Minggu, 19 Agustus 2007

Tuberkulosis pada Anak

Penyakit Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) Report 2005 dalam Global Tuberculosis Control menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TBC Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam menyumbang TBC di dunia.

Perkiraan insidensi untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan asam (BTA) positif adalah 115 per 100.0001. Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20 ini, jumlah kasus baru meningkat di seluruh dunia, TBC masih merupakan masalah salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian baik di negara berkembang maupun di negara maju2. Demikian juga pada anak, TBC masih merupakan penyakit mayor yang menyebabkan kesakitan pada anak, meskipun jumlah pastinya tidak diketahui WHO memperkirakan 1 juta kasus baru dan 400.000 anak meninggal setiap tahunnya karena TBC3. TBC anak merupakan faktor penting dinegara-negara berkembang karena jumlah anak berusia dibawah 15 tahun adalah 40-50% dari seluruh jumlah populasi2.
Seperti halnya dinegara-negara lain, besarnya kasus TBC pada anak di Indonesia masih relatif sulit diperkirakan karena beberapa hal:
1)Sulitnya mendapatkan diagnosis pasti melalui tes sputum karena anak-anak biasanya belum dapat mengeluarkan sputum4.
2)Belum adanya panduan diagnosis yang jelas, sistem kesehatan dan surveilans yang belum bisa mendapatkan data mengenai TBC pada anak.
3)Kesalahan diagnosis baik oleh dokter umum maupun dokter spesialis anak sehingga pengobatan diberikan pada anak yang tidak menderita TBC atau sebaliknya, anak penderita TBC tidak mendapatkan penanganan yang semestinya. Pemberian OAT pada anak yang tidak menderita TBC selain akan memicu pengeluaran yang tidak diperlukan, juga membuat berkurangnya persediaan obat untuk penderita TBC yang benar-benar memerlukannya4.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
TBC adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru (95%), tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun2.

B. Faktor resiko
1. Resiko infeksi TBC
Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TBC aktif, daerah endemis, penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat2
Pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius2
Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau kavitas produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak baik2
Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa disekitarnya, karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini disebabkan karena kuman TBC sangat jarang ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang terdapat batuk5. Walaupun terdapat batuk tetapi jarang menghasilkan sputum. Bahkan jika ada sputum pun, kuman TBC jarang sebab hanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada sektret endobrokial anak 3.


2. Resiko Penyakit TBC
Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Namun, resiko sakit TBC ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TBC, 43% nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi2.
Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan silikosis.
Status sosial ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang,kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah2.

C. Patogenesis TBC
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer predileksinya disemua lobus, 70% terletak subpelura6 Fokus primer dapat mengalami penyembuhan sempurna, kalsifikasi atau penyebaran lebih lanjut6. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu2. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler)2. Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC2. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan2.
2. TBC Pasca Primer (Post Primary TBC)
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TBC pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura2.

C. Klasifikasi
1.Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenkim paru , tidak termasuk pleura10.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam:
1. Tuberkulosis Paru BTA Positif.
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif10.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif10.
2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif10.
TBC Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto röntgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced” atau millier), dan/atau keadaan umum penderita buruk10.

2.Tuberkulosis Ekstra Paru.
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TBC Ekstra Paru Ringan
Misalnya: TBC kelenjar limphe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang) sendi, dan kelenjar adrenal10.
b. TBC Ekstra-Paru Berat
Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin10

D. Diagnosis
Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya: dahak, bilasan lambung, biopsi dan lain-lain. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal, yaitu:
1.Sedikitnya jumlah kuman
Jumlah kuman TBC di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TBC paru primer terletak dikelenjar linfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa2.
2.Sulitnya pengambilan spesimen (sputum)
Pada anak , walaupun batuknya berdahak biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui nasogastrik tube dan harus dilakukan oleh petugas yang berpengalaman2.
Karena berbagai alasan diatas, sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran klinis8, gambaran foto röntgen dada dan uji tuberkulin. Untuk itu penting memikirkan adanya TBC pada anak kalau terdapat tanda-tanda yang mencurigakan atau gejala gejala seperti dibawah ini:
1) Seorang anak harus dicurigai menderita TBC kalau:
Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif2,
Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG2.
Terdapat gejala umum TBC2.
2). Gejala umum TBC pada anak:
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, dan tidak naik8 dalam 1 bulan meskipun sudah mendapatkan penanganan gizi yang baik (failure to thrive)4..
Nafsu makan turun6,8/ tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive)6dengan adekuat4.
Demam tidak tinggi (sub febril)6,8, lama/ berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam 4,8 .
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit. Biasanya multipel, paling sering didaerah leher, ketiak dan lipatan paha (inguinal)4 .
Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada 4.
Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen4 .
3). Gejala spesifik
Gejala-gejala ini biasanya muncul tergantung dari bagian tubuh mana yang terserang, misalnya:
Kelenjar limfe
Kelenjar limfe superfisialis sering dijumpai, kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, juga dapat terjadi aksila, inguinal, submandibula dan supra klavikula. Secara klinis kelenjar yang terkena biasanya multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak panas pada perabaan dan dapat saling melekat satu sama lain. Perlekatan ini terjadi akibat adanya inflamasi pada kapsul kelenjar limfe4 .
TBC kulit/skrofuloderma 4, 8
TBC tulang dan sendi:
Gejala umum yang sering ditemukan adalah adanya nyeri, bengkak disendi yang terkena dan gangguan atau keterbatasan gerak. Pada bayi dan anak yang sedang tumbuh epifisis tulang merupakan daerah dengan baskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TBC 2.
tulang punggung (spondilitis): gibbus
tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di pinggul
tulang lutut: pincang dan/atau bengkak
tulang kaki dan tangan
TBC otak dan saraf:
Meningitis TBC8
Merupakan penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecacatan yang tinggi, terjadi akibat penyebaran langsung kuman TBC ke jaringan selaput saraf (meningens)2. Dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun4 .
TBC mata:
Conjunctivitis phlyctenularis 4
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi) 4
Lain-lain4
4). Uji tuberkulin (Mantoux)
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TBC yang sudah sangat lama dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak dengan sensitivitas dan spesifitas diatas 90% 2. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia sekarang adalah PPD RT- 23 2TU. Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan intrakutan 0,1 ml PPD RT-23 2TU dibagian volar lengan bawah). Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Uji tuberkulin positif bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun, uji tuberkulin dapat negatif pada anak TBC berat dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif, dan lain-lain). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang2.
5). Reaksi cepat BCG
Indikasi tes BCG dicurigai pada keadaan anergi yaitu malnutrisi berat, TBC berat, (meningitis TBC, Milier TBC), menderita morbili, rubela, vaicela, influenza, momonukleoisis infeksiosa, pneumonia atipik primer, sarkoidosis, pertusis, setelah pemberian vaksin hidup, demam typhoid, pemberian kortikosteroid, penyakit kegananasan8.
0,1 cc vaksin BCG disuntikan intrakutan pada regio deltoid kiri. Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis2.

6). Foto rontgen dada
Umumnya diagnosis TBC Paru ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, namun pada kondisi tertentu perlu dilakukan pemeriksaan röntgen10. Indikasi pemeriksaan rontgen dada adalah:
a. Suspek dengan BTA Negatif
Setelah diberikan antibiotik spektrum luas tanpa ada perubahan, periksa ulang dahak SPS (sewaktu pagi sewaktu). Bila hasilnya tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto röntgen dada10.
b. Penderita dengan BTA Positif
Hanya pada sebagian kecil dari penderita dengan hasil pemeriksaan BTA Positif, yang perlu dilakukan pemeriksaan foto röntgen dada yaitu:
1.Penderita tersebut diduga mengalami komplikasi, misalnya sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus contoh: pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura), pleuritis eksudativa10.
2.Penderita yang sering hemoptisis berat, untuk menyingkirkan kemungkinan bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat)10.
3.Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto röntgen dada diperlukan untuk mendukung diagnosis ‘TBC paru BTA positif’10.
Gambaran röntgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, karenanya harus hati-hati dengan kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin jika ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus 3 atau kelenjar paratrakeal atau gambaran cerobong asap6. Gejala lain dari foto röntgen yang mencurigai TBC adalah: milier, atelektasis/kolaps konsolidasi, infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Bila ada diskongruensi antara gambaran klinis dan gambaran röntgen, harus dicurigai TBC. Foto röntgen dada sebaiknya dilakukan PA (Postero-Anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja2.

7). Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung (pada anak usia kurang dari 7 tahun8) karena dahak sulit didapat. Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama. Namun cara baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan PCR (Polymery Chain Reaction) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis4.
Penjaringan Tersangka Penderita TBC Anak bisa berasal dari keluarga penderita BTA positif (kontak serumah), masyarakat (kunjungan Posyandu), atau dari penderita-penderita yang berkunjung ke Puskesmas maupun yang langsung ke Rumah Sakit4.


8). Respon terhadap pengobatan OAT
Jika dalam dua bulan menggunakan OAT terdapat perbaikan klinis, maka akan menunjang atau memperkuat diagnosis TBC2.
Bila dijumpai tiga atau lebih dari hal-hal yang mencurigakan atau gejala-gejala klinis umum, maka anak harus dianggap TBC dan diberikan pengobatan dengan OAT sambil diobservasi selama dua bulan. Bila menunjukan perbaikan, maka diagnosis TBC dapat dipastikan dan OAT diteruskan sampai penderita sembuh. Bila dalam observasi dengan pemberian OAT selama dua bulan tersebut keadaan anak memburuk atau tetap, maka anak tersebut tidak menderita TBC atau mungkin mungkin menderita TBC dengan kekebalan obat ganda (Multiple Drug Resistent/ MDR). Anak yang tersangka MDR perlu dirujuk ke Rumah Sakit untuk mendapat penatalaksanaan spesialistik4.
Penting diperhatikan bahwa bila pada anak dijumpai gejala-gejala berupa kejang, kesadaran menurun, kaku kuduk dan benjolan dipunggung, maka anak tersebut harus segera dirujuk ke Rumah Sakit untuk penatalaksanaan selanjutnya4

Diagnosis TBC Ekstra Paru
Untuk sebagian besar TBC ekstra paru , manifestasi klinis anak sama dengan dewasa 3. Gejala TBC Ekstra Paru tergantung organ yang terkena, misalnya nyeri dada terdapat pada TBC pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada Lymphadenitis TBC dan pembengkakan tulang belakang pada Spondilitis TBC. Diagnosis pasti sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya peralatan rontgen, biopsi, sarana pemeriksaan patologi anatomi. Seorang penderita TBC Ekstra Paru kemungkinan besar juga menderita TBC Paru, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dahak dan foto röntgen dada. Pemeriksaan ini penting untuk penentuan paduan obat yang tepat2.


D. Laboratorium
LED meninggi, sering tinggi sekali
Mungkin liositosis, monositosis, anemia, leukositosis ringan, bila ditemui hasil demikian (bila tidak ada faktor lain) akan menyokong diagnosis6,8.
Gambaran darah normal tidak menyingkirkan TBC8.
Gambaran darah tepi dan laju enap darah hanya mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit8.
Pemeriksaan cairan spinal dilakukan atas indikasi kecurigaan meningitis dan pada setiap TBC milier8.


E. Alur Deteksi Dini & Rujukan TBC Anak4

Dalam penegakan diagnosis TBC perlu analisis kritis terhadap sebanyak mungkin fakta. Diagnosis TBC tidak dapat ditegakkan hanya dari anamnesis, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan penunjang tunggal misalnya hanya dari pemeriksaan radiologis. Selain alur diagnostik, terdapat pedoman diagnosis dengan menggunakan sistem skoring. Untuk mendiagnosis TBC disarana yang memadai sistem skoring digunakan sebagai uji tapis. Setelah itu dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilasan lambung (BTA dan kultur M. TBC), patologik anatomik, pungsi pleura, pungsi lumbal, CT scan, funduskopi serta foto rontgen tulang dan sendi2.
Sistem skoring diagnosis TBC anak2
Parameter
0
1
2
3
Kontak TBC
Tidak jelas
Laporan keluarga, BTA negatif atau tidak tahu
Kavita (+) BTA tidak jelas
BTA (+)
Uji tuberkulin
Negatif


Positif (≥10 mm, atau ≥ 5 mm pada keadaan imunosupresi
Berat badan/ keadaan gizi

BB/TB <90% atau BB/U <80%
Klinis gizi buruk atau BB/TB < 70% atau BB/U < 60%

Demam tanpa sebab jelas

≥2 minggu


Batuk

≥3 minggu


Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal

≥1 cm, jumlah > 1, tidak nyeri


Pembengkakan tulang/ sendi panggul, lutut, falang

Ada pembengkakan


Foto rontgen torak
Normal/ tidak jalas
Infiltrat
pembesaran kelenjar
konsolidasi segmental/ lobar
atelektasis
Kalsifikasi+infiltrat
pembesaran kelenjar+ infiltrat


Catatan
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
Jika dijumpai sklorofuloderma, langsung didiagnosis TBC
Berat badan dinilai saat datang
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
Foto rontgen torax bukan alat diagnosis utama pada anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TBC anak.
Didiagnosis TBC jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 14), nilai ini bersifat sementara, nilai definitif menunggu hasil penetian yang sedang dilaksanakan.

E. Penatalaksanaan.
Tatalaksana TBC pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara pemberian medikamentosa, penataaan gizi dan lingkungan sekitarnya. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama , serta pengawasan terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya 2.
1. Medikamentosa
Prinsip dasar obat antiTBC harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak.
Obat TBC yang digunakan
a)Obat TBC utama (first line) rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin2.
b)Obat TBC lain (second line): PAS, viomisin, sikloserin, etionamid, kanamisin, dan kapriomisin yang digunakan jika terjadi multi drug resistance2.
Isoniazid (INH)
INH adalah obat antiTBC yang paling efektif saat ini , bersifat bakterisid, dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan ascites, jaringan kaseosa, dan angka timbulnya reaksi simpang sangat rendah 2. Dosis harian yang biasa diberikan 5-15 mg/kg/ hari maksimal 300 mg./hari, diberikan satu kali pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100mg/ 5 ml 2.
INH mempunyai dua efek toksik utama hepatotoksik, neuritis perifer, jarang terjadi pada anak tetapi frekuensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik yang bermakna secara klinik jarang terjadi. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama rifampisin dan PZA.Neuritis perifer timbul sebagai akibat inhibisi kompetitif akibat metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH, tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan.Namun pada remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI memerlukan piridoksiin tambahan.Manifestasi klinis neuritis perifer yang sering terjadi adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan satu kali sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin setiap 100 gram INH 2.
Rifampisin
Merupakan antibiotika spektrum luas yang dipakai untuk berbagai infeksi pada anak-anak7
Bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel , dapat memasuki semua jaringan , dapat membunuh kuman semi dorman yang tidak dapat dibunuh oleh INH2.
Diabsorpsi baik melalui saluran gastrointestinal pada saat perut kosong dan kadar puncak serum tercapai pada 2 jam. Makanan menghambat bioavaibility rifampisin kira-kira 30%7.
Diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kg BB/ hari (buck, 2004), dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian perhari. Jika diberikan bersama INH dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/ hari dan dosis INH 10mg/kgBB/hari2.
Didistribusikan secara luas kedalam jaringan tubuh termasuk cairan serebrospinal2.
Ekskresi melalui traktus biliaris2
Efek yang kurang menyenangkan pada pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum dan air mata menjadi oranye kemerahan2.
Efek samping yang umum terjadi adalah nyeri kepala, mengantuk, fatigue, rasa gatal dikulit (dengan atau tanpa rash), gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), anoreksia, diare, hiperbilirubinemia7, dan hepatotoksisitas (ikterus/ hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik2.
Dapat membuat kontrasepsi oral tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin2.
Tersedia dalam bentuk sediaan kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg2.

Pirazinamid
Penetrasi baik terhadap jaringan dan cairan tubuh termasuk sistem saraf pusat, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam , direbsopsi baik pada saluran pencernaan2.
Diberikan secara oral dengan dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari2.
Kadar serum puncak 45 ug/ml dalam waktu 2 jam2.
Aman pada anak2.
Tersedia dalam bentuk tablet 500 mg2.

Etambutol
Jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitas pada mata2.
Memiliki aktivitas bakteriostatik, dan berdasarkan pengalaman dapat dicegah resistensi terhadap obat-obat lain2.
Tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis2.
Dosisnya 15-20 mg/kgBB/hari, maksimum 1,25 mg/hari dengan dosis tungga2l.
Kadar serum puncak 5 ug dalam waktu 2-4 jam2.
Tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg2.
Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis perifer dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anak-anak. Namun obat ini tidak digunakan secara luas karena pada anak kecil tidak dapat dilakukan pemeriksaan lapang pandang dan ketajaman penglihatan.Etambutol sebaiknya jangan diberikan pada anak yang belum dapat dilakukan pemeriksaan penglihatan. Namun dapat digunakan pada anak dengan TBC berat dan kecurigaan TBC resisten obat jika obat-obat lainnya tidak tersecia atau tidak dapat digunakan2.

Streptomisin
Bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ektraseluler pada keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman ekstraseluler2.
Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TBC , tetapi penggunaannya penting dalam pengobatan TBC yang resesten obat2 .
Dapat diberikan secara intramuskular 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram /hari2
Kadar puncak 40-50 ug/ml dalam waktu 1-2 jam2.
Sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang2.
Berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura dieksresi melalui ginjal2.
Toksisitas utama pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdenging dan pusing2.
Dapat menembus plasenta sehingga kontraindikasi pemberiannya pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin2.

Kortikosteroid
Obat ini sebagai anti fagostik dan ajuvan8.
Pada keadaan meningitis TBC, milier TBC, penyebaran bronkogen, pleuritis TBC, pleuritis TBC dengan keadaan umum jelek8.
Yang umum dipakai adalah prednison dengan dosis:
0-2 tahun 2 mg/kgBB/ hari8
2-10 tahun 1,5 mg/kgBB/ hari8
> 10 tahun 1 mg/kgBB/ hari8
Selama 4 minggu kemudian tappering off sampai dengan 12 minggu8

Prinsip dasar pengobatan TBC adalah minimal 2 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama 6-12 bulan. Pengobatan TBC dibagi dalam 2 fase yaitu:
Fase instensif ( 2 bulan pertama), untuk menghancurkan populasi BTA yang membelah cepat8, diberikan Rifampisin, INH dan pirazinamid2
Fase lanjutan, eliminasi sisa BTA yang dormant, diberikan rifampisin dan INH2.
Berbeda dengan orang dewasa pada anak-anak OAT diberikan setiap hari bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi ketidak teraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari2.
Salah satu masalah dalam terapi TBC adalah kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk mengatasi hal tersebut maka dibuat suatu sediaan obat kombinasi dalam dosis yang telah ditentukan (Fixed doses combination (FDC))2.
Dosis kombinasi TBC anak (UKK Pulmonologi PP IDAI)2
Berat badan (kg)
2 bulan
RHZ(75/50/150mg)
4 bulan
(RH(75/50mg)
5-9
1 tablet
1 tablet
10-19
2 tablet
2 tablet
20-32
4 tablet
4 tablet
Catatan:
bila BB ≥ 33 kg dosis disesuaikan
Bila BB < 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS
Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah).
Keuntungan penggunan FDC
Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep
Meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pasien
Memungkinkan petugas kesehatan memberikan pengobatan standar dengan tepat
Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelola program pemberantasan TBC)2.
Mengurangi kesalahan penggunaan obat TBC sehingga mengurangi resisten terhadap obat TBC2
Mengurangi kemungkinan kegagaln pengobatan dan terjadinya ke kambuhan2.
Pengawasan minum menjadi lebih cepat dan mudah sehingga dapat mengurangi beban kerja2.
mempermudah penentuan dosis berdasarkan berat badan2.

2. Non medikamenosa
Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tatalaksana TBC adalah keteraturan minum obat. Pasien TBC biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan sehingga merasa sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan. Lingkungan sosial dan pengertian yang kurang mengenai TBC dari pasien serta keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk minum obat2.
Kepatuhan pasien dikatakan baik jika pasien meminum obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Kepatuhan pasien ini menjamin keberhasilan pengobatan dan mencegah resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan2.
DOTS ( Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TBC. Strategi ini dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1995. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi2.
Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut2.
1.Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
2.Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
3.Pengobatan dengan panduan Obat Anti TBC (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat.
4.Kesinambungan penyedian OAT jangka pendek dengan matu terjamin.
5.Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC.
Orang yang dapat menjadi pengawas minum obat adalah2:
1.Petugas kesehatan
2.Keluarga pasien
3.Kader
4.Pasien yang sudah sembuh
5.Tokoh masyarakat.
6.Guru
Tugas pengawas minum obat adalah2
1.Mengawasi pasien agar minum obat secara teratur sampai selesai pengobatan
2.Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3.Mengingatkan kepada pasien untuk periksa dahak ulang (pasien dewasa)
4.Memberi penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TBC yang mempunyai gejala-gejala tersangka TBC untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.
Pada anak kuman M. TBC sulit ditemukan, baik pada biakan, lebih-lebih pada pemeriksaan mikroskopis langsung. Oleh karena itu pada anak diagnosis tidak dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis yang dianjurkan dalam strategi DOTS. Maka diperlukan strategi diagnostik lain yaitu dengan menggunakan sistem skoring.

F. Evaluasi hasil pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Pentingnya evaluasi pengobatan adalah karena diagnosis TBC pada anak yang sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Apabila respon pengobatan baik yaitu gejala klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badan maka pengobatan dilanjutkan. Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik yaitu gejala masih ada, tidak terjadi penambahan berat badan maka obat antiTBC tetap diberikan dengan tambahan merujuk kesarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resisten OAT2.
Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdapat perbaikan klinis seperti berat badan meningkat, nafsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka pengobatan dapat dihentikan. Apabila pada saat diagnosis terdapat kelainan gambaran radiologis, maka dilanjutkan pemeriksaan radiologis ulangan2.

G. Evaluasi efek samping pengobatan
Hepatotoksisitas ditandai dengan pengingkatan SGOT/ SGPT hingga 5 kali normal (40U/L)., peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dL, serta peningkatan SGOT? SGPT dengan nilai berapapun yang disertai anoreksia, nausea, muntah dan ikterus2.
Penatalaksanaan hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahi berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan lebih dari 3 kali nilai normal memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Namun mengingat pentingnya rifampisin dalam panduan pengobatan yang efektif , perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya disimpulkan bahwa panduan pengobatan dengan INH dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakuakn pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat2.
Apabila peningkatan enzim transaminase lebih dari 5 kali, semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium kembali normal. Terapi berikutnya dengan cara memberikan INHd an rifampisin dengan dosis yang dinaikan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduanpengobatan2.

H. Multi Drug Resistent (MDR -TB)
MDR TB adalah isolat M. tuberculosis yang resisten terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, biasanya isoniazid dan rifampisin. Manajemen TBC menjadi semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap obat antiTBC yang biasa dipakai. Ada beberpa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak dilakukan dengan benar, kurangnya kepatuhan minum obat2.
Kejadian MDR-TB yang sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan, ditempat-tempat dengan prevalensi TBC tinggi. Namun diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap merupakan masalah banyak daerah didunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO bila pengendalian TBC tidak benar prevalensi MDR-TB mencapai 5,5% sedangkan dengan pengendalian yang benar, yaitu dengan menerapkan strategi DOTS maka prevalensi MDR-TB hanya 1, 6% saja2.

I. Preventif
1. BCG
Diseluruh dunia, untuk mencegah TBC pada anak yaitu dengan memberikan vaksin BCG (bacile Calmett-Guerin) 3.Imunisasi BCG diberikan pada usia 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan intrakutan daerah insersi otot deltoid kanan. Bila BCG diberikan lebih dari 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dulu. Insiden TBC anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi. BCG efektif terutama untuk mencegah TBC milier, meningitis dan spondilitis TBC pada anak sedikitnya 75%. BCG ulangan tidak dianjurkan mengingat efektifitas perlindungannya hanya 40%, sekitar 70% TBC berat mempunyai parut BCG. BCG relatif aman, jarang ada efek samping serius, yang sering diketemukan ulserasi lokal dan limfadenitis dengan insidensi 0,1-1%. kontraindikasi pemberian imunisasi BCG: defisiensi imun, infeksi berat, luka bakar2.
2. Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TBC pada anak, diberiikan INH dengan dosis 5-10 mg/kg BB/ hari, dosis tunggal, pada anak yang kontak dengan TBC menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi, belum pernah kemasukan kuman8 (uji tuberkulin negatif). Obat dihentikan jika sumber kontak sudah tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak terinfeksi (sesudah uji tuberkulin ulangan)2.
Kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit,diberikan pada anak telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, klinis dan radiologis normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia balita8, menderita morbili, varisela, dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitotastik dan kortikosteroiid), usia remaja, dan infeksi TBC paru, konversi uji tuberkulin dalam jangka waktu kurang dari 2 bulan2.

Komplikasi (10)
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
Bronkiectasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).









BAB III
KESIMPULAN

1.Penyakit Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.
2.TBC pada anak masih merupakan penyakit mayor yang menyebabkan kesakitan.
3.Besarnya kasus TBC pada anak di Indonesia masih relatif sulit diperkirakan.
4.Diagnosis TBC tidak dapat ditegakkan hanya dari anamnesis, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan penunjang tunggal. Selain alur diagnostik, terdapat pedoman diagnosis dengan menggunakan sistem skoring
5.Gambaran klinis TBC pada anak: badan turun, Nafsu makan turun, demam tidak tinggi dapat disertai keringat malam, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, batuk lama lebih dari 30 hari.
6.Uji tuberkulin positif bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi buruk. Uji tuberkulin positif menunjukkan TBC.
7.Tatalaksana TBC pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara pemberian medikamentosa, penataaan gizi dan lingkungan sekitarnya
8.Obat TBC yang digunakan
a)Obat TBC utama (first line) rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.
b)Obat TBC lain (second line): PAS, viomisin, sikloserin, etionamid, kanamisin, dan kapriomisin yang digunakan jika terjadi multi drug resistance.
9.Pada keadaan meningitis TBC, milier TBC, penyebaran bronkogen, pleuritis TBC, pleuritis TBC dengan keadaan umum jelek ditambah teapi dengan kortikosteroid.
10.Usaha preventif dilakukan dengan vaksin BCG dan kemoprofilaksis.


DAFTAR PUSTAKA

1.Anonim, 2005, WHO REPORT 2005 Global Tuberculosis Control Surveillance, Planning, Financing, WHO, www.who.int

2.Rahajoe, N.N, Basir, D., Makmuri, M.S., Kartasasmita C.B.,2005, Pedoman nasional tuberkulosis anak, Unit kerja koordinasi Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.

3.Starke, J.R., Tuberculosis in children, Semin Respir Crit Care Med 25(3):353-364, 2004, Thime Medical Publishers, http://www.medscape.com/viewarticle/484123

4.www.tbcindonesia.or.id

5.Curtis,A.B., Ridzon,R.,Vogel.,R., Mcdonough,S., Hargreaves, J., Ferry, J., Valway, S., 1999, .Extensive Transmission of Mycobacterium Tuberculosis From a Child, New England Journal Medicine, Volume 341 Number 20. www.nejm.org

6.Standar pelayanan medis, Rumah sakit umum pusat DR. Sardjito, komite medik RSUP DR. Sardjito, Edisi 2 Cetakan I, 2000, Medika FK UGM. Hal 147-150.

7.Buck, M.L.,Pharm, D., Use of Rifampisin in Pediatric Infections, 2004, Pediatr Pharm 10(11), Children's Medical Center, University of Virginia, http://www.medscape.com/viewarticle/494660.

8.SPM Karyadi 1989


9.Marais, BJ., Obihara,CC., Gie, RP., Schaaf, HS., Lombard., C., Enarson, D., Bateman., Beyers.,N “The Prevalence of symptoms associated with pulmonary tuberculosis in randomaly selected children from a high burden commnunity”, Arch Dis Child 2005: 90:1166-1170.www archdischild.com

10.Program penanggulangan tuberkulosis, 2000, Departemen kesehatan RI, Jakarta