Kamis, 23 Maret 2006

Bagaimana Dokter 'Membodohi' Pasien


Tulisan ini sebenarnya menceritakan tentang penyakit tuberkulosis paru (TB paru) atau TBC paru.

"Bu, anaknya kena flek paru ya. Ini saya obati. Minum obatnya harus sampai enam bulan, tidak boleh putus," kata seorang DSA (dokter spesialis anak).

"Kata dokter anaknya sakit apa?" tanyaku.
"Flek paru," jawab si ibu.
"Oo.. TBC," timpalku lagi, dengan nada santai.
"Haa, TBC? Masa' sih, Dok?" si ibu kaget. Mukanya agak memerah.
"Iya, flek paru itu ya TBC," jawabku, lagi-lagi dengan nada santai.

Di bawah aku ambil persis dari situsnya IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia):

Banyak sekali anak-anak yang divonis sebagai ΄flek paru΄ dan harus menjalani ΄hukuman΄ minum obat jangka lama, paling tidak hingga 6 bulan. Jika ditanyakan kepada orangtuanya apa yang dimaksud flek paru? Biasanya orangtua pasien tidak tahu, Bila ditanya lebih lanjut apakah anaknya mendapat obat yang membuat air seninya berwarna merah? Jika jawabnya "Ya" kemungkinan besar yang dimaksudkan sebagal ΄flek paru΄ adalah tuberkulosis/TB paru atau saat ini disebut TB saja.
Mengapa dokter tidak menyatakan sebagai TB?
Sebagian kalangan di masyarakat beranggapan bahwa TB bukan penyakit yang ΄bergengsi΄, Beda misalnya dengan penyakit jantung yang dianggap lebih ΄terhormat΄, Sebagian pasien tidak berkenan jika dinyatakan sakit TB. Khawatir pasien tidak dapat menerima, dokter berusaha menyamarkan penyakitnya dengan istilah flek paru. Saat ini umumnya pasien sudah berpikiran terbuka dan dapat menerima jika dinyatakan sakit TB. Sebaiknya dokter berterus terang menyatakan sakit TB tanpa menyamarkan dengan istilah flek paru yang justru tidak mendidik pasien.

Itulah sekilas tulisan dr. Darmawan Budi S, SpA(K) yang berjudul "
΄Flek Paru΄ Istilah yang Rancu: Informasi Singkat Tentang Tuberkulosis (TB) Anak". Tulisan ini kemudian mendorongku untuk tidak 'membodohi' pasien dengan istilah 'flek paru'. Kalau memang TB ya katakan saja TB. Jaman telah berubah. Pasien cukup kritis untuk mengetahui diagnosis pasti penyakitnya. Bahkan tidak jarang, penjelasan yang tidak utuh menciptakan terapi tidak adekuat. Istilah 'flek' yang kurang menakutkan, membuat pasien tidak patuh meminum obatnya. Ah, toh cuma 'flek' ini. Padahal TB harus diobati minimal enam bulan, tanpa adanya putus obat yang berisiko menciptakan resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB. Penderita TB yang sudah resisten (kebal) terhadap obat jauh lebih membahayakan, baik bagi dirinya sendiri (risiko perberatan dan komplikasi penyakit) maupun orang lain (jika menularkan).

Hal lain adalah: cukup sukar mendiagnosis TB pada Anak, dibandingkan dengan pada dewasa. Dengan ilmu kedokteran yang terus berkembang, dokter dan dokter spesialis anak yang tidak memperbaharui ilmunya, seringkali menggunakan perangkat yang tidak tepat dalam mendiagnosis TB pada Anak. Berlandaskan pada keluhan tidak spesifik (batuk lama, padahal seringkali batuk akibat alergi, bukan infeksi, berat badan sukar naik, dan demam hilang-timbul), ditambah gambaran Rontgen penuh 'flek' (sukar membedakan gambarannya dengan batuk-pilek biasa), langsung saja dokter mendiagnosis TB dan mengobatinya. Padahal obat TB Anak yang terdiri atas tiga kombinasi obat berbeda mempunyai efek samping, dan harus dimetabolisme di hati dan ginjal. Jika penggunaannya tidak tepat, bisa menimbulkan efek samping yang lebih buruk dibandingkan keuntungannya minum obat.

Setidaknya dokter di Indonesia bisa menggunakan panduan berikut yang mudah diakses di situs GERDUNAS TBC (Gerakan Terpadu Penanggulangan TBC Nasional) mengenai alur deteksi dini dan rujukan TB pada Anak.

Hal-hal yang mencurigakan TBC :

1. Mempunyai sejarah kontak erat dengan penderita TBC yang BTA positif

2. Terdapat reaksi kemerahan lebih cepat (dalam 3-7 hari) setelah imunisasi dengan BCG.

3. Berat badan turun tanpa sebab jelas atau tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to thrive).

4. Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang jelas.

5. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu.

6. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang spesifik.

7. Skrofuloderma.

8. Konjungtivitis fliktenularis.

9. Tes tuberkulin yang positif (>10 mm).

10. Gambaran foto rontgen sugestif TBC.

Dengan setidaknya tiga dari gejala di atas, seorang anak boleh memulai terapi obatnya.

Tidak semua dokter dan dokter spesialis anak mengetahui dan mau menggunakan panduan ini. Masih banyak yang lebih mengandalkan pada pembacaan Rontgen satu posisi saja misalnya, tanpa melakukan tes tuberkulin (uji Mantoux). Padahal panduan ini disusun mengadaptasi WHO yang merancangnya khusus untuk dapat digunakan di negara berkembang, melalui berbagai penelitian dan pengujian lapangan.

Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah: obat TB GRATIS di semua Puskesmas. Ya, gratis boo, gretong, free. Tidak harus berobat ke dokter spesialis yang meresepkan obat paten dengan harga di atas seratus ribu rupiah sekali datang. Padahal penyakit ini terutama ditemukan pada sosioekonomi menengah ke bawah, yang sangat pikir-pikir kalau mau berobat. Ketiadaan biaya malah membuat sesorang tidak berobat, karena tidak mengetahui program pemerintah yang menggratiskan obat TB di seluruh Puskesmas di Indonesia, dan menimbulkan komplikasi berat seperti meningitis, TB tulang, TB milier, dan lainnya yang dapat mengancam nyawa.

Selengkapnya mengenai TB dapat dibaca di situs WHO dan TB Indonesia.

Menyambut hari TB sedunia 24 Maret ini.