang yang hebat dan rencananya bagus maka apa yang bisa saya tingkatkan, ya ditingkatkan dengan melanjutkan program sebelumnya.Menjalankan pendidikan lebih teratur dengan sistem pencatatan yang lebih baik. (Usaha untuk mencapai visi ini sudah dirintis sejak beliau menjabat sebagai Kodik S1, berlanjut saat menjadi Sekretaris Program Studi-SPS dan akhirnya menjadi Kepala Program Studi-KPS). Hal tersebut dilakukan dengan mulai menerapkan sistem log book yang isinya diadopsi dari modul-modul dalam KIPDI.

Suka duka menjadi KPS Ilmu Bedah ?
Cape hati dan fisik mengurusi studi PPDS sebagai persyaratan kelulusan yang kadang-kadang justru PPDS-nya sendiri tidak peduli dengan hal ini. Misalnya sudah 2 tahun, penelitiannya tidakkunjung rampung.

Apa program yang belum tercapai saat menjadi KPS ?
Menjalin kerja sama dengan rumah sakit jejaring untuk dijadikan rumah sakit pendidikan juga sehingga kita bisa menitipkan PPDS mulai dari kelas 1.
Mengingat jumlah peserta PPDS makin banyak dan jumlah pasien di RSCM makin berkurang, dikhawatirkan lulusan PPDS Ilmu Bedah FKUI kurang terasah keterampilannya. Rencananya akan ada 4 rumah sakit mitra, yang kalau bisa akan dijadikan rumah sakit pendidikan (RSU Tangerang, RSU Karawang, RSGS, dan RS Fatmawati).

Bagaimana tanggapan Dokter sehubungan adanya anggapan bahwa peserta PPDS Ilmu Bedah FKUI tidak mempunyai bapak?
Hal itu akan dibenahi. Jika melihat peserta PPDS sub divisi atau departemen lain, misalnya punya ruangan sendiri untuk sekedar berisitirahat, beliau sudah meminta kepada Kepala Departemen Ilmu Bedah FKUI agar peserta PPDS Ilmu Bedah juga diberikan ruangan khusus, yang bisa dipakai untuk istirahat, mengetik, membaca.
Beliau juga mengusulkan agar peserta PPDS yang dinilai berprestasi dapat dikirim ke luar negeri agar bisa memperoleh wawasan baru.

Apa harapan dokter dengan Kadep yang baru ini ?
Kadep baru (dr.Fathema,SpBTKV) adalah orang yang tegas. Saya berharap baik dengan hadirnya beliau sebagai Kadep. Bidang pendidikan membutuhkan orang-orang seperti beliau.

Pesan-pesan untuk peserta PPDS Ilmu Bedah ?
Beliau berpesan kepada peserta PPDS agar jangan membuang-buang waktu selama pendidikan. Saat pertama mengetahui bahwa lama pendidikan PPDS Ilmu Bedah adalah sekitar 5 tahun, terkesan itu adalah waktu yang panjang. Namun ternyata setelah dijalani hari demi hari ditambah dengan banyaknya modul yang harus dicapai, waktu 5 tahun itu ternyata singkat. Sebagai ilustrasi, pada setiap kelas, seorang PPDS harus melewati rotasi pada 8 divisi, masing-masing selama 2 bulan. Dalam 1 rotasi, ada 5-6 modul yang harus dicapai. Nah, apakah 5-6 modul itu betul-betul dapat dikuasai dalam waktu sedemikian singkat, hal itu kembali pada masing-masing.
Batas maksimal lama pendidikan adalah n+1/2 n. Begitu melampaui batas tersebut, nama peserta PPDS akan secara otomatis terhapus dari database universitas.

Pesan beliau yang lain adalah jalani pendidikan dengan jujur. Lebih baik dianggap “bodoh” daripada dicap “tukang ngibul”, karena orang bodoh masih bisa diajarkan dan masih bisa berlatih supaya jadi lebih baik, sementara tukang bohong sulit diapa-apakan.


Pesan untuk blog general-surgery ?
Sudah cukup bagus, bisa ditambah dengan laporan kasus yang diangkat dalam laporan jaga dan sudah dibahas di divisi. Ini bisa menjadi satu pembelajaran buat kita.


*M-B-W-O-I-M*