Sabtu, 19 Januari 2008

Mengapa Tidak Mau Memberikan Imunisasi?

Seorang sejawat mengirimkan e-mail di bawah ini: “kalau bisa Anda buat tulisan tentang pentingnya imunisasi/vaksinasi karena sekarang mulai banyak keluarga muslim yang tidak mau anaknya divaksinasi dan lebih memilih "bahan-bahan" alternatif sperti beberapa merek yang sudah banyak bereder melalui sistem MLM di kalangan tertentu, walaupun saya tahu persis produk-produk tersebut belum ada penelitian Randomized Controlled Trials-nya. Ini potensi destruktifnya kan besar sekali untuk potensi generasi di masa yang akan datang.. Mereka bahkan sdh ada yg meminta utk diadakan semacam penyuluhan untuk menginformasikan tentang bahaya/tidak perlunya vaksinansi, di antara argumennya ialah bahwa vaksin itu buatan Yahudi/strategi Amerika utk meracuni anak-anak muslim...”

Baiklah kawan, saya coba memberikan pendapat saya. Sebuah buku yang (ternyata) ditulis oleh seorang dokter (si penulis tidak menyebutkan dengan tegas bahwa ia dokter, setelah menelusuri profilnya di internet baru saya tahu) memberikan keterangan seperti ini: “Vaksinasi bisa menghancurkan sistem kekebalan tubuh kita. Para ahli klinis yang meneliti penyakit sebelum dan sesudah vaksinasi menyimpulkan bahwa vaksin dapat melemahkan sistem imun. Akibat buruk suntikan vaksin bisa terus berlanjut. Dalam kasus-kasus tertentu yang buruk, suntikan vaksin itu malah bisa membunuh orang yang diberi suntikan. Beberapa ahli juga mengatakan kalau vaksin justru melemahkan upaya tubuh untuk bereaksi secara normal terhadap penyakit. Bahkan, ia berpotensi juga memunculkan penyakit autoimun. Terdapat beberapa penyakit autoimun, di antaranya: sindrom Guillain Barre, trombositopenia, dan artritis.” Padahal beberapa halaman sebelumnya penulis menyebutkan, “sistem imun adalah upaya silaturahmi yang bertugas untuk mengembangkan suatu pola interaksi yang sehat. Hal ini dapat diamati pada proses vaksinasi, yaitu pada saat sebagian eleman mikroba patogen (penyebab penyakit) yang telah dilemahkan atau bagian yang tidak berbahaya diperkenalkan ke dalam tubuh sebagai faktor “pengingat” bagi sistem imun”. Pernyataannya kontradiktif, di bagian akhir buku penulis mengajak pembaca untuk tidak memberikan imunisasi, tetapi di halaman pembuka, ia menjelaskan imunisasi memberikan pola interaksi yang sehat dalam tubuh. Anyway, saya setuju dengan 90% isi bukunya, hanya statement tentang imunisasi dan beberapa hal kecil lain saja yang saya tidak sepakat. Juga hal-hal yang disebut di atas seperti Guillain Barre syndrome, trombositopenia, dan artritis, disebut sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau post vaccination adverse event, yang relatif jarang terjadi, jarang sekali yang fatal, dan dijelaskan oleh dokter sebelum tindakan imunisasi dilakukan, sehingga mendapat persetujuan tindakan dari orangtua.

Bukan hal baru bagi dokter dan pasien, bahwa sebagian dokter tidak mau memberikan imunisasi bagi pasien-pasiennya. Ada yang tidak mau memberikan vaksin jenis tertentu saja, ada yang menunda memberikan vaksin tertentu sampai umur lewat dari usia yang direkomendasikan, dan ada yang tidak mau memberikan semua jenis vaksin. Padahal jelas sekali, di seluruh dunia vaksinasi/imunisasi telah terbukti mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi tertentu. Sebut saja cacar (variola, bukan cacar air atau varisela) yang telah musnah dari permukaan bumi sejak tahun 1970-an, padahal sebelumnya penyakit ini telah merenggut jutaan nyawa. Sebut lagi penyakit infeksi lain seperti cacar (measles) yang memiliki komplikasi meningitis (radang selaput otak) dan pneumonia (radang jaringan paru) yang mematikan. Juga ada difteri, pertusis, tetanus, polio, dan lain-lain—name it deh, semua vaksin yang ada—yang membuat kita hampir tidak pernah menemui kasus ini di keseharian. Padahal beberapa dekade silam ketakutan besar menimpa orangtua yang khawatir anaknya terkena penyakit-penyakit ini. Lalu mengapa dokter tidak memberikan?

Ada beberapa alasan dalam analisis pribadi saya. Pertama, sebuah isu massal menyebutkan bahwa vaksinasi adalah konspirasi Yahudi melemahkan daya tahan anak-anak berbagai umat. Toh sudah diberi vaksinasi campak, cacar air, BCG, masih bisa juga terkena campak, cacar air, dan tuberkulosis! Ya, tidak ada satupun vaksin memiliki efek protektif mencapai 100%. Semua dokter yang lulus dari fakultas kedokteran negeri ini juga tahu. Sebagai contoh, vaksinasi BCG memiliki efektivitas perlindungan terhadap TBC sebanyak 0 sampai 80%. Artinya, anak yang sudah diimunisasi BCG sangat mungkin terinfeksi TBC dan menjadi sakit di negara endemik TBC ini. Tetapi, BCG terbukti sangat efektif mencegah komplikasi TBC seperti TB milier dan meningitis TB. Vaksin-vaksin lain seperti DPT, Hepatitis B, campak, dsb memiliki angka efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan BCG. Bayangkan saja kalau tidak ada vaksinasi campak. Padahal Depkes mencatat 30 ribu anak Indonesia meninggal per tahunnya akibat komplikasi campak (pneumonia, meningitis). Sampai-sampai diadakan PIN Campak bulan Februari tahun lalu di Jakarta. Vaksinasi campak jauh mengurangi angka kesakitan dan kematian ini.

Banyak orangtua juga membuktikan anak-anak mereka tidak ada satupun yang sakit-sakitan, dan selalu sehat, padahal tidak ada yang diimunisasi barang seorang pun. Hal ini tentunya sangat mungkin. Dalam konsep epidemiologi klinik, satu anak yang tidak diimunisasi polio misalnya, tapi ia adalah carrier (pembawa) virus polio, dapat menginfeksi seluruh anak lain yang berada di lingkungannya yang tidak mendapatkan imunisasi polio. Ini adalah hipotesis terjadinya heboh polio di Sukabumi tahun 2003 silam. Makanya seluruh anak dalam satu komunitas harus divaksinasi, tanpa kecuali.

Alasan kedua, di dalam vaksin juga disinyalir terdapat zat-zat haram, seperti babi, janin manusia yang diaborsi, dll. Selengkapnya bisa melihat ke www.halal-guide.com

Saya coba menyalin kandungan vaksin yang saya ambil dari kemasannya langsung. Ini daftarnya, sesuai merek dagang (beda pabrik bisa beda pengawet):

Infanrix-Hib (GSK), yaitu vaksin DaPT-Hib dalam satu sediaan (kombo), atau Tetract-Hib (DPT-Hib): isinya toksoid difteri, toksoid tetanus, dan tiga antigen pertusis yang dimurnikan dalam garam aluminium. Juga mengandung polisakarida kapsuler polyribosylribitol-fosfat (PRP) dari Hib. Toksin D dan T diperoleh dari kultur bakteri yang didetoksifikasi dan dimurnikan. Komponen seluler/aseluler P juga diperoleh dari bakteri B. pertusis. Kemudian semuanya diformulasikan dalam garam fisiologis, dan diawetkan dengan 2-fenoksietanol (alkohol).

Act-Hib (Aventis), isinya Hib saja: mengandung polisakarida Hib yang terkonjugasi dengan protein tetanus, dan pengawet Trometamol dan Sukrosa, dilarutkan dengan Natrium klorida.

Varilrix (GSK), yaitu vaksin varisela/cacar air: virus varisela-zoster strain OKA hidup yang dilemahkan, dikultur dalam sel diploid manusia MRC5.

Engerix-B (GSK), yaitu vaksin hepatitis B: antigen permukaan virus yang dimurnikan diolah dengan teknik DNA rekombinan, dimasukkan dalam aluminium hidroksida. Antigen dihasilkan melalui kultur sel kapang/yeast (Saccharomyces cerevisiae). Tidak ada satupun sel manusia hidup yang digunakan dalam pembuatannya.

MMR-II (MSD), yaitu vaksin kombo MMR: virus campak hidup yang dilemahkan dikultur dalam sel embrio ayam; virus mumps hidup juga dikultur dalam embrio ayam; virus rubella hidup dikultur dalam sel diploid manusia. Tidak mengandung pengawet.

Havrix 720 (GSK), yaitu vaksin hepatitis A mati yang diawetkan dengan formalin, dimasukkan dalam aluminium hidroksida, dan dipropagasi dalam sel diploid manusia.

Typhim Vi, yaitu vaksin tifoid, dari polisakarida S. Typhi, diawetkan dengan fenol dan larutan buffer yang mengandung NaCl, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan air.

Saya masih belum bisa mendapatkan daftar isi kemasan produk Biofarma seperti BCG, Hepatitis B, polio, DPT, dan campak. Mudah-mudahan segera bisa dilengkapi.

Kira-kira komponen mana dari zat-zat di atas yang berpotensi membahayakan tubuh dan mengandung bahan haram? Saya belum menemukan bukti sahih. Semua obat yang diproses secara kimia di pabrik seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama halnya dengan kepedulian terhadap imunisasi ini. Memang negara kita sangat bermasalah dalam status kehalalan obat-obatan dan kosmetika. Andaikan saja bisa mencontoh Malaysia, yang berusaha memproduksi sendiri vaksin halal. Maka saat ini, saya merujuk pada keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sini (terlalu panjang jika disalin ulang): http://www.halalguide.info/content/view/120/397/ atau http://www.halalguide.info/content/view/120/55/

Analoginya bisa dipakai untuk seluruh jenis vaksin lain (BTW, vaksin IPV yang disebut dalam fatwa ini tidak digunakan secara luas di Indonesia, yang digunakan adalah OPV). Lebih lengkap lagi tentang imunisasi juga bisa dilihat di blog Bu Lita di http://lita.inirumahku.com

Surat pembaca saya tentang kontroversi halal imunisasi ini pernah dimuat Majalah Hidayatullah edisi November 2007. Sayangnya tidak ada soft copy-nya di web, dan belum saya salin ulang.

Pro dan kontra terhadap imunisasi atau vaksinasi tidak akan pernah berakhir. Saya bersyukur ada komunitas seperti milis SEHAT (http://groups.yahoo.com/group/sehat) yang selalu mendiskusikan dan memberikan informasi terkini tentang imunisasi dan kesehatan secara umum yang sahih (tidak semua informasi kesehatan di internet terbukti sahih secara evidence based medicine). Silakan juga buka www.sehatgroup.web.id

Sekian dulu. Wallahu a’lam.

(apin, masih bisa banyak nulis sebelum mulai rotasi bangsal non infeksi. Junior oohh… junior)