Kamis, 17 Juli 2008

Koma Hepatikum

Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa ; sedangkan dalam proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus. Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum (Akil., 1998).

Koma hepatikum dalam khasanah ilmu kedokteran disebut ensefalopita atau hepatic encephalopathy. Ada 2 jenis enselafalopati hepatik berdasarkan ada tidaknya edema otak, yaitu Portal Systemic Encephalopathy (PSE) dan Acute Liver Failure (Hardjosastro., 2002).
Ensefalopati Hepatik (EH) merupakan salah satu penyulit sirosis hepatis akibat pintasan partosismatik yang terjadi karena hipertensi portal. Ensefalopati portal sistemik kronik ini ditandai oleh kelainan psikiatrik dan neurologik yang dapat berkembang dari gangguan mental ringan sampai koma hepatic (Akil., 1998).
Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan elektro ensefalografi (Blei., 1999).
Enselafalopati Hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada penyakit hati. Definisi tersebut menyiratkn bahwa spektrum klinis (EH) sangat luas, karena di dalamnya juga termauk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium Ensefalopati Hepatik Subklinis (EHS) (Budihusodo., 2001).
Pasien sirosis hati yang telah dapat diatasi keadaan EH akutnya, berada dalam keadaan EH kronik, yang setiap saat dapat kembali mengalami episode akut apabila terdapat faktor seperti infeksi, pendarahan gastrointestinal dan asupan protein diet berlebihan (Budihusodo., 2001).
Pengobatan dini EH meliputi setiap upaya terapeutik yang dilakukan pada RHS ataupun pada EH kronik, untuk mencegah terjadinya serangan EH akut. Karena terjadinya episode EH akut biasanya didahului oleh keadaan dekompensasi (fungsi) hati, pengobatan ini juga dapat bermakna mempertahankan “keadaan kompensasi selama mungkin”. Dengan tercapainya kompensasi, berarti secara subjektif pasien memperoleh kualitas hidup yang lebih baik (sympton-free) (Budihusodo., 2001).
Beberapa sarjana menyebutkan ensefalopati hepatic dengan istilah koma hepatikum. Karena manifestasinya tidak selalu dalam bentuk koma, melainkan terdiri atas beberapa tingkat perubahan kesadaran maka untuk selanjutnya dipakai istilah ensefalopati hepatic.
Istilah lain adalah “Porto-System Enchephalopathy” (PSE), tidak banyak dipakai lagi oleh karena ternyata EH dapat terjadi tanpa kolateral porto-sistemik (Gitlin., 1996).
Meskipun patogenesis yang tepat tentang terjadinya EH belum diketahui sepenuhnya, namun hipotesa-hipotesa yang ada menekankan peranan dari sel-sel parenkim hati yang rusak dengan atau tanpa adanya by pass sehingga bahan-bahan yang diduga toksis terhadap otak tidak dapat dimetabolisir seperti : ammonia, merkaptan, dan lain-lain dapat menumpuk dan mencapai otak. Faktor lain adalah terjadinya perubahan pada neutransmitter, gangguan keseimbangan Asam Amino Aromatik (AAA) dan Asam Amino Rantai Cabang (AARC) yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Selain itu perlu disimak perubahan yang terjadi pada otak misalnya edema dan peningkatan tekanan intra kranial, serta perubahan-perubahan pada Astrosit terutama terjadi pada EH akut (Fulminant Hepatic Failure). Hal – hal tersebut perlu dicermati agar pengelolaan penderita-penderita EH lebih terarah dengan hasil optimal (Blei., 1999).
A. Definisi
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin., 2001).
Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Stein 2001).
Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).

B. Klasifikasi
Klasifikasi EH yang banyak dianut adalah :
1. Menurut cara terjadinya
a. EH tipe akut :
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati.
b. EH tipe kronik :
Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah EH yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-angsur makin berat.
2. Menurut faktor etiologinya
a. EH primer / Endogen
Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat.
b. EH Sekunder / Eksogen
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah:
1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah :
o Dehidrasi / hipovolemia
o Parasintesis abdomen
o Diuresis berlebihan
2. Pendarahan gastrointestinal
3. Operasi besar
4. Infeksi berat
5. Intake protein berlebihan
6. Konstipasi lama yang berlarut-larut
7. Obat – obat narkotik/ hipnotik
8. Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
9. Azotemia

C. Patogenesis
Belum ada patagonesis yang diterima untuk menjelaskan proses terjadinya EH. Beberapa hipotesis yang paling sering dijadikan acuan penatalaksanaan EH adalah (1) Hipotesis ammonia, (2) Hipotesis neurotoksi sinergis, (3) Hipotesis neurotransmitter palsu, (4) Hipotesis GABA / benzodiazepine (Budihusodo., 2002).
Sedangkan faktor-faktor yang sangat mungkin terlibat dalam terjadinya EH adalah :
1. Pengaruh neurotoksin endogen yang tidak cukup didetoksifisikasikan oleh hati sirotik.
2. Fungsi astroglia yang abnormal disertai gangguan sekunder fungsi neuron.
3. Kelainan permeablitas sawar darah-otak.
4. Perubahan neurotransmiter intraserebral beserta reseptornya.
Dalam arti yang sederhana, EH dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intosikiasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bilda terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (pataologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati (Price et al., 1995).
Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya EH tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati atau karena pirau (Price et al., 1995).
EH pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti : perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia (Abou-assi., 2001).
Hingga kini belum seluruhnya dapat dipahami patogenesis EH, namun pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penelitian terhadap penderita maupun dari binatang percobaan, telah mengungkapkan beberapa masalah penting tentang patogenesisnya. EH tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama (Blei., 1999).
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa E terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan tosik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier) pada penderita EH yang memudahkan masuknya bahan-bahan tosik tersebut ke dalam susunan saraf pusat.
Ketika pasien sirosis hati telah mengalami hipertensi portal, terbuka kemungkinan untuk terjadinya pintasan portosistemik, yang dapat berakibat masuknya neurotoksin yang berasal dari saluran cerna (merkaptan, amonia, mangan, dll) ke dalam sirkulasi sistemik. Pintasan portosistemik dapat juga terjadi akibat tindakan bedah anastomosis portokaval atau TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic stent shunt) yang dilakukan untuk mengatasi hipertensi portal. Neurotoksin yang dapat menembus sawar darah otak akan berakumulasi di otak dan menimbulkan gangguan pada metabolisme otak. Permeabilitas sawar darah - otak memang mengalami perubahan pada pasien sirosis hati dekompensasi, sehingga lebih mudah ditembus oleh metabolit seperti neurotoksin (Budihusodo., 2001).
Terdapat 5 proses yang terjadi di otak yang dianggap sebagai mekanisme terjadinya EH/koma hepatik, yaitu :
1. Peningkatan permeabilitas sawar otak (BBB).
2. Gangguan keseimbangan neurotransmitter
3. Perubahan (energi) metabolisme otak.
4. Gangguan fungsi membran neuron.
5. Peningkatan “endogenous Benzodiazepin“
Diduga toksin serebral berperan melalui satu atau lebih daripada mekanisme ini.
Patogenesis di atas merupakan konsep yang uniform, namun antara koma pada PSE dan FHF terdapat beberapa perbedaan-perbedaan. Misalnya pada PSE, toksin serebral tertimbun secara perlahan-lahan, apabila disertai faktor pencetus terjadinya koma. Sebaliknya pada EH/koma akibat FHF, karena proses begitu akut, maka faktor yang berperan adalah masuknya bahan toksis ke dalam otak secara tiba-tiba, menghilangnya bahan pelindung, perubahan permeablitas dan integrasi selular pembuluh darah otak serta edema serebral.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan :
1. Ammonia
Ammonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki. Zat ini berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung.
Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui.
 Penaruh langsung terhadap membran neuron
 Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
Peneliti lain mendapatkan bahwa kadar ammonia yang tinggi tidak seiring dengan beratnya kelainan rekaman EEG. Dilaporkan bahwa peran ammonia pada EH tidak berdiri sendiri. Tetapi bersama-sama zat lain seperti merkaptan dan asam lemak rantai pendek. Diduga kenaikan kadar ammonia pada EH hanya merupakan indikator non spesifik dari metabolisme otak yang terganggu (Blake A., 2003).
2. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan)
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap SSP. Metionin dalam usus mengalami metaolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersama-sama ammonia menyebabkan timbulnya koma (Blake A., 2003).
3. Gangguan keseimbangan asam amino
Asam Amino Aromatik ( AAA) meningkat pada EH karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan Asan Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik (Blake A., 2003)
AAA ini bersaing dengan AARC untuk melewati sawar otak, yang permeabilitasnya berubah pada EH. Termasuk AAA adalah metionin, fenilalanin, tirosin, sedangkan yang termasuk AARC adalah valin, leusin, dan isoleusin (Blake A., 2003)
4. Asam lemak rantai pendek
Pada EH terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab EH. Bahan-bahan ini bekerja dengan cara menekan sistem retikuler otak, menghemat detoksifikasi ammonia (Gitlin., 1996).
5. Neurotramsmitter palsu
Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. Neurotransmitter palsu merupakan inhibitor kompepetif dari true neurotrasmitter (dopamine dan norephinephrine) pada sinaps di ujung saraf, yang kadarnya menurun pada penderita PSE maupun FHF (Gitlin., 1996).
Penelitian menunjukkan bahwa GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut untuk keperluan (Gitlin., 1996).
6. Glukagon
Peningkatan AAA pada EH/ koma hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas Asam Amino Aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada penyakit hati terutama bila terdapat sirkulasi kolateral (Blake A., 2003).
7. Perubahan sawar darah otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permiabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli. Pada koma hepatikum khususnya FHF ditemukan kerusakan kapiler, rusaknya hubungan endotel, terjadi edema serebri sehingga bahan yang biasanya dikeluarkan dari otak akan masuk dengan mudah seperi fenilalanin dalam jumlah besar, sehingga kadar asam amino lainnnya meningkat di dalam otak (Gitlin., 1996).

D. Manifestasi klinik
Spektrum klinis EH sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga koma hepatik. Simpton yang acap kali dijumpai pada EH klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfasia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis EH biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif.
Manifestasi EH adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik EH sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis,serta kelainan EEG, manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium (Tabel.1). Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test). Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten (EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada EH klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati dengan hipertensi portal (Budihusodo., 2001).

E. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fisik dan laboratorium (Gitlin., 1996).
1. Anamnesis
→ Riwayat penyakit hati
→ Riwayat kemungkinan adanya faktor-faktor pencetus.
→ Adakah kelainan neuropsikiatri : perubahan tingkah laku, kepribadian, kecerdasan, kemampuan bicara dan sebagainya.
2. Pemeriksaan fisik
→ Tentukan tingkat kesadaran / tingkat ensefalopati.
→ Stigmata penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal).
→ Adanya kelainan neuroogik : inkoordinasi tremor, refleks patologi, kekakuan.
→ Kejang, disatria.
→ Gejala infeksi berat / septicemia.
→ Tanda-tanda dehidrasi.
→ Ada pendarahan gastrointestinal.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Hematologi
• Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit.
• Jika diperlukan : faal pembekuan darah.
b. Biokimia darah
• Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali.
• Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
• Kadar amonia darah.
• Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah.
c. Urin dan tinja rutin
4. Pemeriksaan lain (tidak rutin) (Stein., 2001).
a. EEG (Elektroensefaloram) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada sirosis.
b. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol).
c. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.



F. Pengelolaan
1. EH tipe akut
Pengelolaan baik tipe/endogen maupun tipe sekunder/eksogen, pada prinsipnya sama yaitu terdiri dari tindakan umum dan khusus. Bagi tipe sekunder/eksogen diperlukan pengelolaan faktor pencetusnya (Gitlin., 1996).
a. Tindakan umum
1. Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif nyang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley.
2. Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmunal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa.
3. Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental).
b. Tindakan khusus
1. Mengurangi pemasukan protein (Gitlin., 1996)
 Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
 Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/ hari).
2. Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism).
 Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan.
 Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari.
 Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4)
 Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV.
Rifaximin (derifat Rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif.
3. Obat-obatan lain
 Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC (Comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (Aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini.
 L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam.
 Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (Dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain : fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal.
 Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
 Obat-obatan dalam taraf eksperimental :
o Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis) dalam dosis 15 mg/hari dapat memberi perbaikan klinis, psikometrik dan EEG.
o Antagonis benzodiaepin reseptor (Flumazenil), memberi hasil memuaskan, terutama untuk stadium I-II.
4. Pengobatan radikal
Exchange tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion, transpalantasi hati (Gitlin., 1996).
c. Pengobatan radikal
1. Koreksi gangguan keseimbangan cairan, elekrtrolit, asam basa.
2. Penggulangan perdarahan saluran cerna
3. Atasi infeksi dengan antibiotika yang tepat dalam dosis adekuat.
4. Hentikan obat-obatan pencetus EH; obat-obatan hepatotoksik, diuretika atau yang menimbulkan konstipasi.
2. EH tipe Kronik
Prinsip-prinsip pengobatan EH tipe kronik (Blei., 1999).
a. Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg BB terutama protein nabati.
b. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10 cc/hari).
c. Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram / hari.
d. Bila timbul aksaserbasiakut, sama seperti EH tipe akut.
e. Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya.
f. Pembedahan elektif : colony by pasis, transplantasi hati, khususnya untuk EH kronik stadium III-IV.

G. Prognosis
Perbaikan atau kesembuhan sempurna dapat terjadi bila dilakukan pengeloaan yang cepat dan tepat. Prognosis penderita EH tergantung dari :
a. Penyakit hati yang mendasarinya.
b. Faktor-faktor pencetus
c. Usia, keadaan gizi.
d. Derajat kerusakan parenkim hati.
e. Kemampuan regenerasi hati.

DAFTAR PUSTAKA

Abou-Assi S, MD., 2001., Hepatic Encephalopathy., www.postgraduatemedicine.com.
Aklil H.A.M., 1998., Ilmu Penyakit Dalam ; Koma Hepatik., Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta.
Budihusodo U., 2001., Pengobatan Dini Ensefalopati Hepatikum., www.interna.or.id
Blake A jones, MD., 2003., Portal-Systemic Encephalopathy., www.e-medicine.com
Blei A.T., 1999., Oxford Textbook of Clinical Hepatology ; In Hepatic Encephalopathy., Oxford University Press., New York.
Corwin J.E., 2001., Buku Saku Patofisologi., EGC.
Gitlin N., 1996., Hepatology A Textbook of Liver Disease. In Hepatic Encephalopathy., B. Saunders Company. Philadelphia.
Hardjosastro D, Syam A.F., 2002., Nutrisi Pada Koma Hepatikum., www.interna.or.id
Haggerty M., 2002., Liver Encephalopathy., www.principalhealthnews.com.
Price A.S, Wilson M.L., 1995., Patofisiologi ; Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ; Hati Saluran Empedu, dan Pancreas., ECG.
Stein H.J., 2001., Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam., Ed lll., EGC.